Seorang penuntut ilmu hendaknya mengetahui bahwa menuntut ilmu memiliki
beberapa tahapan yang harus dilalui. Ia harus memulai dari yang paling
penting kemudian yang penting. Ia tidak boleh tergesa-gesa, bahkan ia
harus bersabar dan mengetahui kadar kemampuan dirinya.
Para ulama
kita tidak pernah melewati dan menyimpang dari tahapan menuntut ilmu
karena bertahap dalam menuntut ilmu adalah jalan selamat untuk
memperoleh ilmu. Bertahap dalam menuntut ilmu ini berdasarkan firman
Allah Tabaaraka wa Ta’aala,
وَقُرْآنًا فَرَقْنَاهُ لِتَقْرَأَهُ عَلَى النَّاسِ عَلَىٰ مُكْثٍ وَنَزَّلْنَاهُ تَنْزِيلًا
“Dan Al-Qur-an (Kami turunkan) berangsur-angsur agar engkau (Muhammad)
membacakannya kepada manusia perlahan-lahan dan Kami menurunkannya
secara bertahap.” [
QS. Al-Israa' : 106]
Dan firman Allah Ta’ala,
وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْلَا نُزِّلَ عَلَيْهِ الْقُرْآنُ جُمْلَةً
وَاحِدَةً ۚ كَذَٰلِكَ لِنُثَبِّتَ بِهِ فُؤَادَكَ ۖ وَرَتَّلْنَاهُ
تَرْتِيلًا
“Dan orang-orang kafir berkata: ‘Mengapa Al-Qur-an itu
tidak diturunkan kepadanya sekaligus?’ Demikianlah agar Kami
memperteguh hatimu (Muhammad) dengan-nya dan Kami membacakannya secara
tartil (berangsur-angsur, perlahan dan benar).” [
QS. Al-Furqan : 32]
Banyak manusia yang tercegah dari tujuannya dalam menuntut ilmu karena
meninggalkan ushul (landasan pokok). Yang dimaksud ushul adalah
Al-Qur-an dan As-Sunnah.
Seorang penuntut ilmu hendaklah
memprioritaskan dirinya untuk menghafalkan Al-Qur-an kemudian
hadits-hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Demikianlah yang
dinasihatkan oleh para ulama Salaf kepada orang yang hendak menimba ilmu
dari mereka.
Imam Abu ‘Umar Yusuf bin ‘Abdullah bin Muhammad
Ibnu ‘Abdil Barr (wafat th. 463 H) rahimahullaah mengatakan, “Menuntut
ilmu memiliki tingkatan dan tahapan yang tidak boleh dilanggar. Siapa
yang melanggarnya secara keseluruhan, maka ia telah melanggar jalan para
ulama Salaf, siapa yang melanggar jalan mereka dengan sengaja, maka ia
telah tersesat, dan siapa yang melanggarnya lantaran ijtihadnya, maka ia
telah menyimpang.
Awal dari ilmu adalah menghafalkan Kitabullah
dan memahaminya. Segala apa yang dapat membantu untuk memahaminya, maka
wajib untuk mempelajarinya. Aku tidak mengatakan bahwa menghafal seluruh
Al-Qur-an adalah fardhu, tetapi aku katakan bahwa hal itu adalah wajib
(sunnah yang mendekati wajib) dan keharusan bagi siapa saja yang ingin
menjadi seorang yang alim, bukan fardhu.
Al-Qur-an adalah pokok
dari ilmu. Siapa yang menghafalkannya sebelum usia baligh, kemudian
meluangkan waktunya untuk mempelajari apa yang dapat membantunya dalam
memahaminya berupa bahasa Arab, maka hal itu adalah penolong terbesar
untuk mencapai tujuan dalam memahami Al-Qur-an dan Sunnah-Sunnah
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam...
Kemudian melihat
kepada Sunnah-Sunnah yang masyhur, yang telah tetap dari Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam sehingga dengannya seorang penuntut ilmu
sampai kepada maksud Allah Ta’ala dalam Kitab-Nya. Dan Sunnah itu
membukakan hukum-hukum Al-Qur-an baginya...
Barangsiapa mencari
Sunnah-Sunnah Nabi, hendaklah ia prioritaskan pada hadits-hadits yang
diriwayatkan oleh para imam, yang tsiqah dan banyak hafalannya
(huffazh)[1].” Maka, wahai saudaraku, engkau harus menghafal ushul dan
mencari bantuan dengannya.
Imam Ibnu Jama’ah (wafat th. 733 H)
rahimahullaah mengatakan, “Hendaklah (penuntut ilmu) memulai dengan
Kitabullaahil ‘Aziiz, menghafalkannya dengan mutqin (betul-betul
matang), bersungguh-sungguh memahami tafsirnya, dan semua ilmunya (ilmu
Al-Qur-an). Karena, Al-Qur-an adalah pokok ilmu, induk-nya, dan yang
paling penting.”[2]
Jadi, target utama penuntut ilmu adalah
menghafal Kitabullah dan Sunnah Nabi yang shahih. Setelah itu hendaklah
ia menghafalkan kitab-kitab matan, baik dalam bidang aqidah, fiqih,
hadits, nahwu, maupun fara-idh. Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin
rahimahullaah mengatakan, “Yang paling penting bagi seseorang dalam
menuntut ilmu adalah mempelajari tafsir Kalamullaah karena Kalamullaah
seluruhnya adalah ilmu. Allah Ta’ala berfirman,
وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَىٰ لِلْمُسْلِمِينَ
“... Dan Kami turunkan Al-Kitab (Al-Qur-an) kepadamu untuk menjelaskan
segala sesuatu sebagai petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi
orang yang berserah diri (muslim).” [
QS. An-Nahl : 89]
Dahulu para
Shahabat tidak pernah melewati sepuluh ayat sampai mereka mempelajari
apa yang ada di dalamnya berupa ilmu dan amal sehingga mereka
mempelajari Al-Qur-an, ilmu, dan amal sekaligus. Menurut saya inilah
yang paling penting. Maka hendak-lah para remaja -terutama anak-anak-
memulainya dengan menghafalkan Al-Qur-an... Bersamaan dengan itu
hendaklah penuntut ilmu mencurahkan perhatiannya terhadap Sunnah karena
merupakan landasan syari’at yang tidak dapat dipisahkan selamanya,
Al-Qur-an dan As-Sunnah keduanya merupakan wahyu. Dan apa yang telah
tetap dalam As-Sunnah sama saja dengan apa yang ditetapkan di dalam
Al-Qur-an.
Allah Ta’ala berfirman,
وَأَنْزَلَ اللَّهُ
عَلَيْكَ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَعَلَّمَكَ مَا لَمْ تَكُنْ تَعْلَمُ ۚ
وَكَانَ فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكَ عَظِيمًا
“... Dan (juga karena)
Allah telah menurunkan Kitab (Al-Qur-an) dan hikmah (As-Sunnah) kepadamu
dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum engkau ketahui. Karunia
Allah yang dilimpahkan kepadamu sangat besar.” [
QS. An-Nisaa’ : 113][3]
Kiat-kiat Menghafal Al-Qur-an [4]
Dahulu menghafalkan Al-Qur-an dalam pandangan ulama merupakan hal
pokok. Dengannya mereka memulai menuntut ilmu. Karena itulah mereka
tidak pernah ragu memulai menghafal Al-Qur-an. Hafalannya menjadi ciri
khas yang tampak di masyarakat ulama dan penuntut ilmu. Sebagian Salaf
sangat menganggap aib karena tidak menghafal Al-Qur-an. Di antara
buktinya adalah apa yang diungkapkan al-Hafizh Ibnu Hajar (wafat th. 852
H) dalam Taqriibut Tahdziib (I/664, no. 4529), tentang biografi ‘Utsman
bin Muhammad bin Abi Syaibah, “Dia adalah tsiqah, seorang hafizh yang
terkenal, tetapi dia memiliki auham (sejumlah kesalahan) dan dikatakan
dia tidak hafal Al-Qur-an.”[5]
Sesungguhnya menghafalkan
Al-Qur-an bukan merupakan kewajiban atas seorang penuntut ilmu, tetapi
hafalannya adalah kunci menuju jalan hafalan dan pemahaman. Hendaklah
seorang penuntut ilmu mengetahui bahwa menghafalkan Al-Qur-an dan
mengamalkannya dapat menambah ketinggian derajat. Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللهَ يَرْفَعُ بِهَذَا الْكِتَابِ أَقْوَامًا وَ يَضَعُ بِهِ آخَرِيْنَ.
“Sesungguhnya Allah Ta’ala mengangkat (derajat) beberapa kaum dengan
Kitab (Al-Qur-an) dan merendahkan yang lainnya dengan Al-Qur-an". [6]
Berikut beberapa hal yang dapat membantu se-orang penuntut ilmu dalam menghafal Al-Qur-an:
1. Berdo’a kepada Allah Ta’ala dengan ikhlas agar diberikan kemudahan
dalam menghafalkan Al-Qur-an. Hendaklah menghafal Al-Qur-an dilakukan
dengan ikhlas semata-mata mencari keridhaan Allah Ta’ala.
2. Memperdengarkan semampunya ayat-ayat yang telah dihafalnya kepada seorang qari’ yang baik bacaan dan hafalannya.
3. Mengulang-ngulang ayat yang telah dihafal secara terjadwal dan berusaha untuk disiplin.
4. Menggunakan satu mushaf Al-Qur-an agar dapat menguatkan hafalan.
5. Mengulang-ngulang ayat yang dihafal sepuluh kali/dua puluh kali -boleh juga lebih- dengan berdiri, duduk, dan berjalan.
6. Membaca ayat-ayat yang baru dihafalkan dalam shalat karena dapat lebih melekatkan hafalan.
7. Membaca terjemah dan tafsir ayat yang telah dihafalkan.
8. Menjauhi dosa dan maksiyat.
Imam adh-Dhahhak (wafat th. 102 H) rahimahullaah mengatakan, “Tidaklah
seseorang mempelajari Al-Qur-an kemudian ia lupa, melainkan disebabkan
dosa.” Beliau lalu membaca firman Allah,
وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ
“Dan musibah apapun yang menimpa kamu adalah karena perbuatan tanganmu
sendiri, dan Allah memaafkan banyak (dari kesalahan-kesalahanmu).”
[
QS. Asy-Syuura : 30]
Kemudian beliau melanjutkan, “Musibah apakah yang lebih besar daripada melupakan al-Qur-an?” [7]
9. Menentukan jadwal yang teratur untuk menentukan batas hafalan harian (apa yang dihafal setiap hari).
Diusahakan untuk tidak menyelisihi aturan atau mengubahnya, kecuali karena ada hal-hal yang darurat untuk dilakukan.
10. Hendaknya ayat yang diahafal sedikit setiap hari agar lebih melekat
Bagi yang sudah hafal beberapa juz Al-Qur-an atau yang sudah hafal 30
juz, hendaklah ia selalu muraja'ah (mengulang-ngulang) hafalannya dan
menjaganya dengan baik karena Al-Qur-an lebih cepat hilangnya daripada
unta yang diikat.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
تَعَاهَدُوْا هَذَا الْقُرْآنَ، فَوَالَّذِيْ نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، لَهُوَ أَشَدُّ تَفَلُتَا مِنَ الْإِبِلِ فِيْ عُقُلِهَا
"Bacalah selalu Al-Qur'an ini. Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di
tangan-Nya, sungguh, Al-Qur-an itu lebih mudah lepas daripada seekor
unta dalam ikatannya" [8]
Kunci dalam Menghafal dan Mengingat
Ada beberapa hal penting yang dapat membantu penuntut ilmu dalam
menghafalkan atau mengingat pelajarannya dengan gambaran yang baik, di
antaranya:
1. Mengikhlaskan niat karena Allah dan mengharapkan ganjaran dari-Nya.
2. Menjauhi hal-hal yang diharamkan dan dilarang syari’at.
3. Hasil usaha yang baik, memakan makanan yang halal dan menjauhi yang haram.
4. Mengosongkan hati dari berbagai kesibukan.
5. Tidak menghafal pada saat sangat lapar, haus, capek, atau pada saat hatinya sibuk dengan urusan yang lain.
6. Berkemauan tinggi, bersungguh-sungguh, dan terus mengulangi pelajaran agar berhasil menghafal.
7. Tidak putus asa dengan jeleknya kemampuan menghafal dan terus mengulang-ngulang pelajaran.
8. Mengulangi pelajaran dengan suara yang dapat didengarnya karena mendengarkan pelajaran dapat membantunya dalam menghafal.
9. Menggunakan bantuan pena atau kertas untuk menyusun segala apa yang
dapat membantunya dalam menghafal, atau mengulang-ngulang pela-jaran
dengan cara ditulis.
10. Dan sebelum semua hal di atas, hendaklah selalu bertaqwa kepada Allah Ta’ala.[9]
Imam al-Bukhari rahimahullah adalah orang yang kuat hafalannya. Beliau
pernah ditanya, "Apakah obat lupa itu?" Beliau menjawab, "Senantiasa
melihat ke kitab" (Yaitu selalu membaca dan mengulanginya).[10]
Waktu-waktu Terbaik untuk Menghafal
Imam Ibnu Jama’ah rahimahullaah menuturkan, “Waktu yang paling baik
untuk menghafal adalah ketika sahur; untuk membahas di pagi hari; untuk
menulis di siang hari; dan untuk muthala’ah dan berdiskusi (mudzakarah)
di malam hari.”
Al-Khatib al-Baghdadi (wafat th. 463 H)
rahimahullaah mengatakan, “Waktu yang paling baik untuk menghafal adalah
di waktu sahur, kemudian pertengahan hari, dan selanjutnya di pagi
hari.” Beliau menambahkan, “Menghafal di malam hari lebih mendatangkan
manfaat daripada menghafal di siang hari, dan ketika lapar (yang tidak
sangat) lebih bermanfaat daripada ketika kenyang.” [11]
Tempat Terbaik untuk Menghafal
Imam Ibnu Jama’ah mengatakan -menukil dari al-Khatib, “Tempat yang
paling baik untuk menghafal adalah kamar dan setiap tempat yang jauh
dari hal-hal yang membuat lalai.” Beliau berkata, “Tidak baik apabila
menghafal di tempat yang terdapat tumbuhan, di sekitar pohon-pohon yang
menghijau, di tepi sungai, di tengah jalan, dan tempat yang bising
karena hal itu (umumnya) dapat mencegah kosongnya hati (untuk
menghafal).”[12]
Penuntut Ilmu Harus Akrab dengan Al-Qur-an
‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash radhiyallaahu ‘anhuma berkata, “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ber-sabda kepadaku,
اِقْرَإِ الْقُرْآنَ فِيْ كُلِّ شَهْرٍ، قَالَ: قُلْتُ: إِنِـّيْ أَجِدُ
قُوَّةً. قَالَ: فَاقْرَأْهُ فِيْ عِشْرِيْنَ لَيْلَةً، قَالَ: قُلْتُ:
إِنِـّيْ أَجِدُ قُوَّةً، قَالَ: فَاقْرَأْهُ فِيْ سَبْعٍ وَلَا تَزِدْ
عَلَى ذَلِكَ.
“Bacalah Al-Qur-an (sampai khatam) setiap bulan.”
‘Abdullah berkata, aku berkata, “Sungguh, aku mampu mengerjakan lebih
dari itu.” Rasulullah bersabda, “Maka bacalah (sampai khatam) selama dua
puluh hari.” ‘Abdullah berkata, aku berkata, “Sungguh, aku mampu
melakukan lebih dari itu.” Rasulullah bersabda, “Jika demikian, bacalah
(sampai khatam) selama tujuh hari dan jangan lebih dari itu.” [13]
Jundub bin ‘Abdullah bin Sufyan al-Bajali (wafat antara th. 60-70 H)
radhiyallaahu ‘anhu pernah berwasiat, “Aku berwasiat kepada kalian,
hendaklah bertakwa kepada Allah. Aku juga berwasiat kepada kalian agar
selalu (membaca dan menghayati) kandungan Al-Qur-an karena ia adalah
cahaya di malam yang kelam dan petunjuk di siang yang terang. Ketahuilah
bahwa Al-Qur-an bisa menyebabkan kamu meraih sesuatu yang nilainya
sangat tinggi... .”[14]
[Disalin dari buku Menuntut Ilmu Jalan
Menuju Surga “Panduan Menuntut Ilmu”, Penulis Yazid bin Abdul Qadir
Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, PO BOX 264 – Bogor 16001 Jawa Barat –
Indonesia, Cetakan Pertama Rabi’uts Tsani 1428H/April 2007M]
(
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas)
----------------
Footnote :
[1]. Jaami’ Bayaanil ‘Ilmi wa Fadhlihi (II/1129-1130).
[2]. Tadzkiratus Saami’ wal Mutakallim (hal. 167-168).
[3]. Kitaabul ‘Ilmi (hal. 222-223) dengan sedikit perubahan.
[4]. Dinukil dari kitab Ma’aalim fii Thariiq Thalabil ‘Ilmi (hal. 193-200) dengan diringkas.
[5]. Taqriibut Tahdziib (1/664, no. 4529)
[6]. Hadits Shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 817), dari Sha-habat ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallaahu ‘anhu.
[7]. Mukhtashar Qiyaamul Lail (hal. 162), dinukil dari kitab Ma’aalim fii Thariiq Thalabil ‘Ilmi (hal. 200).
[8]. Hadits shahih : Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5033) dan Muslim
(no. 791 (231)) dari Shahabat Abu Musa al-Asy'ari radhiyallaahu anhu
[9]. Dinukil dari kitab ath-Thariiq ilal ‘Ilmi (hal. 59-60).
[10]. Jaami' Bayaanil 'Ilmi wa Fadhlihi (II/1277, no. 2414)
[11]. Tadzkiratus Saami’ wal Mutakallim fii Aadaabil ‘Aalim wal
Muta’allim (hal. 118-119), karya Imam Ibnu Jama’ah rahimahullaah.
[12]. Ibid (hal. 119).
[13]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5054) dan Muslim (no. 1159 (184), lafazh ini milik Muslim.
[14]. Siyar A’laamin Nubalaa’ (III/174).