Ka’ab bin Malik r.a. ketika menceriterakan tertinggalnya dalam perang Tabuk berkata: Belum pernah saya tertinggal dari Rasulullah s.a.w dalam suatu peperangan, kecuali dalam perang Tabuk, hanya saya tertinggal dalam perang Badr, tetapi ketika itu tidak disalahkan orang yang tertinggal dalam perang Badr, karena Rasulullah s.a.w. ke luar hanya untuk menghadang qafilah Quraisy Tiba-tiba Allah menghadapkan mereka kepada lawan yang tidak terduga sebelumnya. Sedang saya telah menyaksikan bersama Rasulullah s.a.w. malam Bai’atul-’aqobah ketika kami berbai’at atas Islam, dan saya tidak suka umpama ditukar kejadian Lailattil-’aqobah itu dengan perang Badr, meskipun perang Badr lebih terkenal pada orang-orang.
Adapun riwayat saya ketika tertinggal dari Rasulullah s.a.w. dalam perang Tabuk ialah: Bahwa saya belum pernah merasa lebih kuat dan lebih ringan (senang) sebagaimana keadaan saya diwaktu tertinggal daripada perang Tabuk itu. Demi Allah belum pernah saya menyiapkan dua kendaraan kecuali untuk peperangan itu, dan biasanya Rasulullah s.a.w. jika akan keluar pada peperangan menyamarkan dengan tujuan yang lain, kecuali dalam perang Tabuk itu, karena Rasulullah s.a.w. akan melakukannya dalam musim kemarau, dan akan menghadapi perjalanan yang jauh, disamping musuh yang jauh lebih besar. Maka Rasulullah menjelaskan pada kaum Muslimin, supaya bersiap-siaga sungguh dalam peperangan mereka, maka Rasulullah memberitahukan kepada mereka arah tujuan yang sebenarnya. Sedang kaum Muslimin disa’at itu cukup banyak, tidak tercatat nama mereka dalam sebuah buku, sehingga bila seorang tidak ikut (hadir) dalam perang itu, mungkin ia mengira tidak akan diketahui oleh Rasulullah selama tidak ada wahyu yang turun dari Allah ta’ala. Maka keluarlah Rasulullah s.a.w. ke Medan-perang Tabuk itu pada masa musim buah. Sedang saya merasa lebih condong pada peperangan itu, dan telah bersiap-siap, namun sesampainya di rumah, saya tidak berbuat apa-apa, dan berkata dalam hati: Saya dapat mengerjakannya sewaktu-waktu. Tetapi terus berlarut-larut keadaan yang demikian itu pada saya, sehingga pagi-pagi Rasulullah dan kaum muslimin sudah bersiap-siap untuk berangkat. Dan sayapun segera pulang ke rumah, untuk bersiap-siap, tetapi sesampainya dirumah sayapun tidak berbuat apa-apa. Sehingga berangkatlah rombongan Rasulullah dan kaum muslimin, sayapun merasa masih dapat mengejar mereka, tetapi tidak ditakdirkan oleh Allah, yang demikian itu. Maka sesudah itu jika keluar selalu merasa sedih, karena tidak mendapat teman dari Muslimin kecuali orang-orang Munafiq atau orang-orang yang telah dima’afkan oleh Allah dan orang-orang tua atau orang miskin yang tidak dapat ikut serta bersama Rasulullah s.a.w. dalam peperangan. Rasulullahpun tidak menyebut-nyebut nama saya, sehingga sampai di Tabuk. Maka pada waktu ia duduk ditengah-tengah kaum Muslimin ia bertanya: Apakah kerja Ka’ab bin Malik? Dijawab oleh seseroang dari Bani Salamah: Ya Rasulullah, ia tertahan oleh pakaian (mantelnya). Maka berkata Mu’adz bin Djabal: Ya Rasulullah, kami tiada mengenal daripadanya kecuali kebaikan semata-mata. Rasulullahpun diam tidak menyambut keterangan itu, dan pada waktu itu pula terlihat dari jauh bayang-bayang orang yang samar-samar (nampak-nampak hilang) oleh fatamorgana, dan Rasulullah berkata: Semoga itu Abu Chaitsamah. Mendadak ketika sampai, benar-benar ia Abu Chaitsamah Al-Anshory yang pernah diejek oleh kaum Munafiq karena ia menderma satu sha’ (2½ kg) kurma. Berkata Ka’ab: Maka tatkala sampai pada saya berita : Rasulullah akan kembali mulai datang kesedihanku atas keteledoranku itu, sampai-sampai saya ingin mencari jalan untuk menghindari kemurkaan Rasulullah s.a.w. dan dalam hal ini saya telah berusaha minta bantuan kepada sanak-kerabat. Namun ketika sampai berita kedatangan Rasulullah, tiba-tiba saya mengambil keputusan dan mengerti benar-benar bahwa saya tidak akan selamat daripadanya dengan suatu helahpun. Maka lebih baik saya mengaku yang sebenarnya kepada Rasulullah s.a.w. Maka pada pagi hari Rasulullah s.a.w. masuk ke kota Madinah dan terus menuju ke mesjid sebagaimana kebiasaannya jika baru tiba dari bepergian jauh, dan menanti kedatangan orang yang akan memajukan udzur (alasan) mengapa tidak ikut serta dalam perang Tabuk itu. Maka datanglah orang-orang yang tertinggal dari perang Tabuk itu, kurang lebih 80 orang, masing-masing memajukan udzur (alasan) dan bersumpah, maka diterimalah oleh Rasulullah alasan-alasan mereka yang lahir dan dimintakan ampun untuk mereka, adapun soal bathin mereka diserahkan kepada Allah, hingga sampailah giliran saya, maka ketika saya memberi salam Rasulullah tersenyum marah pada saya, sambil berkata: Mari ke sini, lalu saya duduk di depannya, maka ia bertanya : Mengapa engkau tertinggal, tidakkah kau telah membeli kendaraan untuk bepergian itu? Jawabku: Ya Rasulullah, demi Allah andikan sekarang ini saya sedang duduk di depan seseorang selain daripadamu, pasti saya akan dapat membawa alasan-alasan untuk menyelamatkan diriku dan murkanya, sebab saya cukup pandai berdebat, tetapi demi Allah saya yakin jika kini saya berdusta kepadamu yang mungkin kau terima dan ridlo’ padaku, mungkin Allah murka padaku dan bila kini saya berkata sebenarnya mungkin kau menyesal padaku, tetapi saya masih dapat mengharapkan ma’af dari Allah. Demi Allah sebenarnya tidak ada alasan (udzur) bagi saya, demi Allah tidak pernah saya merasa sehat dan ringan sebagaimana keadaán saya ketika tertinggal daripadamu. Maka sabda Rasulullah s.a.w.: Adapun kau telah berkata sebenarnya, maka pergilah sampai Allah memutuskan perkaramu. Maka ketika saya bangun, diikuti oleh beberapa orang dari Bani Salamah sambil berkata: Demi Allah kau belum pernah berbuat dosa selain ini, mengapakah kau tidak minta ma’af saja kepada Rasulullah? Cukup untukmu jika Rasulullah mintakan ampun bagimu. Maka mereka selalu menyalahkan perbuatan saya itu, hingga hampir saja saya akan kembali kepada Rasulullah untuk menarik kembali pengakuan saya yang semula itu. Kemudian saya bertanya kepada mereka:
Apakah ada orang yang menerima putusan sebagai saya ini? Jawab mereka: Ada dua orang yang mengaku sebagaimana kau, dan mendapat putusan seperti yang diputuskan untukmu yaitu Mararah bin Arrabi’ Al’amri dan Hilal bin Umayyah Alwaqifi. Maka ketika mereka menyebut nama dua orang yang sholeh yang telah ikut serta dalam perang Badr, maka saya merasa tenang karena ada dua teman yang dapat dijadikan teladan. Akhirnya saya tidak jadi menarik kembali pengakuan saya itu. Kemudian Rasulullah melarang sahabat-sahabat berbicara dengan kami bertiga. Maka mulailah orang-orang berubah sikap dan menjauh dari kami, sehingga berubah suasana kota Madinah bagi saya, seolah-olah saya seorang asing selama 50 hari itu. Adapun kedua temanku mereka tetap tinggal dalam rumah menangis, sedang saya yang termuda diantara kami, bahkan dapat dikatakan lebih kuat dari mereka, maka tetap keluar dan menghadiri sholat berjama’ah, juga pergi ke pasar tetapi tidak seorangpun yang mengajak bicara pada saya, bahkan saya datang ke majlis Rasulullah dan memberi salam kepadanya, sambil memperhatikan bibir Rasulullah kalau-kalau ia menggerakkan bibir menjawab salam saya, kemudian saya mendekat pada Rasulullah pada waktu sholat sambil melirik kepadanya, dan apabila saya melirik kepadanya, ia membuang muka daripadaku.
Kemudian setelah lama kejadian yang demikian itu, pada suatu hari saya mendaki dinding rumah Abu Qatadah sepupu saya yang akrab, maka saya memberi salam padanya, tetapi ia tidak menjawab salamku, hingga saya bertanya kepadanya: Saya tanya padamu demi Allah: Apakah engkau masih mengetahui bahwa saya tetap cinta pada Allah dan Rasulullah s.a.w.? Iapun tiada menjawab, hingga saya ulangi pentanyaan itu dua, tiga kali, dan tetap ia tinggal diam tidak menjawab hanya berkata: Allahu wa Rasuluhu a’lam (Allah dan Rasulullah yang lebih mengetahui). Maka mengalirlah airmataku mendengar itu, dan segera saya kembali mendaki dinding untuk keluar. Dan pada suatu hari ketika saya berjalan-jalan di pasar, tiba-tiba ada seorang petani dari Syam yang biasa menjual makanan di kota Madinah bertanya : Siapakah yang suka menunjukkan saya pada Ka’ab bin Malik, maka orang yang ditanya semua menunjuk pada saya.
Lalu orang itu datang mendekati saya dengan membawa sepucuk surat dari raja Chassan yang di dalamnya berisi: Amma ba’du sebenarnya saya telah mendengar bahwa kau telah di-boikot oleh teman-temanmu, dan Allah tidak menjadikan kau seorang yang terhina, datanglah kepada kami, kami tetap akan menerima dan membantu engkau. Maka saya berkata : Ini juga sebagai ujian, dan segera saya pergi ketempat api untuk membakar surat itu. Kemudian setelah berjalan 40 hari dari kejadian itu datanglah utusan Rasulullah kerumah saya dengan memberi tahu bahwa : Rasulullah menyuruh kau menjauhi isterimu. Saya bertanya: Apakah saya harus cerai? Jawabnya: Tidak, hanya jangan mendekatinya (jangan bersetubuh), dan begitu pula diutus untuk kedua teman saya yang senasib. Maka saya katakan kepada isteriku: Saya harap kau pulang kerumah keluargamu sampai mendapat putusan dari Allah tentang urusanku ini, Sedang isteri Hilal bin Umajjah datang menemui Rasulullah s.a.w. memberi tahu bahwa Hilal seorang tua yang tidak mempunyai pelayan, Apakah keberatan sekiranya saya tetap melayaninya? Jawab Nabi s.a.w.: Tidak apa melayani, asalkan tidak mendekati kau. Jawab isteri Hilal: Demi Allah dia tidak ada nafsu untuk mendekati, sebab sejak ia menenima keputusan itu sampai kini Ia tetap menangis tiada henti-hentinya. Kemudian datang sebagian kerabat-ku mengusulkan, supaya minta izin kepada Rasulullah untuk isteriku, sebagaimana Hilal bin Umajjah. Jawabku: Saya tidak akan minta izin untuk isteriku kepada Rasulullah, sedang saya belum tahu apakah yang akan dijawab oleh Nabi, juga saya lebih muda dari Hilal. Maka tetaplah keadaan kami, setelah itu kira-kira sepuluh hari, hingga genaplah 50 hari, yakni sejak larangan Nabi pada sahabat-sahabat berbicara dengan kami. Dan pada hari yang ke-50 itu, ketika saya sedang sholat subuh di ruangan bagian atas rumah kami, yang ketika itu saya duduk merenungkan nasib diri yang benar-benar, sebagai mana disebut oleh Allah di dalam Al Qur’an, telah terasa sempit hidup di atas bumi ini, sekonyong-konyong saya mendengar suara jeritan yang sangat keras. Hai Ka’ab bin Malik sambutlah khabar baik, maka segera saya sujud syukur sebab saya merasa pasti Rasulullah s.a.w. telah mengatakan kepada sahabat-sahabatnya bahwa Allah telah menerima tobat kami pada pagi ini. Sehingga orang-orang pada datang akan mengucapkan selamat kepadaku, ada yang berlari ada yang berkendaraan, ada yang menjeritkan suaranya, dan ketika sampai kepadaku orang yang lebih dahulu saya dengar suaranya itu, saya buka pakaian saya dan saya hadiahkan kepada nya, padahal waktu itu saya tidak mempunyai pakaian lainnya, sehingga saya terpaksa meminjam pakaian untuk menghadap kepada Rasulullah s.a.w. Maka saya berjalan menuju ke tempat Rasulullah sedang orang-orang menyambut saya dengan ucapan selamat atas penerimaan tobat kami dari Allah, sehingga sampailah saya di masjid Rasulullah, dimana Rasulullah sedang duduk dikerumuni oleh sahabatnya, maka bangunlah dari Madjils itu Thalhah bin Ubaidillah untuk menjabat tangan saya dengan ucapan selamat. Demi Allah tiada seorangpun dari sahabat Muhajirin yang bangun dari tempatnya selain Thalhah itu. Sehingga saya tidak dapat melupakan kebaikan Thalhah itu. Dan ketika saya memberi salam kepada Rasulullah s.a.w. tampak wajah Rasulullah berseri-seri gembira sambil berkata: Sambutlah hari yang terbaik bagimu sejak engkau dilahirkan oleh ibumu. Maka tanya saya : Apakah daripadamu (keputusan itu) ya Rasulullah ataukah langsung dari Allah? Jawab Nabi: Langsung dari Allah. Dan biasanya Rasulullah jika bergembira bersinar wajahnya bagaikan belahan bulan, kitapun telah mengenal yang demikian itu. Kemudian saya berkata: Untuk kesempurnaan tobatku, saya akan menyedekahkan semua harta kekayaan kepada Allah dan Rasulullah s.a.w. Maka sabda Nabi s.a.w.: Tahanlah sebagian hartamu, yang demikian itu lebih baik untukmu. Jawabku: Saya akan menahan bagian yang saya dapat dari perang Khaibar, Ya Rasulullah, sesungguhnya Allah telah menyelamatkan saya, karena kebenaran pengakuan saya, sebab itu saya berjanji untuk kelanjutan tobatku tidak akan berbicaxa selama hidup melainkan dengan benar.
Demi Allah saya tidak pernah mengetahui seorangpun dari kaum Muslimin telah mendapat ujian dari Allah karena kebenarannya, seperti saya. Demi Allah saya tidak pernah sengaja berdusta sejak saya berjanji yang demikian itu pada Rasulullah s.a.w. sampai hari ini, dan saya mengharapkan semoga Allah terus memelihara saya sampai akhir hayat saya. Maka turun ayat 117-119 surat At-Taubah yang artinya :
Sungguh Allah telah memberi tobat kepada Nabi dan sahabat-sahabat Muhajirin, Anshor yang telah mengikutinya dalam sa’at kesukaran, setelah hampir tersesat hari sebagian dari mereka, kemudian Allah memberi tobat kepada mereka, sesungguhnya Allah sangat belas-kasih terhadap mereka. (At-Taubah 117)
Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan tobat mereka, hingga apabila telah terasa sempit terhadap mereka bumi yang luas ini, dan sempit pula rasa hati mereka, dan merasa bahwa tiada pelindung bagi mereka dari hukum Allah, kecuali kembali kepada rahmat Allah. Kemudian Allah memberi tobat kepada mereka supaya mereka bertobat, sungguh Allah penerima tobat dan pengasih. (At Taubah 118)
Hai sekalian orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan jadilah bersama orang-orang yang benar-benar. (At-Taubah 119)
Berkata Ka’ab: Demi Allah, belum pernah saya merasakan ni’mat Allah bagi saya yang lebih besar, selain dari hidayat masuk Islam, yang lebih besar dari kebenaran saya terhadap Rasulullah s.a.w. hingga saya tidak berdusta, maka binasa sebagaimana firman Allah dalam surat At-Taubah ayat 95-96.
Mereka (orang-orang munafiq) akan bersumpah kepadamu dengan membawa nama Allah, apabila kamu telah kembali, supaya kamu mengabaikan mereka (tidak menuntut mereka). Maka abaikanlah mereka, sebenarnya mereka itu adalah kotoran (najis) yang keji, dan tempat mereka dalam neraka jahanam, sebagai pembalasan perbuatan mereka. (At-Taubah 95).
Mereka bersumpah supaya kau ridlo’ pada mereka, maka jika kau ridlo’ pada mereka, maka sungguh Allah tidak ridlo’ pada kaum yang fasiq. (At-Taubah 96).
Ka’ab berkata : Kalimat Khullifu, bukan berarti tertinggal dari perang, tetapi berarti kami bertiga telah ditangguhkan tobat kami dari orang-orang yang telah diterima oleh Rasulullah s.a.w. karena mereka telah bersumpah, maka Rasulullah menerima lahir mereka dan memintakan ampun kepada Allah, adapun tentang bathin mereka diserahkan kepada Allah. Adapun so’al kami bertiga maka dinantikan sampai mendapat putusan langsung dari Allah.
Dalam riwayat lain: Bahwa Nabi s.a.w. keluar dalam perang Tabuk itu pada hari Kamis dan biasanya Rasulullah suka keluar pada hari Kamis. Juga biasanya Rasulullah jika datang dari bepergian masuk kota Madinah siang hari, kemudian pergi ke masjid untuk melakukan sholat 2 roka’at lalu duduk menyambut kedatangan orang-orang.
------------------
Tarjamah RIADHUS SHALIHIN I, Salim Bahreisy, Penerbit PT Alma’arif Bandung, Cetakan keempat 1978, halaman 30-45.
Adapun riwayat saya ketika tertinggal dari Rasulullah s.a.w. dalam perang Tabuk ialah: Bahwa saya belum pernah merasa lebih kuat dan lebih ringan (senang) sebagaimana keadaan saya diwaktu tertinggal daripada perang Tabuk itu. Demi Allah belum pernah saya menyiapkan dua kendaraan kecuali untuk peperangan itu, dan biasanya Rasulullah s.a.w. jika akan keluar pada peperangan menyamarkan dengan tujuan yang lain, kecuali dalam perang Tabuk itu, karena Rasulullah s.a.w. akan melakukannya dalam musim kemarau, dan akan menghadapi perjalanan yang jauh, disamping musuh yang jauh lebih besar. Maka Rasulullah menjelaskan pada kaum Muslimin, supaya bersiap-siaga sungguh dalam peperangan mereka, maka Rasulullah memberitahukan kepada mereka arah tujuan yang sebenarnya. Sedang kaum Muslimin disa’at itu cukup banyak, tidak tercatat nama mereka dalam sebuah buku, sehingga bila seorang tidak ikut (hadir) dalam perang itu, mungkin ia mengira tidak akan diketahui oleh Rasulullah selama tidak ada wahyu yang turun dari Allah ta’ala. Maka keluarlah Rasulullah s.a.w. ke Medan-perang Tabuk itu pada masa musim buah. Sedang saya merasa lebih condong pada peperangan itu, dan telah bersiap-siap, namun sesampainya di rumah, saya tidak berbuat apa-apa, dan berkata dalam hati: Saya dapat mengerjakannya sewaktu-waktu. Tetapi terus berlarut-larut keadaan yang demikian itu pada saya, sehingga pagi-pagi Rasulullah dan kaum muslimin sudah bersiap-siap untuk berangkat. Dan sayapun segera pulang ke rumah, untuk bersiap-siap, tetapi sesampainya dirumah sayapun tidak berbuat apa-apa. Sehingga berangkatlah rombongan Rasulullah dan kaum muslimin, sayapun merasa masih dapat mengejar mereka, tetapi tidak ditakdirkan oleh Allah, yang demikian itu. Maka sesudah itu jika keluar selalu merasa sedih, karena tidak mendapat teman dari Muslimin kecuali orang-orang Munafiq atau orang-orang yang telah dima’afkan oleh Allah dan orang-orang tua atau orang miskin yang tidak dapat ikut serta bersama Rasulullah s.a.w. dalam peperangan. Rasulullahpun tidak menyebut-nyebut nama saya, sehingga sampai di Tabuk. Maka pada waktu ia duduk ditengah-tengah kaum Muslimin ia bertanya: Apakah kerja Ka’ab bin Malik? Dijawab oleh seseroang dari Bani Salamah: Ya Rasulullah, ia tertahan oleh pakaian (mantelnya). Maka berkata Mu’adz bin Djabal: Ya Rasulullah, kami tiada mengenal daripadanya kecuali kebaikan semata-mata. Rasulullahpun diam tidak menyambut keterangan itu, dan pada waktu itu pula terlihat dari jauh bayang-bayang orang yang samar-samar (nampak-nampak hilang) oleh fatamorgana, dan Rasulullah berkata: Semoga itu Abu Chaitsamah. Mendadak ketika sampai, benar-benar ia Abu Chaitsamah Al-Anshory yang pernah diejek oleh kaum Munafiq karena ia menderma satu sha’ (2½ kg) kurma. Berkata Ka’ab: Maka tatkala sampai pada saya berita : Rasulullah akan kembali mulai datang kesedihanku atas keteledoranku itu, sampai-sampai saya ingin mencari jalan untuk menghindari kemurkaan Rasulullah s.a.w. dan dalam hal ini saya telah berusaha minta bantuan kepada sanak-kerabat. Namun ketika sampai berita kedatangan Rasulullah, tiba-tiba saya mengambil keputusan dan mengerti benar-benar bahwa saya tidak akan selamat daripadanya dengan suatu helahpun. Maka lebih baik saya mengaku yang sebenarnya kepada Rasulullah s.a.w. Maka pada pagi hari Rasulullah s.a.w. masuk ke kota Madinah dan terus menuju ke mesjid sebagaimana kebiasaannya jika baru tiba dari bepergian jauh, dan menanti kedatangan orang yang akan memajukan udzur (alasan) mengapa tidak ikut serta dalam perang Tabuk itu. Maka datanglah orang-orang yang tertinggal dari perang Tabuk itu, kurang lebih 80 orang, masing-masing memajukan udzur (alasan) dan bersumpah, maka diterimalah oleh Rasulullah alasan-alasan mereka yang lahir dan dimintakan ampun untuk mereka, adapun soal bathin mereka diserahkan kepada Allah, hingga sampailah giliran saya, maka ketika saya memberi salam Rasulullah tersenyum marah pada saya, sambil berkata: Mari ke sini, lalu saya duduk di depannya, maka ia bertanya : Mengapa engkau tertinggal, tidakkah kau telah membeli kendaraan untuk bepergian itu? Jawabku: Ya Rasulullah, demi Allah andikan sekarang ini saya sedang duduk di depan seseorang selain daripadamu, pasti saya akan dapat membawa alasan-alasan untuk menyelamatkan diriku dan murkanya, sebab saya cukup pandai berdebat, tetapi demi Allah saya yakin jika kini saya berdusta kepadamu yang mungkin kau terima dan ridlo’ padaku, mungkin Allah murka padaku dan bila kini saya berkata sebenarnya mungkin kau menyesal padaku, tetapi saya masih dapat mengharapkan ma’af dari Allah. Demi Allah sebenarnya tidak ada alasan (udzur) bagi saya, demi Allah tidak pernah saya merasa sehat dan ringan sebagaimana keadaán saya ketika tertinggal daripadamu. Maka sabda Rasulullah s.a.w.: Adapun kau telah berkata sebenarnya, maka pergilah sampai Allah memutuskan perkaramu. Maka ketika saya bangun, diikuti oleh beberapa orang dari Bani Salamah sambil berkata: Demi Allah kau belum pernah berbuat dosa selain ini, mengapakah kau tidak minta ma’af saja kepada Rasulullah? Cukup untukmu jika Rasulullah mintakan ampun bagimu. Maka mereka selalu menyalahkan perbuatan saya itu, hingga hampir saja saya akan kembali kepada Rasulullah untuk menarik kembali pengakuan saya yang semula itu. Kemudian saya bertanya kepada mereka:
Apakah ada orang yang menerima putusan sebagai saya ini? Jawab mereka: Ada dua orang yang mengaku sebagaimana kau, dan mendapat putusan seperti yang diputuskan untukmu yaitu Mararah bin Arrabi’ Al’amri dan Hilal bin Umayyah Alwaqifi. Maka ketika mereka menyebut nama dua orang yang sholeh yang telah ikut serta dalam perang Badr, maka saya merasa tenang karena ada dua teman yang dapat dijadikan teladan. Akhirnya saya tidak jadi menarik kembali pengakuan saya itu. Kemudian Rasulullah melarang sahabat-sahabat berbicara dengan kami bertiga. Maka mulailah orang-orang berubah sikap dan menjauh dari kami, sehingga berubah suasana kota Madinah bagi saya, seolah-olah saya seorang asing selama 50 hari itu. Adapun kedua temanku mereka tetap tinggal dalam rumah menangis, sedang saya yang termuda diantara kami, bahkan dapat dikatakan lebih kuat dari mereka, maka tetap keluar dan menghadiri sholat berjama’ah, juga pergi ke pasar tetapi tidak seorangpun yang mengajak bicara pada saya, bahkan saya datang ke majlis Rasulullah dan memberi salam kepadanya, sambil memperhatikan bibir Rasulullah kalau-kalau ia menggerakkan bibir menjawab salam saya, kemudian saya mendekat pada Rasulullah pada waktu sholat sambil melirik kepadanya, dan apabila saya melirik kepadanya, ia membuang muka daripadaku.
Kemudian setelah lama kejadian yang demikian itu, pada suatu hari saya mendaki dinding rumah Abu Qatadah sepupu saya yang akrab, maka saya memberi salam padanya, tetapi ia tidak menjawab salamku, hingga saya bertanya kepadanya: Saya tanya padamu demi Allah: Apakah engkau masih mengetahui bahwa saya tetap cinta pada Allah dan Rasulullah s.a.w.? Iapun tiada menjawab, hingga saya ulangi pentanyaan itu dua, tiga kali, dan tetap ia tinggal diam tidak menjawab hanya berkata: Allahu wa Rasuluhu a’lam (Allah dan Rasulullah yang lebih mengetahui). Maka mengalirlah airmataku mendengar itu, dan segera saya kembali mendaki dinding untuk keluar. Dan pada suatu hari ketika saya berjalan-jalan di pasar, tiba-tiba ada seorang petani dari Syam yang biasa menjual makanan di kota Madinah bertanya : Siapakah yang suka menunjukkan saya pada Ka’ab bin Malik, maka orang yang ditanya semua menunjuk pada saya.
Lalu orang itu datang mendekati saya dengan membawa sepucuk surat dari raja Chassan yang di dalamnya berisi: Amma ba’du sebenarnya saya telah mendengar bahwa kau telah di-boikot oleh teman-temanmu, dan Allah tidak menjadikan kau seorang yang terhina, datanglah kepada kami, kami tetap akan menerima dan membantu engkau. Maka saya berkata : Ini juga sebagai ujian, dan segera saya pergi ketempat api untuk membakar surat itu. Kemudian setelah berjalan 40 hari dari kejadian itu datanglah utusan Rasulullah kerumah saya dengan memberi tahu bahwa : Rasulullah menyuruh kau menjauhi isterimu. Saya bertanya: Apakah saya harus cerai? Jawabnya: Tidak, hanya jangan mendekatinya (jangan bersetubuh), dan begitu pula diutus untuk kedua teman saya yang senasib. Maka saya katakan kepada isteriku: Saya harap kau pulang kerumah keluargamu sampai mendapat putusan dari Allah tentang urusanku ini, Sedang isteri Hilal bin Umajjah datang menemui Rasulullah s.a.w. memberi tahu bahwa Hilal seorang tua yang tidak mempunyai pelayan, Apakah keberatan sekiranya saya tetap melayaninya? Jawab Nabi s.a.w.: Tidak apa melayani, asalkan tidak mendekati kau. Jawab isteri Hilal: Demi Allah dia tidak ada nafsu untuk mendekati, sebab sejak ia menenima keputusan itu sampai kini Ia tetap menangis tiada henti-hentinya. Kemudian datang sebagian kerabat-ku mengusulkan, supaya minta izin kepada Rasulullah untuk isteriku, sebagaimana Hilal bin Umajjah. Jawabku: Saya tidak akan minta izin untuk isteriku kepada Rasulullah, sedang saya belum tahu apakah yang akan dijawab oleh Nabi, juga saya lebih muda dari Hilal. Maka tetaplah keadaan kami, setelah itu kira-kira sepuluh hari, hingga genaplah 50 hari, yakni sejak larangan Nabi pada sahabat-sahabat berbicara dengan kami. Dan pada hari yang ke-50 itu, ketika saya sedang sholat subuh di ruangan bagian atas rumah kami, yang ketika itu saya duduk merenungkan nasib diri yang benar-benar, sebagai mana disebut oleh Allah di dalam Al Qur’an, telah terasa sempit hidup di atas bumi ini, sekonyong-konyong saya mendengar suara jeritan yang sangat keras. Hai Ka’ab bin Malik sambutlah khabar baik, maka segera saya sujud syukur sebab saya merasa pasti Rasulullah s.a.w. telah mengatakan kepada sahabat-sahabatnya bahwa Allah telah menerima tobat kami pada pagi ini. Sehingga orang-orang pada datang akan mengucapkan selamat kepadaku, ada yang berlari ada yang berkendaraan, ada yang menjeritkan suaranya, dan ketika sampai kepadaku orang yang lebih dahulu saya dengar suaranya itu, saya buka pakaian saya dan saya hadiahkan kepada nya, padahal waktu itu saya tidak mempunyai pakaian lainnya, sehingga saya terpaksa meminjam pakaian untuk menghadap kepada Rasulullah s.a.w. Maka saya berjalan menuju ke tempat Rasulullah sedang orang-orang menyambut saya dengan ucapan selamat atas penerimaan tobat kami dari Allah, sehingga sampailah saya di masjid Rasulullah, dimana Rasulullah sedang duduk dikerumuni oleh sahabatnya, maka bangunlah dari Madjils itu Thalhah bin Ubaidillah untuk menjabat tangan saya dengan ucapan selamat. Demi Allah tiada seorangpun dari sahabat Muhajirin yang bangun dari tempatnya selain Thalhah itu. Sehingga saya tidak dapat melupakan kebaikan Thalhah itu. Dan ketika saya memberi salam kepada Rasulullah s.a.w. tampak wajah Rasulullah berseri-seri gembira sambil berkata: Sambutlah hari yang terbaik bagimu sejak engkau dilahirkan oleh ibumu. Maka tanya saya : Apakah daripadamu (keputusan itu) ya Rasulullah ataukah langsung dari Allah? Jawab Nabi: Langsung dari Allah. Dan biasanya Rasulullah jika bergembira bersinar wajahnya bagaikan belahan bulan, kitapun telah mengenal yang demikian itu. Kemudian saya berkata: Untuk kesempurnaan tobatku, saya akan menyedekahkan semua harta kekayaan kepada Allah dan Rasulullah s.a.w. Maka sabda Nabi s.a.w.: Tahanlah sebagian hartamu, yang demikian itu lebih baik untukmu. Jawabku: Saya akan menahan bagian yang saya dapat dari perang Khaibar, Ya Rasulullah, sesungguhnya Allah telah menyelamatkan saya, karena kebenaran pengakuan saya, sebab itu saya berjanji untuk kelanjutan tobatku tidak akan berbicaxa selama hidup melainkan dengan benar.
Demi Allah saya tidak pernah mengetahui seorangpun dari kaum Muslimin telah mendapat ujian dari Allah karena kebenarannya, seperti saya. Demi Allah saya tidak pernah sengaja berdusta sejak saya berjanji yang demikian itu pada Rasulullah s.a.w. sampai hari ini, dan saya mengharapkan semoga Allah terus memelihara saya sampai akhir hayat saya. Maka turun ayat 117-119 surat At-Taubah yang artinya :
Sungguh Allah telah memberi tobat kepada Nabi dan sahabat-sahabat Muhajirin, Anshor yang telah mengikutinya dalam sa’at kesukaran, setelah hampir tersesat hari sebagian dari mereka, kemudian Allah memberi tobat kepada mereka, sesungguhnya Allah sangat belas-kasih terhadap mereka. (At-Taubah 117)
Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan tobat mereka, hingga apabila telah terasa sempit terhadap mereka bumi yang luas ini, dan sempit pula rasa hati mereka, dan merasa bahwa tiada pelindung bagi mereka dari hukum Allah, kecuali kembali kepada rahmat Allah. Kemudian Allah memberi tobat kepada mereka supaya mereka bertobat, sungguh Allah penerima tobat dan pengasih. (At Taubah 118)
Hai sekalian orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan jadilah bersama orang-orang yang benar-benar. (At-Taubah 119)
Berkata Ka’ab: Demi Allah, belum pernah saya merasakan ni’mat Allah bagi saya yang lebih besar, selain dari hidayat masuk Islam, yang lebih besar dari kebenaran saya terhadap Rasulullah s.a.w. hingga saya tidak berdusta, maka binasa sebagaimana firman Allah dalam surat At-Taubah ayat 95-96.
Mereka (orang-orang munafiq) akan bersumpah kepadamu dengan membawa nama Allah, apabila kamu telah kembali, supaya kamu mengabaikan mereka (tidak menuntut mereka). Maka abaikanlah mereka, sebenarnya mereka itu adalah kotoran (najis) yang keji, dan tempat mereka dalam neraka jahanam, sebagai pembalasan perbuatan mereka. (At-Taubah 95).
Mereka bersumpah supaya kau ridlo’ pada mereka, maka jika kau ridlo’ pada mereka, maka sungguh Allah tidak ridlo’ pada kaum yang fasiq. (At-Taubah 96).
Ka’ab berkata : Kalimat Khullifu, bukan berarti tertinggal dari perang, tetapi berarti kami bertiga telah ditangguhkan tobat kami dari orang-orang yang telah diterima oleh Rasulullah s.a.w. karena mereka telah bersumpah, maka Rasulullah menerima lahir mereka dan memintakan ampun kepada Allah, adapun tentang bathin mereka diserahkan kepada Allah. Adapun so’al kami bertiga maka dinantikan sampai mendapat putusan langsung dari Allah.
Dalam riwayat lain: Bahwa Nabi s.a.w. keluar dalam perang Tabuk itu pada hari Kamis dan biasanya Rasulullah suka keluar pada hari Kamis. Juga biasanya Rasulullah jika datang dari bepergian masuk kota Madinah siang hari, kemudian pergi ke masjid untuk melakukan sholat 2 roka’at lalu duduk menyambut kedatangan orang-orang.
------------------
Tarjamah RIADHUS SHALIHIN I, Salim Bahreisy, Penerbit PT Alma’arif Bandung, Cetakan keempat 1978, halaman 30-45.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar