Bekas-bekas penyerangan terhadap para penjajah. Foto: Safa |
AL-QUDS TERJAJAH, Rabu (Safa | Sahabat Al-Aqsha): Ibarat kucing makan ikan curian, tak akan tenang, dan selalu dalam keadaan kalut. Takut ketahuan. Takut ikan curian diambil kembali oleh pemiliknya.
Begitulah perasaan kaum Zionis Yahudi, terutama para pemukim ilegal yang berimigrasi ke Palestina sejak negeri ini diklaim bernama ‘Israel’ bulan Mei 1948. Klaim negara palsu ‘Israel’ itu selama 66 tahun ini dipertahankan dengan teror, perampokan, pengusiran, penyekapan, penyiksaan, penghinaan dan pembantaian tanpa henti.
Gaza, Tepi Barat, dan Al-Quds atau Jerusalem adalah saksi-saksinya.
Hari-hari ini, di mata warga Palestina di kota Al-Quds, kalut, bingung dan panik itu semakin jelas terlihat di wajah para pemukim ilegal Yahudi. Terutama sesudah terjadi serangkaian aksi perlawanan para Syuhada Palestina dengan menabrak, menikam, dan menyerang para penjajah dengan alat apa adanya.
Warga Al-Quds yang diwawancarai oleh kantor berita Safa, mengaku belum pernah menyaksikan kekalutan di wajah-wajah para pemukim ilegal Yahudi, sekentara sekarang ini sejak Al-Quds diduduki 1967.
“Bahkan di waktu Intifadhah akhir tahun 1980-an pun dampaknya tidak sekuat ini,” kata Hussain Ar-Rajbi, supir angkutan umum di kota Al-Quds. Menurut Hussain, para pemukim ilegal Yahudi kelihatan semakin cemas. “Al-Quds sudah tak aman lagi bagi mereka,” tandasnya.
Gaza, Tepi Barat, dan Al-Quds atau Jerusalem adalah saksi-saksinya.
Hari-hari ini, di mata warga Palestina di kota Al-Quds, kalut, bingung dan panik itu semakin jelas terlihat di wajah para pemukim ilegal Yahudi. Terutama sesudah terjadi serangkaian aksi perlawanan para Syuhada Palestina dengan menabrak, menikam, dan menyerang para penjajah dengan alat apa adanya.
Warga Al-Quds yang diwawancarai oleh kantor berita Safa, mengaku belum pernah menyaksikan kekalutan di wajah-wajah para pemukim ilegal Yahudi, sekentara sekarang ini sejak Al-Quds diduduki 1967.
“Bahkan di waktu Intifadhah akhir tahun 1980-an pun dampaknya tidak sekuat ini,” kata Hussain Ar-Rajbi, supir angkutan umum di kota Al-Quds. Menurut Hussain, para pemukim ilegal Yahudi kelihatan semakin cemas. “Al-Quds sudah tak aman lagi bagi mereka,” tandasnya.
Menurut Hussain, sejak banyak aksi tabrak serdadu Zionis Yahudi yang dilakukan beberapa pemuda Palestina, “para pemukim ilegal Yahudi kini selalu merasa sewaktu-waktu akan ditabrak oleh supir Palestina.”
Pengamatan jalanan ini secara tak langsung dibenarkan oleh pengamat politik Zionis, Amos Harel yang disiarkan koran Haaretz (19/11), “Perlawanan rakyat Palestina di kota Al-Quds menggunakan pisau dan tabrak mobil sangat efektif dalam membuat gentar dan takut pemukim Yahudi.”
Bahkan Amos menegaskan, bahwa perlawana jenis baru ini telah “mengembalikan keadaan di Al-Quds mundur ke masa Intifadhah kedua, hari-hari yang sulit dan berdarah.”
Pengamatan jalanan ini secara tak langsung dibenarkan oleh pengamat politik Zionis, Amos Harel yang disiarkan koran Haaretz (19/11), “Perlawanan rakyat Palestina di kota Al-Quds menggunakan pisau dan tabrak mobil sangat efektif dalam membuat gentar dan takut pemukim Yahudi.”
Bahkan Amos menegaskan, bahwa perlawana jenis baru ini telah “mengembalikan keadaan di Al-Quds mundur ke masa Intifadhah kedua, hari-hari yang sulit dan berdarah.”
Intifadhah pertama meledak dari Gaza Desember 1987, sesudah empat pemuda Palestina tewas ditabrak sebuah truk tentara Zionis. Intifadhah kedua meledak September 2000, sesudah calon perdana menteri zionis waktu itu Ariel Sharon, berkampanye dengan memasuki dan menginjak-injak Masjidil Aqsha.
Menurut Amos, ketidak mampuan ‘Israel’ dalam menghadapi situasi ini sangat jelas. Bukan karena rakyat Palestina yang bisa bergerak bebas, tetapi juga karena tidak adanya serdadu penjajah yang berjaga di wilayah di luar tembok pemisah di Tepi Barat. Tambahan lagi, menurut Amos, informasi yang dimiliki pihak Zionis tentang aksi perlawanan rakyat Palestina di kota Al-Quds sangat sedikit.
Wartawan Channel 10 Zionis bernama Tzvika Izquili memberikan kesimpulan yang sangat tajam, setelah memantau pemukiman Yahudi di Al-Quds. “Tidak seperti di masa lalu, sekarang tembok-tembok pemisah tidak akan berfaedah sama sekali, karena mereka (rakyat Al-Quds) hidup bersama kita, rumah-rumah orang arab dan Yahudi saling berdekatan satu sama lain. Saat ini pemukim Yahudi di kota Al-Quds hidup dalam ketakutan,” kata Tzvika.
Kepala urusan manuskrip di Masjidil Aqsha, Syeikh Najih Bakirat mengatakan, “Kita harus menghidupkan budaya perlawanan dan jangan sampai menyerah dalam membela Masjidil Aqsha dan tempat suci lain. Kita harus kuat saat menghadapi penjajah. Jalan yang kita tempuh untuk menghadapi penjajah adalah perlawanan, bukan perundingan.”
Syeikh Najih menambahkan, “Sudah terbukti selama puluhan tahun, perundingan membawa kita pada kerugian besar, hanya perlawanan yang bisa membuat penjajah faham.”
Sementara menurut Muhamad Abu Ghoush, relawan pemuda Al-Quds, perlawanan di kota ini memberikan pukulan telak bagi serdadu dan intelijen penjajah zionis. Menurutnya, serdadu penjajah tidak becus menghadapi gencarnya perlawanan ini, “Yang mereka lawan adalah seperempat juta rakyat Paletina di seluruh kota Al-Quds.”
Muhammad menegaskan, penjajah Zionis paham betul, penyerangan dan penodaan terhadap Masjidil Aqsha tidak akan dibiarkan begitu saja, justru mereka harus membayar mahal perbuatannya itu.
Perlawanan jenis baru di kota Al-Quds meledak beberapa hari sesudah 5 November 2015 lalu, ketika ratusan serdadu dan polisi penjajah Zionis menyerbu Masjidil Aqsha, menyerang jama’ah, melukai puluhan orang, masuk ke dalam masjid dan mengobrak-abriknya, termasuk membakar sebagian karpetnya.
Muhammad mengingatkan, selama ini penjajah berkuasa di Al-Quds karena dua hal, perasaan aman dan keuntungan ekonomi. “Keduanya sudah mulai berhasil dirobohkan sekarang,” tegasnya.
Semoga Allah tolong dan menangkan.* (Safa|Sahabat Al-Aqsha|3 Desember 2014, 13:50 WIB).
Wartawan Channel 10 Zionis bernama Tzvika Izquili memberikan kesimpulan yang sangat tajam, setelah memantau pemukiman Yahudi di Al-Quds. “Tidak seperti di masa lalu, sekarang tembok-tembok pemisah tidak akan berfaedah sama sekali, karena mereka (rakyat Al-Quds) hidup bersama kita, rumah-rumah orang arab dan Yahudi saling berdekatan satu sama lain. Saat ini pemukim Yahudi di kota Al-Quds hidup dalam ketakutan,” kata Tzvika.
Kepala urusan manuskrip di Masjidil Aqsha, Syeikh Najih Bakirat mengatakan, “Kita harus menghidupkan budaya perlawanan dan jangan sampai menyerah dalam membela Masjidil Aqsha dan tempat suci lain. Kita harus kuat saat menghadapi penjajah. Jalan yang kita tempuh untuk menghadapi penjajah adalah perlawanan, bukan perundingan.”
Syeikh Najih menambahkan, “Sudah terbukti selama puluhan tahun, perundingan membawa kita pada kerugian besar, hanya perlawanan yang bisa membuat penjajah faham.”
Sementara menurut Muhamad Abu Ghoush, relawan pemuda Al-Quds, perlawanan di kota ini memberikan pukulan telak bagi serdadu dan intelijen penjajah zionis. Menurutnya, serdadu penjajah tidak becus menghadapi gencarnya perlawanan ini, “Yang mereka lawan adalah seperempat juta rakyat Paletina di seluruh kota Al-Quds.”
Muhammad menegaskan, penjajah Zionis paham betul, penyerangan dan penodaan terhadap Masjidil Aqsha tidak akan dibiarkan begitu saja, justru mereka harus membayar mahal perbuatannya itu.
Perlawanan jenis baru di kota Al-Quds meledak beberapa hari sesudah 5 November 2015 lalu, ketika ratusan serdadu dan polisi penjajah Zionis menyerbu Masjidil Aqsha, menyerang jama’ah, melukai puluhan orang, masuk ke dalam masjid dan mengobrak-abriknya, termasuk membakar sebagian karpetnya.
Muhammad mengingatkan, selama ini penjajah berkuasa di Al-Quds karena dua hal, perasaan aman dan keuntungan ekonomi. “Keduanya sudah mulai berhasil dirobohkan sekarang,” tegasnya.
Semoga Allah tolong dan menangkan.* (Safa|Sahabat Al-Aqsha|3 Desember 2014, 13:50 WIB).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar