Hai orang-orang yang beriman ! janganlah kamu angkat suara-suara kamu lebih dari pada suara Nabi, dan janganlah kamu keraskan omongan, kepadanya, sebagaimana sebahagian kamu keraskan terhadap sebahagian, karena khawatir akan gugur amal-amal kamu, padahal kamu tidak sadar. (QS. 49 : 2).
Sesungguhnya orang-orang yang merendahkan suara-suara mereka di sisi Rasulullah, merekalah orang-orang yang telah diuji oleh Allah hati mereka untuk berbakti; bagi mereka ada keampunan dan ganjaran yang besar. (QS. 49 : 3).
Sesungguhnya orang-orang yang memanggilmu dari luar bilik-bilik itu, kebanyakan dari mereka tidak mengerti. (QS. 49 : 4).
Padahal kalau mereka bersabar sehingga engkau keluar menemui mereka, niscaya adalah yang demikian lebih baik bagi mereka, tetapi Allah itu Pengampun, Penyayang. (QS. 49 : 5).
Tafsir Ayat
QS. 49 : 2. "Hai orang-orang yang beriman ! janganlah kamu angkat suara-suara kamu lebih dari pada suara Nabi, dan janganlah kamu keraskan omongan, kepadanya,...". Berhadapan dengan Nabi s.a.w. ketika berbicara dalam hadapan majelis ataupun sendiri dengan beliau, janganlah bersuara keras, karena bersuara keras itu pun sikap yang tidak hormat kepada beliau.
"... karena khawatir akan gugur amal-amal kamu, padahal kamu tidak sadar". Ibnu Katsiir di dalam tafsirnya menukilkan, bahwasannya berkata lemah lembut itupun berlaku Nabi s.a.w. bukan saja diwaktu hidup beliau, bahkan didekat makam beliau saat berziarah hendaknya bersikap lemah lembut, sopan santun dan jangan bersuara keras.
Dalam kitab "Madarijus Salikin", Ibnul Qayyim al-Jauziyah menerangkan juga bahwa hendaklah kita menjaga juga kesopanan kita bilamana ada orang sedang menuturkan suatu hadits dari sabda beliau, dengarkanlah baik-baik dengan penuh hormat, apalagi jika kita yang membacanya.
Latar Belakang Turunnya Ayat
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa orang-orang berbicara keras dan nyaring ketika berbicara dengan Nabi s.a.w. Maka turunlah ayat ini (S. 49 : 2) sebagai larangan akan perbuatan seperti itu. Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir yang bersumber dari Qatadah.
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa ketika turun ayat : “La tarfau ashwatakum fauqa shautin nabi” (S. 49: 2) terhempaslah Tsabit bin Qais di jalan sambil menangis. Ketika itu lalulah Ashim bin ‘Adi bin al-Ajlan dan bertanya : “Mengapa engkau menangis ?“. Ia menjawab “Aku takut ayat ini turun berkenaan diriku, karena aku ini seorang yang bersuara keras”. Hal ini diajukan oleh ‘Ashim itu kepada Rasulullah saw. dan Tsabit pun dipanggil. Rasul bersabda: “Apakah engkau tidak ridla jika engku hidup terpuji, mati syahid, dan masuk surga”. Ia menjawabnya : “Aku ridla” dan aku tidak akan mengeraskan suaraku selama-lamanya di hadapan Rasulullah saw.”. Maka turunlah ayat selanjutnya (S. 49 : 3) yang melukiskah janji Allah kepada orang-orang yang taat akan ketetapan-Nya. Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir yang bersumber dari Muhammad bin Tsabit bin Qais bin Syamas.
QS. 49 : 3. "Sesungguhnya orang-orang yang merendahkan suara-suara mereka di sisi Rasulullah, merekalah orang-orang yang telah diuji oleh Allah hati mereka untuk berbakti;...". Ini amat penting diperhatikan, karena ada setengah manusia yang sangat bernafsu buat turut berbicara, baik di zaman Nabi s.a.w. ataupun sampai sekarang. Maka kalau kita dapat menahan hati, tidak turut bicara, turut bertanya, itupun suatu ujian juga bagi kebaktian / ketakwaan hati kita. Sebab menjaga pertumbuhan rasa takwa dalam jiwa kita sendiri adalah lebih penting daripada mengemukakan pertanyaan.
"... bagi mereka ada keampunan dan ganjaran yang besar". Orang yang dapat membatasi diri sehingga sikap yang tadinya terburu hendak bertanya, setelah dibawa berpikir tenang, tidak jadi dia bertanya. Bagi mereka disediakan ampunan dan pahala yang besar. Lantaran itu sikap manapun yang akan kita ambil hendaklah ingat suatu tujuan yang suci, memelihara rasa takwa yang mulai tumbuh dalam diri.
QS. 49 : 4. Sebagaimana dimaklumi, ketika mulai perjuangan dan perkembangan Islam memang ada pengikut Rasulullah berasal dari berbagai golongan; ada orang kota dan ada orang dusun (badwi). Adalah orang-orang badwi yang tidak mengenal kesopanan yang halus, mereka datang dari dusun hendak menemui Rasulullah di waktu beliau istirahat, sambil berteriak-teriak dari luar rumah. Maka tidaklah layak, tidak sopan kalau memanggil Nabi di waktu-waktu tersebut. Dalam ayat ini dikatakan bahwa orang yang seperti itu tidak mempergunakan akalnya.
QS. 49 : 5. "Padahal kalau mereka bersabar sehingga engkau (Nabi) keluar menemui mereka, niscaya adalah yang demikian lebih baik bagi mereka,...". Kalaulah orang-orang itu mempergunakan akal yang sehat, tidaklah layak mereka memanggil-manggil dari luar. Tunggu sajalah baik-baik dengan sabar, niscaya di waktu tertentu, beliau akan keluar kepada orang ramai, berjama'ah ke masjid menjadi iamam,. Sesudah sholat beliau memberi nasehat, fatwa dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang penting. Maka yang sebaik-baiknya, demi sopan santun dengan Rasulullah, lebih baik menunggu dengan sabar. Sebab beliau pun amat rindu bertemu dengan sahabat-sahabatnya dan ummat skalian.
"..., tetapi Allah itu Pengampun, Penyayang". Terburu memanggil Rasulullah dengan tidak beraturan merupakan kesalahan yang lewat karena belum tahu. Tetapi untuk selanjutnya tentu tidak boleh berbuat serampangan. Sebab Allah ta'ala memperlakukan Rasul-Nya dengan penuh hormat, memanggil gelar dan jabatannya pada tiap waktu tertentu dengan tidak menyebut namanya, mengangkat martabatnya sampai tinggi, tentu seharusnya kita ummatnya.
Latar Belakang Turunnya Ayat QS. 49 : 4 - 5
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa apabila orang-orang Arab berkunjung ke rumah Rasulullah saw. mereka berteriak memanggil Rasulullah dari luar dengan ucapan-ucapan : “Hai Muhammad! Hai Muhammad!”. Maka Allah menurunkan ayat ini (S. 49 4, 5) yang melukiskan bahwa perbuatan seperti itu bukanlah akhlak Islam. Diriwayatkan oleh at-Thabarani dan Abu Ya’la dengan sanad yang Hasan yang bersumber dari Zaid bin Arqam.
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa seorang laki-laki datang kepada Nabi saw. sambil berteriak memanggilnya dari luar : “Hai Muhammad! Pujianku sangat baik tapi juga cacianku sangat tajam”. Rasulullah bersabda : “Celakalah engkau, yang bersifat demikian itu adalah Allah”. Ayat ini (S. 49: 4) turun sebagai larangan kepada orang-orang yang suka berteriak-teriak dari luar rumah. Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq dari Ma’mar yang bersumber dari Qatadah. Riwayat ini mursal tapi mempunyai saksi-saksi yang marfu’ dari Hadits al-Barra bin ‘Azib dan lainnya yang ada dalam kitab Sunan Tirmidzi tapi tidak menyebutkan nuzulul ayat. Diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir yang bersumber dari Hasan.
Dalam riwayat lain dkemukakan bahw al-’Aqra bin Habis memanggil-manggil Raulullah saw dari luar rumah, akan tetapi Rasulullah s.a.w., tidak menjawabnya. Ia pun berteriak : “Hai Muhammad ! Sesungguhnya pujianku baik, dan cacianku sangat tajam”. Bersabdalah Rasulullah “Yang bersifat demikian itu adalah Allah?’. Ayat ini (S. 49 4, 5) turun berkenaan dengan peristiwa tersebut di atas. Diriwayatkan oleh Ahmad dengan Sanad yang shahih yang bersumber dari al-’Aqra bin Habis.
Dalam riwayat lain dikemukaka bahwa al-Aqra datang kepada Nabi s.a.w. dan berteriak-teriak dari luar rumah : “Hai Muhammad ! keluarlah”. Ayat ini (S. 49 4, 5) turun sebagai teguran terhadap kekurang-sopanan dalam bertamu. Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan lainnya yang bersumber dari al-‘Aqra.
---------------
Bibliography :
Tafsir Al-Azhar Juzu' XXVI, Prof Dr. Haji Abdulmalik Abdulkarim Amrullah (Hamka), Penerbit Pustaka Islam Surabaya, cetakan ketiga 1984, halaman 239 - 243.
Sesungguhnya orang-orang yang merendahkan suara-suara mereka di sisi Rasulullah, merekalah orang-orang yang telah diuji oleh Allah hati mereka untuk berbakti; bagi mereka ada keampunan dan ganjaran yang besar. (QS. 49 : 3).
Sesungguhnya orang-orang yang memanggilmu dari luar bilik-bilik itu, kebanyakan dari mereka tidak mengerti. (QS. 49 : 4).
Padahal kalau mereka bersabar sehingga engkau keluar menemui mereka, niscaya adalah yang demikian lebih baik bagi mereka, tetapi Allah itu Pengampun, Penyayang. (QS. 49 : 5).
Tafsir Ayat
QS. 49 : 2. "Hai orang-orang yang beriman ! janganlah kamu angkat suara-suara kamu lebih dari pada suara Nabi, dan janganlah kamu keraskan omongan, kepadanya,...". Berhadapan dengan Nabi s.a.w. ketika berbicara dalam hadapan majelis ataupun sendiri dengan beliau, janganlah bersuara keras, karena bersuara keras itu pun sikap yang tidak hormat kepada beliau.
"... karena khawatir akan gugur amal-amal kamu, padahal kamu tidak sadar". Ibnu Katsiir di dalam tafsirnya menukilkan, bahwasannya berkata lemah lembut itupun berlaku Nabi s.a.w. bukan saja diwaktu hidup beliau, bahkan didekat makam beliau saat berziarah hendaknya bersikap lemah lembut, sopan santun dan jangan bersuara keras.
Dalam kitab "Madarijus Salikin", Ibnul Qayyim al-Jauziyah menerangkan juga bahwa hendaklah kita menjaga juga kesopanan kita bilamana ada orang sedang menuturkan suatu hadits dari sabda beliau, dengarkanlah baik-baik dengan penuh hormat, apalagi jika kita yang membacanya.
Latar Belakang Turunnya Ayat
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa orang-orang berbicara keras dan nyaring ketika berbicara dengan Nabi s.a.w. Maka turunlah ayat ini (S. 49 : 2) sebagai larangan akan perbuatan seperti itu. Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir yang bersumber dari Qatadah.
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa ketika turun ayat : “La tarfau ashwatakum fauqa shautin nabi” (S. 49: 2) terhempaslah Tsabit bin Qais di jalan sambil menangis. Ketika itu lalulah Ashim bin ‘Adi bin al-Ajlan dan bertanya : “Mengapa engkau menangis ?“. Ia menjawab “Aku takut ayat ini turun berkenaan diriku, karena aku ini seorang yang bersuara keras”. Hal ini diajukan oleh ‘Ashim itu kepada Rasulullah saw. dan Tsabit pun dipanggil. Rasul bersabda: “Apakah engkau tidak ridla jika engku hidup terpuji, mati syahid, dan masuk surga”. Ia menjawabnya : “Aku ridla” dan aku tidak akan mengeraskan suaraku selama-lamanya di hadapan Rasulullah saw.”. Maka turunlah ayat selanjutnya (S. 49 : 3) yang melukiskah janji Allah kepada orang-orang yang taat akan ketetapan-Nya. Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir yang bersumber dari Muhammad bin Tsabit bin Qais bin Syamas.
QS. 49 : 3. "Sesungguhnya orang-orang yang merendahkan suara-suara mereka di sisi Rasulullah, merekalah orang-orang yang telah diuji oleh Allah hati mereka untuk berbakti;...". Ini amat penting diperhatikan, karena ada setengah manusia yang sangat bernafsu buat turut berbicara, baik di zaman Nabi s.a.w. ataupun sampai sekarang. Maka kalau kita dapat menahan hati, tidak turut bicara, turut bertanya, itupun suatu ujian juga bagi kebaktian / ketakwaan hati kita. Sebab menjaga pertumbuhan rasa takwa dalam jiwa kita sendiri adalah lebih penting daripada mengemukakan pertanyaan.
"... bagi mereka ada keampunan dan ganjaran yang besar". Orang yang dapat membatasi diri sehingga sikap yang tadinya terburu hendak bertanya, setelah dibawa berpikir tenang, tidak jadi dia bertanya. Bagi mereka disediakan ampunan dan pahala yang besar. Lantaran itu sikap manapun yang akan kita ambil hendaklah ingat suatu tujuan yang suci, memelihara rasa takwa yang mulai tumbuh dalam diri.
QS. 49 : 4. Sebagaimana dimaklumi, ketika mulai perjuangan dan perkembangan Islam memang ada pengikut Rasulullah berasal dari berbagai golongan; ada orang kota dan ada orang dusun (badwi). Adalah orang-orang badwi yang tidak mengenal kesopanan yang halus, mereka datang dari dusun hendak menemui Rasulullah di waktu beliau istirahat, sambil berteriak-teriak dari luar rumah. Maka tidaklah layak, tidak sopan kalau memanggil Nabi di waktu-waktu tersebut. Dalam ayat ini dikatakan bahwa orang yang seperti itu tidak mempergunakan akalnya.
QS. 49 : 5. "Padahal kalau mereka bersabar sehingga engkau (Nabi) keluar menemui mereka, niscaya adalah yang demikian lebih baik bagi mereka,...". Kalaulah orang-orang itu mempergunakan akal yang sehat, tidaklah layak mereka memanggil-manggil dari luar. Tunggu sajalah baik-baik dengan sabar, niscaya di waktu tertentu, beliau akan keluar kepada orang ramai, berjama'ah ke masjid menjadi iamam,. Sesudah sholat beliau memberi nasehat, fatwa dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang penting. Maka yang sebaik-baiknya, demi sopan santun dengan Rasulullah, lebih baik menunggu dengan sabar. Sebab beliau pun amat rindu bertemu dengan sahabat-sahabatnya dan ummat skalian.
"..., tetapi Allah itu Pengampun, Penyayang". Terburu memanggil Rasulullah dengan tidak beraturan merupakan kesalahan yang lewat karena belum tahu. Tetapi untuk selanjutnya tentu tidak boleh berbuat serampangan. Sebab Allah ta'ala memperlakukan Rasul-Nya dengan penuh hormat, memanggil gelar dan jabatannya pada tiap waktu tertentu dengan tidak menyebut namanya, mengangkat martabatnya sampai tinggi, tentu seharusnya kita ummatnya.
Latar Belakang Turunnya Ayat QS. 49 : 4 - 5
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa apabila orang-orang Arab berkunjung ke rumah Rasulullah saw. mereka berteriak memanggil Rasulullah dari luar dengan ucapan-ucapan : “Hai Muhammad! Hai Muhammad!”. Maka Allah menurunkan ayat ini (S. 49 4, 5) yang melukiskan bahwa perbuatan seperti itu bukanlah akhlak Islam. Diriwayatkan oleh at-Thabarani dan Abu Ya’la dengan sanad yang Hasan yang bersumber dari Zaid bin Arqam.
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa seorang laki-laki datang kepada Nabi saw. sambil berteriak memanggilnya dari luar : “Hai Muhammad! Pujianku sangat baik tapi juga cacianku sangat tajam”. Rasulullah bersabda : “Celakalah engkau, yang bersifat demikian itu adalah Allah”. Ayat ini (S. 49: 4) turun sebagai larangan kepada orang-orang yang suka berteriak-teriak dari luar rumah. Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq dari Ma’mar yang bersumber dari Qatadah. Riwayat ini mursal tapi mempunyai saksi-saksi yang marfu’ dari Hadits al-Barra bin ‘Azib dan lainnya yang ada dalam kitab Sunan Tirmidzi tapi tidak menyebutkan nuzulul ayat. Diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir yang bersumber dari Hasan.
Dalam riwayat lain dkemukakan bahw al-’Aqra bin Habis memanggil-manggil Raulullah saw dari luar rumah, akan tetapi Rasulullah s.a.w., tidak menjawabnya. Ia pun berteriak : “Hai Muhammad ! Sesungguhnya pujianku baik, dan cacianku sangat tajam”. Bersabdalah Rasulullah “Yang bersifat demikian itu adalah Allah?’. Ayat ini (S. 49 4, 5) turun berkenaan dengan peristiwa tersebut di atas. Diriwayatkan oleh Ahmad dengan Sanad yang shahih yang bersumber dari al-’Aqra bin Habis.
Dalam riwayat lain dikemukaka bahwa al-Aqra datang kepada Nabi s.a.w. dan berteriak-teriak dari luar rumah : “Hai Muhammad ! keluarlah”. Ayat ini (S. 49 4, 5) turun sebagai teguran terhadap kekurang-sopanan dalam bertamu. Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan lainnya yang bersumber dari al-‘Aqra.
---------------
Bibliography :
Tafsir Al-Azhar Juzu' XXVI, Prof Dr. Haji Abdulmalik Abdulkarim Amrullah (Hamka), Penerbit Pustaka Islam Surabaya, cetakan ketiga 1984, halaman 239 - 243.
Asbabun Nuzul, KH Qomaruddin, Penerbit CV. Diponegoro Bandung, Cetakan ke-5, 1985, halaman 469 - 470.
Tafsir Qur'an Al-Furqan, A. Hassan, Penerbit Al Ikhwan Surabaya, Cetakan Kedua 1986, halaman 1014 - 1015.
Tafsir Qur'an Al-Furqan, A. Hassan, Penerbit Al Ikhwan Surabaya, Cetakan Kedua 1986, halaman 1014 - 1015.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar