"Dan mereka tidak menyiksa orang-orang mukmin itu melainkan karena orang-orang mukmin itu beriman kepada Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji". (QS. al-Buruj (85) : 8)

Kamis, 05 Juni 2014

Antara Fiqh Hukum dan Fiqh Dakwah

(Dok Photo : Salempang)
Dalam Islam ada yang namanya fiqh hukum dan ada fiqh dakwah, dan pendekatan keduanya berbeda antara satu dengan yang lainnya. Adapun fiqh hukum itu hanya ada hitam-putih dan jelas, bila terkait hukum benda maka hukumnya halal atau haram, bila terkait amal perbuatan maka hukumnya ada 5 (ahkamu-khamsah) yaitu wajib-sunnah-mubah-makruh-haram.
Lain lagi dengan fiqh dakwah, dia lebih fleksibel karena mengajak manusia menuju kebaikan, dan sebagaiman yang kita pahami, dakwah itu memerlukan proses dan waktu yang tidak singkat.
Keduanya, baik pendekatan fiqh maupun pendekatan dakwah tetap harus dilandaskan pada dalil Islam yang disepakati oleh para ulama, yaitu Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma Sahabat dan Qiyas
Misalnya ketika ada seorang Muslimah bertanya “Apa hukumnya melepas hijab karena pekerjaan?”, maka pendekatan fiqh dan dakwah bisa berbeda untuk menjawab pertanyaan ini.
Secara pendekatan fiqh hukum, jawabannya jelas “haram” bagi wanita tidak berhiijab atau melepas hijab selain kepada mahramnya, namun pendekatan dakwahnya bisa dijawab dengan menyemangati dan diajak pelan-pelan untuk memahami kewajiban berhijab. Secara dakwah kita sampaikan tentang “meyakini bahwa rezeki adalah dari Allah bukan dari bos” atau “bahwa Allah pasti membantu hambanya yang taat” misalnya.
Pendekatan secara dakwah ini intinya menguatkan, memotivasi dan memberikan harapan agar pelaku maksiat tak lari dari pendakwah, mau terus belajar agar pemahamannya meningkat, dan bila pemahamannya sudah meningkat, insya Allah kemaksiatannya akan ditinggalkan.
Tapi bagaimanapun juga tidak boleh bagi kita melegitimasi kesalahan seseorang hanya dengan alasan itu adalah bagian dari fiqh dakwah, apalagi memberikan kalimat bercabang sehingga membuat bias hukum suatu hal yang sudah jelas, dengan dalih dilakukan untuk menyampaikan dakwah
Misalnya ada yang berkata “Saya mau ikut kajian, tapi masih pacaran, boleh nggak?”
Kita tak bisa menjawab, “ah nggak papa” ikut aja dulu, karena merasa tak enak atau karena ingin dia ikut pada kita terlebih dahulu, karena kita justru melegitimasi pacaran yang maksiat tanpa menjelaskan hukumnya padanya. akan tetapi kita harus jelaskan haramnya pacaran, sambil tetap mengajaknya ikut kajian, itu baru fiqh hukum dan fiqh dakwah yang benar.
Jadi saat ditanya “Apa hukum membuka hijab bagi wanita?”, jawabannya harus tegas “ya haram”, tidak boleh dibiaskan, karena itu sangat berbahaya. Apalagi menjawab dengan kalimat multi intepretasi seperti “Hijab itu kan pilihan, seperti iman atau kafir itu pilihan”. Jawaban semisal ini hanya akan membingungkan ummat Islam memang tak memaksa dan memberi pilihan untuk menjadi seorang Muslim atau tidak, menjadi beriman atau malah kufur ingkar, namun bila seseorang sudah memilih menjadi seorang Muslim, maka ia wajib terikat hukum Islam. Analoginya, “saya tidak memaksa anda masuk rumah saya, tapi bila anda sudah memilih masuk, ya harus ikut aturan saya”. Logis.
Karena itulah selepas Rasul wafat ada kaum yang menolak melaksanakan kewajiban zakat. Maka Khalifah Abu Bakar nan lembut itu lalu memerangi mereka agar mereka mau melaksanakan kewajibannya. Mereka tidak dipaksa masuk Islam, namun bila sudah memilih Islam ya kewajibannya membayar zakat.
Maka dalam Islam, harus ditegaskan betul bahwa hukum berhijab itu adalah suatu keharusan – “hukumnya wajib” bukan pilihan – “hukumnya mubah” adapun cara dakwah, bisa banyak macam dan gaya yang bisa digunakan. Ada yang dengan menyentuh logika, ada yang menyentuh emosional, sah-sah saja. Namun hukum fiqhnya harus disampaikan bahwa hijab itu wajib. Jangan sampai kita mengubah status hukum karena ingin manusia ridha dengan ucapan kita, lalu menyesatkan banyak orang dari hukum Allah
Santun berdakwah, halus tutur bahasa, memikat amalnya, itulah fiqh dakwah, yakni sampaikan kebenaran dengan cara yang lebih baik
Juga saat ditanya “Apakah Muslimah berhijab pasti baik? sekarang pakaian banyak dijadikan topeng kepribadian?”, maka kita harusnya meneliti kalimat pertanyaan sebelum menjawab, karena pertanyaan semisal ini bukan pertanyaan biasa melainkan pertanyaan menjebak, yang menuntun penjawab agar sesuai kehendak penanya
Maka tak elok bila kita menjawab, “Oh iya, sekarang banyak orang menggunakan simbol agama untuk mencapai popularitas, uang, dan sebagainya.” Sangat-sangat tak elok
Lalu bagaimana kesimpulan pendengar saat mendengar jawaban semisal itu? Kira-kira begini “Ohh orang berhijab banyak parah ya? mendingan hijab hati deh” atau “Iya bener, mendingan kita nggak usah simbol-simbol agama deh, yang penting baik”
Lalu makin banyaklah orang beralasan saat ditanya kenapa belum tunaikan kewajiban hijab? “Ah itu si fulanah aja berhijab, tapi ancur”
Seharusnya pertanyaan “Apakah Muslimah berhijab pasti baik? sekarang pakaian banyak dijadikan topeng kepribadian” yang menjebak itu dijawab dengan kalimat, “Muslimah berhijab memang belum tentu baik, tapi yang baik tentulah berhijab”. Ini jawaban yang menguatkan, dan insyaAllah jadi kebaikan berterusan
Betul bahwa kemauan dari dalam itu lebih kuat dibanding paksaan, namun bukan berarti selama menunggu kemauan, kewajiban jadi hilang. Jadi tidak berarti ketika seorang Muslimah belum memiliki kemauan diri, lantas dosanya tidak berhijab menjadi hilang. Karena ada manusia yang mendapat hidayah dari paksaan, terpaksa lalu biasa, dan biasa jadi istimewa. Awalnya terpaksa dan akhirnya ikhlas
Terkait paksaan ini, simak hadits Rasulullah saw; “Menangislah kamu semua, dan bila kamu tidak dapat menangis maka paksakan menangis!” (HR Ibnu Majah)

Perintah paksaan menangis ini terkait banyaknya perintah dari Allah dan Rasul, agar kita menangis karena takut akan Allah, karena airmata yang jatuh dari mata yang menangis karena takut Allah, insyaAllah diharamkan dari api neraka.
Maka Muslimah yang belum bisa berhijab pun seharusnya “memaksakan” diri dalam ketaatan, pasti Allah mudahkan dalam jalan taatnya. Bukan malah beralasan “tidak mau memaksakan” lantas menunda kewajiban, padahal hanya bagian kemalasan dan kelalaian saja.
Sampaikan kebenaran pada ummat agar mereka mengetahuinya dan sampaikan dengan cara yang baik pula, setelah itu tuntaslah tugas sebagai penyampai peringatan dan kabar gembira lalu semuanya sempurnakan dengan tawakal.
Buat yang sudah berhijab, semoga istqamah dalam kewajiban, dan menikmatinya. Bagi yang belum, selamat “memaksakan” diri untuk taat. Allah mendekat pada orang yang mendekat pada-Nya. Allah selalu memudahkan orang yang mau taat pada-Nya

@felixsiauw

Tidak ada komentar:

Posting Komentar