"Dan mereka tidak menyiksa orang-orang mukmin itu melainkan karena orang-orang mukmin itu beriman kepada Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji". (QS. al-Buruj (85) : 8)

Sabtu, 17 Januari 2015

‘ABDULLAH BIN UMMI MAKTUM

Seorang Dha’if
Diantara para sahabat Rasulullah s.a.w. jang terkemuka di Medinah, ada seorang yang bernama ‘Abdullah bin Ummi Maktum. Ia seorang Muhajir, jang tadinya bersama-sama dengan rombongan pertama hijrah dari Mekah ke Medinah.
Ia seorang buta!
Tetapi dia amat disegani dan dihormati oleh seluruh penduduk Medinah, karena budi-pekertinya yang tinggi, lantaran amanahnya, jika memegang amanat, dan karena kebijaksanaannya untuk memutuskan sesuatu.
Berkali-kali apabila Rasulullah s.a.w. sendiri meninggalkan kota Medinah, pergi kemedan perang, atau pergi dengan ummat yang banyak menuju Mekah, dengan maksud melakukan ‘umrah (ditahun Hudaibiyah), maka yang beliau tunjuk sebagai Gubernur kota Medinah selama beliau tidak ada, ialah ‘Abdullah bin Ummi Maktum, yang buta itu.
Dan setiap kali ‘Abdullah bin Ummi Maktum mendatangi Rasulullah, maka Rasulullah menyambutnya dengan kata-kata sambutan yang khusus.
Khusus untuk ‘Abdullah bin Ummi Maktum sendiri! Yaitu : “Selamat datang, wahai saudara, yang menyebabkan aku ditegur oleh Tuhanku”.

Kisah Istimewa
Salam yang istimewa ini ada riwayatnya.
Sebelum Hijrah, sewaktu Rasulullah bersama-sama dengan ummatnya yang masih kecil sekali jumlahnya berada di Mekah, pernah terjadi suatu peristiwa yang istimewa.
Sepanjang sejarah Risalah, baru satu kali Rasulullah s.a.w. mengalami kejadian semacam itu, dan tak bisa beliau lupakan.
Yaitu satu peristiwa, dimana Rasulullah s.a.w. mendapat tegoran langsung, dengan wahyu Ilahy, secara halus tetapi tajam !
Apa peristiwa itu?
Pada suatu ketika Rasulullah s.a.w. sedang menghadapi beberapa pemimpin Quraisy. Pemuka-pemuka Quraisy ini dengan gigih terus-menerus mempergunakan segala pengaruh dan harta mereka untuk menantang da’wah Muhammad s.a.w. Diantara mereka ada yang digelari “Abu Jahil”, adalah salah seorang paman dari Rasulullah sendiri, Al-’Abbas bin ‘Abdil-Muthalib, dan ada beberapa orang pemimpin lagi seperti Umayah bin Khalaf, Al-Walied bin Mughirah dan lain-lain.
Pendeknya, semuanya orang-orang terkemuka yang berpengaruh, yang sekiranya mereka diwaktu itu masuk Islam, mungkin sekali sebagian besar dari penduduk Mekah akan terbawa oleh mereka masuk Islam, dan akan lebih licinlah kiranya jalan yang akan ditempuh Risalah selanjutnya.
Dapat difahamkan, bahwa Rasulullah s.a.w. ingin sekali melihat mereka menerima kalimah Tauhied dan beliau memusatkan segenap perhatian dan fikiran beliau untuk menghadapi mereka itu dalam percakapan dengan mereka tersebut.
Maka justru disaat itu datang ‘Abdullah bin Ummi Maktum, seorang miskin. Sudah miskin, diapun buta pula. Biarpun buta entah berapa jauhnja jalan yang telah ditempuhnya, selangkah demi selangkah, meraba-raba dengan ujung tongkatnya dan menanjakan jalan kiri-kanan. Usahanya ini semata-mata didorong oleh hasrat dan keinginan yang deras hendak menyambut panggilan Rasul, dan menerima firman Ilahy.
Sesampainya ditempat pertemuan Rasulullah dengan pemimpin-pemimpin Quraisy itu, serta merta dicurahkannyalah isi hatinya dengan caranya yang sederhana :
“Wahai Rasulullah, bacakanlah kepadaku, dan ajarkanlah kepadaku apa-apa yang telah diajarkan Allah kepadamu”.
Oleh karena tak kunjung mendapat sahutan dari Rasulullah yang sedang bertekun menghadapi pembesar-pembesar Quraisy itu, lalu dia mengulangi permintaannya sampai berkali-kali : …………… “Ajarkanlah kepadaku apa-apa yang telah diajarkan Allah kepadamu ! ……………..”.
Dengan sendirinya pembicaraan Rasulullah jadi terganggu oleh intrupsi semacam itu. Rasulullah memalingkan muka dari ‘Abdullah bin Ummi Maktum, dengan air muka yang kecut, lalu meneruskan pembicaraannya dengan pembesar-pembesar Quraisy tadi.
Setelah pembicaraan itu selesai, maka turunlah ayat-ayat pertama dari Surah ‘ABASA WA TAWALLA :
“Ia bermasam muka dan ia berpaling. Lantaran datang kepadanya orang buta itu”.
“Padahal, siapakah yang bisa memberitahumu barangkali ia akan jadi bersih. Atau ia akan ingat; lalu peringatan itu akan bermanfaat baginya !”
“Adapun orang yang merasa serbs cukup itu, engkau menghadap kepadanya. Padahal bukanlah salahmu, kalau dia tidak jadi bersih”.
“Tetapi orang yang berjalan (kaki), sengaja datang kepadamu; padahal dia takut kepada Allah tidak engkau pedulikan”.
“Jangan begitu! Karena sesungguhnya (ajaran-ajaran al-Qur’an itu) adalah peringatan”.
“Maka barangsiapa yang mau, biarlah dia ingat kepada-Nya”.
Kata-kata wahyu Ilahy itu turun sebagai tegoran, lantaran Rasulullah dalam kesungguhannya hendak meng-Islamkan para pembesar Quraisy yang congkak itu, tidak memperdulikan seorang jembel yang sengaja datang kepadanya dari jauh dan dengan susah payah karena memerlukan petunjuk Allah.
Tegoran itu halus tetapi tajam, menyayat laksana sembilu. Tegoran itu ditujukan langsung kepada Rasulullah s.a.w. sendiri.
Perih-pedih rasa hati, karena tegoran yang sangat tajam itu. Tetapi, walaupun bagaimana ayat-ayat Ilahy itu langsung dibacakan dan disampaikannya kepada orang banyak. Tiap-tiap wahyu wajib disampaikan. Dan jiwa Rasulullah cukup besar untuk menyampaikan setiap wahyu, sekalipun pada lahirnya menegor dirinya sendiri!
Seketika itu juga Rasulullah menghadapi dan melayani Ibnu Ummi Maktum, dan menanyakan dengan kata-kata yang lemah lembut : “Apakah yang engkau inginkan; apakak ada sesuatu yang engkau kehendaki ?”
Dan sesudah pembicaraan mereka selesai, dan Ibnu Ummi Maktum sudah bersiap hendak pulang, masih Rasulullah bertanya : “Apakah masih ada yang engkau perlukan ?”
Begitulah peristiwa itu. Satu peristiwa jang dalam sekali tergurisnya dihalaman sejarah Risalah Muhammad s.a.w. Tegoran yang terkandung dalam ayat-ayat pertama dari Surah ‘ABASA itu memang dihadapkan langsung kepada diri Rasulullah. Akan tetapi, pada hakekatnya, itu adalah suatu tegoran dan peringatan yang jangkauannya meliputi kita semua.

Apatah Hikmahnya ?
Pelajaran apakah yang dapat kita simpulkan dari peristiwa itu?
Ayat-ayat pertama dari Surah ‘ABASA tersebut, jang berdjalin dengan peristiwa Ibnu Ummi Maktum itu, meletakkan suatu prinsip, satu qa’idah, yang penting dan besar, dibidang mu’amalah antara sesama manusia. Ia menjawab pertanyaan : ………. Ukuran apakah yang patut dan pantas digunakan untuk menilai mutu pribadi seseorang dengan siapa kita hidup dan bergaul?
Maka dipentaskan secara dramatis dan dengan demikian, amat berkesan bahwa:
bukanlah harta-kekayaan, bukanlah kedudukan dan gengsi duniawi,— ………… bukanlah itu semata-mata yang harus dijadikan ukuran untuk menilai seseorang. Bukanlah setiap jang kuning dan berkilat itu, emas!!.
Dalam pergaulan hidup yang serba benda (materialis), kedudukan lahir, kekuatan physik dan kekayaan, itulah yang biasanya mempersona orang banyak, dan mudah menghasilkan pengikut bagi yang mempunyai itu semua, sekalipun pribadi dan akhlaknya bobrok. Yakni sampai pada suatu saat datangnya cobaan dan ujian, dimana kekayaan dan keunggulan physik semata-mata, tidak berdaya lagi dan segalanya akan ambruk.
Disamping itu, seringkali mutu pribadi yang tinggi baik dilihat dari sudut daya fikirnya ataupun budi-pekertinya ...., tetapi dikalangan orang-orang biasa, yang tak punya apa-apa. Dibawah baju yang koyak-koyak, dan didalam gubuk yang hampir runtuhpun, seringkali otak yang encer, moral yang tinggi, ketabahan hati yang teguh, lebih daripada dikalangan kebanyakan orang yang telah menampakkan dirinya sebagai “orang besar”, dan berlagak.

Nilai Taqwa
Ringkasnya, peristiwa Ibnu Ummi Maktum itu mementaskan dengan jelas tafsir dari satu qa’idah dalam syariat Islam : “Sesungguhnya yang termulia diantara kamu dalam penilaian Allah adalah orang yang lebih berbakti diantara kamu”.
Dan pada akhirnya, memang penilaian Allah itu jualah, penilaian yang menentukan! Yang menentukan kedudukan seseorang diantara sesama manusia didunia ini dan kedudukannya dialam akhirat nanti.
Maka dalam pertumbuhan ummat Muhammad s.a.w. semenjak ummat itu merupakan tunas, lalu mekar, mengurai berkelopak, tumbuh berkembang, sampai uratnja menghunjam kebumi dan pucuknya menjulang kelangit maka memang qa’idah inilah yang berlaku dari ukuran Ilahy inilah yang dipakai yakni ukuran taqwa.
Dan taqwa itulah yang melapangkan jalan, menciptakan iklim jang segar dalam jiwa seseorang untuk berkembang; menyinari bibit: potensi jang ada pada dirinya sehingga ia dapat mekar menurut bakatnya.
Maka seseorang memperoleh tempat, sesuai dengan perkembangan dan kapsitet masing-masing.
Taqwa itulah, sebenarnja yang menegakkan tiang tengah, “soko guru” bagi pribadi seseorang, yang pada hakekatnya memberi kata keputusan dalam menentukan mutunya, yakni apa jang dinamakan: watak, karakter.
Tidak ada rintangan berupa warna kulit atau keturunan. Tidak ada halangan “kelas” dan “suku” atau “golongan”.
Dalam suasana dan iklim yang demikianlah seseorang ‘Abdullah bin Ummi Maktum telah dapat berkembang sehingga patut diserahi tanggung-djawab sebagai Gubernur kota Medinah, selama Rasulullah bepergian, walaupun secara physik, dia seorang buta.

Beberapa Tokoh Teladan Lainnya
Seorang Bilal, seorang Habsyi yang tadinya seorang budak tawanan Musyrikien Quraisy, mendapat kedudukan yang terhormat dan disegani, baik sebagai pejuang, ataupun sebagai Guru dan Muazdin dikota Medinah.
Seorang Salman Al-Farisy, yang berasal dari Persi dapat menjadi seorang sahabat yang terkemuka, malah diangkat oleh Rasulullah sebagai anggauta rumah-tangga beliau.
Demikianlah pula seorang pemuda berumur 17 tahun seperti Usamah bin Zaid dapat diangkat sebagai Panglima tentara untuk dikirim kemedan perang Syam, lantaran Usamah mencukupi syarat-syarat yang diperlukan untuk tugas itu. Banyak diantara para pejuang tua diantara Muhajirin dan Anshar yang “sudah lebih banyak makan garam” perjuangan dan peperangan dengan suka dan ikhlas hati menerima pimpinan Usamah bin Zaid, dan turut kemedan perang dibawah komando Panglima muda ini. Tidak ada diantara mereka yang merasa “terlangkahi”, lantaran merasa mempunjai semacam “historis recht” untuk jadi Panglima……………. Bersih mereka dari gangguan ananiyah dan akuisme, yang semacam itu.
Kedudukan ………….. jiwa, “mental set-up” yang demikian ini dipentaskan dan didemonstrasikan oleh Khalifah Abu Bakar sendiri dengan cara yang mengharukan :
Waktu Usamah dengan tentaranya berangkat, diantarkannya Usamah beramai-ramai sampai keluar kota. Panglima Usamah menunggangi kuda-komando. Khalifah Abu Bakar berjalan kaki disampingnya. Maka tidaklah Usamah diwaktu itu berlagak besar dan merasa besar, ibarat sibujang baru berkeris, sigadlis baru bercincin, tak peduli siapa-siapa lagi. Malah Usamah merasa gelisah, melihat Khalifah berjalan kaki sedangkan dia menunggang kuda.
“Wahai Khalifah Rasulullah”, katanya, “Naiklah tuan mengendarai kudaku ini, kalau tidak aku akan turun berjalan kaki !”.
Jawab Khaljfah : “Demi Allah, jangan engkau turun; demi Allah aku tidak akan naik. Tidak apa-apa bagiku, kalau kuperdebukan kakiku pada jalan Allah barang sejam !”
Khalifah Abu Bakar memerlukan Umar bin Khaththab sebagai pembantunya. Tetapi Umar berada dibawah komando Usamah. Tak bisa Umar dihubungi begitu saja. Dengarkan bagaimana Khalifah Abu Bakar memintakan izin untuk Umar kepada Panglima Usamah :
“Jika engkau memandang baik, untuk membantu ku dengan Umar, silahkanlah”.
Inilah jiwa yang besar. Yang pandai mendudukkan sesuatu pada tempatnya. Yang tahu akan kewadjiannya yang essensiil sebagai Pemimpin-pembina ummat, yakni “membimbing untuk dapat melepaskan”. Sebelum patah, tunas pengganti diusahakannya tumbuh. Dan tunas itu hanya bisa mekar dibawah tekanan tanggung-jawab! Lalu diberinya tanggung-jawab itu. Hanya dengan begitu pembangunan ummat dapat berlangsung dengan kontinyu, makanya bisa: patah tumbuh, hilang berganti.
Kita lihat pula teman-teman ‘Abdullah bin Ummi Maktum yang lain yang sama-sama berasal dari rakyat jelata. Kita kenal ‘Ammar bin Yasir, seorang pemuda yang termasuk salah seorang dari lebih kurang 40 anggauta jamaah Islam ditahun pertama, yang kedua ibu-bapanya syahid kena siksa oleh Musyrikin Quraisy, dan dia sendiri kena siksa hampir mati lantaran hendak tetap beriman kepada Allah dan Rasul. Dia turut berhijrah ke Medinah, dilaluinya seluruh ujian dan penderitaan bersama-sama dengan Rasulullah sampai akhir. Dia berkembang menjadi seorang sahabat yang terkemuka dalam hal kecerdasan dan watak kepribadiannya.
Apabila seorang ahli-bait Rasulullah menyampaikan bahwa “‘Ammar bin Yasir datang ingin bertemu”, Rasulullah menyahut :
“Silahkan dia masuk dengan kesukaan dan kesenangan yang berlimpah”.
Demikian pula Nu’aim bin Mas’ud yang tadinya seorang tak dikenal, berasal dari suku Gathfan, berkembang menjadi salah seorang sahabat, tangan kanan Rasulullah yang memperoleh kepercayaan beliau sepenuhnya.
Dan beberapa waktu sebelum Rasulullah s.a.w. berpulang kerakhmatullah, beliau pernah berpesan kepada Abu Huzdaifah seorang sahabat yang bukan sembarangan pula, kata beliau : “Aku tak tahu berapa lama lagi aku akan berada ditengah-tengah kamu. Maka ikutilah, dua orang itu sesudah-ku (dan beliau menunjuk kepada Abu Bakar dan Umar r.a.). Dan mintalah petunduk kepada ‘Ammar, dan bila Ibnu Mas’ud mengatakan sesuatu, percayalah !”.
Disamping ‘Ammar, Ibnu Mas’ud, Abdullah Ibn Ummi Maktum dan Usamah ini, ada ratusan dan ribuan para dhu’afa yang bertahun-tahun berjihad sama-sama menegakkan qa’idah dan membina ummat, sama-sama “mengarak bola-perjuangan sampai kepada sasarannya” dengan cara yang gemilang.

Mereka Yang Merasa Sudah “Arrive
Adapun pembesar-pembesar Quraisy yang telah dilayani secara istimewa oleh Rasulullah itu, terus saja membandel, karena merasa diri sudah orang-orang besar, tidak perlu kepada petunjuk-petunjuk lagi. Mereka termasuk orang-orang yang mengusir Rasulullah beserta jamaah Islam yang masih lemah waktu itu, dari kota Mekah.
Barulah beberapa tahun sesudah itu, sesudahnya ternyata bahwa Ummat Islam dibawah pimpinan Rasulullah kian hari kian bertambah kuat, dan tak dapat dikalahkan, …….. barulah diantara mereka itu antara lain Al-’Abbas (paman Rasulullah) menerima panggilan Islam.
Ummat Islam beruntung sekali memiliki orang-orang berkaliber besar disamping Rasulullah s.a.w. seperti Abu Bakar, Umar, Usman, ‘Ali dan lain-lainnya. Tetapi bagaimana gerangan mereka akan dapat mengatasi segala tantangan dan rintangan dalam menegakkan Risalah sampai mencapai kemenangan, kalaulah tidak dengan tenaga lahir-batin pula daripada yang disebut kaum dhu’afa yang “tak pakai nomor” tadinya itu!
Inilah yang dimaksud oleh peringatan Rasulullah s.a.w. :
“Kamu hanya akan mencapai kemenangan dengan kekuatan golongan lemah diantara kamu !”
-----------------------
Disajikan kembali dari buku “dibawah naungan risalah” tulisan M. Natsir, Sinar Hudaya – Documenta 1971, halaman 9 - 22.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar