"Dan mereka tidak menyiksa orang-orang mukmin itu melainkan karena orang-orang mukmin itu beriman kepada Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji". (QS. al-Buruj (85) : 8)

Jumat, 24 Maret 2017

Mut'ah

Di dalam al-Qur'an surat al-Baqarah (2) : 241, Allah سبحانه وتعالى menasehati orang beriman dalam firman-Nya :

وَلِلْمُطَلَّقٰتِ مَتٰعٌۢ بِالْمَعْرُوفِ ۖ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ
Dan bagi perempuan-perempuan yang diceraikan itu (mendapat) mut'ah (pemberian) dengan cara patut sebagai suatu ketentuan atas orang-orang yang bertaqwa. (241).

Asbabun Nuzul
Dalam suatu riwayat yang bersumber dari Ibnu Zaid dikemukakan bahwa ketika turun ayat "Wa matti'uhunna 'alal musi'i qadaruhu wa'alal muqtiri qadaruhu" (QS. 2 : 236) berkatalah seorang laku-laki : "Jika keadaanku sedang baik, akan aku lakukan, tapi jika aku tidak mau, aku tidak akan melakukannya". Maka turunlah ayat tersebut diatas (QS. 2 : 241) yang menegaskan kewajiban suami untuk memberi bekal kepada isterinya yang telah diceraikan. (HR. Ibnu Jarir).

Tafsir Ayat
QS. 2 : 241. "Dan bagi perempuan-perempuan yang diceraikan itu (mendapat) mut'ah (pemberian) dengan cara patut sebagai suatu ketentuan atas orang-orang yang bertaqwa".

Ayat ini juga dijadikan dalil oleh orang yang mewajibkan pemberian mut’ah kepada setiap wanita yang diceraikan, baik yang belum diserahkan maharnya, maupun yang sudah ditentukan maharnya, baik wanita yang diceraikan sebelum dicampuri atau yang sudah dicampuri. Ini adalah pendapat Imam Syafi’i رحمه الله. Dan pendapat ini pula yang menjadi pegangan Sa’id bin Jubair dan ulama salaf lainnya, dan menjadi pilihan Ibnu jarir.
Sedangkan orang-orang yang tidak mewajibkannya secara mutlak mengkhususkan keumuman ayat ini dengan pengertian firman Allah سبحانه وتعالى  berikut ini yang artinya:
“Tidak ada kewajiban membayar mahar atasmu jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. Dan hendaklah kamu berikan suatu mut’ah (pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya pula, yaitu pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS. Al-Baqarah: 236).
Ulama kelompok pertama menyatakan bahwa hal itu merupakan bentuk penyebutan beberapa bagian yang umum, sehingga tidak ada pengkhususan menurut pendapat yang masyhur. Wallahu a’lam.
Firman-Nya : kadzaalika yubayyinullaaHu lakum aayaatiHii (“Demikianlah Allah menerangkan kepada kamu ayat-ayat-Nya [hukum-hukum-Nya].”) Maksudnya, dalam hal yang menyangkut halal, haram, fardhu serta batasan-batasan mengenai apa yang diperintahkan dan dilarang. Dia menjelaskan dan menafsirkan semuanya itu secara gamblang serta tidak meninggalkannya secara mujmal (global) pada saat kalian membutuhkannya, la’allakum ta’qiluun (“Supaya kalian memahaminya.”) Atau dengan kata lain, memahami dan merenungkannya.
---------------
Bibliography :
Asbabun Nuzul, KH Qomaruddin, Penerbit CV. Diponegoro Bandung, Cetakan ke-5, 1985, halaman 83 - 84.
Al-Qur'an Mulia  

Al Qur'an Terjemahan Indonesia, Tim DISBINTALAD (Drs. H.A. Nazri Adlany, Drs. H. Hanafie Tamam dan Drs. H.A. Faruq Nasution); Penerbit P.T. Sari Agung Jakarta, cetakan ke tujuh 1994, halaman 71.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar