Sejarah mencatat, ia dikenal dan dihormati sebagai tokoh tua yang disegani dari kalangan Al-Muhajirin. Memiliki panggilan Tsania-itsnain yakni tokoh kedua pada peristiwa persembunyian di dalam gua Tsur, menurut panggilan yang diberikan Allah, Abbul ‘Arsyil ‘Azhiem, di dalam Al-Quran surat At-Taubah : 40
Dia pun terkenal dengan sebutan Ash-Shiddiq. Karena sikap keimanannya yang mantap pada saat mendengar dan menanggapi peristiwa spektakuler, ‘Isra dan Mi’raj Dimana, peristiwa itu telah membuat sekian banyak orang bertanya-tanya tentang kebenarannya. Suatu ujian bagi keimanan, memang.
Bagi Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a., peristiwa itu bukanlah merupakan hal yang mustahil. Tetapi, merupakan sesuatu yang pasti. Dia mengenal betul siapa itu Muhammad, Rasulullah s.a.w.
Kemantapan iman yang merupakan wujud dari pemahaman dan penjiwaan syahadatain, dibuktikan khalifah pertama ini dengan perkataannya : “Jika Rasulullah s.a.w. mengatakan begitu, maka benarlah apa yang dikatakannya itu. Saya percayai apa yang beliau katakan, baik akal saya menjangkaunya atau tidak. Baik saya mengerti hikmahnya atau tidak.
Inilah yang dituntut terhadap seorang yang telah memproklamirkan dirinya sebagai hamba Allah yang beriman. Yaitu sikap harus menerima dengan sepenuh hati segala perkara yang datang dari Allah dan Rasul-Nya. Kalau sudah jelas Allah mengatakan (memerintahkan) sesuatu, maka janganlah kita menjadikan akal sebagai hakim untuk menerimanya atau tidak. Tetapi, kita harus menerimanya karena keimanan kita. “Dan tidak sepatutnya bagi mukminin maupun mukminat apabila telah diputuskan sesuatu urusan oleh Allah dan Rasul-Nya. ada bagi mereka (hak) memilih dalam urusan mereka. Karena itu barangsipa durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya, maka sesatlah ia dalam kesesatan yang nyata.” (QS. 33 : 36).
Tidak hanya peristiwa ‘Isra dan Mi’raj saja yang harus diterima tanpa reverse, tanpa hak membantah sedikitpun. Tetapi seluruh isi wahyu Allah dan hadits Rasul-Nya yang shahih dan mutawatir harus pula diterima dengan sepenuh hati tanpa hak menentang dan mempersoalkan sedikitpun. Sikap “sami’na wa at’na” harus menjadi prinsip. Sikap iltizam (disiplin) dan memberikan wala’ (kesetiaan) kepada Allah dan Rasul-Nya secara penuh dan total inilah yang ingin ditunjukkan oleh sahabat Rasulullah s.a.w. itu.
Sikap ta’atnya yang tulus ikhlas itu telah banyak terbukti, walaupun setelah wafatnya Rasulullah s.a.w. Abu Bakar Shiddiq r.a. tetap berpegang teguh kepada pesan Rasulullah s.a.w. untuk menjadikan Usamah bin Zaid sebagai panglima Pasukan muslimin menuju perbatasan Syiria, walaupun usia Usamah r.a. pada saat itu masih sangat belia. Ia tidak ingin bergeser dari pesan itu sekalipun banyak pihak yang menentangnya. Ia yakin apa yang disampaikan oleh Rasulullah s.a.w. selalu benar dan ada hikmahnya. Kesetiaan dan keta’atan yang patut dicontoh.
Dalam kasus Tsania- Itsnain mengatakan :
“Sekalipun aku diterkam sekelompok anjing dan serigala. Aku tidak akan merubah keputusan yang telah ditetapkan Rasulullah s.a.w.”
Pemberangkatan pasukan tempur yang besar pimpinan Usamah r.a. itu akan bermakna menempatkan ibukota Madinah dalam suasana kosong kekuatan sama sekali. Ditambah lagi, suasana masih dalam keadaaan berkabung dengan wafatnya Rasulullah s.a.w. Tetapi, keyakinannya kepada pertolongan Allah s.w.t. dan keberadaan kerasulan Muhammad s.a.w. tidak membuat gentar Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a. Pendiriannya terungkap dalam kalimat ini : “Demi Allah, yang nyawa Abu Bakar ada di tangan-Nya. Sekalipun kuduga hewan-hewan buas akan menerkamku, aku akan tetap melaksanakan pemberangkatan Usamah seperti yang diperintahkan Rasulullah s.a.w. Sekalipun tidak ada lagi yang tinggal di dalam negeri ini, kecuali daku. Aku akan tetap melaksanakannya!”.
Hasil dari keyakinan, kesetiaan dan keta’atannya itu, pasukan besar pimpinan Usamah bin Zaid r.a. kembali dengan kemenangan gemilang dan tiada satupun anggota pasukan itu yang mengalami cidera.
Wallahu a’lam bishshawab.
--------------------------------------------
Buletin Da'wah 'IZZAH No. 43/II 3 Sya'ban 1412 H/7 Februari 1992 M
Dia pun terkenal dengan sebutan Ash-Shiddiq. Karena sikap keimanannya yang mantap pada saat mendengar dan menanggapi peristiwa spektakuler, ‘Isra dan Mi’raj Dimana, peristiwa itu telah membuat sekian banyak orang bertanya-tanya tentang kebenarannya. Suatu ujian bagi keimanan, memang.
Bagi Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a., peristiwa itu bukanlah merupakan hal yang mustahil. Tetapi, merupakan sesuatu yang pasti. Dia mengenal betul siapa itu Muhammad, Rasulullah s.a.w.
Kemantapan iman yang merupakan wujud dari pemahaman dan penjiwaan syahadatain, dibuktikan khalifah pertama ini dengan perkataannya : “Jika Rasulullah s.a.w. mengatakan begitu, maka benarlah apa yang dikatakannya itu. Saya percayai apa yang beliau katakan, baik akal saya menjangkaunya atau tidak. Baik saya mengerti hikmahnya atau tidak.
Inilah yang dituntut terhadap seorang yang telah memproklamirkan dirinya sebagai hamba Allah yang beriman. Yaitu sikap harus menerima dengan sepenuh hati segala perkara yang datang dari Allah dan Rasul-Nya. Kalau sudah jelas Allah mengatakan (memerintahkan) sesuatu, maka janganlah kita menjadikan akal sebagai hakim untuk menerimanya atau tidak. Tetapi, kita harus menerimanya karena keimanan kita. “Dan tidak sepatutnya bagi mukminin maupun mukminat apabila telah diputuskan sesuatu urusan oleh Allah dan Rasul-Nya. ada bagi mereka (hak) memilih dalam urusan mereka. Karena itu barangsipa durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya, maka sesatlah ia dalam kesesatan yang nyata.” (QS. 33 : 36).
Tidak hanya peristiwa ‘Isra dan Mi’raj saja yang harus diterima tanpa reverse, tanpa hak membantah sedikitpun. Tetapi seluruh isi wahyu Allah dan hadits Rasul-Nya yang shahih dan mutawatir harus pula diterima dengan sepenuh hati tanpa hak menentang dan mempersoalkan sedikitpun. Sikap “sami’na wa at’na” harus menjadi prinsip. Sikap iltizam (disiplin) dan memberikan wala’ (kesetiaan) kepada Allah dan Rasul-Nya secara penuh dan total inilah yang ingin ditunjukkan oleh sahabat Rasulullah s.a.w. itu.
Sikap ta’atnya yang tulus ikhlas itu telah banyak terbukti, walaupun setelah wafatnya Rasulullah s.a.w. Abu Bakar Shiddiq r.a. tetap berpegang teguh kepada pesan Rasulullah s.a.w. untuk menjadikan Usamah bin Zaid sebagai panglima Pasukan muslimin menuju perbatasan Syiria, walaupun usia Usamah r.a. pada saat itu masih sangat belia. Ia tidak ingin bergeser dari pesan itu sekalipun banyak pihak yang menentangnya. Ia yakin apa yang disampaikan oleh Rasulullah s.a.w. selalu benar dan ada hikmahnya. Kesetiaan dan keta’atan yang patut dicontoh.
Dalam kasus Tsania- Itsnain mengatakan :
“Sekalipun aku diterkam sekelompok anjing dan serigala. Aku tidak akan merubah keputusan yang telah ditetapkan Rasulullah s.a.w.”
Pemberangkatan pasukan tempur yang besar pimpinan Usamah r.a. itu akan bermakna menempatkan ibukota Madinah dalam suasana kosong kekuatan sama sekali. Ditambah lagi, suasana masih dalam keadaaan berkabung dengan wafatnya Rasulullah s.a.w. Tetapi, keyakinannya kepada pertolongan Allah s.w.t. dan keberadaan kerasulan Muhammad s.a.w. tidak membuat gentar Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a. Pendiriannya terungkap dalam kalimat ini : “Demi Allah, yang nyawa Abu Bakar ada di tangan-Nya. Sekalipun kuduga hewan-hewan buas akan menerkamku, aku akan tetap melaksanakan pemberangkatan Usamah seperti yang diperintahkan Rasulullah s.a.w. Sekalipun tidak ada lagi yang tinggal di dalam negeri ini, kecuali daku. Aku akan tetap melaksanakannya!”.
Hasil dari keyakinan, kesetiaan dan keta’atannya itu, pasukan besar pimpinan Usamah bin Zaid r.a. kembali dengan kemenangan gemilang dan tiada satupun anggota pasukan itu yang mengalami cidera.
Wallahu a’lam bishshawab.
--------------------------------------------
Buletin Da'wah 'IZZAH No. 43/II 3 Sya'ban 1412 H/7 Februari 1992 M
Tidak ada komentar:
Posting Komentar