Berada di embung atau kolam selepas air terjun begitu menyenangkan bila dapat berendam ataupun mandi. Begitu pula berendam ataupun mandi menikmati hangatnya sumber air panas alam di suatu tempat di lereng gunung. Tentulah berada semisal ditempat tersebut yang terkenal pastilah berkumpul banyak orang dan inilah buah pikir Imam al-Ghazali yang mestinya menjadi rambu-rambu bagi yang ingin tetap berada dalam kebaikan.
Di dalam buku “Ihya’ Ulumiddin” karya Imam al-Ghazali pada halaman 488 - 490 menuturkan bahwa masuk hammam (pemandian umum) itu mempunyai beberapa kewajiban. Kewajiban terhadap auratnya sendiri dan terhadap aurat orang lain. Kewajiban terhadap auratnya sendiri, yaitu menjaganya dari pandangan orang lain dan memelihara dari sentuhan orang lain. Maka tiada yang mengurus auratnya dan membersihkan auratnya melainkan tangannya sendiri. Dan mencegah tukang gosok badan daripada menyentuh paha dan diantara pusat sampai kepada bulu kemaluannya. Dan mengenai mubahnya menyentuh anggota badan selain dari tempat keluar najis, muka dan belakang (sau-ah), untuk menghilangkan daki, itu ada kemungkinan. Tetapi yang lebih dapat dikiaskan itu haram, karena berhubungan menyentuh kedua sau-ah (baik yang muka dan yang di belakang) itu, tentang haramnya dengan memandang. Begitu pula hendaknya dengan bahagian aurat yang lain, yakni kedua paha.
Dan kewajiban terhadap aurat orang lain, yaitu memejamkan matanya sendiri daripada melihat aurat orang lain dan melarang orang lain membuka auratnya. Karena melarang dari perbuatan munkar itu wajib. Dari itu harus atasnya mengingatkan yang demikian dan tidak harus atasnya menerima.
Kewajiban memperingatkan itu tidak hilang, kecuali karena takut dipukul atau dimaki atau akan dilakukan terhadap dirinya sesuatu yang haram. Maka tidak boleh ia menantang yang haram itu, yang dipaksakan kepadanya nanti oleh orang yang ditantang, kepada mengerjakan suatu haram yang lain.
Ketahuilah bahwa perbuatan itu tiada berfaedah dan janganlah dikerjakan perbuatan yang demikian maka yang seperti itu tiada mengapa. Bahkan harus diperingati secara yang demikian. Maka tiada terlepas hati, daripada berkesan dengan mendengar tantangan dan merasa berjaga-jaga diri ketika disebut perbuatan maksiat.
Dan yang demikian memberi kesan tentang menjelekkan perbuatan itu dan menjauhkan diri daripadanya. Maka tidak boleh ditinggalkan !.
Dan karena alasan seperti itulah, maka tidak memasuki tempat permandian umum pada waktu sekarang, menjadi tanda berhati-hati. Karena tiada terlepas daripada melihat aurat terbuka, lebih-lebih yang di bawah pusat hingga yang diatas bulu kemaluan. Karena manusia sekarang tidak memandang aurat lagi. Sedang Agama menghitungkannya aurat dan menjadi sebahagian anggota yang terhormat bagi aurat itu.
Dari itu, disunatkan mengosongkan tempat pemandian umum itu.
Berkata Bisyr bin al-Harts : “Alangkah sulitnya seeorang yang tidak mempunyai uang selain sedirham yang dibayarkannya supaya boleh ia memakai tempat pemandian umum!”.
Dilihat orang Ibnu Umar radhiyallahu anhuma pada tempat pemandian umum dan mukanya ke dinding. Ia menutup kedua matanya dengan sepotong kain.
Berkata setengah mereka : “Tidak mengapa masuk ke tempat pemandian umum, asal dengan dua helai kain, sehelai untuk menutup aurat dan sehelai lagi untuk menutup kepala yang mencukupi untuk kepala itu dan untuk memelihara kedua matanya”.
-------------------------------------------
Ihya’ Ulumiddin Jilid 1, Imam al-Ghazali, Penerbit C.V. Faizan Jakarta, cetakan kesembilan 1986.
Di dalam buku “Ihya’ Ulumiddin” karya Imam al-Ghazali pada halaman 488 - 490 menuturkan bahwa masuk hammam (pemandian umum) itu mempunyai beberapa kewajiban. Kewajiban terhadap auratnya sendiri dan terhadap aurat orang lain. Kewajiban terhadap auratnya sendiri, yaitu menjaganya dari pandangan orang lain dan memelihara dari sentuhan orang lain. Maka tiada yang mengurus auratnya dan membersihkan auratnya melainkan tangannya sendiri. Dan mencegah tukang gosok badan daripada menyentuh paha dan diantara pusat sampai kepada bulu kemaluannya. Dan mengenai mubahnya menyentuh anggota badan selain dari tempat keluar najis, muka dan belakang (sau-ah), untuk menghilangkan daki, itu ada kemungkinan. Tetapi yang lebih dapat dikiaskan itu haram, karena berhubungan menyentuh kedua sau-ah (baik yang muka dan yang di belakang) itu, tentang haramnya dengan memandang. Begitu pula hendaknya dengan bahagian aurat yang lain, yakni kedua paha.
Dan kewajiban terhadap aurat orang lain, yaitu memejamkan matanya sendiri daripada melihat aurat orang lain dan melarang orang lain membuka auratnya. Karena melarang dari perbuatan munkar itu wajib. Dari itu harus atasnya mengingatkan yang demikian dan tidak harus atasnya menerima.
Kewajiban memperingatkan itu tidak hilang, kecuali karena takut dipukul atau dimaki atau akan dilakukan terhadap dirinya sesuatu yang haram. Maka tidak boleh ia menantang yang haram itu, yang dipaksakan kepadanya nanti oleh orang yang ditantang, kepada mengerjakan suatu haram yang lain.
Ketahuilah bahwa perbuatan itu tiada berfaedah dan janganlah dikerjakan perbuatan yang demikian maka yang seperti itu tiada mengapa. Bahkan harus diperingati secara yang demikian. Maka tiada terlepas hati, daripada berkesan dengan mendengar tantangan dan merasa berjaga-jaga diri ketika disebut perbuatan maksiat.
Dan yang demikian memberi kesan tentang menjelekkan perbuatan itu dan menjauhkan diri daripadanya. Maka tidak boleh ditinggalkan !.
Dan karena alasan seperti itulah, maka tidak memasuki tempat permandian umum pada waktu sekarang, menjadi tanda berhati-hati. Karena tiada terlepas daripada melihat aurat terbuka, lebih-lebih yang di bawah pusat hingga yang diatas bulu kemaluan. Karena manusia sekarang tidak memandang aurat lagi. Sedang Agama menghitungkannya aurat dan menjadi sebahagian anggota yang terhormat bagi aurat itu.
Dari itu, disunatkan mengosongkan tempat pemandian umum itu.
Berkata Bisyr bin al-Harts : “Alangkah sulitnya seeorang yang tidak mempunyai uang selain sedirham yang dibayarkannya supaya boleh ia memakai tempat pemandian umum!”.
Dilihat orang Ibnu Umar radhiyallahu anhuma pada tempat pemandian umum dan mukanya ke dinding. Ia menutup kedua matanya dengan sepotong kain.
Berkata setengah mereka : “Tidak mengapa masuk ke tempat pemandian umum, asal dengan dua helai kain, sehelai untuk menutup aurat dan sehelai lagi untuk menutup kepala yang mencukupi untuk kepala itu dan untuk memelihara kedua matanya”.
-------------------------------------------
Ihya’ Ulumiddin Jilid 1, Imam al-Ghazali, Penerbit C.V. Faizan Jakarta, cetakan kesembilan 1986.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar