Menyimak buku "Muhammad Al-Fatih 1453"-nya Felix Y. Siauw; terbitan Al-Fatih Press, Jakarta Utara; Cetakan ke-7, Juni 2014, aku mencoba memahami cara seorang ayah harus membentuk penerus terbaik.
Mehmed II, Muhammad Khan bin Murad bin Beyazid adalah anak yang ditakdirkan menjadi sebaik-baik panglima penakluk Konstantinopel dan menjadi ahlu bisyarah yang membuktikan ucapan Rasulullah s.a.w. Ia terlahir di Edirne 29 Maret 1432 (sumber lain : 26 Rajab 833 H / 20 April 1430 M). Dalam menunggu proses kelahirannya, sang ayah, Murad II mengisi waktunya dengan membaca Al-Qur'an dan saat bacaannya sampai pada surat Al-Fath (surat yang berisi janji-janji Allah ta'ala akan kemenangan kaum Muslim) lahirlah dia.
Sebagai anak laki-laki ketiga, Mehmed tidak diperkirakan untuk menjadi pengganti Murad II sebagai Sultan. Kedua kakaknya bernama Ahmed dan Ali, keduanya menemui ajal di Amasya, sebuah kota benteng Utsmani di Asia yang terletak dilereng gunung dengan sungai mengalir indah dibawahnya. Ahmed sang kakak tertua meninggal tiba-tiba dan Ali sang kakak yang lain, dibunuh orang Turki yang kemungkinan besar kaki tangan Byzantium.
Seperti halnya leluhur mereka yang berkeinginan menjadi ahlu bisyarah, ayah Mehmed II, Sultan Murad II pernah mencoba mengepung kota KOnstantinopel selama 22 hari di tahun 1422 M. Sultan Murad II pun segera mempersiapkan penerusnya, membekali berbagai disiplin ilmu, dari Al-Qur'an, tsaqafah Islam, Fiqih, Ilmu Bahasa, Astronomi, Matematika, Kimia, Fisika serta teknik berperang dan militer.
Mehmed memiliki sifat yang keras dan gemar melakukan sesuatu yang tak biasa sehingga beberapa ulama kesulitan mengendalikannya. Sultan Murad pun menugaskan Syaikh Ahmad Al-Kurani dan Syaikh Aaq Syamsuddin untuk mengarahkan kekerasan watak Mehmed dan membentuk kepribadiannya.
Ketika bertemu dengan Mehmed yang masih belia, Syaikh Ahmad Al-Kurani berkata kepadanya, "Ayahmu mengutusku untuk mendidikmu dan memukulmu bila engkau tidak menuruti perintahku."
Mendengar ucapan itu, Mehmed tertawa dan menganggap itu hanya gertakan saja. Seketika itu, dipukullah ia dengan tongkat oleh Syaikh Al-Kurani dengan pukulan yang amat keras ditengah-tengah majelis hingga Mehmed jera dan segan kepada gurunya itu.
Syaikh Aaq Syamsuddin membentuk mental Mehmed menjadi seorang penakluk. Senantiasa diingatkan kemulian menjadi ahlu bisyarah dalam membebaskan Konstantinopel. Syaikh Syamsuddin menceritakan setiap hari perjuangan Rasulullah s.a.w. dan pengorbanannya dalam menegakkan Islam serta menanamkan kepribadian Rasulullah s.a.w. Syaikh juga mendeskripsikan kepahlawanan dan keksatriaan para sahabat dan para penakluk awal Konstantinopel seperti Umar bin Khaththab, Khalid bin Walid, Abu Ubaidah bin Al-Jarrah, Umar bin Abdul Aziz, Harun Al-Rasyid, Sholahuddin Al-Ayyubbi dan semua ksatria Islam.
Bahkan Syaikh Syamsuddin selalu mengulang-ulang perkataannya kepada Mehmed, bahwa dirinyalah pemimpin yang dimaksud dalam hadits Rasulullah s.a.w. yang diriwayatkan Ahmad, "Konstantinopel akan takluk ditangan seorang laki-laki. Maka sebaik-baik pemimpin adalah pemimpinnya dan sebaik-baik pasukan adalah pasukan yang menaklukkannya". Syaikh terus meyakinkan bahwa Mehmed-lah ahlu bisyarah.
Kombinasi motivasi yang tak terbatas dari para Syaikh dengan watak dan kemauan keras Mehmed menjadikannya menguasai segala persiapan menjadi sang penakluk di usia 17 tahun.
Sebagai anak laki-laki ketiga, Mehmed tidak diperkirakan untuk menjadi pengganti Murad II sebagai Sultan. Kedua kakaknya bernama Ahmed dan Ali, keduanya menemui ajal di Amasya, sebuah kota benteng Utsmani di Asia yang terletak dilereng gunung dengan sungai mengalir indah dibawahnya. Ahmed sang kakak tertua meninggal tiba-tiba dan Ali sang kakak yang lain, dibunuh orang Turki yang kemungkinan besar kaki tangan Byzantium.
Seperti halnya leluhur mereka yang berkeinginan menjadi ahlu bisyarah, ayah Mehmed II, Sultan Murad II pernah mencoba mengepung kota KOnstantinopel selama 22 hari di tahun 1422 M. Sultan Murad II pun segera mempersiapkan penerusnya, membekali berbagai disiplin ilmu, dari Al-Qur'an, tsaqafah Islam, Fiqih, Ilmu Bahasa, Astronomi, Matematika, Kimia, Fisika serta teknik berperang dan militer.
Mehmed memiliki sifat yang keras dan gemar melakukan sesuatu yang tak biasa sehingga beberapa ulama kesulitan mengendalikannya. Sultan Murad pun menugaskan Syaikh Ahmad Al-Kurani dan Syaikh Aaq Syamsuddin untuk mengarahkan kekerasan watak Mehmed dan membentuk kepribadiannya.
Ketika bertemu dengan Mehmed yang masih belia, Syaikh Ahmad Al-Kurani berkata kepadanya, "Ayahmu mengutusku untuk mendidikmu dan memukulmu bila engkau tidak menuruti perintahku."
Mendengar ucapan itu, Mehmed tertawa dan menganggap itu hanya gertakan saja. Seketika itu, dipukullah ia dengan tongkat oleh Syaikh Al-Kurani dengan pukulan yang amat keras ditengah-tengah majelis hingga Mehmed jera dan segan kepada gurunya itu.
Syaikh Aaq Syamsuddin membentuk mental Mehmed menjadi seorang penakluk. Senantiasa diingatkan kemulian menjadi ahlu bisyarah dalam membebaskan Konstantinopel. Syaikh Syamsuddin menceritakan setiap hari perjuangan Rasulullah s.a.w. dan pengorbanannya dalam menegakkan Islam serta menanamkan kepribadian Rasulullah s.a.w. Syaikh juga mendeskripsikan kepahlawanan dan keksatriaan para sahabat dan para penakluk awal Konstantinopel seperti Umar bin Khaththab, Khalid bin Walid, Abu Ubaidah bin Al-Jarrah, Umar bin Abdul Aziz, Harun Al-Rasyid, Sholahuddin Al-Ayyubbi dan semua ksatria Islam.
Bahkan Syaikh Syamsuddin selalu mengulang-ulang perkataannya kepada Mehmed, bahwa dirinyalah pemimpin yang dimaksud dalam hadits Rasulullah s.a.w. yang diriwayatkan Ahmad, "Konstantinopel akan takluk ditangan seorang laki-laki. Maka sebaik-baik pemimpin adalah pemimpinnya dan sebaik-baik pasukan adalah pasukan yang menaklukkannya". Syaikh terus meyakinkan bahwa Mehmed-lah ahlu bisyarah.
Kombinasi motivasi yang tak terbatas dari para Syaikh dengan watak dan kemauan keras Mehmed menjadikannya menguasai segala persiapan menjadi sang penakluk di usia 17 tahun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar