Umar Berusaha Melawan Kelemahan dalam Jiwanya dan Jiwa Umat
Tentu sudah kita lihat juga, bahwa dalam ijtihadnya itu Umar terbilang orang paling keras dan tegas di samping apa yang sudah ketahui sikapnya yang begitu lemah lembut terhadap kaum duafa. Juga ketegasan sikapnya itu terhadap kaum “mualaf,” dan terhadap mereka yang menjatuhkan talak tiga dengan satu ucapan, para peminum khamar, mereka yang banyak membawa-bawa sumber hadis dan terhadap pasukan Muslimin atas rampasan perang yang mereka peroleh di Irak dan Syam. Keadilannya yang begitu ketat sudah menjadi bawaannya dalam memutuskan perkara, dan dalam mempersamakan lawan berperkara di depan hukum sekalipun status mereka jauh berbeda di mata orang. Tongkat kecil yang dibawa-bawanya merupakan salah satu lambang ketegasannya itu, yang tak pernah ditinggalkannya meskipun dalam soal-soal yang tak ada hubungannya dengan tugas tanggung jawabnya.
Suatu malam ketika ia mengadakan inspeksi ia mendengar suara perempuan bersenandung tentang khamar dan ketampanan Nasr bin Hajjaj.
Paginya ia bertanya-tanya siapa Nasr itu dan menyuruh orang mencarinya. Setelah orang itu dibawa ternyata ia memang berwajah tampan dan rambutnya indah sekali. Sesudah ia memotong rambutnya seperti yang dimintanya dan dahinya terlihat tampak ia makin tampan. Ia diminta mengenakan serban, dan itu pun dilakukannya, tetapi bertambah tampan juga. Tidak! kata Umar, demi Allah, jangan ini terjadi di kota tempat aku berada! Umar memerintahkan orang itu ke tempat yang lebih baik buat dia dan ia dimintanya pergi ke Basrah. Nasr memang tidak berdosa sampai ia diasingkan dari kota itu. Tetapi maksud Umar, di kota Rasul ini jangan ada perempuan-perempuan yang tergoda karenanya.
Saat mengadakan inspeksi suatu malam Umar mendengar perempuan-perempuan berkata : Siapa di antara penduduk Medinah yang paling tampan? Salah seorang dari mereka berkata : Abu Zi’b (nama orang, harfiah berarti “pak serigala”). Setelah orang itu didatangkan dan dilihatnya laki-laki itu memang paling tampan, kata Umar kepadanya : Rupanya Anda ini menjadi serigala perempuan-perempuan itu, katanya dua atau tiga kali. Kemudian katanya : Demi Allah, jangan ini terjadi di kota tempat aku berada! Abu Zi’b berkata : Kalau saya harus pergi juga tempatkan saya di tempat sepupu saya —maksudnya Nasr bin Hajjaj. Umar memerintahkan orang itu ke tempat yang lebih baik buat dia dan ia diminta pergi ke Basrah.
Sebenarnya Umar bertindak begitu keras dan tegas karena ia ingin mengikis segala kelemahan yang ada dalam jiwa orang-orang Arab, yang memberi peluang berkuasanya hawa nafsu. Kekuatan itulah yang menjadi jiwa dan hakikat Islam. Bila orang dapat menguasai kekuatan itu untuk melawan segala nafsu dan bisikan jahat dalam dirinya, itulah yang akan mencabut segala kelemahan dari jiwa suatu umat, dan yang mampu menghadapi setiap serangan yang datang hendak menggoda keyakinannya. Jiwa inilah yang mengharuskan umat Islam bersikap lemah lembut terhadap kaum yang lemah dan meninggalkan sikap lemah lembut demikian merupakan dosa besar. Yang dimaksud dengan sikap lemah lembut ialah berusaha mengatasi segala kelemahan mereka supaya jangan terjerumus ke dalam kemiskinan, kebodohan atau penyakit yang akan membuat mereka bertambah lemah, dan yang akan mengantarkan orang kepada rasa hina dan tunduk selain kepada Allah. Kalau kelemahan ini sudah dapat diatasi mereka akan menjadi manusia yang sehat, punya harga diri dan akan merupakan suatu kekuatan bagi anggota masyarakat itu.
Umar adalah orang yang paling mampu menyadari adanya kekuatan Islam ini, dan yang paling baik pengetahuannya atas segala faktor kehidupan yang akan membawa kelemahan jiwa itu. Oleh karenanya, ia besar sekali hasratnya hendak melawan faktor-faktor itu. Sebenarnya jiwa manusia itu selalu gelisah ingin mengejar martabat yang lebih tinggi dan dalam pada itu bersiap-siap merosot turun di tengah-tengah berbagai faktor yang keseringannya berada di luar kemampuannya. Kemerosotan ini paling mudah, dan lebih banyak menarik. Kebalikannya. untuk mencapai martabat yang lebih tinggi, memerlukan suatu perjuangan batin yang berat supaya ia tidak terjerat ke dalam perangkap yang banyak dipasang oleh liku-liku kehidupan yang memang sudah menjadi bawaannya dan menjadi salah satu syarat untuk kelangsungan hidupnya. yang kemudian dihiasi pula dengan segala yang akan menggiurkan nafsu dan keinginannya. Manusia memang mudah tergoda untuk menghiasi perangkap itu dan akan membuatnya makin menarik.
Dalam perangkap yang sudah dihiasi ini orang sering melihat segala kemewahan dan kemapanan hidup. Dalam hal ini mereka berbeda dengan hewan. Manusia dan hewan sama-sama memerlukan makan dan minum untuk mempertahankan hidupnya serta untuk melestarikan keturunan. Hewan memerlukan makan dan minum seperlunya sekadar dapat bertahan hidup, dan hubungan jantan dan betinanya tak lebih dari sekadar mendapatkan keturunan. Tetapi manusia melihat dalam makan, minum dan cinta itu suatu kesenangan yang sangat menggiurkan dan cepat-cepat memburunya, kemudian ia memperoleh hasil atas jerih payahnya itu. Untuk kesenangan ini ia mencari segala cara dan sarana yang tak pernah ada pada naluri makhluk lain.
Ia Cenderung Keras dan Bersih dalam Ijtihadnya
Manusia makin tertarik pada kesenangan ini dan ingin menangguknya setiap kelompoknya makin jauh terperangkap ke dalam kemerosotan Tetapi kelompok yang muda-muda, ia ingin bersih dari segala noda godaan itu. Kebersihan diri demikian ini akan dijadikan sarana untuk mencapai kekuatan dan martabat yang lebih tinggi. Kebersihan diri demikian inilah yang dianjurkan oleh Islam. Dalam hal ini Rasulullah adalah teladan yang terbaik bagi kaum Muslimin, yang kemudian dipraktekkan pula oleh Abu Bakr dan Umar untuk menanamkannya lebih kuat ke dalam hati umat agar iman itu benar-benar tumbuh dalam lubuk sanubari mereka. Oleh karenanya, didorong oleh kekuatan rohani dalam kebersihan diri itu kekuatan iman mereka kepada Allah berlipat ganda, yang membuat mereka kemudian dapat menerobos perbatasan Persia dan Rumawi, dan menyapu bersih kekuasaan mereka, kedaulatan mereka pun terkikis habis sehingga tak dapat bangkit lagi.
Kebersihan diri ini merupakan tujuan Umar dalam ijtihadnya. Kita telah melihat, ia menerapkan hal itu ke dalam dirinya sendiri begitu ketat. Demikian juga kaum Muslimin secara keseluruhan, telah memperoleh kemajuan yang tidak sedikit berkat ketegasan Umar. Ia telah memperlihatkan sikap yang tegas dalam membuat perhitungan dengan para pejabatnya serta bertindak keras terhadap mereka yang hidup semau sendiri, bertingkah laku tak senonoh. Tetapi berhagai peristiwa dalam hidup ini memang sering menyertai tujuan para pemimpin pembaruan. Usaha mereka dalam mewujudkan tujuan itu sering dikacau oleh berbagai macam gangguan. Kadang hal itu memaksa mereka untuk melampaui yang dituju dalam ijtihad mereka itu. Soalnya karena adanya hidup mulia dan hidup nista yang bergantian dalam watak manusia. Faktor-faktor kedua sifat yang saling berdampingan begitu dekat dalam jiwa pribadi dan jiwa masyarakat itu saling bersaing dan tarik-menarik. Orang sering tertipu karenanya, mengira unsur-unsur kelemahan yang dianutnya itulah kekuatan, dan unsur-unsur kenistaan yang diambilnya itulah kemuliaan. Bahkan semua unsur dan motivasi itu saling terjalin demikian rupa sehingga pendapat dan ijtihad itu menjadi sesat dan kacau. Kita sudah melihat Abu Bakr memerintahkan untuk menyamaratakan pembagian hasil rampasan perang di kalangan Muslimin. Tetapi sesudah Umar menggantikannya dan rampasan perang Persia dan Rumawi begitu melimpah ia membentuk sebuah badan dan pemberian itu tidak lagi disamakan. Kemudian setelah melihat pengaruh tindakannya itu, ia meninjaunya kembali. Dia yakin apa yang sudah dilakukan Abu Bakr lebih baik, dan dia bermaksud hendak kembali ke cara itu, tetapi sebelum ia melangkah ke sana ajal sudah mendahuluinya.
Ijtihad yang Telah Membentuk Kekuatan Muslimin
Tetapi Umar tidak salah. Melimpahnya harta kekayaan dari Persia dan dari Rumawi ke Semenanjung itu akan menutupi hati kebanyakan orang dari keinginan Umar agar mereka berbersih diri. Tak banyak orang yang mampu menyaring unsur-unsur kemuliaan dalam dirinya itu dari segala noda yang akan mencemarinya, tidak banyak mereka yang dapat terangkat dari kebersihan hati itu ke tingkat yang terlindung dari perbuatan salah dan dosa. Perbuatan salah dan dosa ini sudah menjadi watak manusia, dengan adanya nafsu yang akan mendorongnya ke sana, yaitu naluri yang ada pada diri kita untuk mempertahankan hidup dan spesies. Berbersih diri itu menggambarkan kepada kita batas-batas antara dosa dengan pahala, antara yang baik dengan yang jahat, dan mengajak kita kepada segala yang berguna buat kita, dan tidak sampai melampauinya ke batas yang membahayakan. Dosa dan pahala, yang baik dan yang jahat, yang berguna dan yang berbahaya, acapkali tercampur baur satu sama lain, seperti emas dan logam mulia lainnya dengan batu-batu karang dan logam rendah. Jika kita hendak menyaring logam mulia menjadi murni, kita harus melebur campuran ini demikian rupa, yang justru kadang merusak intinya yang baik jika jumlahnya lebih kecil dibandingkan dengan pencampurnya. Kadang proses peleburan itu sendiri yang menjadi penyebab kerusakan kalau tidak ditangani dengan bijak dan berhati-hati.
Sudah tentu Umar sangat bijak dan sangat berhati-hati dalam ijtihad dan seruannya agar orang berbersih diri. Pangkal segala kebijakannya itu karena ia sangat mematuhi jiwa Islam seperti yang diwahyukan Allah kepada Rasul-Nya dengan sungguh-sungguh, dan dia mengenal betul jiwa itu. Oleh karenanya ijtihadnya itu telah mengangkat kaum Muslimin ke tingkat yang dapat mendatangkan mukjizat dalam membangun Kedaulatan Islam.
