Beliau bernama Rumaisha’ Ummu Sulaim binti Malhan bin ‘Khalid bin Zaid bin Haram bin Jundub bin Amir bin Ghanam bin Adi bin Najar Al-Anshariyah Al-Khazrajiyah.
Beliau adalah seorang wanita yang memiliki sifat keibuan dan cantik, dihiasi pula dirinya dengan ketabahan, kebijaksanaan, lurus pemikirannya, dan dihiasi pula dengan kecerdasan berfikir dan fasihan serta berakhlak mulia, sehingga nantinya cerita yang baik ditujukan kepada beliau dan setiap lisan memuji atasnya. Karena beliau memiliki sifat yang agung tersebut sehingga mendorong putra pamannya yang bernama Malik bin Nadhar untuk segera menikahinya yang akhirnya melahirkan Anas bin Malik.
Tatkala cahaya nubuwwah mulai terbit dan dakwah tauhid mulai muncul sehingga menyebabkan orang-orang yang berakal sehat dan memiliki fitrah yang lurus untuk bersegera masuk Islam.
Ummu Sulaim termasuk golongan pertama yang masuk Islam awal-awal dari golongan Anshar. Beliau tidak mempedulikan segala kemungkinan yang akan menimpanya di dalam masyarakat jahiliyah penyembah berhala yang telah beliau buang tanpa ragu.
Adapun kalangan pertama yang harus beliau hadapi adalah kemarahan Malik suaminya yang baru saja pulang dari bepergian dan mendapati istrinya telah masuk Islam. Malik berkata dengan kemarahan yang memuncak, “Apakah engkau murtad dari agamamu?” Maka dengan penuh yakin dan tegar beliau menjawab, “Tidak, bahkan aku telah beriman.”.
Suatu ketika beliau menuntun Anas (putra beliau) dengan mengatakan, “Katakanlah la ilaha illallah.” (Tidak ada ilah yang haq kecuali Allah). Katakanlah, “Asyhadu ana Muhammadan Rasulullah (Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah) kemudian Anas mau menirukannya. Akan tetapi ayah Anas mengatakan, “Janganlah kamu merusak anakku.” Maka beliau menjawab, “Aku tidak merusaknya akan tetapi aku mendidiknya dan memperbaikinya.”
Perasaan gengsi dengan dosa-dosa menyebabkan Malik bin Nadhar menentukan sikap terhadap istrinya yang keras kepala dan tetap ngotot berpegang kepada akidah yang baru, maka Malik tidak memiliki alternatif lain melainkan dia memberi kabar kepada istrinya bahwa dia akan pergi dari rumah dan tidak akan kembali sehingga istrinya mau kembali kepada agama nenek moyangnya.
Manakala Malik mendengar istrinya dengan tekad yang kuat karena teguh dengan pendiriannya mengulang-ulang kalimat “Asyhadu an la ilaha illallah wa asyhadu anna Muhammadan Rasulullah” maka Malik pergi dari rumah dalam keadaan marah dan kemudian dia bertemu dengan musuh akhirnya dia dibunuh.
Ketika Ummu Sulaim mengetahui terbunuhnya suaminya, beliau tetap tabah dan mengatakan, “Aku tidak akan menyapih Anas sehingga dia sendiri yang memutusnya, dan aku tidak akan menikah sehingga Anas menyuruhku.”
Kemudian Ummu Anas pergi menemui Rasulullah yang dicintai dengar rasa malu kemudian beliau mengajukan agar buah hatinya yakni Anas dijadikan pembantu oleh guru manusia yang mengajarkan segala kebaikan. Rasulullah menerimanya sehingga sejuklah pandangan Ummu Sulaim karenanya.
Kemudian orang-orang banyak membicarakan Anas bin Malik dan juga ibunya dengan penuh takjub dan bangga. Begitu pula Abu Thalhah mendengar kabar tersebut sehingga menjadikan hatinya cenderung cinta dan takjub. Kemudian dia beranikan diri untuk melamar Ummu Sulaim serta menyediakan baginya mahar yang tinggi. Akan tetapi tiba-tiba saja pikirannya menjadi kacau dan lisannya menjadi kelu tatkala Ummu Sulaim menolak dengan wibawa dan penuh percaya diri dengan berkata : Sesungguhnya tidak pantas bagiku menikah dengan orang musyrik. Ketahuilah wahai Abu Thalhah bahwa tuhan-tuhan kalian adalah hasil pahatan orang dari keluarga fulan, dan sesungguhnya seandainya kalian mau membakarnya maka akan terbakarlah tuhan kalian.”
Abu Thalhah merasa amat sesak dadanya, kemudian dia berpaling sedangkan dirinya seolah-olah tidak percaya dengan apa yang telah dia lihat dan dia dengar. Akan tetapi cintanya yang tulus mendorong dia kembali pada hari berikutnya dengan membawa mahar yang lebih banyak dan roti maupun susu dengan harapan Ummu Sulaim akan luluh dan menerima lamarannya.
Akan tetapi Ummu Sulaim adalah seorang da’iyah yang cerdik yang tatkala melihat dunia menari-nari di hadapannya berupa harta, kedudukan dan laki-laki yang masih muda dia merasakan bahwa keterikatan hatinya dengan Islam lebih kuat daripada seluruh kenikmatan dunia. Beliau berkata dengan sopan, “Orang seperti anda memang tidak pantas ditolak wahai Abu Thalhah, hanya saja engkau adalah orang kafir sedangkan saya seorang muslimah sehingga tidak baik bagiku menerima lamaranmu.” Abu Thalhah bertanya, “Lantas apa yang anda inginkan?” Beliau balik bertanya, “Apa yang saya inginkan?” Abu Thalhah bertanya, “Apakah anda menginginkan emas dan perak?” Ummu Sulaim berkata : “Sesungguhnya aku tidak menginginkan emas dan perak akan tetapi saya menginginkan agar anda masuk Islam. “Kepada siapa saya harus datang untuk masuk Islam?” Tanya Abu Thalhah. Beliau berkata : “Datanglah kepada Rasulullah untuk itu!” Maka pergilah Abu Thalhah untuk menemui Nabi s.a.w. yang tatkala itu beliau sedang duduk-duduk bersama para sahabat. Demi melihat kedatangan Abu Thalhah, Rasulullah s.a.w. bersabda : “Telah datang kepada kalian Abu Thalhah sedangkan sudah tampak cahaya Islam di kedua matanya.”
Selanjutnya Abu Thalhah menceritakan kepada Nabi tentang apa yang dikatakan oleh Ummu Sulaim, maka dia menikahi Ummu Sulaim dengan mahar keislamannya.
Dalam riwayat lain dikatakan bahwa Ummu Sulaim berkata :
Demi Allah orang seperti anda tidak pantas untuk ditolak, hanya engkau adalah orang kafir sedangkan aku adalah seorang muslimah sehingga tidak halal untuk menikah denganmu. Jika kamu mau masuk Islam maka itulah mahar bagiku dan kau tidak meminta yang selain dari itu.”
Sungguh ungkapan tersebut mampu menyentuh perasaan yang paling dalam dan mengisi hati Abu Thalhah, sungguh Ummu Sulaim telah bercokol di hatinya secara sempurna, dia bukanlah seorang wanita yang suka bermain-main dan takluk dengan rayuan-rayuan kemewahan, sesungguhnya dia adalah wanita cerdas, dan apakah di. akan mendapatkan yang lebih baik darinya untuk diperistri, atau ibu bagi anak-anaknya?
Tanpa terasa lisan Abu Thalhah mengulang-ulang, “Aku berada di atas apa yang kamu yakini, aku bersaksi bahwa tidak ada ilah yang haq kecuali Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah.”
Ummu Sulaim lalu menoleh kepada putranya Anas dan beliau berkata dengan suka cita karena hidayah Allah yang diberikan kepada Abu Thalhah melalui tangannya, “Wahai Anas nikahkanlah aku dengan Abu Thalhah”. Kemudian beliaupun dinikahkan Islam sebagai mahar
Oleh karena itulah Tsabit meriwayatkan hadits dari Anas : “Aku belum pernah mendengar seorang wanitapun yang paling mulia maharnya dari Ummu Sulaim karena maharnya adalah Islam.”
Ummu Sulaim hidup bersama Abu Thalhah dengan kehidupan suami istri yang diisi dengan nilai-nilai Islam yang menaungi bagi kehidupan suami istri, dengan kehidupan yang tenang dan penuh kebahagiaan.
Ummu Sulaim adalah profil seorang istri yang menunaikan hak-hak suami istri dengan sebaik-baiknya, sebagaimana juga contoh terbaik sebagai seorang ibu, seorang pendidik yang utama dan seorang da’iyah.
Begitulah Abu Thalhah mulai memasuki madrasah imaniyah melalui istrinya yang utama yakni Ummu Sulaim. Sehingga pada gilirannya beliau minum dari mata air nubuwwah hingga menjadi setara dalam hal kemuliaan dengan Ummu Sulaim.
Marilah kita dengarkan penuturan Anas bin Malik yang menceritakan kepada kita bagaimana perlakuan Abu Thalhah terhadap kitabullah dan komitmennya terhadap Al-Qur’an sebagai landasan dan kepribadian. Anas bin Malik berkata : “Abu Thalhah adalah orang yang paling kaya di kalangan Anshar Madinah, adapun harta yang paling disukainya adalah kebun yang berada di depan masjid, yang biasanya Rasulullah masuk ke dalamnya dan minum air yang jernih di dalamnya. Tatkala turun ayat : “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), Sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. “ (Ali Imran : 92)
Seketika Abu Thalhah berdiri menghadap Rasulullah dan berkata : “Sesungguhnya Allah telah berfirman di dalam kitabnya (yang artinya), “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai.” Dan sesungguhnya harta yang paling aku sukai adalah kebunku, untuk itu aku sedekahkan ia untuk Allah dengan harapan mendapatkan kebaikan dan simpanan di sisi Allah, maka pergunakanlah sesukamu ya Rasulullah.”
Rasulullah bersabda : “Bagus. . .bagus..itulah harta yang menguntungkan. . . itulah harta yang menguntungkan... aku telah mendengar apa yang kamu katakan dan aku memutuskan agar engkau sedekahkan kepada kerabat-kerabatmu.”
Maka Abu Thalhah membagi-bagikannya kepada sanak kerabatnya dan Bani dari pamannya.
Allah memuliakan kedua suami istri ini dengan seorang anak laki-laki sehingga keduanya sangat bergembira dan anak tersebut menjadi penyejuk pandangan bagi keduanya dengan pergaulannya dan dengan tingkah lakunya. Anak tersebut diberi nama Abu Umair. Suatu ketika anak tersebut bermain-main dengan seekor burung lalu burung tersebut mati. Hal itu menjadikan anak tersebut bersedih dan menangis. Pada saat itu Rasulullah melewati dirinya maka beliau berkata kepada anak tersebut untuk menghibur dan bermain dengannya, “Wahai Abu Umair apa yang dilakukan oleh anak burung pipit itu?”
Allah berkehendak untuk menguji keduanya dengan seorang anak yang cakep dan dicintai, suatu ketika Abu Umair sakit sehingga kedua orang tuanya disibukkan olehnya. Sudah menjadi kebiasaan bagi ayahnya apabila kembali dari pasar, pertama kali yang dia kerjakan setelah mengucapkan salam adalah bertanya tentang kesehatan anaknya, dan beliau belum merasa tenang sebelum melihat anaknya.
Suatu ketika Abu Thalhah keluar ke masjid dan bersamaan dengan itu anaknya meninggal. Maka ibu mu’minah yang sabar ini menghadapi musibah tersebut dengan jiwa yang ridha dan baik. Sang ibu membaringkannya di tempat tidur sambil senantiasa mengulangi, “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.” Beliau berpesan kepada anggota keluarganya,” Janganlah kalian menceritakan kepada Abu Thalhah hingga aku sendiri yang menceritakan kepadanya.”
Ketika Abu Thalhah kembali, Ummu Sulaim mengusap air mata kasih sayangnya, kemudian dengan bersemangat menyambut suaminya dan menjawab pertanyaan seperti biasanya, ‘Apa yang dilakukan oleh anakku?” Beliau menjawab, “Dia dalam keadaan tenang.”
Abu Thalhah mengira bahwa anaknya sudah dalam keadaan sehat, sehingga Abu Thalhah bergembira dengan ketenangan dan kesehatannya, dan dia tidak mau mendekat karena khawatir mengganggu ketenangannya. Kemudian Ummu Sulaim mendekati beliau dan mempersiapkan makan malam baginya, lalu beliau makan dan minum sementara Ummu Sulaim bersolek dengan dandanan yang lebih cantik daripada hari-hari sebelumnya, beliau mengenakan bau yang paling bagus, berdandan dan memakai wangi-wangian, kemudian keduanyapun berbuat sebagaimana layaknya suami istri.
Tatkala Ummu Sulaim melihat bahwa suaminya sudah kenyang dan telah mencampurinya serta merasa tenang terhadap keadaan anaknya maka beliau memuji Allah karena beliau tidak membuat risau suaminya dan beliau biarkan suaminya terlelap dalam tidurnya.
Tatkala di akhir malam beliau berkata kepada suaminya, Wahai Abu Thalhah, bagaimana pendapatmu seandainya ada suatu kaum menitipkan barangnya kepada suatu keluarga kemudian suatu ketika mereka mengambil titipannya tersebut, maka bolehkah bagi keluarga tersebut untuk menolaknya?” Abu Thalhah menjawab, “Tentu saja tidak boleh.” Kemudian Ummu Sulaim berkata lagi : “Bagainiana pendapatmu jika keluarga tersebut berkeberatan tatkala titipannya diambil setelah dia sudah dapat memanfaatkannya?” Abu Thalhah berkata : “Berarti mereka tidak adil. Ummu Sulaim berkata : “Sesungguhnya anakmu adalah titipan dari Allah dan Allah telah mengambilnya, maka tabahkanlah hatimu dengan meninggalnya anakmu.”
Abu Thalhah tidak kuasa menahan amarahnya, maka beliau berkata dengan marah, “Kau biarkan aku dalam keadaan seperti ini baru kamu kabari tentang anakku?”
Beliau ulang-ulang kata-kata tersebut hingga beliau mengucapkan kalimat istirja’ (Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un) lalu bertahmid kepada Allah sehingga berangsur-angsur jiwanya menjadi tenang.
Keesokan harinya beliau pergi menghadap Rasulullah dan mengabarkan kepada Rasulullah tentang apa yang telah terjadi, kemudian Rasulullah bersabda : “Semoga Allah memberkahi malam kalian berdua.”
Mulai hari itulah Ummu Sulaim mengandung seorang anak yang akhirnya diberi nama Abdullah. Tatkala Ummu Sulaim melahirkan beliau utus Anas bin Malik untuk membawanya kepada Rasulullah s.a.w. selanjutnya Anas berkata : “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Ummu Sulaim telah melahirkan tadi malam.” Maka Rasulullah s.a.w. mengunyah kurma dan mentahnik bayi tersebut (yakni menggosokkan kurma yang telah dikunyah ke langit-langit mulut si bayi). Anas berkata : “Berikanlah nama baginya ya Rasulullah! beliau bersabda : “Namanya Abdullah.”
Ubabah, salah seorang rijal sanad berkata : “Aku melihat dia memiliki tujuh anak yang kesemuanya hafal Al-Qur’an.”
Di antara kejadian yang mengesankan pada diri wanita yang utama dan juga suaminya yang mukmin adalah bahwa Allah menurunkan ayat tentang mereka berdua yang manusia dapat beribadah dengan membacanya. Abu Hurairah r.a. berkata : “Telah datang seorang laki-laki kepada Rasulullah s.a.w. dan berkata : “Sesungguhnya aku dalam keadaan lapar.” Maka Rasulullah s.a.w. menanyakan kepada salah satu istrinya tentang makanan yang ada di rumahnya, namun belaiu menjawab, “Demi yang mengutusmu dengan haq, aku tidak memiliki apa-apa kecuali hanya air, kemudian beliau bertanya kepada istri yang lain, namun jawabannya sama. Seluruhnya menjawab dengan jawaban yang sama. Kemudian Rasulullah s.a.w. bersabda : “Siapakah yang akan menjamu tamu ini, semoga Allah merahmatinya.”
Maka berdirilah salah seorang Anshar yang namanya Abu Thalhah seraya berkata : “Saya ya Rasulullah.” Maka dia pergi bersama tamu tadi menuju rumahnya kemudian sahabat Anshar tersebut bertanya kepada istrinya (Ummu Sulaim), Apakah kamu memiliki makanan?” istrinya menjawab, “Tidak punya melainkan makanan untuk anak-anak.”Abu Thalhah berkata : “Berikanlah minuman kepada mereka dan tidurkanlah mereka. Nanti apabila tanya saya masuk maka akan saya perlihatkan bahwa saya ikut makan, apabila makanan sudah berada di tangan maka berdirilah dan matikanlah lampu.” Hal itu dilakukan oleh Ummu Sulaim. Mereka duduk-duduk dan tamu makan hidangan tersebut sementara kedua suami istri tersebut bermalam dalam keadaan tidak makan. Keesokan harinya keduanya datang kepada Rasulullah s.a.w. lalu Rasulullah bersabda : “Sungguh Allah takjub (atau tertawa) teradap fulan dan fulanah.” Dalam riwayat lain Rasulullah s.a.w. bersabda : “Sungguh Allah takjub terhadap apa yang kalian berdua lakukan terhadap tamu kalian.”
Di akhir hadits disebutkan, “Maka turunlah ayat : “Dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu).” (Al-Hasyr : 9).
Abu Thalhah tidak kuasa menahan rasa gembiranya, maka beliau bersegera memberikan kabar gembira tersebut kepada istrinya sehingga sejuklah pandangan matanya karena Allah menurunkan ayat tentang mereka dalam Al-Qur’an yang senantiasa dibaca.
Ummu Sulaim tidak hanya cukup menunaikan tugasnya untuk mendakwahkan Islam dengan penjelasan saja, bahkan beliau antusias untuk turut andil dalam berjihad bersama pahlawan kaum muslimin. Tatkala perang Hunain tampak sekali sikap kepahlawanannya dalam memompa semangat pada dada mujahidin dan mengobati mereka yang luka. Bahkan beliau juga mempersiapkan diri untuk melawan dan menghadapi musuh yang akan menyerangnya. Diriwayatkan oleh Muslim di dalam shahihnya dan Ibnu Sa’ad di dalam Thabaqat dengan sanad yang shahih bahwa Ummu Sulaim membawa badik (pisau) pada perang Hunain kemudian Abu Thalhah berkata : “Wahai Rasulullah ini Ummu Sulaim membawa badik.” Ummu Sulaim berkata : “Wahai Rasulullah apabila ada orang musyrik yang mendekatiku maka akan aku robek perutnya dengan badik ini.”
Anas r.a. berkata : “Rasulullah s.a.w. berperang bersama Ummu Sulaim dan para wanita dari kalangan Anshar, apabila berperang para wanita tersebut memberikan minum kepada mujahidin dan mengobati yang luka.”
Begitulah, Ummu Sulaim memiliki kedudukan yang tinggi di sisi Rasulullah s.a.w., beliau tidak pernah masuk rumah selain rumah Ummu Sulaim bahkan Rasulullah telah memberi kabar gembira bahwa beliau termasuk ahli jannah. Beliau bersabda : “Aku masuk jannah, tiba-tiba aku mendengar sebuah suara, maka aku bertanya, “Siapa itu?” Mereka berkata : “Dia adalah Rumaisha’ binti Malhan ibu dari Anas bin Malik.”
Selamat untukmu wahai Ummu Sulaim, karena anda memang layak mendapatkan itu semua, engkau adalah seorang istri shalihah dan suka menasehati, seorang da’iyah yang bijaksana, seorang ibu pendidik yang sadar sehingga memasukkan anaknya dalam madrasah yang agung, yang mana dunia mengenal bahwa anaknya masuk ke madrasah nubuwwah tatkala berumur sepuluh tahun yang pada gilirannya beliau menjadi seorang ulama di antara ulama’ Islam, selamat untukmu. . .selamat untukmu...
-----------------------------------------------------
NISAA' HAULAR RASUL, Mahmud Mahdi Al Istanbuli dan Musthafa Abu An Nashr Asy Syalabi (Para Penulis), MENGENAL SHAHABIAH NABI S.A.W. (Edisi Indonesia), Abu Umar Abdullah Asy Syarif (Penterjemah), At-Tibyan Solo, halaman 177 – 187
Beliau adalah seorang wanita yang memiliki sifat keibuan dan cantik, dihiasi pula dirinya dengan ketabahan, kebijaksanaan, lurus pemikirannya, dan dihiasi pula dengan kecerdasan berfikir dan fasihan serta berakhlak mulia, sehingga nantinya cerita yang baik ditujukan kepada beliau dan setiap lisan memuji atasnya. Karena beliau memiliki sifat yang agung tersebut sehingga mendorong putra pamannya yang bernama Malik bin Nadhar untuk segera menikahinya yang akhirnya melahirkan Anas bin Malik.
Tatkala cahaya nubuwwah mulai terbit dan dakwah tauhid mulai muncul sehingga menyebabkan orang-orang yang berakal sehat dan memiliki fitrah yang lurus untuk bersegera masuk Islam.
Ummu Sulaim termasuk golongan pertama yang masuk Islam awal-awal dari golongan Anshar. Beliau tidak mempedulikan segala kemungkinan yang akan menimpanya di dalam masyarakat jahiliyah penyembah berhala yang telah beliau buang tanpa ragu.
Adapun kalangan pertama yang harus beliau hadapi adalah kemarahan Malik suaminya yang baru saja pulang dari bepergian dan mendapati istrinya telah masuk Islam. Malik berkata dengan kemarahan yang memuncak, “Apakah engkau murtad dari agamamu?” Maka dengan penuh yakin dan tegar beliau menjawab, “Tidak, bahkan aku telah beriman.”.
Suatu ketika beliau menuntun Anas (putra beliau) dengan mengatakan, “Katakanlah la ilaha illallah.” (Tidak ada ilah yang haq kecuali Allah). Katakanlah, “Asyhadu ana Muhammadan Rasulullah (Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah) kemudian Anas mau menirukannya. Akan tetapi ayah Anas mengatakan, “Janganlah kamu merusak anakku.” Maka beliau menjawab, “Aku tidak merusaknya akan tetapi aku mendidiknya dan memperbaikinya.”
Perasaan gengsi dengan dosa-dosa menyebabkan Malik bin Nadhar menentukan sikap terhadap istrinya yang keras kepala dan tetap ngotot berpegang kepada akidah yang baru, maka Malik tidak memiliki alternatif lain melainkan dia memberi kabar kepada istrinya bahwa dia akan pergi dari rumah dan tidak akan kembali sehingga istrinya mau kembali kepada agama nenek moyangnya.
Manakala Malik mendengar istrinya dengan tekad yang kuat karena teguh dengan pendiriannya mengulang-ulang kalimat “Asyhadu an la ilaha illallah wa asyhadu anna Muhammadan Rasulullah” maka Malik pergi dari rumah dalam keadaan marah dan kemudian dia bertemu dengan musuh akhirnya dia dibunuh.
Ketika Ummu Sulaim mengetahui terbunuhnya suaminya, beliau tetap tabah dan mengatakan, “Aku tidak akan menyapih Anas sehingga dia sendiri yang memutusnya, dan aku tidak akan menikah sehingga Anas menyuruhku.”
Kemudian Ummu Anas pergi menemui Rasulullah yang dicintai dengar rasa malu kemudian beliau mengajukan agar buah hatinya yakni Anas dijadikan pembantu oleh guru manusia yang mengajarkan segala kebaikan. Rasulullah menerimanya sehingga sejuklah pandangan Ummu Sulaim karenanya.
Kemudian orang-orang banyak membicarakan Anas bin Malik dan juga ibunya dengan penuh takjub dan bangga. Begitu pula Abu Thalhah mendengar kabar tersebut sehingga menjadikan hatinya cenderung cinta dan takjub. Kemudian dia beranikan diri untuk melamar Ummu Sulaim serta menyediakan baginya mahar yang tinggi. Akan tetapi tiba-tiba saja pikirannya menjadi kacau dan lisannya menjadi kelu tatkala Ummu Sulaim menolak dengan wibawa dan penuh percaya diri dengan berkata : Sesungguhnya tidak pantas bagiku menikah dengan orang musyrik. Ketahuilah wahai Abu Thalhah bahwa tuhan-tuhan kalian adalah hasil pahatan orang dari keluarga fulan, dan sesungguhnya seandainya kalian mau membakarnya maka akan terbakarlah tuhan kalian.”
Abu Thalhah merasa amat sesak dadanya, kemudian dia berpaling sedangkan dirinya seolah-olah tidak percaya dengan apa yang telah dia lihat dan dia dengar. Akan tetapi cintanya yang tulus mendorong dia kembali pada hari berikutnya dengan membawa mahar yang lebih banyak dan roti maupun susu dengan harapan Ummu Sulaim akan luluh dan menerima lamarannya.
Akan tetapi Ummu Sulaim adalah seorang da’iyah yang cerdik yang tatkala melihat dunia menari-nari di hadapannya berupa harta, kedudukan dan laki-laki yang masih muda dia merasakan bahwa keterikatan hatinya dengan Islam lebih kuat daripada seluruh kenikmatan dunia. Beliau berkata dengan sopan, “Orang seperti anda memang tidak pantas ditolak wahai Abu Thalhah, hanya saja engkau adalah orang kafir sedangkan saya seorang muslimah sehingga tidak baik bagiku menerima lamaranmu.” Abu Thalhah bertanya, “Lantas apa yang anda inginkan?” Beliau balik bertanya, “Apa yang saya inginkan?” Abu Thalhah bertanya, “Apakah anda menginginkan emas dan perak?” Ummu Sulaim berkata : “Sesungguhnya aku tidak menginginkan emas dan perak akan tetapi saya menginginkan agar anda masuk Islam. “Kepada siapa saya harus datang untuk masuk Islam?” Tanya Abu Thalhah. Beliau berkata : “Datanglah kepada Rasulullah untuk itu!” Maka pergilah Abu Thalhah untuk menemui Nabi s.a.w. yang tatkala itu beliau sedang duduk-duduk bersama para sahabat. Demi melihat kedatangan Abu Thalhah, Rasulullah s.a.w. bersabda : “Telah datang kepada kalian Abu Thalhah sedangkan sudah tampak cahaya Islam di kedua matanya.”
Selanjutnya Abu Thalhah menceritakan kepada Nabi tentang apa yang dikatakan oleh Ummu Sulaim, maka dia menikahi Ummu Sulaim dengan mahar keislamannya.
Dalam riwayat lain dikatakan bahwa Ummu Sulaim berkata :
Demi Allah orang seperti anda tidak pantas untuk ditolak, hanya engkau adalah orang kafir sedangkan aku adalah seorang muslimah sehingga tidak halal untuk menikah denganmu. Jika kamu mau masuk Islam maka itulah mahar bagiku dan kau tidak meminta yang selain dari itu.”
Sungguh ungkapan tersebut mampu menyentuh perasaan yang paling dalam dan mengisi hati Abu Thalhah, sungguh Ummu Sulaim telah bercokol di hatinya secara sempurna, dia bukanlah seorang wanita yang suka bermain-main dan takluk dengan rayuan-rayuan kemewahan, sesungguhnya dia adalah wanita cerdas, dan apakah di. akan mendapatkan yang lebih baik darinya untuk diperistri, atau ibu bagi anak-anaknya?
Tanpa terasa lisan Abu Thalhah mengulang-ulang, “Aku berada di atas apa yang kamu yakini, aku bersaksi bahwa tidak ada ilah yang haq kecuali Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah.”
Ummu Sulaim lalu menoleh kepada putranya Anas dan beliau berkata dengan suka cita karena hidayah Allah yang diberikan kepada Abu Thalhah melalui tangannya, “Wahai Anas nikahkanlah aku dengan Abu Thalhah”. Kemudian beliaupun dinikahkan Islam sebagai mahar
Oleh karena itulah Tsabit meriwayatkan hadits dari Anas : “Aku belum pernah mendengar seorang wanitapun yang paling mulia maharnya dari Ummu Sulaim karena maharnya adalah Islam.”
Ummu Sulaim hidup bersama Abu Thalhah dengan kehidupan suami istri yang diisi dengan nilai-nilai Islam yang menaungi bagi kehidupan suami istri, dengan kehidupan yang tenang dan penuh kebahagiaan.
Ummu Sulaim adalah profil seorang istri yang menunaikan hak-hak suami istri dengan sebaik-baiknya, sebagaimana juga contoh terbaik sebagai seorang ibu, seorang pendidik yang utama dan seorang da’iyah.
Begitulah Abu Thalhah mulai memasuki madrasah imaniyah melalui istrinya yang utama yakni Ummu Sulaim. Sehingga pada gilirannya beliau minum dari mata air nubuwwah hingga menjadi setara dalam hal kemuliaan dengan Ummu Sulaim.
Marilah kita dengarkan penuturan Anas bin Malik yang menceritakan kepada kita bagaimana perlakuan Abu Thalhah terhadap kitabullah dan komitmennya terhadap Al-Qur’an sebagai landasan dan kepribadian. Anas bin Malik berkata : “Abu Thalhah adalah orang yang paling kaya di kalangan Anshar Madinah, adapun harta yang paling disukainya adalah kebun yang berada di depan masjid, yang biasanya Rasulullah masuk ke dalamnya dan minum air yang jernih di dalamnya. Tatkala turun ayat : “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), Sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. “ (Ali Imran : 92)
Seketika Abu Thalhah berdiri menghadap Rasulullah dan berkata : “Sesungguhnya Allah telah berfirman di dalam kitabnya (yang artinya), “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai.” Dan sesungguhnya harta yang paling aku sukai adalah kebunku, untuk itu aku sedekahkan ia untuk Allah dengan harapan mendapatkan kebaikan dan simpanan di sisi Allah, maka pergunakanlah sesukamu ya Rasulullah.”
Rasulullah bersabda : “Bagus. . .bagus..itulah harta yang menguntungkan. . . itulah harta yang menguntungkan... aku telah mendengar apa yang kamu katakan dan aku memutuskan agar engkau sedekahkan kepada kerabat-kerabatmu.”
Maka Abu Thalhah membagi-bagikannya kepada sanak kerabatnya dan Bani dari pamannya.
Allah memuliakan kedua suami istri ini dengan seorang anak laki-laki sehingga keduanya sangat bergembira dan anak tersebut menjadi penyejuk pandangan bagi keduanya dengan pergaulannya dan dengan tingkah lakunya. Anak tersebut diberi nama Abu Umair. Suatu ketika anak tersebut bermain-main dengan seekor burung lalu burung tersebut mati. Hal itu menjadikan anak tersebut bersedih dan menangis. Pada saat itu Rasulullah melewati dirinya maka beliau berkata kepada anak tersebut untuk menghibur dan bermain dengannya, “Wahai Abu Umair apa yang dilakukan oleh anak burung pipit itu?”
Allah berkehendak untuk menguji keduanya dengan seorang anak yang cakep dan dicintai, suatu ketika Abu Umair sakit sehingga kedua orang tuanya disibukkan olehnya. Sudah menjadi kebiasaan bagi ayahnya apabila kembali dari pasar, pertama kali yang dia kerjakan setelah mengucapkan salam adalah bertanya tentang kesehatan anaknya, dan beliau belum merasa tenang sebelum melihat anaknya.
Suatu ketika Abu Thalhah keluar ke masjid dan bersamaan dengan itu anaknya meninggal. Maka ibu mu’minah yang sabar ini menghadapi musibah tersebut dengan jiwa yang ridha dan baik. Sang ibu membaringkannya di tempat tidur sambil senantiasa mengulangi, “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.” Beliau berpesan kepada anggota keluarganya,” Janganlah kalian menceritakan kepada Abu Thalhah hingga aku sendiri yang menceritakan kepadanya.”
Ketika Abu Thalhah kembali, Ummu Sulaim mengusap air mata kasih sayangnya, kemudian dengan bersemangat menyambut suaminya dan menjawab pertanyaan seperti biasanya, ‘Apa yang dilakukan oleh anakku?” Beliau menjawab, “Dia dalam keadaan tenang.”
Abu Thalhah mengira bahwa anaknya sudah dalam keadaan sehat, sehingga Abu Thalhah bergembira dengan ketenangan dan kesehatannya, dan dia tidak mau mendekat karena khawatir mengganggu ketenangannya. Kemudian Ummu Sulaim mendekati beliau dan mempersiapkan makan malam baginya, lalu beliau makan dan minum sementara Ummu Sulaim bersolek dengan dandanan yang lebih cantik daripada hari-hari sebelumnya, beliau mengenakan bau yang paling bagus, berdandan dan memakai wangi-wangian, kemudian keduanyapun berbuat sebagaimana layaknya suami istri.
Tatkala Ummu Sulaim melihat bahwa suaminya sudah kenyang dan telah mencampurinya serta merasa tenang terhadap keadaan anaknya maka beliau memuji Allah karena beliau tidak membuat risau suaminya dan beliau biarkan suaminya terlelap dalam tidurnya.
Tatkala di akhir malam beliau berkata kepada suaminya, Wahai Abu Thalhah, bagaimana pendapatmu seandainya ada suatu kaum menitipkan barangnya kepada suatu keluarga kemudian suatu ketika mereka mengambil titipannya tersebut, maka bolehkah bagi keluarga tersebut untuk menolaknya?” Abu Thalhah menjawab, “Tentu saja tidak boleh.” Kemudian Ummu Sulaim berkata lagi : “Bagainiana pendapatmu jika keluarga tersebut berkeberatan tatkala titipannya diambil setelah dia sudah dapat memanfaatkannya?” Abu Thalhah berkata : “Berarti mereka tidak adil. Ummu Sulaim berkata : “Sesungguhnya anakmu adalah titipan dari Allah dan Allah telah mengambilnya, maka tabahkanlah hatimu dengan meninggalnya anakmu.”
Abu Thalhah tidak kuasa menahan amarahnya, maka beliau berkata dengan marah, “Kau biarkan aku dalam keadaan seperti ini baru kamu kabari tentang anakku?”
Beliau ulang-ulang kata-kata tersebut hingga beliau mengucapkan kalimat istirja’ (Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un) lalu bertahmid kepada Allah sehingga berangsur-angsur jiwanya menjadi tenang.
Keesokan harinya beliau pergi menghadap Rasulullah dan mengabarkan kepada Rasulullah tentang apa yang telah terjadi, kemudian Rasulullah bersabda : “Semoga Allah memberkahi malam kalian berdua.”
Mulai hari itulah Ummu Sulaim mengandung seorang anak yang akhirnya diberi nama Abdullah. Tatkala Ummu Sulaim melahirkan beliau utus Anas bin Malik untuk membawanya kepada Rasulullah s.a.w. selanjutnya Anas berkata : “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Ummu Sulaim telah melahirkan tadi malam.” Maka Rasulullah s.a.w. mengunyah kurma dan mentahnik bayi tersebut (yakni menggosokkan kurma yang telah dikunyah ke langit-langit mulut si bayi). Anas berkata : “Berikanlah nama baginya ya Rasulullah! beliau bersabda : “Namanya Abdullah.”
Ubabah, salah seorang rijal sanad berkata : “Aku melihat dia memiliki tujuh anak yang kesemuanya hafal Al-Qur’an.”
Di antara kejadian yang mengesankan pada diri wanita yang utama dan juga suaminya yang mukmin adalah bahwa Allah menurunkan ayat tentang mereka berdua yang manusia dapat beribadah dengan membacanya. Abu Hurairah r.a. berkata : “Telah datang seorang laki-laki kepada Rasulullah s.a.w. dan berkata : “Sesungguhnya aku dalam keadaan lapar.” Maka Rasulullah s.a.w. menanyakan kepada salah satu istrinya tentang makanan yang ada di rumahnya, namun belaiu menjawab, “Demi yang mengutusmu dengan haq, aku tidak memiliki apa-apa kecuali hanya air, kemudian beliau bertanya kepada istri yang lain, namun jawabannya sama. Seluruhnya menjawab dengan jawaban yang sama. Kemudian Rasulullah s.a.w. bersabda : “Siapakah yang akan menjamu tamu ini, semoga Allah merahmatinya.”
Maka berdirilah salah seorang Anshar yang namanya Abu Thalhah seraya berkata : “Saya ya Rasulullah.” Maka dia pergi bersama tamu tadi menuju rumahnya kemudian sahabat Anshar tersebut bertanya kepada istrinya (Ummu Sulaim), Apakah kamu memiliki makanan?” istrinya menjawab, “Tidak punya melainkan makanan untuk anak-anak.”Abu Thalhah berkata : “Berikanlah minuman kepada mereka dan tidurkanlah mereka. Nanti apabila tanya saya masuk maka akan saya perlihatkan bahwa saya ikut makan, apabila makanan sudah berada di tangan maka berdirilah dan matikanlah lampu.” Hal itu dilakukan oleh Ummu Sulaim. Mereka duduk-duduk dan tamu makan hidangan tersebut sementara kedua suami istri tersebut bermalam dalam keadaan tidak makan. Keesokan harinya keduanya datang kepada Rasulullah s.a.w. lalu Rasulullah bersabda : “Sungguh Allah takjub (atau tertawa) teradap fulan dan fulanah.” Dalam riwayat lain Rasulullah s.a.w. bersabda : “Sungguh Allah takjub terhadap apa yang kalian berdua lakukan terhadap tamu kalian.”
Di akhir hadits disebutkan, “Maka turunlah ayat : “Dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu).” (Al-Hasyr : 9).
Abu Thalhah tidak kuasa menahan rasa gembiranya, maka beliau bersegera memberikan kabar gembira tersebut kepada istrinya sehingga sejuklah pandangan matanya karena Allah menurunkan ayat tentang mereka dalam Al-Qur’an yang senantiasa dibaca.
Ummu Sulaim tidak hanya cukup menunaikan tugasnya untuk mendakwahkan Islam dengan penjelasan saja, bahkan beliau antusias untuk turut andil dalam berjihad bersama pahlawan kaum muslimin. Tatkala perang Hunain tampak sekali sikap kepahlawanannya dalam memompa semangat pada dada mujahidin dan mengobati mereka yang luka. Bahkan beliau juga mempersiapkan diri untuk melawan dan menghadapi musuh yang akan menyerangnya. Diriwayatkan oleh Muslim di dalam shahihnya dan Ibnu Sa’ad di dalam Thabaqat dengan sanad yang shahih bahwa Ummu Sulaim membawa badik (pisau) pada perang Hunain kemudian Abu Thalhah berkata : “Wahai Rasulullah ini Ummu Sulaim membawa badik.” Ummu Sulaim berkata : “Wahai Rasulullah apabila ada orang musyrik yang mendekatiku maka akan aku robek perutnya dengan badik ini.”
Anas r.a. berkata : “Rasulullah s.a.w. berperang bersama Ummu Sulaim dan para wanita dari kalangan Anshar, apabila berperang para wanita tersebut memberikan minum kepada mujahidin dan mengobati yang luka.”
Begitulah, Ummu Sulaim memiliki kedudukan yang tinggi di sisi Rasulullah s.a.w., beliau tidak pernah masuk rumah selain rumah Ummu Sulaim bahkan Rasulullah telah memberi kabar gembira bahwa beliau termasuk ahli jannah. Beliau bersabda : “Aku masuk jannah, tiba-tiba aku mendengar sebuah suara, maka aku bertanya, “Siapa itu?” Mereka berkata : “Dia adalah Rumaisha’ binti Malhan ibu dari Anas bin Malik.”
Selamat untukmu wahai Ummu Sulaim, karena anda memang layak mendapatkan itu semua, engkau adalah seorang istri shalihah dan suka menasehati, seorang da’iyah yang bijaksana, seorang ibu pendidik yang sadar sehingga memasukkan anaknya dalam madrasah yang agung, yang mana dunia mengenal bahwa anaknya masuk ke madrasah nubuwwah tatkala berumur sepuluh tahun yang pada gilirannya beliau menjadi seorang ulama di antara ulama’ Islam, selamat untukmu. . .selamat untukmu...
-----------------------------------------------------
NISAA' HAULAR RASUL, Mahmud Mahdi Al Istanbuli dan Musthafa Abu An Nashr Asy Syalabi (Para Penulis), MENGENAL SHAHABIAH NABI S.A.W. (Edisi Indonesia), Abu Umar Abdullah Asy Syarif (Penterjemah), At-Tibyan Solo, halaman 177 – 187
Tidak ada komentar:
Posting Komentar