Sering kita merasa punya sesuatu, memiliki sesuatu. Padahal kita tak pernah memiliki sesuatu selain amal salih. Itu parahnya saat dunia sudah masuk ke dalam hati. Bila sudah merasa memiliki, saat lepas depresi. Bayangkan saja, kita lahir di dunia telanjang tak membawa apapun, dasarnya apa kita merasa susah bila hanya kembali ke posisi awal?
Kebanyakan manusia memang seperti firman Allah di surah Al-Fajr, bila diuji keluasan dia memuji Allah, bila diuji kesempitan dia marah. Padahal luas sempit, kaya miskin, itu semua ujian kehidupan, tapi karena rasa memiliki itu, dunia berubah jadi candu. Mendadak kita lupa arti hidup di dunia, terjebak hanya mencari nikmat disini. Kita lupa disini hanya perantara menuju keabadian.
Akhirat bisa didapat dengan kaya, bisa juga dengan miskin. Tapi kalau kita merasa harus kaya, disitu kita sudah salah. Namanya perantara boleh berubah, yang tak boleh berubah itu tujuan. Islam mudah, tujuan hidup bisa dicapai dengan banyak jalan taat. Kemarin tak punya apa-apa, lalu Allah beri harta, lalu harta sirna. Alasan apa yang buat kita sedih? toh dulu kita orang tak punya? Bukannya harusnya kita bersyukur dan berfikir ; "setidaknya dulu aku pernah kaya", dibanding berfikir ; "kenapa Allah jadikan miskin?!"
Dulu jalan kaki, naik motor, lalu dengan mobil, semangat dakwah. Ketika mobil sudah tak ada, seolah jadi alasan untuk tidak dakwah? Padahal saat tak punya kita juga biasa saja, mengapa saat diambil lagi, kita malah binasa?
Dunia ini seadanya saja, ikuti saja, tak perlu ikut gaya hidup. Gaya hidup itu bisa berubah, iman yang harus tetap. Dikasih miskin iman mantap, dikasih kaya iman tambah mantap, miskin lagi iman tetep mantap, itu baru lulus ujian, itu baru benar. Amal salih itu boleh naik jangan turun, karena itu tujuan kita. Dunia boleh naik dan turun, itu hanya perantara. Rezeki itu dari Allah, sudah ditentukan, hidup itu sederhana. Kita yang buat susah dan rumit dengan standar yang beragam macam. Tugas kita jelas, menjadikan semua kondisi yang Allah beri sebagai modal amal salih, apapun kondisinya, yang penting kita bisa taat. (Ustadz Felix Siauw).
Kebanyakan manusia memang seperti firman Allah di surah Al-Fajr, bila diuji keluasan dia memuji Allah, bila diuji kesempitan dia marah. Padahal luas sempit, kaya miskin, itu semua ujian kehidupan, tapi karena rasa memiliki itu, dunia berubah jadi candu. Mendadak kita lupa arti hidup di dunia, terjebak hanya mencari nikmat disini. Kita lupa disini hanya perantara menuju keabadian.
Akhirat bisa didapat dengan kaya, bisa juga dengan miskin. Tapi kalau kita merasa harus kaya, disitu kita sudah salah. Namanya perantara boleh berubah, yang tak boleh berubah itu tujuan. Islam mudah, tujuan hidup bisa dicapai dengan banyak jalan taat. Kemarin tak punya apa-apa, lalu Allah beri harta, lalu harta sirna. Alasan apa yang buat kita sedih? toh dulu kita orang tak punya? Bukannya harusnya kita bersyukur dan berfikir ; "setidaknya dulu aku pernah kaya", dibanding berfikir ; "kenapa Allah jadikan miskin?!"
Dulu jalan kaki, naik motor, lalu dengan mobil, semangat dakwah. Ketika mobil sudah tak ada, seolah jadi alasan untuk tidak dakwah? Padahal saat tak punya kita juga biasa saja, mengapa saat diambil lagi, kita malah binasa?
Dunia ini seadanya saja, ikuti saja, tak perlu ikut gaya hidup. Gaya hidup itu bisa berubah, iman yang harus tetap. Dikasih miskin iman mantap, dikasih kaya iman tambah mantap, miskin lagi iman tetep mantap, itu baru lulus ujian, itu baru benar. Amal salih itu boleh naik jangan turun, karena itu tujuan kita. Dunia boleh naik dan turun, itu hanya perantara. Rezeki itu dari Allah, sudah ditentukan, hidup itu sederhana. Kita yang buat susah dan rumit dengan standar yang beragam macam. Tugas kita jelas, menjadikan semua kondisi yang Allah beri sebagai modal amal salih, apapun kondisinya, yang penting kita bisa taat. (Ustadz Felix Siauw).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar