"Dan mereka tidak menyiksa orang-orang mukmin itu melainkan karena orang-orang mukmin itu beriman kepada Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji". (QS. al-Buruj (85) : 8)

Kamis, 30 Juni 2016

Hukum Sa'i

Di dalam al-Qur'an surat al-Baqarah (2) : 158, Allah ta'ala berfirman :

إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِن شَعَآئِرِ اللَّـهِ ۖ فَمَنْ حَجَّ الْبَيْتَ أَوِ اعْتَمَرَ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِ أَن يَطَّوَّفَ بِهِمَا ۚ وَمَن تَطَوَّعَ خَيْرًا فَإِنَّ اللَّـهَ شَاكِرٌ عَلِيمٌ
Sesungguhnya Shafa dan Marwah adalah sebagian daripada syiar-syiar Allah. Maka barangsiapa yang haji ke Baitullah atau 'Umroh, maka tidak salah baginya mengerjakan sa'i antara keduanya. Dan barangsiapa dengan sukarela berbuat kebaikan maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri lagi Maha Mengetahui. (158).

Asbabun Nuzul
Dalam suatu riwayat yang bersumber dari 'Aisyah ummul mukminin dikemukakan bahwa 'Urwah bertanya kepada beliau : "Bagaimana pendapatmu tentang firman Allah, "Innash shafaa wal marwata min sya'aairillaahi fa man hajjal baita awi' famara fa laa junaaha 'alaihi ayyaththawwafa bihimaa wa man tathawwa'a khairan fa innallaaha syaakirun 'aliim" (QS 2 : 158). Menurut pendapatku ayat ini menegaskan bahwa orang yang tidak thawaf di kedua tempat itu tidak berdosa". 'Aisyah menjawab : "Sebenarnya ta'wilmu (interpretasimu) itu, hai anak saudariku tidaklah benar. Akan tetapi ayat ini (QS 2 : 158) turun mengenai kaum Anshar. Mereka yang sebelum masuk Islam mengadakan upacara keagamaan kepada Manat (tuhan mereka) yang jahat, menolak berthawaf antara shofa dan Marwah. Mereka bertanya kepada Rasulullah ﷺ : "Wahai Rasulullah, di zaman jahiliyyah kami berkeberatan untuk thawaf di Shafa dan Marwah". (HR. asy-Syaikhani).
Di dalam riwayat lain yang bersumber dari "Ashim bin Sulaiman dikemukakan bahwa ia bertanya kepada Anas tentang Shafa dan Marwah, Anas berkata : "Kami berpendapat bahwa thawaf dari Shafa dan Marwah adalah upacara di zaman Jahiliyyah, dan ketika Islam datang, kami tidak melakukannya lagi". Maka turunlah ayat tersebut diatas (QS 2 : 158) yang menegaskan hukum sa'i dalam Islam. (HR. al-Bukhari).
Di dalam riwayat lain dikemukakan 'Ashim bin Sulaiman bahwa syaithan-syaithan di zaman Jahiliyyah berkeliaran pada malam hari antara Shafa dan Marwah, dan diantara kedua tempat itu terletak berhala-berhala mereka. Ketika Islam datang, berkatalah kaum Muslimin kepada Rasulullah ﷺ : "Ya Rasulullah kami tidak akan berthawaf antara Shafa dan Marwah, karena upacara itu biasa kami lakukan di zaman Jahiliyyah". Maka turunlah ayat tersebut diatas (QS 2 : 158). (HR. al-Hakim).

Tafsir Ayat
QS. 2 : 158. "Sesungguhnya Shafa dan Marwah adalah sebagian daripada syiar-syiar Allah. ...". Syiar adalah tanda. Kata jama'-nya ialah sya'air. Sya'airallah artinya tanda-tanda peribadatan kepada Allah. Ketika berhaji banyaklah terdapat syiar itu. Menyembelih hewan qurban selepas berhaji adalah tanda. Sholat di maqom Ibrahim adalah syiar ibadat. Thawaf, wuquf di Arafah, sa'i antara shafa dan marwah, melempar jumroh di Mina adalah tanda. ".... Maka barangsiapa yang haji ke Baitullah atau 'Umroh, maka tidak salah baginya mengerjakan sa'i antara keduanya. ...". Berhaji adalah waktu tertentu. Umroh adalah kewajiban di lain waktu, yang tidak wuquf dan berhenti di Muzdalifah dan di Mina. Tetapi haji dan 'Umroh sama-sama berihrom, sama-sama thawaf dan sama-sama sa'i. ".... Dan barangsiapa dengan sukarela berbuat kebaikan maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri lagi Maha Mengetahui". Mengerjakan haji dan 'Umroh yang wajib hanya sekali seumur hidup. Tetapi jika orang ingin menambah lagi dengan tathawwu', menambah haji lagi dan menambah 'umroh lagi, maka Allah mensyukuri amalannya itu dan membalas budinya itu dengan baik. Dan semua ikhlas amalnya diketahui oleh Allah.
---------------
Bibliography :
Asbabun Nuzul, KH Qomaruddin, Penerbit CV. Diponegoro Bandung, Cetakan ke-5, 1985, halaman 48 - 49.
Tafsir Al-Azhar Juzu' 2, Prof Dr. Haji Abdulmalik Abdulkarim Amrullah (Hamka), Penerbit PT. Pustaka Panjimas Jakarta, cetakan September 1987, halaman 27 - 30.
Al Qur'an Terjemahan Indonesia, Tim DISBINTALAD (Drs. H.A. Nazri Adlany, Drs. H. Hanafie Tamam dan Drs. H.A. Faruq Nasution); Penerbit P.T. Sari Agung Jakarta, cetakan ke tujuh 1994, halaman 43.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar