"Dan mereka tidak menyiksa orang-orang mukmin itu melainkan karena orang-orang mukmin itu beriman kepada Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji". (QS. al-Buruj (85) : 8)

Senin, 24 Oktober 2011

MANUSIA MENYADARI AKAN DIRINYA SENDIRI

Yang dimaksud disini hendaknya manusia menyadari bahwa dia adalah mahluk Allah pada permulaan dan pada akhirnya. Allah SWT yang telah menciptakannya dari tiada. Kemudian diberinya roh, rasa dan gerak. Dianugerahkan kepadanya pendengaran, penglihatan dan hati. Dilimpahkan baginya karunia nikmat lahir dan batin, kesehatan dan kekuatan tubuh, harta dan benda dan anak keturunan
Firman Allah
“Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dan Allah-lah (datangnya), dan bila kamu ditimpa kemudharatan, maka hanya kepada-Nya-lah kamu meminta pertolongan” (An-Nahl : 53).

Dan jika ditarik kembali sebagian yang dimiliki manusia maka sudah seharusnya dia tidak marah kepada pemberinya dan pemiliknya. AlQur’an mengajarkan bagi orang-orang yang sabar (yang dijanjikan kabar gembira, shalawat dan hidayah dari Allah). Jika mereka terkena musibah agar mengatakan :
“Inna lillahi wainna ilaihi rojiuun”. (Al-Baqarah :156).
Sesungguhnya kita dari Allah dan kepada-Nya-lah kita kembali.

Ibnul Qoyyim berkata “Ucapan itu merupakan yang mujarab bagi yang ditimpa kemalangan dan bermanfaat baginya pada saat terkena dan untuk selanjutnya. Bila seseorang mengetahui dengan tepat dia akan terhibur dari penderitaannya." Karena ucapan itu mengandung dua unsur.
Pertama : Tiap orang, keluarganya dan hartanya, statusnya bersifat ”tidak ada”. Tidak ada sebelum diperolehnya dan tidak ada sesudah lepas dari tangannya. Kalau dia dapat menghilangkan kedua negasi tersebut barulah itu miliknya. Tapi sesudah ada ditangannyapun dia tidak mampu memelihara/ menjaga dari kerusakan dan dia tidak dapat menjamin kepemilikannya untuk selamanya.
Kedua : Pada akhirnya dia harus kembali kepada Allah dan meninggalkan segala urusan dunia. Dia akan menghadap Rabb-nya seorang diri seperti waktu dilahirkan. Kembali tanpa keluarga, harta dan kawan, yang dia bawa hanyalah amalan kebaikan atau kejahatannya. Bila ia memikirkan awal terciptanya dan akhir perjalanannya hidupnya ia akan terhibur. Di dalam Asshohihain dan sumber lain tercatat kisah ummu Sulaim bersama suaminya Abu Thalhah; anak mereka yang sedang sakit meninggal sedang Abu Thalhah tidak ada dirumah. Ummu Sulaim memandikannya, mengkafaninya dan memberinya wewangian dan menutupnya dengan kain. Ketika Abu Thalhah pulang pada malam hari dia menanyakan kesehatan si anak. Ummu Sulaim menjawab : “Dia tenang dan sedang istirahat” (yang dimaksud ummu Sulaim ialah istirahat wafat dan Abu Thalhah mengira istirahat tidur). Malam itu Ummu Sulaim merayu suaminya sehingga mereka mengadakan hubungan suami istri. Keesokan harinya ketika Abu Thalhah akan kemesjid untuk sholat subuh, Ummu Sulaim menitipkan barang kemudian diminta kembali apakah boleh ditolak?”
Abu Thalhah menjawab “Tidak, tidak benar bila ditolak. Harus dikembalikan kepada yang menitipkan”.
Ummu Sulaim berkata Allah telah menitipkan Fulan (disebut nama anak mereka) kemudian diambilnya kembali.’
Abu Thalhah mengucapkan kalimat istirjaa’ : " inna lillahi wainna ilaihi rojiuun " Kemudian dia pergi ke mesjid sholat bersama Rasulullah Saw dan menceritakan peristiwanya kepada beliau.
Mendengar itu Rasulullah itu bersabda :
”Semoga Allah memberi berkah, keturunan pengganti kepada kalian berdua atas kejadian (senggama) malam tadi.”
Dan berkah anugerah Allah hasil senggama malam itu lahir anak mereka yang diberi nama Abdullah. Dan kemudian Abdullah mempunyai sembilan orang anak semuanya hafal Al-Qur’an.
---------
AL-QURAN MENYURUH KITA SABAR, Dr. Yusuf Qordhowi, Penerbit Gema Insani Press Jakarta,Cetakan kedua Nopember 1989, halaman 91 - 92

Tidak ada komentar:

Posting Komentar