Beliau adalah sayyidah wanita sedunia pada zamannya. Putri dari Khuwailid bin Asad bin Abdul Uzza bin Qushai bin Kilab A1-Qursyiyah Al-Asadiyah. Dijuluki Ath-Thahirah yakni yang bersih atau suci. Sayyidah Quraisy dilahirkan di rumah yang mulia dan terhormat kira-kira 15 tahun sebelum tahun fiil (tahun gajah). Beliau tumbuh dalam lingkungan keluarga yang mulia dan pada gilirannya beliau menjadi seorang wanita yang cerdas dan agung. Beliau dikenal sebagai seorang yang teguh dan cerdik dan memiliki perangai yang luhur. Karena itulah banyak laki-laki dan kaumnya menaruh simpati kepadanya.
Pada mulanya beliau dinikahi oleh Abi Halah bin Zurarah AtTamimi yang membuahkan dua anak yang bernama Halah dan Hindun. Tatkala Abu Halah wafat, beliau dinikahi oleh Atiq bin ‘A’id bin Abduliah A1-Mahzumi hingga beberapa waktu lamanya namun akhirnya mereka cerai.
Setelah itu banyak dari para pemuka-pemuka Quraisy yang menginginkan beliau akan tetapi beliau prioritaskan perhatiannya untuk mendidik putra-putrinya, juga sibuk mengurusi perniagaan yang mana beliau menjadi seorang wanita yang kaya raya. Suatu ketika beliau mencari orang yang dapat menjual dagangannya, maka tatkala beliau mendengar tentang Muhammad sebelum bi’tsah (diangkat menjadi Nabi), yang memiliki sifat jujur, amanah dan berakhlak mulia, maka beliau meminta kepada Muhammad untuk menjualkan dagangannya bersama seorang pembantunya yang bernama Maisarah, dan beliau memberikan barang dagangan kepada Muhammad s.a.w. melebihi dari apa yang dibawa oleh selainnya. Muhammad Al-Amin pun menyetujuinya dan berangkatlah beliau bersama Maisarah dan Allah menjadikan perdagangan tersebut menghasilkan laba yang banyak. Khadijah merasa gembira dengan hasil yang banyak tersebut karena usaha dari Muhammad, akan tetapi ketakjubannya terhadap kepribadian Muhammad s.a.w. lebih besar dan lebih mendalam daripada semua itu . Maka mulailah muncul perasaan-perasaan aneh yang berbaur dibenaknya, yang belum pernah beliau rasakan sebelumnya. Pemuda ini tidak sebagaimana kebanyakan laki-laki lain dan perasaan-perasaan yang lain.
Akan tetapi dia merasa pesimis mungkinkah pemuda tersebut mau menikahinya, mengingat umurnya sudah mencapai 40 tahun? Apa nanti kata orang karena ia telah menutup pintu bagi para pemuka Quraisy yang melamarnya?
Maka di saat dia bingung dan gelisah karena problem yang menggelayuti pikirannya, tiba-tiba muncullah seorang temannya yang bernama Nafisah binti Munabbih, selanjutnya dia ikut duduk dan berdialog hingga dengan kecerdikannya Nafisah mampu menyibak rahasia yang disembunyikan oleh Khadijah tentang problem yang dihadapi dalam kehidupannya. Nafisah membesarkan hati Khadijah dan menenangkan perasaannya dengan mengatakan bahwa Khadijah adalah seorang wanita yang memiliki martabat, keturunan orang terhormat, memiliki harta dan berparas cantik. Terbukti dengan banyaknya para pemuka Quraisy yang melamarnya.
Selanjutnya, tatkala Nafisah keluar dari rumah Khadijah, dia langsung menemui Muhammad Al-Amin hingga terjadilah dialog yang menunjukkan akan kelihaian dan kecerdikan dia :
Nafisah : Apakah yang menghalangimu untuk menikah wahai Muhammad ?
Muhammad : Aku tidak memiliki apa-apa untuk menikah.
Nafisah : (Dengan tersenyum berkata) Jika aku pilihkan untukmu seorang wanita yang kaya, cantik dan berkecukupan, maka apakah kamu mau menerimanya? Muhammad : Siapa dia?
Nafisah : (Dengan cepat dia menjawab) Dia adalah Khadijah binti Khuwailid.
Muhammad : Jika dia setuju maka akupun setuju.
Nafisah pergi menemui Khadijah untuk menyampaikan kabar gembira tersebut, sedangkan Muhammad Al-Amin memberitahukan kepada paman-paman beliau tentang keinginannya untuk menikahi Sayyidah Khadijah. Kemudian pergilah Abu Thalib, Hamzah dan yang lain menemui paman Khadijah yang bernama Amru bin Asad untuk melamar Khadijah bagi putra saudaranya, dan selanjutnya menyerahkan mahar.
Setelah usai akad nikah disembelihlah beberapa ekor hewan kemudian dibagikan kepada orang-orang fakir. Khadijah membuka pintu bagi keluarga dan handai taulan dan ternyata di antara mereka terdapat Halimah Sa’diyah yang datang untuk menyaksikan pernikahan anak yang pernah disusuinya. Setelah itu dia kembali ke kampungnya dengan membawa 40 ekor kambing sebagai hadiah perkawinan yang mulia dari Khadijah, karena dahulu dia telah menyusui Muhammad yang sekarang menjadi suami tercinta.
Maka jadilah Sayyidah Quraisy sebagai istri dari Muhammad Al-Amin dan jadilah dirinya sebagai contoh yang paling utama dan paling baik dalam hal mencintai suami dan mengutamakan kepentingan suami daripada kepentingannya sendiri. Manakala Muhammad s.a.w. mengharapkan Zaid bin Haritsah, maka dihadiahkanlah oleh Khadijah kepada Muhammad s.a.w. Demikian juga tatkala Muhammad s.a.w. ingin mengambil salah seorang dari putra pamannya Abu Thalib, maka Khadijah menyediakan suatu ruangan bagi Ali bin Abi Thalib, agar dia dapat mencontoh akhlak suaminya Muhammad s.a.w.
Allah memberikan karunia pada rumah tangga tersebut berupa kebahagiaan dan nikmat yang melimpah, dan mengkaruniakan kepada keduanya putra-putri yang bernama Al-Qasim, Abdulah, Zainab, Ruqayyah, Ummi Kuitsum dan Fathimah.
Kemudian Allah menjadikan Muhammad Al-Amin Ash-Shadiq menyukai khalwat (menyendiri), bahkan tiada suatu aktifitas yang lebih ia sukai daripada menyendiri. Beliau menggunakan waktunya untuk beribadah kepada Allah di gua Hira’ sebulan penuh pada setiap tahunnya. Beliau tinggal di dalamnya beberapa malam dengan bekal yang sedikit jauh dari perbuatan sia-sia yang dilakukan oleh orang-orang Makkah yakni menyembah berhala dan lain-lain.
Sayyidah Ath-Thahirah tidak merasa tertekan dengan tindakan Muhammad s.a.w. yang terkadang harus berpisah jauh darinya, tidak pula beliau mengusir kegalauannya dengan banyak pertanyaan maupun mengobrol yang tidak berguna, bahkan beliau mencurahkan segala kemampuannya untuk membantu suaminya dengan cara menjaga dan menyelesaikan tugas yang harus dia kerjakan di rumah. Apabila beliau pergi ke gua kedua mata beliau senantiasa mengikuti suaminya terkasih dari jauh. Bahkan beliau juga menyuruh orang-orang untuk menjaga beliau tanpa mengganggu suaminya yang sedang menyendiri.
Rasulullah tinggal di dalam gua tersebut hingga batas waktu yang Allah kehendaki, kemudian datanglah Jibril dengan membawa kemuliaan dari Allah sedangkan beliau di dalam gua Hira pada bulan Ramadhan. Jibril datang dengan membawa wahyu. Selanjutnya beliau keluar dari gua menuju rumah beliau dalam kegelapan fajar dalam keadaan takut, khawatir dan menggigil seraya berkata:
“Selimutilah aku ... selimutilah aku ...”
Setelah Khadijah meminta keterangan perihal peristiwa yang menimpa Rasulullah s.a.w., beliau menjawab:
”Wahai Khadijah sesungguhnya aku khawatir terhadap diriku.”
Maka Istri yang dicintainya dan yang cerdas itu menghiburnya dengan percaya diri dan penuh keyakinan berkata: ”Allah akan menjaga kita wahai Abu Qasim, bergembiralah wahai putra pamanku dan teguhkanlah hatimu. Demi yang jiwaku ada di tangan-Nya, sungguh aku berharap agar anda menjadi Nabi bagi umat ini.
Demi Allah, Dia tidak akan menghinakanmu selamanya, sesungguhnya anda telah menyambung silaturahmi, jujur dalam berkata, menyantuni anak yatim, memuliakan tamu dan menolong para pelaku kebenaran.”
Maka menjadi tentramlah hati Nabi berkat dukungan ini dan kembalilah ketenangan beliau karena pembenaran dari istrinya dan keimanannya terhadap apa yang beliau bawa.
Namun hal itu belum cukup bagi seorang istri yang cerdas dan bijaksana, bahkan beliau dengan segera pergi menemui putra pamannya yang bernama Waraqah bin Naufal, kemudian beliau ceritakan perihal yang terjadi pada Muhammad s.a.w. Maka tiada ucapan yang keluar dari mulutnya selain perkataan: “Qudus... Qudus... Demi yang jiwa Waraqah ada di tangan-Nya, jika apa yang engkau ceritakan kepadaku itu benar, maka sungguh telah datang kepadanya Numus Al-Kubra sebagaimana yang telah datang kepada Musa dan Isa, dan Nuh secara langsung.” Tatkala melihat kedatangan Nabi sekonyong-konyong Waraqah berkata: “Demi yang jiwaku ada di tangan-Nya, sesungguhnya engkau adalah Nabi bagi umat ini, pastilah mereka akan mendustakan dirimu, menyakiti dirimu, mengusir dirimu dan akan memerangi dirimu, seandainya aku masih menemui hari itu sungguh aku akan menolong dien Allah.” Kemudian ia mendekat kepada Nabi dan mencium ubun-ubunnya. Maka Nabi s.a.w. bersabda : “Apakah mereka akan mengusirku?” Waraqah menjawab, “Betul, tiada seorangpun yang membawa sebagaimana yang engkau bawa melainkan pasti ada yang menentangnya. Kalau saja aku masih mendapatkan masa itu... kalau saja aku masih hidup ...” Tidak beberapa lama kemudian Waraqah wafat.
Menjadi tenanglah jiwa Nabi s.a.w. tatkala mendengar penuturan Waraqah, dan beliau mengetahui bahwa akan ada kendala-kendala di saat permulaan berdakwah, banyak rintangan dan beban. Beliau juga menyadari bahwa itu adalah sunnatullah bagi para Nabi dan orang-orang yang mendakwahkan dien Allah. Maka beliau menapaki jalan dakwah dengan ikhlas semata-mata karena Allah Rabbul Alamin, dan beliau mendapatkan banyak gangguan dan intimidasi.
Adapun Khadijah adalah seorang yang pertama kali beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan yang pertama kali masuk Islam. Beliau adalah seorang istri yang mencintai suaminya dan juga beriman, berdiri mendampingi Nabi s.a.w. suami yang dicintainya untuk menolong, menguatkan dan membantunya, serta menolong beliau dalam menghadapi kerasnya gangguan dan ancaman, sehingga dengan hal itulah Allah meringankan beban Nabi-Nya. Tidaklah beliau mendapatkan sesuatu yang tidak disukai, baik penolakan maupun pendustaan yang menyedihkan beliau kecuali Allah melapang melalui istrinya bila beliau kembali ke rumahnya. Beliau meneguhkan pendiriannya, menghiburnya, membenarkan dan mengingatkan tidak berartinya celaan manusia pada beliau s.aw. Dan ayat-ayat Al-Qur’an juga mengikuti (meneguhkan Rasulullah) Firman-Nya:
“Hai orang-orang yang berkemul (berselimut), bangunlah, lalu berilah peringatan! Dan Rabb-mu agungkanlah, dan pakaianmu bersihkanlah, dari perbuatan dosa tinggalkanlah, dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak. Dan untuk (memenuhi perintah) Rabb-mu, bersabarlah!” (A1-Mudatsir: 1-7).
Sehingga sejak saat itu Rasulullah yang mulia memulai lembaran hidup baru yang penuh barakah dan bersusah payah. Beliau katakan kepada sang istri yang beriman bahwa masa untuk tidur dan bersenang-senang telah habis. Khadijah turut mendakwahkan Islam di samping suaminya -semoga shalawat dan salam terlimpahkan kepada beliau-. Di antara buah yang pertama adalah Islamnya Zaid bin Haritsah dan juga keempat putrinya semoga Allah meridhai mereka seluruhnya.
Mulailah ujian yang keras menimpa kaum muslimin dengan berbagai macam bentuknya, akan tetapi Khadijah berdiri kokoh bak sebuah gunung yang tegar kokoh dan kuat. Beliau wujudkan firman Allah Ta’ala :
”Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan : “Kami beriman “, sedangkan mereka tidak diuji lagi?” (Al-Ankabut : 1 - 2)
Allah memilih kedua putranya yang bernama Abdullah dan Al Qasim untuk menghadap Allah tatkala keduanya masih kanak-kanak, sedangkan Khadijah tetap bersabar. Beliau juga melihat dengan mata kepalanya bagaimana syahidah pertama dalam Islam bernama Sumayyah tatkala menghadapi sakaratul maut karena siksaan para thaghut hingga jiwanya menghadap sang Pencipta dengan penuh kemulyaan.
Beliau juga harus berpisah dengan putri dan buah hatinya yang bernama Ruqayyah istri dari Utsman bin Affan r.a. karena putrinya hijrah ke negri Habsyah untuk menyelamatkan diennya dari gangguan orang-orang musyrik. Beliau saksikan dari waktu ke waktu yang penuh dengan kejadian besar dan permusuhan, akan tetapi tidak ada istilah putus asa bagi seorang mujahidah. Beliau laksanakan setiap saat apa yang difirmankan oleh Tabaraka wa Ta’ala :
“Kamu sungguh-sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu. Dan (juga) kamu sungguh-sungguh akan mendengar dari orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan dari orang-orang yang mempersekutukan Allah, gangguan yang banyak yang menyakitkan hati. Jika kamu bersabar dan bertakwa, maka sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang patut diutamakan.” (Ali Imran : 186).
Sebelumnya, beliau juga telah menyaksikan seluruh kejadian yang menimpa suaminya Al-Amin Ash-Shadiq yang mana beliau berdakwah di jalan Allah, namun beliau menghadapi segala musibah dengan kesabaran. Semakin bertambah berat ujian semakin bertambahlah kesabaran dan kekuatannya. Beliau campakkan seluruh bujukan kesenangan dunia yang menipu yang hendak ditawarkan dengan aqidahnya. Dan pada saat-saat itu beliau bersumpah dengan sumpah yang menunjukkan keteguhan dalam menetapi kebenaran yang belum pernah di kenal orang sebelumnya dan tidak bergeming dari prinsipnya walau selangkah semut. Beliau bersabda:
“Demi Allah wahai paman, seandainya mereka mampu meletakkan matahari di tangan kanan saya dan bulan di tangan kiri saya agar aku meninggalkan urusan dakwah ini, maka sekali-kali aku tidak akan meninggalkannya hingga Allah memenangkannya atau aku yang binasa karenanya.“Begitulah sayyidah mujahidah tersebut telah mengambil suaminya Rasulullah s.a.w. sebagai contoh yang paling agung dan tanda yang paling nyata tentang keteguhannya di atas iman. Oleh karena itu kita mendapatkan tatkala orang-orang Quraisy mengumumkan pemboikotan mereka kepada kaum muslimin untuk menekan dalam bidang politik, ekonomi, dan kemasyarakatan dan mereka tulis naskah pemboikotan tersebut kemudian mereka tempel pada dinding ka’bah, Khadijah tidak ragu untuk bergabung dengan kaum muslimin bersama dengan kaumnya Abu Thalib dan beliau tinggalkan kampung halaman tercinta untuk menempa kesabaran selama tiga tahun bersama Rasul dan orang-orang yang menyertai beliau menghadapi beratnya pemboikotan yang penuh dengan kesusahan, dan menghadapi kesewenang-wenangan para penyembah berhala. Hingga berakhirlah pemboikotan yang telah beliau hadapi dengan iman, tulus dan tekad baja tak kenal lelah. Sungguh Sayyidah Khadijah telah mencurahkan segala kemampuannya untuk menghadapi ujian tersebut di saat berumur 65 tahun. Selang enam bulan setelah berakhirnya pemboikotan itu wafatlah Abu Thalib, kemudian menyusul pula seorang mujahidah yang sabar semoga Allah meridhai beliau, yakni tiga tahun sebelum hijrah.
Dengan wafatnya Khadijah maka meningkatlah musibah yang Rasul hadapi. Karena bagi Rasulullah s.a.w., Khadijah adalah teman yang tulus dalam memperjuangkan Islam.
Begitulah nafsul muthmainnah telah pergi menghadap Rabb-nya setelah sampai pada waktu yang telah ditetapkan, setelah beliau berhasil menjadi teladan terbaik dan paling tulus dalam berdakwah di jalan Allah dan berjihad di jalan-Nya. Dalam hubungannya beliau menjadi seorang istri yang bijaksana, maka beliau mampu meletakkan urusan sesuai dengan tempatnya, dan mencurahkan segala kemampuannya untuk mendatangkan keridhaan Allah dan Rasul-Nya. Karena itulah beliau berhak mendapatkan salam dari Rabb-nya, dan mendapat kabar gembira dengan rumah di jannah yang terbuat dari emas, tidak ada kesusahan di dalamnya dan tidak ada pula keributan di dalamnya.” Karena itu pula Rasulullah bersabda :
“Sebaik-baik wanita adalah Maryam binti Imran, sebaik-baik wanita adalah Khadijah binti Khuwailid.”
Ya Allah ridhailah Khadijah binti Khuwailid, As-Sayyidah AthThahirah. Seorang istri yang setia dan tulus, mukminah mujahidah di jalan diennya dengan seluruh apa yang dimilikinya dari perbendaharaan dunia. Semoga Allah memberikan balasan yang paling baik karena jasa-jasanya terhadap Islam dan kaum muslimin.
-----------
NISAA' HAULAR RASUL, Mahmud Mahdi Al Istanbuli dan Musthafa Abu An Nashr Asy Syalabi (Para Penulis), MENGENAL SHAHABIAH NABI S.A.W. (Edisi Indonesia), Abu Umar Abdullah Asy Syarif (Penterjemah), At-Tibyan Solo, halaman 35-43
Pada mulanya beliau dinikahi oleh Abi Halah bin Zurarah AtTamimi yang membuahkan dua anak yang bernama Halah dan Hindun. Tatkala Abu Halah wafat, beliau dinikahi oleh Atiq bin ‘A’id bin Abduliah A1-Mahzumi hingga beberapa waktu lamanya namun akhirnya mereka cerai.
Setelah itu banyak dari para pemuka-pemuka Quraisy yang menginginkan beliau akan tetapi beliau prioritaskan perhatiannya untuk mendidik putra-putrinya, juga sibuk mengurusi perniagaan yang mana beliau menjadi seorang wanita yang kaya raya. Suatu ketika beliau mencari orang yang dapat menjual dagangannya, maka tatkala beliau mendengar tentang Muhammad sebelum bi’tsah (diangkat menjadi Nabi), yang memiliki sifat jujur, amanah dan berakhlak mulia, maka beliau meminta kepada Muhammad untuk menjualkan dagangannya bersama seorang pembantunya yang bernama Maisarah, dan beliau memberikan barang dagangan kepada Muhammad s.a.w. melebihi dari apa yang dibawa oleh selainnya. Muhammad Al-Amin pun menyetujuinya dan berangkatlah beliau bersama Maisarah dan Allah menjadikan perdagangan tersebut menghasilkan laba yang banyak. Khadijah merasa gembira dengan hasil yang banyak tersebut karena usaha dari Muhammad, akan tetapi ketakjubannya terhadap kepribadian Muhammad s.a.w. lebih besar dan lebih mendalam daripada semua itu . Maka mulailah muncul perasaan-perasaan aneh yang berbaur dibenaknya, yang belum pernah beliau rasakan sebelumnya. Pemuda ini tidak sebagaimana kebanyakan laki-laki lain dan perasaan-perasaan yang lain.
Akan tetapi dia merasa pesimis mungkinkah pemuda tersebut mau menikahinya, mengingat umurnya sudah mencapai 40 tahun? Apa nanti kata orang karena ia telah menutup pintu bagi para pemuka Quraisy yang melamarnya?
Maka di saat dia bingung dan gelisah karena problem yang menggelayuti pikirannya, tiba-tiba muncullah seorang temannya yang bernama Nafisah binti Munabbih, selanjutnya dia ikut duduk dan berdialog hingga dengan kecerdikannya Nafisah mampu menyibak rahasia yang disembunyikan oleh Khadijah tentang problem yang dihadapi dalam kehidupannya. Nafisah membesarkan hati Khadijah dan menenangkan perasaannya dengan mengatakan bahwa Khadijah adalah seorang wanita yang memiliki martabat, keturunan orang terhormat, memiliki harta dan berparas cantik. Terbukti dengan banyaknya para pemuka Quraisy yang melamarnya.
Selanjutnya, tatkala Nafisah keluar dari rumah Khadijah, dia langsung menemui Muhammad Al-Amin hingga terjadilah dialog yang menunjukkan akan kelihaian dan kecerdikan dia :
Nafisah : Apakah yang menghalangimu untuk menikah wahai Muhammad ?
Muhammad : Aku tidak memiliki apa-apa untuk menikah.
Nafisah : (Dengan tersenyum berkata) Jika aku pilihkan untukmu seorang wanita yang kaya, cantik dan berkecukupan, maka apakah kamu mau menerimanya? Muhammad : Siapa dia?
Nafisah : (Dengan cepat dia menjawab) Dia adalah Khadijah binti Khuwailid.
Muhammad : Jika dia setuju maka akupun setuju.
Nafisah pergi menemui Khadijah untuk menyampaikan kabar gembira tersebut, sedangkan Muhammad Al-Amin memberitahukan kepada paman-paman beliau tentang keinginannya untuk menikahi Sayyidah Khadijah. Kemudian pergilah Abu Thalib, Hamzah dan yang lain menemui paman Khadijah yang bernama Amru bin Asad untuk melamar Khadijah bagi putra saudaranya, dan selanjutnya menyerahkan mahar.
Setelah usai akad nikah disembelihlah beberapa ekor hewan kemudian dibagikan kepada orang-orang fakir. Khadijah membuka pintu bagi keluarga dan handai taulan dan ternyata di antara mereka terdapat Halimah Sa’diyah yang datang untuk menyaksikan pernikahan anak yang pernah disusuinya. Setelah itu dia kembali ke kampungnya dengan membawa 40 ekor kambing sebagai hadiah perkawinan yang mulia dari Khadijah, karena dahulu dia telah menyusui Muhammad yang sekarang menjadi suami tercinta.
Maka jadilah Sayyidah Quraisy sebagai istri dari Muhammad Al-Amin dan jadilah dirinya sebagai contoh yang paling utama dan paling baik dalam hal mencintai suami dan mengutamakan kepentingan suami daripada kepentingannya sendiri. Manakala Muhammad s.a.w. mengharapkan Zaid bin Haritsah, maka dihadiahkanlah oleh Khadijah kepada Muhammad s.a.w. Demikian juga tatkala Muhammad s.a.w. ingin mengambil salah seorang dari putra pamannya Abu Thalib, maka Khadijah menyediakan suatu ruangan bagi Ali bin Abi Thalib, agar dia dapat mencontoh akhlak suaminya Muhammad s.a.w.
Allah memberikan karunia pada rumah tangga tersebut berupa kebahagiaan dan nikmat yang melimpah, dan mengkaruniakan kepada keduanya putra-putri yang bernama Al-Qasim, Abdulah, Zainab, Ruqayyah, Ummi Kuitsum dan Fathimah.
Kemudian Allah menjadikan Muhammad Al-Amin Ash-Shadiq menyukai khalwat (menyendiri), bahkan tiada suatu aktifitas yang lebih ia sukai daripada menyendiri. Beliau menggunakan waktunya untuk beribadah kepada Allah di gua Hira’ sebulan penuh pada setiap tahunnya. Beliau tinggal di dalamnya beberapa malam dengan bekal yang sedikit jauh dari perbuatan sia-sia yang dilakukan oleh orang-orang Makkah yakni menyembah berhala dan lain-lain.
Sayyidah Ath-Thahirah tidak merasa tertekan dengan tindakan Muhammad s.a.w. yang terkadang harus berpisah jauh darinya, tidak pula beliau mengusir kegalauannya dengan banyak pertanyaan maupun mengobrol yang tidak berguna, bahkan beliau mencurahkan segala kemampuannya untuk membantu suaminya dengan cara menjaga dan menyelesaikan tugas yang harus dia kerjakan di rumah. Apabila beliau pergi ke gua kedua mata beliau senantiasa mengikuti suaminya terkasih dari jauh. Bahkan beliau juga menyuruh orang-orang untuk menjaga beliau tanpa mengganggu suaminya yang sedang menyendiri.
Rasulullah tinggal di dalam gua tersebut hingga batas waktu yang Allah kehendaki, kemudian datanglah Jibril dengan membawa kemuliaan dari Allah sedangkan beliau di dalam gua Hira pada bulan Ramadhan. Jibril datang dengan membawa wahyu. Selanjutnya beliau keluar dari gua menuju rumah beliau dalam kegelapan fajar dalam keadaan takut, khawatir dan menggigil seraya berkata:
“Selimutilah aku ... selimutilah aku ...”
Setelah Khadijah meminta keterangan perihal peristiwa yang menimpa Rasulullah s.a.w., beliau menjawab:
”Wahai Khadijah sesungguhnya aku khawatir terhadap diriku.”
Maka Istri yang dicintainya dan yang cerdas itu menghiburnya dengan percaya diri dan penuh keyakinan berkata: ”Allah akan menjaga kita wahai Abu Qasim, bergembiralah wahai putra pamanku dan teguhkanlah hatimu. Demi yang jiwaku ada di tangan-Nya, sungguh aku berharap agar anda menjadi Nabi bagi umat ini.
Demi Allah, Dia tidak akan menghinakanmu selamanya, sesungguhnya anda telah menyambung silaturahmi, jujur dalam berkata, menyantuni anak yatim, memuliakan tamu dan menolong para pelaku kebenaran.”
Maka menjadi tentramlah hati Nabi berkat dukungan ini dan kembalilah ketenangan beliau karena pembenaran dari istrinya dan keimanannya terhadap apa yang beliau bawa.
Namun hal itu belum cukup bagi seorang istri yang cerdas dan bijaksana, bahkan beliau dengan segera pergi menemui putra pamannya yang bernama Waraqah bin Naufal, kemudian beliau ceritakan perihal yang terjadi pada Muhammad s.a.w. Maka tiada ucapan yang keluar dari mulutnya selain perkataan: “Qudus... Qudus... Demi yang jiwa Waraqah ada di tangan-Nya, jika apa yang engkau ceritakan kepadaku itu benar, maka sungguh telah datang kepadanya Numus Al-Kubra sebagaimana yang telah datang kepada Musa dan Isa, dan Nuh secara langsung.” Tatkala melihat kedatangan Nabi sekonyong-konyong Waraqah berkata: “Demi yang jiwaku ada di tangan-Nya, sesungguhnya engkau adalah Nabi bagi umat ini, pastilah mereka akan mendustakan dirimu, menyakiti dirimu, mengusir dirimu dan akan memerangi dirimu, seandainya aku masih menemui hari itu sungguh aku akan menolong dien Allah.” Kemudian ia mendekat kepada Nabi dan mencium ubun-ubunnya. Maka Nabi s.a.w. bersabda : “Apakah mereka akan mengusirku?” Waraqah menjawab, “Betul, tiada seorangpun yang membawa sebagaimana yang engkau bawa melainkan pasti ada yang menentangnya. Kalau saja aku masih mendapatkan masa itu... kalau saja aku masih hidup ...” Tidak beberapa lama kemudian Waraqah wafat.
Menjadi tenanglah jiwa Nabi s.a.w. tatkala mendengar penuturan Waraqah, dan beliau mengetahui bahwa akan ada kendala-kendala di saat permulaan berdakwah, banyak rintangan dan beban. Beliau juga menyadari bahwa itu adalah sunnatullah bagi para Nabi dan orang-orang yang mendakwahkan dien Allah. Maka beliau menapaki jalan dakwah dengan ikhlas semata-mata karena Allah Rabbul Alamin, dan beliau mendapatkan banyak gangguan dan intimidasi.
Adapun Khadijah adalah seorang yang pertama kali beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan yang pertama kali masuk Islam. Beliau adalah seorang istri yang mencintai suaminya dan juga beriman, berdiri mendampingi Nabi s.a.w. suami yang dicintainya untuk menolong, menguatkan dan membantunya, serta menolong beliau dalam menghadapi kerasnya gangguan dan ancaman, sehingga dengan hal itulah Allah meringankan beban Nabi-Nya. Tidaklah beliau mendapatkan sesuatu yang tidak disukai, baik penolakan maupun pendustaan yang menyedihkan beliau kecuali Allah melapang melalui istrinya bila beliau kembali ke rumahnya. Beliau meneguhkan pendiriannya, menghiburnya, membenarkan dan mengingatkan tidak berartinya celaan manusia pada beliau s.aw. Dan ayat-ayat Al-Qur’an juga mengikuti (meneguhkan Rasulullah) Firman-Nya:
“Hai orang-orang yang berkemul (berselimut), bangunlah, lalu berilah peringatan! Dan Rabb-mu agungkanlah, dan pakaianmu bersihkanlah, dari perbuatan dosa tinggalkanlah, dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak. Dan untuk (memenuhi perintah) Rabb-mu, bersabarlah!” (A1-Mudatsir: 1-7).
Sehingga sejak saat itu Rasulullah yang mulia memulai lembaran hidup baru yang penuh barakah dan bersusah payah. Beliau katakan kepada sang istri yang beriman bahwa masa untuk tidur dan bersenang-senang telah habis. Khadijah turut mendakwahkan Islam di samping suaminya -semoga shalawat dan salam terlimpahkan kepada beliau-. Di antara buah yang pertama adalah Islamnya Zaid bin Haritsah dan juga keempat putrinya semoga Allah meridhai mereka seluruhnya.
Mulailah ujian yang keras menimpa kaum muslimin dengan berbagai macam bentuknya, akan tetapi Khadijah berdiri kokoh bak sebuah gunung yang tegar kokoh dan kuat. Beliau wujudkan firman Allah Ta’ala :
”Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan : “Kami beriman “, sedangkan mereka tidak diuji lagi?” (Al-Ankabut : 1 - 2)
Allah memilih kedua putranya yang bernama Abdullah dan Al Qasim untuk menghadap Allah tatkala keduanya masih kanak-kanak, sedangkan Khadijah tetap bersabar. Beliau juga melihat dengan mata kepalanya bagaimana syahidah pertama dalam Islam bernama Sumayyah tatkala menghadapi sakaratul maut karena siksaan para thaghut hingga jiwanya menghadap sang Pencipta dengan penuh kemulyaan.
Beliau juga harus berpisah dengan putri dan buah hatinya yang bernama Ruqayyah istri dari Utsman bin Affan r.a. karena putrinya hijrah ke negri Habsyah untuk menyelamatkan diennya dari gangguan orang-orang musyrik. Beliau saksikan dari waktu ke waktu yang penuh dengan kejadian besar dan permusuhan, akan tetapi tidak ada istilah putus asa bagi seorang mujahidah. Beliau laksanakan setiap saat apa yang difirmankan oleh Tabaraka wa Ta’ala :
“Kamu sungguh-sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu. Dan (juga) kamu sungguh-sungguh akan mendengar dari orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan dari orang-orang yang mempersekutukan Allah, gangguan yang banyak yang menyakitkan hati. Jika kamu bersabar dan bertakwa, maka sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang patut diutamakan.” (Ali Imran : 186).
Sebelumnya, beliau juga telah menyaksikan seluruh kejadian yang menimpa suaminya Al-Amin Ash-Shadiq yang mana beliau berdakwah di jalan Allah, namun beliau menghadapi segala musibah dengan kesabaran. Semakin bertambah berat ujian semakin bertambahlah kesabaran dan kekuatannya. Beliau campakkan seluruh bujukan kesenangan dunia yang menipu yang hendak ditawarkan dengan aqidahnya. Dan pada saat-saat itu beliau bersumpah dengan sumpah yang menunjukkan keteguhan dalam menetapi kebenaran yang belum pernah di kenal orang sebelumnya dan tidak bergeming dari prinsipnya walau selangkah semut. Beliau bersabda:
“Demi Allah wahai paman, seandainya mereka mampu meletakkan matahari di tangan kanan saya dan bulan di tangan kiri saya agar aku meninggalkan urusan dakwah ini, maka sekali-kali aku tidak akan meninggalkannya hingga Allah memenangkannya atau aku yang binasa karenanya.“Begitulah sayyidah mujahidah tersebut telah mengambil suaminya Rasulullah s.a.w. sebagai contoh yang paling agung dan tanda yang paling nyata tentang keteguhannya di atas iman. Oleh karena itu kita mendapatkan tatkala orang-orang Quraisy mengumumkan pemboikotan mereka kepada kaum muslimin untuk menekan dalam bidang politik, ekonomi, dan kemasyarakatan dan mereka tulis naskah pemboikotan tersebut kemudian mereka tempel pada dinding ka’bah, Khadijah tidak ragu untuk bergabung dengan kaum muslimin bersama dengan kaumnya Abu Thalib dan beliau tinggalkan kampung halaman tercinta untuk menempa kesabaran selama tiga tahun bersama Rasul dan orang-orang yang menyertai beliau menghadapi beratnya pemboikotan yang penuh dengan kesusahan, dan menghadapi kesewenang-wenangan para penyembah berhala. Hingga berakhirlah pemboikotan yang telah beliau hadapi dengan iman, tulus dan tekad baja tak kenal lelah. Sungguh Sayyidah Khadijah telah mencurahkan segala kemampuannya untuk menghadapi ujian tersebut di saat berumur 65 tahun. Selang enam bulan setelah berakhirnya pemboikotan itu wafatlah Abu Thalib, kemudian menyusul pula seorang mujahidah yang sabar semoga Allah meridhai beliau, yakni tiga tahun sebelum hijrah.
Dengan wafatnya Khadijah maka meningkatlah musibah yang Rasul hadapi. Karena bagi Rasulullah s.a.w., Khadijah adalah teman yang tulus dalam memperjuangkan Islam.
Begitulah nafsul muthmainnah telah pergi menghadap Rabb-nya setelah sampai pada waktu yang telah ditetapkan, setelah beliau berhasil menjadi teladan terbaik dan paling tulus dalam berdakwah di jalan Allah dan berjihad di jalan-Nya. Dalam hubungannya beliau menjadi seorang istri yang bijaksana, maka beliau mampu meletakkan urusan sesuai dengan tempatnya, dan mencurahkan segala kemampuannya untuk mendatangkan keridhaan Allah dan Rasul-Nya. Karena itulah beliau berhak mendapatkan salam dari Rabb-nya, dan mendapat kabar gembira dengan rumah di jannah yang terbuat dari emas, tidak ada kesusahan di dalamnya dan tidak ada pula keributan di dalamnya.” Karena itu pula Rasulullah bersabda :
“Sebaik-baik wanita adalah Maryam binti Imran, sebaik-baik wanita adalah Khadijah binti Khuwailid.”
Ya Allah ridhailah Khadijah binti Khuwailid, As-Sayyidah AthThahirah. Seorang istri yang setia dan tulus, mukminah mujahidah di jalan diennya dengan seluruh apa yang dimilikinya dari perbendaharaan dunia. Semoga Allah memberikan balasan yang paling baik karena jasa-jasanya terhadap Islam dan kaum muslimin.
-----------
NISAA' HAULAR RASUL, Mahmud Mahdi Al Istanbuli dan Musthafa Abu An Nashr Asy Syalabi (Para Penulis), MENGENAL SHAHABIAH NABI S.A.W. (Edisi Indonesia), Abu Umar Abdullah Asy Syarif (Penterjemah), At-Tibyan Solo, halaman 35-43
Tidak ada komentar:
Posting Komentar