Dan sejarah yang dapat kita lihat tentang Napoleon, hukum perdata yang dibuat pada masanya dan dia sendiri ikut dalam pembuatan itu, buat dia lebih membanggakan daripada pertempuran-pertempuran besar yang pemah dimenangkannya dan membuka pintu Eropa sampai mengantarkannya ke Moskow. Dapatkah kita mengatakan demikian juga tentang Umar? Dapatkah kita katakan bahwa dia lebih membanggakan ijtihadnya itu daripada kemenangan-kemenangan yang diperolehnya pada masanya? Sebelum menjawab pertanyaan ini kita harus dapat membedakan antara imperium yang melandasi Napoleon dengan imperium yang melandasi Umar. Yang pertama sudah lenyap sementara Napoleon masih hidup, sedang yang kedua tetap menjadi warisan umat Islam berabad-abad, generasi demi generasi dan keluarga demi keluarga. Sungguhpun begitu, sekiranya Umar adalah orang yang akan dibanggakan, maka kebanggaan itu kebanyakan terletak pada ijtihadnya. Ijtihad inilah yang telah membangun kedaulatan Islam, dan itulah pula yang dapat bertahan sepanjang sejarah.
Tetapi ijtihad dan kedaulatan ini telah membuat Umar benar-benar terperas dan letih. Kalaupun dengan kedua beban itu ia telah dapat menegakkan baja yang kukuh, keduanya itu telah mengantarkannya kepada doanya kepada Tuhan agar ia diterima di sisi-Nya. Kedua peninggalannya ini telah menyelamatkan bangsa-bangsa yang sudah dibebaskan oleh Muslimin. Kemudian terbunuhnya pun termasuk salah satu dari kedua peninggalannya itu.
-------------------------
Umar bin Khattab, Sebuah Tela'ah Mendalam Tentang Pertumbuhan Islam dan Kedaulatannya, Muhammad Husain Haekal,diterbitkan oleh Litera Antar Nusa, Cetakan Kesebelas, Februari 2011, halaman 710-715.
Tentu sudah kita lihat juga, bahwa dalam ijtihadnya itu Umar terbilang orang paling keras dan tegas di samping apa yang sudah ketahui sikapnya yang begitu lemah lembut terhadap kaum duafa. Juga ketegasan sikapnya itu terhadap kaum “mualaf,” dan terhadap mereka yang menjatuhkan talak tiga dengan satu ucapan, para peminum khamar, mereka yang banyak membawa-bawa sumber hadis dan terhadap pasukan Muslimin atas rampasan perang yang mereka peroleh di Irak dan Syam. Keadilannya yang begitu ketat sudah menjadi bawaannya dalam memutuskan perkara, dan dalam mempersamakan lawan berperkara di depan hukum sekalipun status mereka jauh berbeda di mata orang. Tongkat kecil yang dibawa-bawanya merupakan salah satu lambang ketegasannya itu, yang tak pernah ditinggalkannya meskipun dalam soal-soal yang tak ada hubungannya dengan tugas tanggung jawabnya.
Suatu malam ketika ia mengadakan inspeksi ia mendengar suara perempuan bersenandung tentang khamar dan ketampanan Nasr bin Hajjaj.
Paginya ia bertanya-tanya siapa Nasr itu dan menyuruh orang mencarinya. Setelah orang itu dibawa ternyata ia memang berwajah tampan dan rambutnya indah sekali. Sesudah ia memotong rambutnya seperti yang dimintanya dan dahinya terlihat tampak ia makin tampan. Ia diminta mengenakan serban, dan itu pun dilakukannya, tetapi bertambah tampan juga. Tidak! kata Umar, demi Allah, jangan ini terjadi di kota tempat aku berada! Umar memerintahkan orang itu ke tempat yang lebih baik buat dia dan ia dimintanya pergi ke Basrah. Nasr memang tidak berdosa sampai ia diasingkan dari kota itu. Tetapi maksud Umar, di kota Rasul ini jangan ada perempuan-perempuan yang tergoda karenanya.
Saat mengadakan inspeksi suatu malam Umar mendengar perempuan-perempuan berkata : Siapa di antara penduduk Medinah yang paling tampan? Salah seorang dari mereka berkata : Abu Zi’b (nama orang, harfiah berarti “pak serigala”). Setelah orang itu didatangkan dan dilihatnya laki-laki itu memang paling tampan, kata Umar kepadanya : Rupanya Anda ini menjadi serigala perempuan-perempuan itu, katanya dua atau tiga kali. Kemudian katanya : Demi Allah, jangan ini terjadi di kota tempat aku berada! Abu Zi’b berkata : Kalau saya harus pergi juga tempatkan saya di tempat sepupu saya —maksudnya Nasr bin Hajjaj. Umar memerintahkan orang itu ke tempat yang lebih baik buat dia dan ia diminta pergi ke Basrah.
Sebenarnya Umar bertindak begitu keras dan tegas karena ia ingin mengikis segala kelemahan yang ada dalam jiwa orang-orang Arab, yang memberi peluang berkuasanya hawa nafsu. Kekuatan itulah yang menjadi jiwa dan hakikat Islam. Bila orang dapat menguasai kekuatan itu untuk melawan segala nafsu dan bisikan jahat dalam dirinya, itulah yang akan mencabut segala kelemahan dari jiwa suatu umat, dan yang mampu menghadapi setiap serangan yang datang hendak menggoda keyakinannya. Jiwa inilah yang mengharuskan umat Islam bersikap lemah lembut terhadap kaum yang lemah dan meninggalkan sikap lemah lembut demikian merupakan dosa besar. Yang dimaksud dengan sikap lemah lembut ialah berusaha mengatasi segala kelemahan mereka supaya jangan terjerumus ke dalam kemiskinan, kebodohan atau penyakit yang akan membuat mereka bertambah lemah, dan yang akan mengantarkan orang kepada rasa hina dan tunduk selain kepada Allah. Kalau kelemahan ini sudah dapat diatasi mereka akan menjadi manusia yang sehat, punya harga diri dan akan merupakan suatu kekuatan bagi anggota masyarakat itu.
Umar adalah orang yang paling mampu menyadari adanya kekuatan Islam ini, dan yang paling baik pengetahuannya atas segala faktor kehidupan yang akan membawa kelemahan jiwa itu. Oleh karenanya, ia besar sekali hasratnya hendak melawan faktor-faktor itu. Sebenarnya jiwa manusia itu selalu gelisah ingin mengejar martabat yang lebih tinggi dan dalam pada itu bersiap-siap merosot turun di tengah-tengah berbagai faktor yang keseringannya berada di luar kemampuannya. Kemerosotan ini paling mudah, dan lebih banyak menarik. Kebalikannya. untuk mencapai martabat yang lebih tinggi, memerlukan suatu perjuangan batin yang berat supaya ia tidak terjerat ke dalam perangkap yang banyak dipasang oleh liku-liku kehidupan yang memang sudah menjadi bawaannya dan menjadi salah satu syarat untuk kelangsungan hidupnya. yang kemudian dihiasi pula dengan segala yang akan menggiurkan nafsu dan keinginannya. Manusia memang mudah tergoda untuk menghiasi perangkap itu dan akan membuatnya makin menarik.
Dalam perangkap yang sudah dihiasi ini orang sering melihat segala kemewahan dan kemapanan hidup. Dalam hal ini mereka berbeda dengan hewan. Manusia dan hewan sama-sama memerlukan makan dan minum untuk mempertahankan hidupnya serta untuk melestarikan keturunan. Hewan memerlukan makan dan minum seperlunya sekadar dapat bertahan hidup, dan hubungan jantan dan betinanya tak lebih dari sekadar mendapatkan keturunan. Tetapi manusia melihat dalam makan, minum dan cinta itu suatu kesenangan yang sangat menggiurkan dan cepat-cepat memburunya, kemudian ia memperoleh hasil atas jerih payahnya itu. Untuk kesenangan ini ia mencari segala cara dan sarana yang tak pernah ada pada naluri makhluk lain.
Ia Cenderung Keras dan Bersih dalam Ijtihadnya
Manusia makin tertarik pada kesenangan ini dan ingin menangguknya setiap kelompoknya makin jauh terperangkap ke dalam kemerosotan Tetapi kelompok yang muda-muda, ia ingin bersih dari segala noda godaan itu. Kebersihan diri demikian ini akan dijadikan sarana untuk mencapai kekuatan dan martabat yang lebih tinggi. Kebersihan diri demikian inilah yang dianjurkan oleh Islam. Dalam hal ini Rasulullah adalah teladan yang terbaik bagi kaum Muslimin, yang kemudian dipraktekkan pula oleh Abu Bakr dan Umar untuk menanamkannya lebih kuat ke dalam hati umat agar iman itu benar-benar tumbuh dalam lubuk sanubari mereka. Oleh karenanya, didorong oleh kekuatan rohani dalam kebersihan diri itu kekuatan iman mereka kepada Allah berlipat ganda, yang membuat mereka kemudian dapat menerobos perbatasan Persia dan Rumawi, dan menyapu bersih kekuasaan mereka, kedaulatan mereka pun terkikis habis sehingga tak dapat bangkit lagi.
Kebersihan diri ini merupakan tujuan Umar dalam ijtihadnya. Kita telah melihat, ia menerapkan hal itu ke dalam dirinya sendiri begitu ketat. Demikian juga kaum Muslimin secara keseluruhan, telah memperoleh kemajuan yang tidak sedikit berkat ketegasan Umar. Ia telah memperlihatkan sikap yang tegas dalam membuat perhitungan dengan para pejabatnya serta bertindak keras terhadap mereka yang hidup semau sendiri, bertingkah laku tak senonoh. Tetapi berhagai peristiwa dalam hidup ini memang sering menyertai tujuan para pemimpin pembaruan. Usaha mereka dalam mewujudkan tujuan itu sering dikacau oleh berbagai macam gangguan. Kadang hal itu memaksa mereka untuk melampaui yang dituju dalam ijtihad mereka itu. Soalnya karena adanya hidup mulia dan hidup nista yang bergantian dalam watak manusia. Faktor-faktor kedua sifat yang saling berdampingan begitu dekat dalam jiwa pribadi dan jiwa masyarakat itu saling bersaing dan tarik-menarik. Orang sering tertipu karenanya, mengira unsur-unsur kelemahan yang dianutnya itulah kekuatan, dan unsur-unsur kenistaan yang diambilnya itulah kemuliaan. Bahkan semua unsur dan motivasi itu saling terjalin demikian rupa sehingga pendapat dan ijtihad itu menjadi sesat dan kacau. Kita sudah melihat Abu Bakr memerintahkan untuk menyamaratakan pembagian hasil rampasan perang di kalangan Muslimin. Tetapi sesudah Umar menggantikannya dan rampasan perang Persia dan Rumawi begitu melimpah ia membentuk sebuah badan dan pemberian itu tidak lagi disamakan. Kemudian setelah melihat pengaruh tindakannya itu, ia meninjaunya kembali. Dia yakin apa yang sudah dilakukan Abu Bakr lebih baik, dan dia bermaksud hendak kembali ke cara itu, tetapi sebelum ia melangkah ke sana ajal sudah mendahuluinya.
Ijtihad yang Telah Membentuk Kekuatan Muslimin
Tetapi Umar tidak salah. Melimpahnya harta kekayaan dari Persia dan dari Rumawi ke Semenanjung itu akan menutupi hati kebanyakan orang dari keinginan Umar agar mereka berbersih diri. Tak banyak orang yang mampu menyaring unsur-unsur kemuliaan dalam dirinya itu dari segala noda yang akan mencemarinya, tidak banyak mereka yang dapat terangkat dari kebersihan hati itu ke tingkat yang terlindung dari perbuatan salah dan dosa. Perbuatan salah dan dosa ini sudah menjadi watak manusia, dengan adanya nafsu yang akan mendorongnya ke sana, yaitu naluri yang ada pada diri kita untuk mempertahankan hidup dan spesies. Berbersih diri itu menggambarkan kepada kita batas-batas antara dosa dengan pahala, antara yang baik dengan yang jahat, dan mengajak kita kepada segala yang berguna buat kita, dan tidak sampai melampauinya ke batas yang membahayakan. Dosa dan pahala, yang baik dan yang jahat, yang berguna dan yang berbahaya, acapkali tercampur baur satu sama lain, seperti emas dan logam mulia lainnya dengan batu-batu karang dan logam rendah. Jika kita hendak menyaring logam mulia menjadi murni, kita harus melebur campuran ini demikian rupa, yang justru kadang merusak intinya yang baik jika jumlahnya lebih kecil dibandingkan dengan pencampurnya. Kadang proses peleburan itu sendiri yang menjadi penyebab kerusakan kalau tidak ditangani dengan bijak dan berhati-hati.
Sudah tentu Umar sangat bijak dan sangat berhati-hati dalam ijtihad dan seruannya agar orang berbersih diri. Pangkal segala kebijakannya itu karena ia sangat mematuhi jiwa Islam seperti yang diwahyukan Allah kepada Rasul-Nya dengan sungguh-sungguh, dan dia mengenal betul jiwa itu. Oleh karenanya ijtihadnya itu telah mengangkat kaum Muslimin ke tingkat yang dapat mendatangkan mukjizat dalam membangun Kedaulatan Islam.
Dan sejarah yang dapat kita lihat tentang Napoleon, hukum perdata yang dibuat pada masanya dan dia sendiri ikut dalam pembuatan itu, buat dia lebih membanggakan daripada pertempuran-pertempuran besar yang pemah dimenangkannya dan membuka pintu Eropa sampai mengantarkannya ke Moskow. Dapatkah kita mengatakan demikian juga tentang Umar? Dapatkah kita katakan bahwa dia lebih membanggakan ijtihadnya itu daripada kemenangan-kemenangan yang diperolehnya pada masanya? Sebelum menjawab pertanyaan ini kita harus dapat membedakan antara imperium yang melandasi Napoleon dengan imperium yang melandasi Umar. Yang pertama sudah lenyap sementara Napoleon masih hidup, sedang yang kedua tetap menjadi warisan umat Islam berabad-abad, generasi demi generasi dan keluarga demi keluarga. Sungguhpun begitu, sekiranya Umar adalah orang yang akan dibanggakan, maka kebanggaan itu kebanyakan terletak pada ijtihadnya. Ijtihad inilah yang telah membangun kedaulatan Islam, dan itulah pula yang dapat bertahan sepanjang sejarah.
Tetapi ijtihad dan kedaulatan ini telah membuat Umar benar-benar terperas dan letih. Kalaupun dengan kedua beban itu ia telah dapat menegakkan baja yang kukuh, keduanya itu telah mengantarkannya kepada doanya kepada Tuhan agar ia diterima di sisi-Nya. Kedua peninggalannya ini telah menyelamatkan bangsa-bangsa yang sudah dibebaskan oleh Muslimin. Kemudian terbunuhnya pun termasuk salah satu dari kedua peninggalannya itu.
-------------------------
Umar bin Khattab, Sebuah Tela'ah Mendalam Tentang Pertumbuhan Islam dan Kedaulatannya, Muhammad Husain Haekal,diterbitkan oleh Litera Antar Nusa, Cetakan Kesebelas, Februari 2011, halaman 710-715.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar