“Engkaulah yang kami sembah, dan Engkaulah tempat kami memohon pertolongan“. (QS 1 : 5).
Kalimat Iyyaka, kita artikan Engkaulah, atau boleh dilebih dekatkan lagi maknanya dengan menyebut hanya Engkau sajalah yang kami sembah. Di sini terdapat Iyyaka dua kali; hanya Engkau sajalah yang kami sembah dan hanya Engkau saja tempat kami memohon pertolongan. Kalau ada lagi kata lain dalam bahasa kita yang lebih mendekati maksud yang terkandung di dalamnya, bolehlah kita usahakan juga. Sebab dalam hati sanubari kita sendiripun terasa bahwa arti itu belum juga tepat benar, meskipun sudah mendekati. Kata na’budu berpangkal dari kalimat ibadat dan nasta’inu berpangkal dan kalimat isti’anah.
Lebih murnilah kita rasakan maksudnya kalau kita sebut ibadat saja. Karena meskipun telah kita pakai arti dalam bahasa kita yaitu sembah atau kami sembah, namun hakikat ibadat hanya khusus kepada Allah, sedang dalam bahasa kita kalimat sembah itu terpakai juga kepada raja; di Minangkabau kalau ahli-ahli pidato adat sambut menyambut pidato secara adat, mereka namai juga sembah menyembah. Jadi kalau kita artikan “Hanya kepada Engkau kami beribadat” barangkali lebih tepat, apatah lagi kalimat ibadat itupun telah menjadi bahasa kita.
Kalimat isti’anah pun menghendaki keterangan yang panjang. Kalau menurut bahasa saja, apabila kita meminta tolong kepada seorang teman menyampaikan pikiran kita kepada anak kita di tempat yang jauh, atau meminta tolong mengangkat lemari karena terlalu berat mengangkat sendiri, dalam bahasa disebut isti’anah juga, padahal yang demikian tidak terlarang oleh agama.
Kita bukakan hal ini untuk mengetahui betapa sukarnya menterjemah dan satu bahasa ke bahasa yang lain, terutama lagi bahasa agama, terutama lagi Arab dalam Al-Qur’an yang turun sebagai Wahyu ilahi. Makanya kita menguatkan pendapat sebagian besar Ulama agar di samping terjemah atau tafsir, tidak boleh tidak, hendaklah asli tulisan Arabnya dibawakan supaya orang lain yang mengerti dapat menyesuaikan maknanya dengan aslinya.
Di dalam ayat ini bertemulah kita dengan tujuan. Dengan ayat ini kita menyatakan pengakuan bahwa hanya kepadaNya saja kita memohonkan pertolongan; tiada kepada orang lain.
Sebagaimana telah kita maklumi pada keterangan di atas, Allah adalah Tuhan Yang Mencipta dan Memelihara. Dia adalah Rabbun, sebab itu Dia adalah ilahi. Tidak ada Ilah yang lain, melainkan Dia. Oleh karena Dia Yang Mencipta dan Memelihara, maka hanya Dia pula yang patut disembah. Adalah satu hal yang tidak wajar, kalau Dia menjadikan dan memehihara, lalu kita menyembah kepada yang lain.
Oleh sebab itu, maka ayat yang ke 5 ini memperkuat lagi ayat yang kedua segala puji-pujian bagi Allah, Pemelihara dari sekalian alam”. Hanya Dia yang patut dipuji, karena hanya Dia sendiri yang menjadikan dan memelihara alam, tidak bersekutu dengan yang lain. Alhamdu di atas didahulukan menyebutkan bahwa yang patut menerima puji hanya Allah, sebab hanya Dia yang mencipta dan memelihara alam. Sedang pada ayat Iyyaka na ‘budu ini dilebih jelaskan lagi, hanya kepada-Nya dihadapkan sekalian persembahan dan ibadat, sebab hanya Dia sendiri saja, tidak bersekutu dengan yang lain, yang memelihara alam ini.
Maka mengakui bahwa yang patut disembah sebagai Ilah hanya Allah, dinamai Tauhid Uluhiyah.
Dan mengakui yang patut untuk memohon pertolongan, sebagai Rabbun hanya Allah, dinamai Tauhid Rububiyah.
Untuk misal yang mudah tentang Tauhid Uluhiyah dan Tauhid Rububiyah ini ialah seumpama kita ditolong oleh seorang teman, dilepaskan dari kesulitan. Tentu kita mengucapkan terima kasih kepadanya. Adakah pantas kalau kita ditolong misalnya oleh si Ahmad, lalu kita mengucapkan terima kasih kepada si Hamid? Maka orang yang mengakui bahwa yang menjadikan alam dan memelihara alam ialah Allah juga, tetapi menyembah kepada yang lain, adalah orang itu musyrik. Tauhidnya sendiri pecah-belah; menerima nikmat dari Allah mengucapkan terimakasih kepada berhala.
Tentang arti Ibadat
Arti yang luas dari pada IBADAT ialah memperhambakan diri dengan penuh keinsafan dan kerendahan. Dan dipatrikan lagi oleh cinta. Kita mengakui bahwa kita hamba-Nya, budak-Nya. Kita tidak akan terjadi kalau bukan Dia yang menjadikan. Kita beribadat kepada-Nya disertai oleh rajaa, yaitu pengharapan akan kasih dan sayang-Nya, cinta yang hakiki, tidak terbagi pada yang lain. Sehingga jikapun kita cinta kepada yang lain, hanyalah karena yang lain itu nikmat dari Dia. Misalnya kita mencintai anak dan isteri, harta dan benda. Atau kita mencintai tanah air tempat kita dilahirkan, ataupun yang lain-lain.
Semuanya itu adalah karena dia-nya nikmat dari Dia. Tidak dapat kita mencintai yang lain langsung, di samping mencintai Dia. Karena kalau ada cinta lain di samping cinta kepada-Nya, itulah cinta yang terbagi. Apabila telah terbagi, itulah pangkal dari syirik.
Dan tidak ada pula yang lain yang kita puja atau kita sembah yang berupa ibadat. Karena yang lain itu semuanya dalah makhlukNya belaka.
Kita diperintah-Nya hormat kepada yang patut dihormati. Kita disuruh-Nya kasih kepada ibu bapa, setia kepada negara dan raja atau kepada negara, dan kita diperintahkan-Nya supaya hormat kepada guru. Semuanya itu kita kerjakan karena Allah yang menyuruhkan. Tetapi kita tidak akan sampai beribadat kepada ayah bunda, atau kepada negara dan raja dan kepada kepala negara, atau kepada guru.
Tentang arti Isti’anah
Kemudian datanglah isti’anah, yaitu memohonkan pertolongan. Pada ayat ini kita disuruh mengucapkan pengakuan bahwa hanya Dia tempat kita memohonkan pertolongan. Dengan demikian kita akui sendirilah bahwa kita sendiri tidaklah berkuasa buat mencapai segala rencana yang telah kita cadangkan di dalam hidup ini. Tenaga kita sangat terbatas, dan kita tidak akan sampai kalau tidak Tuhan yang menolong.
Sebagai telah diterangkan di atas tadi, dengan menyebut Iyyaka nasta’inu telah terkandung lagi Tauhid di dalam memohonkan pertolongan. Dengan mendahulukan Iyyaka, yang berarti hanya Engkau saja, sudah lebih tegas lagi maksudnya dari pada misalnya kita berkata Nasta’inuka, yang berarti kami meminta tolong kepada Engkau. Dan diapun menimbulkan kekuatan di dalam jiwa kita, bahwa kita tidak mengharapkan pertolongan dari yang lain, sebab yang lain tidak berkuasa dan tidak ada daya upaya buat menolong kita.
Jangan kita campur adukkan di antara isti’anah dengan mu’awanah. Di dalam hal memohonkan pertolongan, kita tetap hanya kepada Allah. Tetapi di antara kita manusia sesama manusia, makhluk sesama makhlukpun diperintah oleh Allah supaya bertolong-tolongan, berkoperasi, itu namanya bukan isti’anah, tetapi mu’awanah. Di dalam Surat Al-Maidah, Surat ke 5 ayat 2, Tuhan berfirman, agar hendaklah kita tolong-menolong di dalam berbuat kebajikan dan takwa, dan janganlah kita tolong menolong di dalam hal dosa dan permusuhan. Tetapi di dalam ayat, mu’awanah ini bertemu lagi inti sari pertahanan isti’anah. Artinya, sebagai Muslim yang sadar akan nilai imannya di dalam isti’anah kita tetap hanya kepada Tuhan. Tetapi terhadap orang lain kita sudi menolong, sebab melaksanakan perintah Tuhan juga. Kita tahu sabda Nabi, bahwa tangan di atas lebih baik dari tangan yang di bawah.
Setiap orang berusaha dan bekerja menurut bakatnya. Dokter menolong orang sakit, dan orang sakit datang meminta tolong dan diberi obat. Guru menolong muridnya dengan mengajarnya tulis dan baca dan ilmu yang lain. Semuanya itu jangan dicampur aduk dengan isti’anah, sebab itu semuanya adalah hubungan manusia sesama manusia. Memang yang kuat hendaklah menolong yang lemah, yang kaya menolong yang miskin. Dan semua itu adalah dalam rangka meminta tolong kepada Allah juga.
Maka tolong menolong, yang satu meminta tolong kepada yang lain, dan yang lain meminta tolong kepada yang satu di dalam urusan kehidupan sehari-hari, tidaklah terlarang, karena itu bukan di dalam rangka memandang bahwa tempat meminta tolong itu sebagai tempat beribadat. Di atas manusia yang tolong menolong itu ada lagi kekuasaan tertinggi yang memutuskan dengan mutlak, dan maha kuasa memberikan atau menahan, melangsungkan atau menggagalkan. Itulah kekuasaan Tuhan, yang kekuasaan-Nya meliputi akan sekuruhnya. Kepada-Nyalah kita bersama sesudah bertolong-tolongan sesama kita, memohonkan petunjuk, memohonkan diberi kekuatan, dihasilkan yang dicita-cita, dituntun sebaik-baiknya kepada yang baik dan yang benar.
Tauhid dengan jalan isti’anah membangkitkan kekuatan pada diri sendiri, supaya langsung berhubungan dengan Tuhan, yang jadi sumber dari segala kekuatan. Memohonkan pertolongan kepada Tuhan bukanlah kelemahan, tetap disanalah terletak kekuatan. Hanya orang yang tolol yang mengaku bahwa dirinya sanggup berbuat segala yang dia kehendaki. Adapun orang yang berilmu, maka ilmunya itulah yang menunjukkan kepadanya bahwa dia tidak sanggup mengetahui segala.
Berkali-kali kita merencanakan suatu hal . Maka setelah dimulai menjalankan rencana itu, di tengah jalan kita bertemu hal-hal yang sama sekali tidak dalam rencana kita. Mengertilah kita bahwa ada kekuatan tertinggi, yang di luar dari kemampuan kita. Taruhlah kita dapat mengatasi dengan meminta langsung kepada orang lain, sesama manusia. Tetapi kelak akan ketahuan pula ada lagi kekuatan tertinggi, yang oleh bersamapun tidak dapat diatasi. Maka lantaran itu selalulah kita mengingat bahwa tempat memohon pertolongan tertinggi adalah Tuhan. Dialah Tuhan dengan nama-Nya Ar-Rabb.
Memohon pertolongan dengan dasar Tauhid itulah yang masuk akal. Sebab itu tidaklah kita memohon pertolongan misalnya kepada kuburan, seorang guru atau orang alim yang kita pandang keramat. Atau meminta tolong kepada berhala, atau meminta tolong kepada keris pusaka. Dengan kalimat Iyyaka tadi, yang berarti “Hanya kepada Engkau saja aku meminta tolong”, jelaslah bahwa kita tidak akan meminta pertolongan kepada yang lain dengan cara demikian. Sebab yang lain itu tidak masuk akal bahwa dia dapat menolong.
---
TAFSIR AL-AZHAR, Prof Dr. Hamka, Yayasan Nurul Islam, cetakan ke-empat tahun 1981, halaman 99 - 104