"Dan mereka tidak menyiksa orang-orang mukmin itu melainkan karena orang-orang mukmin itu beriman kepada Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji". (QS. al-Buruj (85) : 8)

Jumat, 03 Maret 2017

Wanita Yang Di Cerai Boleh Nikah Lagi

Di dalam al-Qur'an surat al-Baqarah (2) : 232, الله سبحانه وتعالى menasehati orang beriman perihal menceraikan isteri dalam firman-Nya :

وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَآءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا تَعْضُلُوهُنَّ أَن يَنكِحْنَ أَزْوٰجَهُنَّ إِذَا تَرٰضَوْا۟ بَيْنَهُم بِالْمَعْرُوفِ ۗ ذٰلِكَ يُوعَظُ بِهِۦ مَن كَانَ مِنكُمْ يُؤْمِنُ بِاللَّـهِ وَالْيَوْمِ الْءَاخِرِ ۗ ذٰلِكُمْ أَزْكَىٰ لَكُمْ وَأَطْهَرُ ۗ وَاللَّـهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
Dan apabila kamu menceraikan isteri, lalu habis masa 'iddahnya, maka janganlah kamu halangi mereka kawin lagi dengan (calon) suaminya apabila telah ada kerelaan diantara mereka dengan cara yang pantas. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian diantara kamu. Itu lebih suci bagi kamu dan lebih bersih. Dan Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui. (232).

Asbabun Nuzul
Dalam suatu riwayat yang bersumber dari Ma'qil bin Yasar dikemukakan bahwa ia mengawinkan saudarinya kepada seorang laki-laki Muslim. Beberapa lama kemudian, diceraikannya dengan satu thalaq. Setelah habis masa 'iddahnya, mereka berdua ingin kembali lagi. Maka datanglah laki-laki tadi bersama-sama Umar bin Khattab رَضِيَ اللََّهُ عَنْه untuk meminangnya . Ma'qil menjawab : "Hai orang celaka! Aku memuliakan kau dan aku kawinkan kau dengan saudaraku, tapi kau ceraikan dia. Demi Allah, ia tidak akan kukembalikan kepadamu". Maka turunlah ayat tersebut diatas (QS. 2 : 232) yang melarang wali menghalangi hasrat kawin kedua orang itu.
Ketika Ma'qil mendengar ayat itu, ia berkata : "Aku dengar dan kuta'ati Tuhanku". Ia memanggil orang itu dan berkata : "Aku kawinkan kau kepadanya dan aku memuliakan kau". (HR. Bukhari, Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Marduwaih).
Dalam riwayat lain yang bersumber dari as-Suddi رَضِيَ اللََّهُ عَنْه dikemukakan bahwa turunnya ayat ini (QS. 2 : 232) berkenaan dengan Jabir bin Abdillah al-Anshari yang mempunyai saudari misan yang telah dicerai oleh suaminya satu thalaq. Setelah habis masa 'iddahnya, bekas suaminya datang kembali, akan tetapi Jabir tidak mau meluluskan pinangannya, padahal si wanita itu ingin kembali kepada bekas suaminya. Ayat ini melarang wali menghalangi hasrat perkawinan kedua orang itu. (HR. Bukhari, Abu Dawud dan Tirmidzi).

Tafsir Ayat
QS. 2 : 232. "Dan apabila kamu menceraikan isteri, lalu habis masa 'iddahnya, maka janganlah kamu halangi mereka kawin lagi dengan (calon) suaminya apabila telah ada kerelaan diantara mereka dengan cara yang pantas. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian diantara kamu. Itu lebih suci bagi kamu dan lebih bersih. Dan Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui".

Ayat diatas menjelaskan tentang wanita yang diceraikan oleh suaminya dan kemungkinan akan kawin lagi, baik dia akan kawin dengan bekas suaminya maupun dengan laki-laki lain.
Dalam menanggapi ayat ini, para ulama fikih berselisih tentang siapa yang dimaksud oleh ayat tersebut, khususnya dalam kalimat "janganlah kamu menghalang-halangi."
Imam Syafii رحمه الله berpendapat bahwa larangan itu ditujukan kepada wali, berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari tentang Qasim Ma'qil bin Yasir. Ma'qil mempunyai seorang saudara perempuan yang dinikahi oleh Abibaddah. Kemudian ia dicerai oleh suaminya itu. Setelah selesai iddahnya, Abibaddah merasa menyesal dan ingin kembali kepada bekas istrinya itu. Akan tetapi Ma'qil, sebagai wali, tidak menyetujuinya lagi sehingga peristiwa ini diketahui oleh Rasulullah ﷺ dan kemudian turunlah ayat di atas dan Ma'qil memperkenankan Abibaddah kembali kepada saudaranya.
Dari riwayat yang merupakan sebab turunnya ayat ini, jelaslah bahwa larangan itu ditujukan kepada wali. Seandainya larangan dalam ayat itu tidak ditujukan kepada wali, niscaya perempuan itu dapat menikah sendiri dan tidak perlu tertunda oleh sikap Ma'qil tersebut sebagai walinya.
Maka jelaslah bahwa akad nikah tetap dilangsungkan oleh wali. Imam Hanafi رحمه الله berpendapat sebaliknya larangan itu ditujukan bukan kepada wali akan tetapi kepada suami. Hal ini dapat terjadi bila bekas suami menghalangi bekas istrinya untuk kawin dengan orang lain. Jadi dengan demikian ayat tersebut menurut Hanafi رحمه الله tidak menunjukkan bahwa wali menjadi syarat syah akad pernikahan. Sebagai diketahui, Imam Hanafi رحمه الله berpendapat bahwa wanita sendiri dapat melakukan akad nikah tanpa melalui wali dengan berpegang kepada firman Allah ta'ala :

وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ

Apabila kamu mentalak istri-istrimu, lalu telah dekat akhir masa iddahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang makruf atau cerailah ia dengan cara yang makruf pula. (Q.S Al Baqarah : 231)

Baik walinya ataupun bekas suaminya tidak boleh menghalang-halanginya sebagaimana adat yang berlaku pada zaman jahiliah di mana para wali terlalu mencampuri dengan cara sewenang-wenang soal perkawinan sehingga wanita tidak mempunyai kebebasan dalam memilih calon suaminya, bahkan mereka dipaksa menikahi dengan laki-laki yang tidak disukainya. Demikianlah ajaran Alquran mengenai hukum perkawinan ini, ajaran yang hanya dapat diterima oleh orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian karena hanya seorang yang berimanlah yang dapat menerima ajaran Allah dengan menyingkirkan keinginan hawa nafsu dalam mengekang kaum wanita.
Kembali kepada ajaran Allah ini adalah suatu perbuatan yang suci dan terpuji, Allah Maha Mengetahui dan kamu tidak mengetahui.
 ---------------
Bibliography :
Asbabun Nuzul, KH Qomaruddin, Penerbit CV. Diponegoro Bandung, Cetakan ke-5, 1985, halaman 81 - 82.

Al Qur'an Terjemahan Indonesia, Tim DISBINTALAD (Drs. H.A. Nazri Adlany, Drs. H. Hanafie Tamam dan Drs. H.A. Faruq Nasution); Penerbit P.T. Sari Agung Jakarta, cetakan ke tujuh 1994, halaman 67.
Tafsir Al-Quran Kemenag Online  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar