"Dan mereka tidak menyiksa orang-orang mukmin itu melainkan karena orang-orang mukmin itu beriman kepada Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji". (QS. al-Buruj (85) : 8)

Rabu, 02 Desember 2015

Tata Pemerintahan Kerajaan Demak

Menyimpul langkah-langkah Sultan Fattah menata pemerintahannya :
  • Mengangkat Imam masjid, dan Imam pertama Masjid Agung Demak adalah Sunan Bonang. Imam kedua adalah Makhdum Sampang. Imam ketiga adalah Kiai Pembayun dan imam keempat adalah Penghulu Rahmatullah. Mereka semua termasuk Wali Songo. (Sultan Fattah, Rachmat Abdullah, 115).
  • Untuk menata pemerintahannya, Sultan Fattah mengangkat Walisongo sebagai ulama penasihat dalam urusan pemerintahan negara (daulah) dan keagamaan (dien). Di antaranya adalah Sunan Kudus diangkat sebagai qadhi (hakim agung), Sunan Giri sebagai mufti (sesepuh) dan Sunan Kalijogo sebagai anggota dewan penasihat. Kemudian Sultan Fattah memberikan sarana dan kesempatan yang seluas-luasnya kepada Walisongo dalam menggelorakan dakwah Islam. (Sultan Fattah, Rachmad Abdullah, 115).
Menurut Carita Purwaka Caruban Nagari (CPCN) bagian ke-30, pada tahun 1506M Syekh Siti Jenar dihukum mati karena menyebarkan ajaran wujudiyah ala Syiah. Tokoh Syiah Muntadzar ini konon berasal dari Baghdad datang ke Jawa lalu tinggal di Pengging. Ajarannya yang menyimpang dia sampaikan kepada orang banyak sehingga menimbulkan keresahan. Sunan Kudus diutus oleh Sultan Fattah untuk menghukum mati Syekh Siti Jenar dengan menggunakan keris Kantanaga milik Sunan Gunung Jati. Jenasah Syekh Siti Jenar dikuburkan di Anggaraksa, Cirebon. (lihat : Sunan Gunung Jati ; Petuah, Pengaruh dan Jejak-jejak Sang Wali di Tanah Jawa, Dadan Wildan, 50).
Syekh Siti Jenar meninggalkan beberapa santri yang juga menganut Syiah. Di antaranya adalah Ki Ageng Pengging II (Kebo Kenongo) dan putranya yang bernama Jaka Tingkir. Dialah yang berhasil menyusup ke dalam barisan prajurit Demak di masa Sultan Trenggono. Ketika datang saat yang tepat, mengadakan pemberontakan dan berhasil merobohkan kerajaan Islam Demak lalu memindahkannya ke Pajang. (Sultan Fattah, Rachmad Abdullah, 180-181).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar