Dulu
walisongo, para kyai, asatidz, meng-Islamkan nusantara, keren. Sekarang kita malah sibuk me-nusantarakan Islam, hadeh..
Islam jelas panduannya, Al-Qur'an dan As-Sunnah, Allah dan Rasulullah. Tradisi, kebiasaan, adat, budaya, itu nggak ada patokannya, abstrak. Karena satu standar, hukum syariat, maka Khilafah pernah memimpin 1/3 dunia, menyatukan manusia dengan Islam, asasnya Al-Qur'an As-Sunnah.
Ber-Islam bukan berarti kita hilang identitas, boleh saja. Dalam batasan yang sudah diperbolehkan syariat. Kaum Anshar Madinah tak kehilangan ciri khasnya tatkala menerima Islam, begitu juga kaum Turk, Persia, Nusantara, dalam batas-batas Islam.
Saya Muslim, tetap berbatik ria, berbahasa Indonesia, sah saja. Karena ini masih dalam batasan yang dibolehkan oleh syariat.
Inti pemikirannya sederhana, kita yang diatur Islam, diarahkan Islam, bukan kita yang mengatur Islam, atau malah membuat Islam versi kita. Maka aneh dengan dalih "kita bukan Islam Arab" lalu membuat "Islam Nusantara". Padahal Islam ya Islam, satu saja yang Allah ta'ala turunkan. Al-Qur'an bahasa Arab, Nabi Muhammad kaum Arab, sahabat juga. Maka wajar penyebaran Islam juga berawal dari Arab, NOTHING WRONG.
NU diawali Kyai Hasyim Asy'ari, Muhammadiyyah oleh Kyai Achmad Dachlan. Keduanya nama Arab, sumber ilmunya juga, ada yang salah? tidak. Justru yang ada, keduanya mencontohkan wawasan Islam yang mendunia, bahwa kaum Muslim itu satu seluruh dunia, dengan ikatan Islam. Yang saya khawatir, isu "Islam Nusantara" ini ada yang menunggangi. Liberalis-liberalis yang ingin buat Islam versinya sendiri, sesukanya. Liberalis ini tugasnya melempar kebencian, menganggap Islam yang kaaffah seolah "Islam Arab". Tujuannya orang ber-Islam setengah-setengah. Jadi pahami saja, Islam itu satu, selesai. Sumber utamanya 2, Al-Qur'an dan As-Sunnah. Pada Allah kita beriman, pada Rasul kita berteladan. (Ustadz Felix Siauw).
Islam jelas panduannya, Al-Qur'an dan As-Sunnah, Allah dan Rasulullah. Tradisi, kebiasaan, adat, budaya, itu nggak ada patokannya, abstrak. Karena satu standar, hukum syariat, maka Khilafah pernah memimpin 1/3 dunia, menyatukan manusia dengan Islam, asasnya Al-Qur'an As-Sunnah.
Ber-Islam bukan berarti kita hilang identitas, boleh saja. Dalam batasan yang sudah diperbolehkan syariat. Kaum Anshar Madinah tak kehilangan ciri khasnya tatkala menerima Islam, begitu juga kaum Turk, Persia, Nusantara, dalam batas-batas Islam.
Saya Muslim, tetap berbatik ria, berbahasa Indonesia, sah saja. Karena ini masih dalam batasan yang dibolehkan oleh syariat.
Inti pemikirannya sederhana, kita yang diatur Islam, diarahkan Islam, bukan kita yang mengatur Islam, atau malah membuat Islam versi kita. Maka aneh dengan dalih "kita bukan Islam Arab" lalu membuat "Islam Nusantara". Padahal Islam ya Islam, satu saja yang Allah ta'ala turunkan. Al-Qur'an bahasa Arab, Nabi Muhammad kaum Arab, sahabat juga. Maka wajar penyebaran Islam juga berawal dari Arab, NOTHING WRONG.
NU diawali Kyai Hasyim Asy'ari, Muhammadiyyah oleh Kyai Achmad Dachlan. Keduanya nama Arab, sumber ilmunya juga, ada yang salah? tidak. Justru yang ada, keduanya mencontohkan wawasan Islam yang mendunia, bahwa kaum Muslim itu satu seluruh dunia, dengan ikatan Islam. Yang saya khawatir, isu "Islam Nusantara" ini ada yang menunggangi. Liberalis-liberalis yang ingin buat Islam versinya sendiri, sesukanya. Liberalis ini tugasnya melempar kebencian, menganggap Islam yang kaaffah seolah "Islam Arab". Tujuannya orang ber-Islam setengah-setengah. Jadi pahami saja, Islam itu satu, selesai. Sumber utamanya 2, Al-Qur'an dan As-Sunnah. Pada Allah kita beriman, pada Rasul kita berteladan. (Ustadz Felix Siauw).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar