Pandangan kita beralih kepada kondisi wanita di Arab sebelum Islam dan bagaimana keberadaan mereka pada zaman itu? Bagaimana pula status mereka di dalam masyarakat menurut mereka?
Sungguh, kondisi wanita pada bangsa Arab sebelum Islam berada dalam puncak kehinaan sehingga sampai pada keterbelakangan, kemunduran, kelemahan dan kehinaan yang sudah tidak layak lagi disandang oleh makhluk yang bernama manusia. Mereka tidak memiliki hak sekalipun untuk mengungkapkan pikirannya dalam seluruh permasalahan hidupnya. Mereka tidak berhak mendapatkan warisan, karena adat yang berlaku adalah, tidak mendapatkan warisan kecuali yang memanggul pedang dan menjaga negara. Mereka juga tidak ada hak mengajukan usul tentang calon suaminya, karena urusan tersebut dipegang mutlak oleh walinya. Hingga seorang anak berhak melarang janda dari ayahnya untuk menikah. Sehingga sang ibu harus memberikan kepadanya apa yang telah diambil dari suaminya yang telah meninggal. Hal ini jika si anak laki-laki tidak mengatakan, ”Aku mewarisi ibu (istri ayahku) sebagaimana mewarisi harta ayahku.” Karena dia memiliki hak untuk mengawini ibunya tanpa mahar atau mengawinkan ibunya dengan orang lain dengan syarat orang tersebut menyerahkan maharnya kepadanya (bukan kepada ibunya).
Dari Ibnu Abbas berkata : ”Orang Arab dahulu apabila ada seseorang yang bapaknya mati ataupun pamannya maka dia lebih berhak terhadap istri ayahnya, jika dia mau bisa menahannya atau mengurungnya sehingga dia dapat menebus maharnya atau dia mati sehingga si anak akan pergi dengan membawa hartanya.” (Jami’ul Bayan fii Tafsiiril Qur’an IV / 304 oleh Ath-Thabari)
Di Arab dahulu tidak mengenal batas untuk menikah, tidak ada hitungan pula istilah cerai dilontarkan. Ada empat macam perkawinan pada zaman mereka, sebagaimana yang disebutkan dalam Shahih Al-Bukhari dan yang lain bahwa Ummul mukminin ‘Aisyah berkata :
”Sesungguhnya nikah pada zaman jahiliyah ada empat macam. Pertama sebagaimana nikahnya orang-orang sekarang, yakni seorang laki-laki melamar anak orang lain kemudian memberikan mahar dan menikahinya. Kedua, seseorang mengatakan kepada istrinya setelah suci dan haidh, “Datanglah kepada fulan (biasanya seorang bangsawan) dan mintalah untuk digauli.” Kemudian suaminya menjauhinya (tidak menggaulinya) sehingga jelas apakah istrinya itu telah hamil dan laki-laki lain tadi, apabila telah jelas tandanya bahwa istri sudah hamil, barulah suami menggaulinya jika ingin. Tujuan dari perbuatan ini semata-mata karena ingin mendapatkan anak yang berketurunan bangsawan. Nikah yang semacam ini disebut “nikah istibdha”. Yang ketiga, sekelompok laki-laki yang berjumlah kurang dari sepuluh orang, seluruhnya menggauli seorang wanita yang sama. Kemudian tatkala dia hamil dan melahirkan dan berlalu beberapa malam setelah melahirkan, maka wanita itu memanggil para laki-laki tersebut dan mereka tidak kuasa menolaknya. Sehingga apabila mereka telah berkumpul di depan wanita tersebut, wanita itu berkata: ‘Kalian telah mengetahui apa yang kalian perbuat terhadapku dan kini aku telah melahirkan, ini adalah anakmu Wahai fulan ....” dia sebut seseorang yang dia sukai di antara laki-laki tersebut, kemudian dia serahkan anak itu kepada laki-laki yang dia tunjuk. Keempat, Sekelompok laki-laki menggauli satu wanita yang tidak menolak siapapun yang menggauli dirinya. Mereka adalah pelacur yang mana mereka memasang pada pintu mereka sebuah tanda sebagai tanda pengenal bagi siapa yang ingin menggaulinya. Manakala dia hamil dan kemudian melahirkan, maka dipanggillah mereka yang telah menggaulinya seluruhnya, kemudian anak tersebut diserahkan kepada orang yang dia anggap paling mirip dengannya sedangkan dia tidak kuasa menolak."
Cukuplah riwayat ini menunjukkan tentang rusaknya pandangan manusia dari nafsu kebinatangannya, dan tidak butuh penjelasan tentang hal itu. Karena cukuplah sebagai gambaran, seorang laki-laki yang menyerahkan istrinya kepada orang lain agar turnbuh darinya anak yang memiliki bibit unggul ini sebagaimana seseorang yang menyerahkan hewan betinanya agar dikumpuli pejantan yang unggul sehingga rnendapatkan bibit unggul.
Dan cukuplah pula sebagai gambaran, sekelompok laki-laki yang kurang dan sepuluh menggauli seorang wanita, mereka berkumpul untuk menggaulinya, kemudian wanita itu memilih salah searang di antara mereka untuk menyerahkan anak itu kepadanya.
Dahulu para laki-laki Arab di masa jahiliyah merasa kecewa dan sempit dadanya apabila dikabarkan bahwa istrinya melahirkan anak wanita. Mereka sangat marah dan kecewa seakan-akan ditimpa suatu musibah. Al-Qur’anul Karim telah mengisahkan tentang adat jahiliyah yang ada pada mereka sebagaimana firman-Nya
“Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereku tetapkan itu.” (An-Nahl : 58-59).
Di antara adat istiadat jahiliyah arab yang paling buruk adalah mengubur anak perempuan hidup-hidup, maka hal ini dapat dikatakan sebagai bukti yang menunjukkan tentang puncak kekerasan, kekejaman dan sadisnya mereka sebagaimana yang difirmankan Allah di dalam Al-Quranul Karim
”Apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apakah dia dibunuh?” (At-Takwir : 8-9).
Bermacam-macam penyebab yang mendorong kabilah-kabilah Arab tega mengubur anak-anak perempuan mereka. Ada yang mengubur anak perempuannya karena untuk menjaga kehormatan dan takut mendapat aib karena mereka adalah ahli tempur dan perang yang menyerahkan anak-anak perempuan untuk menebus tawanan, maka anak-anak perempuan mereka berada di tangan musuh, inilah puncak kehinaan dan aib. Bani Tamim dan Bani Kindah adalah kabilah yang paling dikenal dalam hal banyaknya mengubur, anak-anak perempuan.
Telah disebutkan dalam beberapa riwayat bahwa kabilah pertama di Arab yang mengubur anak perempuan adalah kabilah Rabi’ah. Suatu ketika sekelompok kaum di Arab cemburu terhadap kabilah Ribi’ah dan mereka menawan seorang gadis anak raja mereka. Maka mereka meminta agar gadis tersebut dikembalikan. Setelah diadakan perjanjian agar sang gadis sendiri yang memilih apakah kembali kepada kaumnya ataukah ikut bersama yang menawannya, ternyata gadis tersebut memilih bersama orang yang menawannya daripada bersama ayahnya. Maka hal itu menjadikan murka sang raja dan akhirnya dia membuat peraturan agar kaumnya mengubur anak-anak perempuan mereka. Merekapun mengerjakannya karena gengsi dan takut terulang kejadian tersebut. Adapula yang mengubur anak perempuannya karena tempat yang tandus, kurangnya pendapatan dan kebutuhan yang banyak. Maka untuk mencegah kemiskinan mereka mengubur anak-anak perempuan mereka. Inilah yang difirmankan Allah :
”Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan. Kami akan memberi rizki kepadamu dan kepada mereka." (Al-An’am : 151).
Dan firman Allah Ta’ala :
“Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rezeki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar.” (Al-Isra’ : 31).
Di antara kabilah-kabilah itu ada yang mengubur anak-anak perempuan karena gengsi dan takut mendapat aib, bahkan ada pula yang hanya karena ada suatu penyakit pada seorang gadis seperti sakit gigi atau lumpuh, atau penyakit lain. Dan terkadang penguburan tersebut mereka kerjakan dengan berat, kesedihan hati dan meneteskan air mata.
Tiada henti-hentinya kezhaliman yang mengundang bencana, undang-undang yang diberlakukan dan diterapkan bagi wanita yang tidak berdosa karena mereka lemah dan busuknya adat kaumnya hingga Islam datang mengharamkannya dan merombaknya.
Akhirnya kita mengetahui dari uraian singkat ini tentang kondisi wanita pada abad yang lampau ditinjau dari segi banyaknya kesewenang-wenangan, pelecehan dan penghinaan yang ada di seluruh negara. Adapun bagi orang-orang Arab di masa jahiliyah wanita adalah barang perniagaan, dagangan yang murah dan diperjualbelikan sedangkan mereka tidak memiliki hak untuk menghindar dan kehidupan yang penuh kehinaan ini.
Dan sekarang kita akan berpindah kepada cahaya Islam dan kita akan melihat betapa para wanita merasakan nikmat hidup di bawah naungannya dengan derajat yang tinggi dalam masalah penjagaan dan perlindungan. Yang mana Islam telah memberikan hak-hak manusiawinya secara sempurna dan hak-hak pemilikannya secara sempurna, menjaga mereka dan pelecehan syahwat dan fitnah seksual dan nafsu hewani. Islam menjadikan mereka termasuk salah satu unsur untuk membangun masyarakat, menjaganya dan menyelamatkannya. Di samping itu mereka memiliki pengaruh yang besar untuk membina kaum laki-laki menjadi ”rahib di malam hari ..singa di siang hari”.
-----------
NISAA' HAULAR RASUL, Mahmud Mahdi Al Istanbuli dan Musthafa Abu An Nashr Asy Syalabi (Para Penulis), MENGENAL SHAHABIAH NABI S.A.W. (Edisi Indonesia), Abu Umar Abdullah Asy Syarif (Penterjemah), At-Tibyan Solo, halaman 26-31
Sungguh, kondisi wanita pada bangsa Arab sebelum Islam berada dalam puncak kehinaan sehingga sampai pada keterbelakangan, kemunduran, kelemahan dan kehinaan yang sudah tidak layak lagi disandang oleh makhluk yang bernama manusia. Mereka tidak memiliki hak sekalipun untuk mengungkapkan pikirannya dalam seluruh permasalahan hidupnya. Mereka tidak berhak mendapatkan warisan, karena adat yang berlaku adalah, tidak mendapatkan warisan kecuali yang memanggul pedang dan menjaga negara. Mereka juga tidak ada hak mengajukan usul tentang calon suaminya, karena urusan tersebut dipegang mutlak oleh walinya. Hingga seorang anak berhak melarang janda dari ayahnya untuk menikah. Sehingga sang ibu harus memberikan kepadanya apa yang telah diambil dari suaminya yang telah meninggal. Hal ini jika si anak laki-laki tidak mengatakan, ”Aku mewarisi ibu (istri ayahku) sebagaimana mewarisi harta ayahku.” Karena dia memiliki hak untuk mengawini ibunya tanpa mahar atau mengawinkan ibunya dengan orang lain dengan syarat orang tersebut menyerahkan maharnya kepadanya (bukan kepada ibunya).
Dari Ibnu Abbas berkata : ”Orang Arab dahulu apabila ada seseorang yang bapaknya mati ataupun pamannya maka dia lebih berhak terhadap istri ayahnya, jika dia mau bisa menahannya atau mengurungnya sehingga dia dapat menebus maharnya atau dia mati sehingga si anak akan pergi dengan membawa hartanya.” (Jami’ul Bayan fii Tafsiiril Qur’an IV / 304 oleh Ath-Thabari)
Di Arab dahulu tidak mengenal batas untuk menikah, tidak ada hitungan pula istilah cerai dilontarkan. Ada empat macam perkawinan pada zaman mereka, sebagaimana yang disebutkan dalam Shahih Al-Bukhari dan yang lain bahwa Ummul mukminin ‘Aisyah berkata :
”Sesungguhnya nikah pada zaman jahiliyah ada empat macam. Pertama sebagaimana nikahnya orang-orang sekarang, yakni seorang laki-laki melamar anak orang lain kemudian memberikan mahar dan menikahinya. Kedua, seseorang mengatakan kepada istrinya setelah suci dan haidh, “Datanglah kepada fulan (biasanya seorang bangsawan) dan mintalah untuk digauli.” Kemudian suaminya menjauhinya (tidak menggaulinya) sehingga jelas apakah istrinya itu telah hamil dan laki-laki lain tadi, apabila telah jelas tandanya bahwa istri sudah hamil, barulah suami menggaulinya jika ingin. Tujuan dari perbuatan ini semata-mata karena ingin mendapatkan anak yang berketurunan bangsawan. Nikah yang semacam ini disebut “nikah istibdha”. Yang ketiga, sekelompok laki-laki yang berjumlah kurang dari sepuluh orang, seluruhnya menggauli seorang wanita yang sama. Kemudian tatkala dia hamil dan melahirkan dan berlalu beberapa malam setelah melahirkan, maka wanita itu memanggil para laki-laki tersebut dan mereka tidak kuasa menolaknya. Sehingga apabila mereka telah berkumpul di depan wanita tersebut, wanita itu berkata: ‘Kalian telah mengetahui apa yang kalian perbuat terhadapku dan kini aku telah melahirkan, ini adalah anakmu Wahai fulan ....” dia sebut seseorang yang dia sukai di antara laki-laki tersebut, kemudian dia serahkan anak itu kepada laki-laki yang dia tunjuk. Keempat, Sekelompok laki-laki menggauli satu wanita yang tidak menolak siapapun yang menggauli dirinya. Mereka adalah pelacur yang mana mereka memasang pada pintu mereka sebuah tanda sebagai tanda pengenal bagi siapa yang ingin menggaulinya. Manakala dia hamil dan kemudian melahirkan, maka dipanggillah mereka yang telah menggaulinya seluruhnya, kemudian anak tersebut diserahkan kepada orang yang dia anggap paling mirip dengannya sedangkan dia tidak kuasa menolak."
Cukuplah riwayat ini menunjukkan tentang rusaknya pandangan manusia dari nafsu kebinatangannya, dan tidak butuh penjelasan tentang hal itu. Karena cukuplah sebagai gambaran, seorang laki-laki yang menyerahkan istrinya kepada orang lain agar turnbuh darinya anak yang memiliki bibit unggul ini sebagaimana seseorang yang menyerahkan hewan betinanya agar dikumpuli pejantan yang unggul sehingga rnendapatkan bibit unggul.
Dan cukuplah pula sebagai gambaran, sekelompok laki-laki yang kurang dan sepuluh menggauli seorang wanita, mereka berkumpul untuk menggaulinya, kemudian wanita itu memilih salah searang di antara mereka untuk menyerahkan anak itu kepadanya.
Dahulu para laki-laki Arab di masa jahiliyah merasa kecewa dan sempit dadanya apabila dikabarkan bahwa istrinya melahirkan anak wanita. Mereka sangat marah dan kecewa seakan-akan ditimpa suatu musibah. Al-Qur’anul Karim telah mengisahkan tentang adat jahiliyah yang ada pada mereka sebagaimana firman-Nya
“Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereku tetapkan itu.” (An-Nahl : 58-59).
Di antara adat istiadat jahiliyah arab yang paling buruk adalah mengubur anak perempuan hidup-hidup, maka hal ini dapat dikatakan sebagai bukti yang menunjukkan tentang puncak kekerasan, kekejaman dan sadisnya mereka sebagaimana yang difirmankan Allah di dalam Al-Quranul Karim
”Apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apakah dia dibunuh?” (At-Takwir : 8-9).
Bermacam-macam penyebab yang mendorong kabilah-kabilah Arab tega mengubur anak-anak perempuan mereka. Ada yang mengubur anak perempuannya karena untuk menjaga kehormatan dan takut mendapat aib karena mereka adalah ahli tempur dan perang yang menyerahkan anak-anak perempuan untuk menebus tawanan, maka anak-anak perempuan mereka berada di tangan musuh, inilah puncak kehinaan dan aib. Bani Tamim dan Bani Kindah adalah kabilah yang paling dikenal dalam hal banyaknya mengubur, anak-anak perempuan.
Telah disebutkan dalam beberapa riwayat bahwa kabilah pertama di Arab yang mengubur anak perempuan adalah kabilah Rabi’ah. Suatu ketika sekelompok kaum di Arab cemburu terhadap kabilah Ribi’ah dan mereka menawan seorang gadis anak raja mereka. Maka mereka meminta agar gadis tersebut dikembalikan. Setelah diadakan perjanjian agar sang gadis sendiri yang memilih apakah kembali kepada kaumnya ataukah ikut bersama yang menawannya, ternyata gadis tersebut memilih bersama orang yang menawannya daripada bersama ayahnya. Maka hal itu menjadikan murka sang raja dan akhirnya dia membuat peraturan agar kaumnya mengubur anak-anak perempuan mereka. Merekapun mengerjakannya karena gengsi dan takut terulang kejadian tersebut. Adapula yang mengubur anak perempuannya karena tempat yang tandus, kurangnya pendapatan dan kebutuhan yang banyak. Maka untuk mencegah kemiskinan mereka mengubur anak-anak perempuan mereka. Inilah yang difirmankan Allah :
”Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan. Kami akan memberi rizki kepadamu dan kepada mereka." (Al-An’am : 151).
Dan firman Allah Ta’ala :
“Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rezeki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar.” (Al-Isra’ : 31).
Di antara kabilah-kabilah itu ada yang mengubur anak-anak perempuan karena gengsi dan takut mendapat aib, bahkan ada pula yang hanya karena ada suatu penyakit pada seorang gadis seperti sakit gigi atau lumpuh, atau penyakit lain. Dan terkadang penguburan tersebut mereka kerjakan dengan berat, kesedihan hati dan meneteskan air mata.
Tiada henti-hentinya kezhaliman yang mengundang bencana, undang-undang yang diberlakukan dan diterapkan bagi wanita yang tidak berdosa karena mereka lemah dan busuknya adat kaumnya hingga Islam datang mengharamkannya dan merombaknya.
Akhirnya kita mengetahui dari uraian singkat ini tentang kondisi wanita pada abad yang lampau ditinjau dari segi banyaknya kesewenang-wenangan, pelecehan dan penghinaan yang ada di seluruh negara. Adapun bagi orang-orang Arab di masa jahiliyah wanita adalah barang perniagaan, dagangan yang murah dan diperjualbelikan sedangkan mereka tidak memiliki hak untuk menghindar dan kehidupan yang penuh kehinaan ini.
Dan sekarang kita akan berpindah kepada cahaya Islam dan kita akan melihat betapa para wanita merasakan nikmat hidup di bawah naungannya dengan derajat yang tinggi dalam masalah penjagaan dan perlindungan. Yang mana Islam telah memberikan hak-hak manusiawinya secara sempurna dan hak-hak pemilikannya secara sempurna, menjaga mereka dan pelecehan syahwat dan fitnah seksual dan nafsu hewani. Islam menjadikan mereka termasuk salah satu unsur untuk membangun masyarakat, menjaganya dan menyelamatkannya. Di samping itu mereka memiliki pengaruh yang besar untuk membina kaum laki-laki menjadi ”rahib di malam hari ..singa di siang hari”.
-----------
NISAA' HAULAR RASUL, Mahmud Mahdi Al Istanbuli dan Musthafa Abu An Nashr Asy Syalabi (Para Penulis), MENGENAL SHAHABIAH NABI S.A.W. (Edisi Indonesia), Abu Umar Abdullah Asy Syarif (Penterjemah), At-Tibyan Solo, halaman 26-31
Tidak ada komentar:
Posting Komentar