"Dan mereka tidak menyiksa orang-orang mukmin itu melainkan karena orang-orang mukmin itu beriman kepada Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji". (QS. al-Buruj (85) : 8)

Jumat, 01 Juni 2012

MASA AWAL KERASULAN

MUHAMMAD S.A.W. sedang tidur. Khadijah menatapnya dengan hati penuh kasih dan harapan, kasih dan harapan terhadap orang yang tadi mengajaknya bicara itu.
Setelah dilihatnya ia tidur nyenyak, nyenyak dan tenang sekali, ditinggalkannya orang itu perlahan-lahan. Ia keluar, dengan pikiran masih pada orang itu, orang yang pernah menggoncang hatinya. Pikirannya pada hari esok, pada hari yang akan memberikan harapan baik kepadanya. Harapannya suami itu akan menjadi nabi atas umat, yang kini tengah hanyut dalam kesesatan. Ia akan membimbing mereka dengan ajaran agama yang benar serta akan membawa mereka ke jalan yang lurus. Tetapi, sungguhpun begitu, menghadapi masa yang akan datang, ia merasa kuatir sekali, kuatir akan nasib suami yang setia dan penuh kasih-sayang itu. Dibayangkannya dalam hatinya apa yang telah diceritakan kepadanya itu. Dibayangkannya itu malaikat yang begitu indah, yang memperlihatkan diri di angkasa, setelah menyampai wahyu Tuhan kepadanya dan yang kemudian memenuhi seluruh ruangan itu. Selalu ia melihat malaikat itu ke mana saja ia mengalihkan muka. Khadijah masih mengulangi kata-kata yang dibacakan dan sudah terpateri dalam dada Muhammad itu.
Semua itu dibentangkan kembali oleh Khadijah depan mata hatinya. Kadang terkembang senyum di bibir, karena suatu harapan; kadang kecut juga rasanya, karena takut akan nasib yang mungkin akan menimpa diri al-Amin kelak.
Tidak tahan ia tinggal seorang diri lama-lama. Pikirannya berpindah-pindah dan harapan yang manis sedap kepada kesangsian dan harap-harap cemas. Terpikir olehnya akan mencurahkan segala isi hatinya itu kepada orang yang sudah dikenalnya bijaksana dan akan dapat memberikan nasehat.
Untuk itu, kemudian ia pergi menjumpai saudara sepupunya (anak paman), Waraqa bin Naufal. Seperti sudah disebutkan, Waraqa adalah seorang penganut agama Nasrani yang sudah mengenal Bible dan sudah pula menerjemahkannya sebagian ke dalam bahasa Arab. Ia menceritakan apa yang pernah dilihat dan didengar Muhammad dan menceritakan pula apa yang dikatakan Muhammad s.a.w. kepadanya, dengan menyebutkan juga rasa kasih dan harapan yang ada dalam dirinya. Waraqa menekur sebentar, kemudian katanya: “Maha Kudus Ia, Maha Kudus. Demi .Dia yang memegang hidup Waraqa. Khadijah, percayalah, dia telah menerima Namus Besar seperti yang pernah diterima Musa. Dan sungguh dia adalah Nabi umat ini. Katakan kepadanya supaya tetap tabah.”
Khadijah pulang. Dilihatnya Muhammad s.a.w. masih tidur. Dipandangnya suaminya itu dengan rasa kasih dan penuh ikhlas, bercampur harap dan cemas. Dalam tidur yang demikian itu, tiba-tiba ia menggigil, nafasnya terasa sesak dengan keringat yang sudah membasahi wajahnya. Ia terbangun, manakala didengarnya malaikat datang membawakan wahyu kepadanya :
“O orang yang berselimut! Bangunlah dan sampaikan peringatan. Dan agungkan Tuhanmu. Pakaianmu pun bersihkan. Dan hindarkan perbuatan dosa. Jangan kau memberi, karena ingin menerima lebih banyak. Dan demi Tuhanmu, tabahkan hatimu.” (QS 74 : 17)

Dipandangnya ia oleh Khadijah, dengan rasa kasih yang lebih besar. Didekatinya ia perlahan-lahan seraya dimintanya, supaya kembali ia tidur dan beristirahat.

“Waktu tidur dan istirahat sudah tak ada lagi, Khadijah”, jawabnya. “Jibril membawa perintah supaya aku memberi peringatan kepada umat manusia, mengajak mereka, dan supaya mereka beribadat hanya kepada Allah. Tapi siapa yang akan kuajak? Dan siapa pula yang akan mendengarkan?”
Khadijah berusaha menenteramkan hatinya. Cepat-cepat ia menceritakan apa yang didengarnya dari Waraqa tadi. Dengan penuh gairah dan bersemangat sekali kemudian ia menyatakan dirinya beriman atas kenabiannya itu. Sudah sewajarnya apabila Khadijah cepat-cepat percaya kepadanya. Ia sudah mengenalnya benar. Selama hidupnya laki-laki itu selalu jujur, orang berjiwa besar ia dan selalu berbuat kebaikan dengan penuh rasa kasih-sayang. Selama dalam tahannuth, dilihatnya betapa besar kecenderungannya kepada kebenaran, dan hanya kebenaran semata-mata. Ia mencari kebenaran itu dengan persiapan jiwa. kalbu dan fikiran yang sudah begitu tinggi, membubung melampaui jangkauan yang akan dapat dibayangkan manusia, manusia yang menyembah patung dan membawakan korban-korban ke sana; mereka yang menganggap bahwa itu adalah tuhan yang dapat mendatangkan bencana dan keuntungan. Mereka membayangkan, bahwa itu patut disembah dan diagungkan. Wanita itu sudah melihatnya betapa benar ia pada tahun-tahun masa tahannuth itu. Juga ia melihatnya betapa benar keadaannya tatkala pertama kali ia kembali dari gua Hira’, sesudah kerasulannya. Ia bingung sekali. Dimintanya oleh Khadijah, apabila malaikat itu nanti datang supaya diberitahukan kepadanya.
Bilamana kemudian Muhammad melihat malaikat itu datang, didudukkannya ia oleh Khadijah di paha kirinya, kemudian di paha kanan dan di pangkuannya. Malaikat itu pun masih juga dilihatnya. Khadijah menghalau dan mencampakkan tutup mukanya. Waktu itu tiba-tiba Muhammad s.a.w. tidak lagi melihatnya. Khadijah tidak ragu lagi bahwa itu adalah malaikat, bukan setan.

Note : Pada mulanya kata ‘namus besar’ (an-namus’l-akbar) oleh beberapa penulis yang datang kemudian diberi anotasi, bahwa kata namus berarti ‘Jibril’. Mungkin ini didasarkan kepada An-Nihaya, fi Gharib’l-Hadith wa’l-Athar (Kamus kata-kata sulit dalam hadits, 5 jilid, Kairo) oleh IBN’L-ATHIR, Majduddin Abu’s-Sa’adat al-Mubarak bin Muhammad al-Jazari (1149 – 1210 M) dan Lisan’l-‘Arab (Kamus Arab-Arab, 20 jilid, Balaq) oleh IBN MANZUR, Jamaluddin Muhammad bin Mukarram al-Anshari (1232 – 1311 M) yang juga mengartikan demikian. Mengenai kata-kata ini Dr. Haekal tidak memberikan catatan. Demikian juga lbn Ishaq dan Ibn Hisyam. Salah seorang Orientalis — Montagomery Watt misalnya — memberikan catatan bahwa kata numus biasanya diambil dari bahasa Yunani noms, dan ini berarti undang-undang atau kitab suci yang diwahyukan’ (Muhammd at Mecca, p. 51). Sebaliknya pemakaian kata namus bukan istilah Quran, sebab Quran menggunakan kata Taurat apabila yang dimaksud dengan namus itu undang-undang Nabi Musa.
------------------------------------------------------------------------------------
SEJARAH HIDUP MUHAMMAD, Muhammad Husain Haekal, diterbitkan oleh Litera Antar Nusa, Cetakan Kesebelas, Januari 1990, halaman 82 - 84

Tidak ada komentar:

Posting Komentar