"Dan mereka tidak menyiksa orang-orang mukmin itu melainkan karena orang-orang mukmin itu beriman kepada Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji". (QS. al-Buruj (85) : 8)

Sabtu, 22 Oktober 2011

BANGSA YANG MENGANGGAP DIRINYA PALING PANDAI

Allah berfirman (QS. Al-Baqarah : 142)
Orang-orang bodoh di antara manusia akan berkata, “Apa yang memalingkan mereka dari kiblat yang dahulu mereka menghadapnya? Katakanlah, “Milik Allah timur dan barat” Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus.”

Ketika Nabi pindah ke Madinah, selama masa 16 bulan, kiblat umat Islam adalah Masjidil Aqsha di Baitul Maqdis. Masjidil Aqsha adalah kiblat para Nabi Bani Israil. Bahkan orang Yahudi beranggapan Nabi yang benar-benar menjadi utusan Allah kiblatnya adalah Masjidil Aqsha.
Akan tetapi Nabi memohon kepada Allah agar dibolehkan menjadikan Masjidil Haram sebagal kiblatnya. Karena ke tempat inilah Nabi Ibrahim berkiblat. Permohonan Nabi ini dikabulkan oleh Allah, sehingga menjadilah Ka’bah sebagai kiblat bagi Rasulullah dan ummat Islam untuk selama-lamanya.
Perpindahan kiblat yang dilakukan Rasulullah ini mendapat celaan dan kritik dari kaum munafiq, Yahudi dan musyrik bangsa Arab. Mereka dengan heran berkata, “Apakah motif yang mendorong kaum muslimin berpindah kiblat dari Masjidil Aqsha ke Masjidil Haram, padahal para Nabi dan Rasul dahulu berkiblat padanya?”
Pertanyaan dan cemoohan mereka ini, kemudian Allah perintahkan kepada Rasul-Nya untuk menjawab “Segala arah adalah milik Allah”. Karena itu hakekat lapangan yang ada di Baitul Maqdis tidak lebih baik dari hakekat batu-batu yang lain. Yang tidak ada manfaatnya seperti juga yang lainnya. Begitu juga Ka’bah dan Baitul Haram. Allah jadikan dia sebagai kiblat bagi manusia hanya untuk menyatukan mereka dalam ibadah. Tetapi orang-orang yang akalnya rusak menyangka bahwa kiblat itu merupakan pokok agama dengan melihat batu atau bangunan itu sendiri. Bahkan hal ini membuat Yahudi sampai berkata, kepada Rasulullah saw, “Kembalilah kepada kiblat kami, nanti kami akan ikut dan iman kepadamu”.
Maksud omongan mereka ini hanyalah sebagai ujian pada Nabi saw dan hinaan kepada agamanya. Menghadap atau tidak menghadap kiblat itu adalah perbuatan bukan tanpa dasar, sehingga mereka juga berani berkata, “Sebenarnya dulu Muhammad benci menghadap kiblat leluhurnya, kemudian sekarang kembali lagi dan nanti kembali pula pada agama mereka”.
Ucapan kaum Yahudi ini membuktikan bahwa mereka adalah golongan materialis, yaitu golongan manusia yang hanya semata-mata memperhatikan hal-hal yang formal dan bersifat materi. Namun Allah menghendaki kaum muslimin sebagai golongan manusia yang bersikap tengah-tengah, yaitu yang menjadikan hal-hal kebendaan semata-mata sebagai alat yang mempermudah memahami sesuatu. Karena itu menjadikan Masjidil Haram sebagai kiblat hanyalah semata-mata bersifat alat untuk menyatukan arah segenap kaum muslimin di dalam mengerjakan shalat.
Allah menegaskan bahwa kaum muslimin dijadikan saksi di atas segenap umat manusia. Maksudnya ialah agar kaum muslimin menjadi ummat yang mempelopori tegaknya kebenaran di tengah-tengah ummat yang lain dan menjadi manusia yang ideal sehingga dapat memberikan contoh dan memegang amanat dengan baik. Manusia yang menunaikan amanat dengan baik ialah orang yang dapat menjalankan kewajiban kepada Tuhannya, baik bersifat jasmaniah maupun rohaniah, kepada keluarga dan seluruh ummat manusia.
Akan tetapi Bangsa Yahudi karena kebenciannya kepada kaum muslimin sewaktu berpindah kiblat dari Baitul Maqdis ke Masjidil Haram, lalu mereka menganggap kaum muslimin sebagai ummat yang bodoh. Jadi penilaian kaum Yahudi terhadap kaum muslimin ini semata-mata karena mereka tidak sependapat dengan perpindahan kiblat tersebut.
Padahal perpindahan kiblat yang Allah perintahkan kepada kaum muslimin di Madinah itu semata-mata untuk membuktikan dan menguji siapakah yang beriman teguh dan siapakah yang lemah. Di sini ujian iman yang menjadi tujuan pokok dan bukannya perpindahan kiblat itu sendiri. Ringkasnya, Allah menguji orang-orang beriman dengan cara yang dapat membuktikan siapa yang sejati dan siapa yang ragu. Sehingga orang yang telah mengerti rahasia dan hikmah agama, akan tetap teguh, tetapi orang-orang yang beragama karena tradisi, tanpa pengertian akan menjadi bimbang dan ragu.
--------
76 Karakter Yahudi dalam Al-Qur’an karya Syaikh Mustafa Al-Maraghi, penyusun Drs. M. Thalib, Penerbit CV. Pustaka Mantiq Solo, cetakan pertama April 1989, halaman 88 - 91

Tidak ada komentar:

Posting Komentar