KELAHIRANNYA
Namanya Muhammad Abu Abdillah, bin Idris, bin ‘Abbas, bin ‘Utsman, bin Syafi’i. Satu keturunan dengan Nabi Muhammad s.a.w. dari moyangnya ‘Abdimanaf. Nama ibunya Fatimah dari turunan’ Ali bin Abi Thalib.
Suatu malam Fatimah mimpi aneh sekali, ada bintang kejora keluar dari kandungannya. Bintang itu terus membubung ke angkasa, lalu pecah. Pecahan-pecahannya jatuh di tiap-tiap negeri besar. Berpancaran sinarnya ke seluruh mayapada. Setelah bangun Fatimah terkejut; keesokan harinya mimpinya itu diceritakan kepada ahli mimpi.
Diterangkannya bahwa ia akan melahirkan seorang putera yang akan menerangi seluruh jagat dengan ilmu Keagamaannya.
Pada bulan Rajab tahun 150 H. lahirlah anak itu di Khuzzah daerah Palestina. Anak itu diberi nama Muhammad. Beberapa hari kemudian diterima khahar bahwa Imam Hanafi telah meninggal dunia dan di makamkan di Rashafah, sebelah timur Negeri Baghdad. Menurut perhitungan para ahli sejarah, bertepatannya dengan hari wafatnya seorang Imam besar, maka anak yang baru lahir itu pasti akan menggantikan kedudukannya.
RAMALAN NABI
“Jangan suka mencela suku bangsa Quraisy, karena sarjananya akan mengembangkan ilmu pengetahuannya ke seluruh muka bumi ini. Ya Allah, Engkau sudah menguji angkatan yang pertama dengan penderitaan, maka anugerahilah angkatan mendatang dengan rahmat kebahagiaan” (Ibn. Mas’ud).
“Setiap seratus tahun sekali, Allah akan membangkitkan seorang pemimpin besar dari keturunanku, sebagai Mujaddid (Pembaharu) yang akan memperbaharui keadaan ummat dalam hal Keagamaannya. Pada pertama orang itu adalah ‘Umar bin Abdil ‘Aziz, dan pada abad kedua ialah Muhammad bin Idris Assyafi’i”
(Ahmad bin Hanbal)
PENDIDIKANNYA
Setelah Muhammad Assyafi’i berusia 2 tahun, dibawa pulang oleh ibunya ke tanah airnya di Makkah, kembali ke rumah ayahnya dekat Masjidil Haram. Dalam asuhan ibunya Muhammad hidup secara sederhana, sebagai seorang anak yatim, yang ditinggal oleh bapaknya mati sebelum lahir.
Dalam usia 9 tahun sudah hafal Qur’an seluruhnya di luar kepala. Sudah itu ia tinggalkan suraunya tempat ia mengaji belajar membaca Qur’an. Lalu belajar di Masjidil Haram, yang pada waktu itu merupakan satu-satunya perguruan tinggi di kota Makkah. Ia turut belajar bersama-sama mahasiswa-mahasiswa dan orang-orang dewasa yang sudah berjanggut, dan mahaguru-mahaguru dalam vak Hadits, Qur’an, Fiqih, Bahasa/Kesusastraan dan lain-lain. Sekalipun hidupnya dalam serba kekurangan, namun ia tidak putus asa dalam belajar. Dicatatnya pelajarannya itu di atas tulang-belulang, di atas pelepah-pelepah daun korma, dicarinya kertas-kertas yang sudah dibuangkan orang dari Kantor-kantor, untuk digunakan pada sebelahnya. Berkatalah ia dengan sya’ir :
Pengetahuan,
Ibarat binatang buruan.
Harus diikat,
dengan dicatat.
lekas ikat erat-erat.
Satu kebodohan;
Berburu rusa di hutan
Setelah dapat dilepaskan.
Di dalam kamarnya, di dalam lemarinya sudah penuh sesak dengan kertas-kertas dan tulang belulang catatan pelajarannya, sehingga tidak bisa leluasa lagi buat duduk dan berbaring. Karenanya ia bermaksud hendak menghapalkan semua pelajarannya. Mana yang sudah hapal, kertas dan tulang-tulang itu dibuangnya, sampai kosong dan bersih kamarnya. Di sini ia bersya’ir demikian :
Semua pelajaran sudah kuhapal di luar kepala.
Kemana saja aku pergi boleh kubawa.
Kini tempatnya bukan dalam lemari lagi,
tapi sudah kusimpan di dalam hati.
Jika aku sedang di rumah,
diapun ada di rumah.
Jika aku pergi ke pasar,
diapun turut ke pasar.
Demikian encernya otak Imam Syafi’i, pikirannya terang dan tajam, lekas menangkap pelajaran, gampang mengerti, semua pelajaran yang sudah dihapalkan tidak bisa lupa.
Tetapi pengetahuan itu, kata Imam Syafi’i, bukanlah untuk dihapal, tapi harus diambil manfa’atnya dengan diamalkan”
Waktu malamnya dibagi tiga : Sepertiga untuk belajar, sepertiga untuk beribadah sepertiga lagi untuk istirahat/tidur.
BERKELANA
Tidaklah cukup kawan, belajar di Dalam negeri.
Pergilah belajar di luar negeri.
Di sana banyak teman-teman baru,
ganti teman sejawat lama.
Jangan takut sengsara, jangan takut menderita.
Kenikmatan hidup dapat dirasakan sesudah menderita
(Imam Syafi’i)
Sekalipun Imam Syafi’i dalam usia 15 tahun tetapi ia sudah menjadi ‘Ulama besar tentang ilmu Hadits, Qur’an, Fiqh dan Kesusastraan bahasa Arab, namun beliau belum merasa puas, karena hasratnya memdalam dan menambah ilmu pengetahuan sangat besar. Setelah hapal kitab Almuwattha’, semakin rindu hatiya, ingin berjumpa dengan pengarangnya, ingin meneruskan pelajarannya kepada Imam besar itu (Imam Malik).
Maksudnya itu dinyatakannya kepada Gubernur Makkah. Mendengar hasrat yang bernyala-nyala dan cita-cita yang besar itu, Gubernur Makkah amatlah gembira dan menyetujuinya. Ditulisnya 2 pucuk surat yang dialamatkan kepada :
1. Gubernur Madinah,
2. Imam besar Malik bin Anas;
Yang maksudnya menitipkan Imam Syafi’i. Kedua surat itu diterimakan kepada Imam Syafi’i, untuk disampaikan kepada yang bersangkutan.
Setelah sampai di Madinah, kedua surat diterimakannya kepada Gubernur Madinah. Dan setelah dibacanya, lalu keduanya pergi bersama-sama ke rumah Imam Malik. Setelah pintu dikettik, keluarlah seorang sahaya hitam menanyakan maksud kedatangannya. Maka kata Gubernur : Katakanlah kepada tuanmu, bahwa Gubernur datang kemari.
Lama sahaya hitam itu tidak muncul-muncul. Setelah keluar lagi katanya :
“Kata Majikan, kalau tuan hendak menanyakan sesuatu masalah, supaya dituliskan saja di atas kertas nanti tuan akañ menerima jawabannya. Tetapi kalau tuan ada maksud lain, supaya datang lagi nanti di hari ceramah”.
“Katakanlah kepada Majikanmu, bahwa aku ada membawa surat dari Gubernur Makkah yang baru kuterimakan sendiri kepada beliau”.
Tidak lama kemudian setelah sahaya itu keluar lagi dengan membawa kursi, keluarlah Imam Malik. Maka oleh Gubernur disampaikannya surat dari Gubernur Makkah. Setelah dibacanya, seraya katanya :
“Subhanallah, masakan orang hendak menuntut ilmu Rasulullah s.a.w. dengan pakai perantaraan macam-macam”.
Melihat Imam Malik gusar nampaknya setelah membaca surat itu, berkatalah Imam Syafi’i :
“Semoga Allah melimpahkan ketenangan hati kepada tuan” lalu diceriterakannya asal usulnya dan makud kedatangannya.
Sangat iba hati Imam Malik mendengar cerita Imam Syafi’i itu. Lalu ditatapnya, difirasatinya dan ……… dikaguminya.
- “Siapa namamu nak ?“
+ “Muhammad”
- “Ya Muhammad, hendaklah banyak berbakti kepada Tuhan. Jauhilah semua ma’siat. Saya kagum melihatmu. Janganlah kau sia-siakan harapanku itu dengan berbuat ma’siat. Kulihat engkau ada harapan menjadi orang besar”.
+ “Mudah-mudahan dan terimakasih”.
- “Besok datanglah, boleh kau baca kitab Almuwattha”.
+ ’“Sebenarnya saya sudah hapal isi kitab itu, tuan Guru”.
- Jika demikian, coba bacalah !”
Maka mulailah Imam Syafi’i membaca kitab itu. Oleh karena sudah terlalu lama membaca, berhentilah ia, karena takut Imam Malik jemu mendengarnya. Tetapi Imam Malik menyuruh meneruskannya katanya :
”Teruskanlah nak, teruskan. Bacalah terus. Saya senang mendengar bacaanmu”.
Delapan bulan lamanya Syafi’i tinggal di rumah Imam Malik berguru kepadanya, dan selalu mendampingi Imam Malik dalam pengajiannya di Mesjid.
Tiap-tiap sehabis Imam Malik memberi ceramah kepada umum, disuruhnya Imam Syafi’i meimla’kan (mendikte) kepada hadirin. Dengan jalan demikian maka bertambah lancar dan bertambah mendalam pengertiannya tentang kitab Almuwattha’. Dan mulailah dikenal namanya oleh pengunjung-pengunjung yang datang dari jauh, seperti dari Mesir, Irak dan sebagainya
KE IRAQ
Dalam pergaulan sehari-hari dengan para pengunjung dan para santri, Imam Syafi’i dapat berkenalan dengan nama-nama ‘Ulama besar ‘Iraq. Seperti Imam Abu Yusuf, Imam Muhammad bin Hasan dan lain-lain. Maka timbullah hasratnya ingin menemui dan belajar kepada mereka. Maksudnya itu dinyatakannya kepada Gurunya Imam Malik. Oleh beliau dibekalinya 45 Dinar dan diantarkannya sampai ke Baqi’ Sesampainya di ‘Iraq, lebih dahulu di kunjunginya makam neneknya, ‘Ali bin Abi Thalib. Dari situ terus pergi ke Mesjid besar untuk sholat. Di sana ia bertemu dengan Imam Abu Yusuf dan Imam Muhammad bin Hasan.
Oleh Imam Muhammad bin Hasan ditanyanya tentang asal usulnya, dari mana datang, siapa nama orang tuanya. Ditanya pula kalau-kalau sudah bertemu dengan Imam Malik di Madinah.
+ “Saya datang dari Madinah, dari Imam Mailk”.
- “Sudahkah kau baca Almuwattha’?”
+ “Sudah di luar kepala”.
Mendengar itu, Imam Muhammad sangat kagum. Seterusnya Imam Muhammad bertanya tentang Thaharah, Zakat, Perdagangan dan lain-lain. Semua itu dijawabnya oleh Imam Syafi’i dengan baik. Maka bertambah kagum lagi Imam Muhammad Lalu Imam Syafi’i dibawanya ke rumahnya. Selama di Kufah (‘Iraq) Ia tinggal di rumah Imam Muhammad bin Hasän, menyalin berapa kitab-kitabnya.
Kemudian beliau minta izin hendak keliling ke negeri. Persi dan sekitarnya. Oleh Imam Muhammad dikalinya 3000 Dirham.
KE PARSI
Mula-mula beliau menuju ke utara ‘Iraq, sampai perbatasan Negeri Rum sebelah Selatan yang disebut Anatoli. Dari sana terus ke Hirah di sana beliau tinggal agak lama. Dan Hirah menuju ke Palestina. Dua tahun lamanya Imam Syafi’i berkelana di negeri Persi ini. Selama dalam pengembaraan ini; Imam Syafi’i dapat menambah ilmu pengetahuannya dari para ‘Alim ‘Ulama yang dijumpainya, banyak mendapat pengalaman dan pelajaran dari hal kehidupan, adat-istiadat dan bahasa bangsa-bangsa dan banyak berjumpa dengan kenalan-kenalan para santri waktu Madinah. Dari mereka beliau banyak mendapat bantuan dan bekal dalam berkelilling.
KEMBALI KE MADINAH
Setelah tinggal beberapa lamanya di Palestina, kembalilah beliau ke Madinah. Waktu itu hari sudah ‘Ashar, Imam Mailk sedang memberi pengajian di Mesjid Nabawi. Kedatangannya itu disambut oleh Imam Malik dengan mesra se kali. Beliau turun dari kursinya, menghampiri Imam Syafi’i dan dipeluknya erat-erat karena rindunya. Lalu Imam Syafi’i dipersilakan meneruskan pengajian.
Empat tahun lamanya Imam Syafi’i tinggal di Madinah menambah dan memperdalam pengetahuannya pada Imam Malik, sampai beliau meninggal.
KE YAMAN
Suatu hari datanglah Gubernur Yaman berkunjung ke Madinah. Dalam perkenalannya dengan Imam Syafi’i, Gubernur itu sangat mengaguminya. Imam Syafi’i diangkat sebagai penulisnya. Setelah berada di Shan’a (ibu kota Yaman) Imam Syafi’i ditugaskan di Kantornya.
BERUMAH TANGGA
Di Yaman Imam Syafi’i menikah dengan Hamidah binti Nafi’, cucu ‘Utsman bin ‘Affan. Betapa cinta dan kasihnya terhadap isterinya, ternyata dari anaknya yang diberi nama dengan nama kakeknya, yaitu Abu ‘Utsman Muhammad. Anaknya yang perempuan diberi nama Fatimah dan Zainab. Pergaulannya di dalam rumahtangga dapat dijadikan contoh yang tinggi; sebagaimana tersebut dalam Sebuah sya’irnya :
Abadikanlah citaku ini,
dalam lubuk hati,
Peliharalah dia dengan saling bertenggang.
Diam, jangan menantang jika aku marah.
Cinta dan derita.
Keduanya tidak mungkin berpadu dalam hati salahsatu harus mengalah.
Di samping tugasnya sehari-hari, selaku hakim yang adil bersama Imam Yahya, beliau tidak ketinggalan menambah pengetahuan sambil mengajar.
F I T N A H
Demikianlah semakin hari, semakin maju dengan pesatnya dalam tugasnya sehari-hari dan dalam studi menambah pengetahuan; dà lam ilmu keagamaan, pengetahuan umum, Falsafah, Kedokteran, Astronomi dan lain-lain. Semua itulah yang menjadi sebab irihati dan kedengkian teman-temannya yang merasa mendapat saingan dari Imam Syafi’i.
Mereka berusaha memfitnah dan menuduhnya yang bukan-bukan, dilaporkannya kepada Khalifah Harun Arrasyid di Baghdad, bahwa beliaulah yang menjadi gembong dan ketua Partai Alawi. Maka diperintahkan oleh Khalifah seorang Panglima ke Yaman untuk menyelidiki keadaan sebenarnya. Dalam laporannya secara tertulis, di katakan bahwa Imam Syafi’i benar sedang giat berusaha melawan pemerintah dengan lidahnya sebagai senjatanya yang ampuh, yang tidak bisa dilawan dengan senjata kelewang dan pedang. Disarankannya jika Baginda masih ingin tetap supaya negeri Hijaz di bawah pemerintahnya, supaya kaum Alawiyin ditangkap dan dibawa’ ke Baghdad untuk diperiksa.
Oleh Baginda diperintahkan kepada Gubernur Yaman supaya menangkap dan membawa mereka ke Bagdad bersama Imam Syafi’i dengan tangan terbelenggu.
Di dalam pemeriksaan, Imam Syafi’i dibebaskan dari segala tuduhan dan hasungan fitnah, berkat ketangkasannya berbicara dan keteguhan tekadnya yang suci. Bahkan dalam pemeriksaan itu Imam Syafi’i dapat mempengaruhi Khalifah, sehingga beliau di. berinya hadiah 1000 dinar.
Hadiah mana oleh beliau diserak-serakkannya/ dibagi-bagikannya kepada pegawai-pegawai istana. Oleh karena sekarang beliau sudah merasa aman, tidak dicurigai lagi oleh Pemerintah. Maka beliau bermaksud hendak tinggal menetap di Bagdad, untuk bergaul dengan para ‘Alim ‘Ulama besar seperti Imam Waki’, Imam Abi Usamah dan lain-lain. Di samping itu beliau mengarang kitab-kitab. Dan pada waktu itulah beliau dapat menyelesaikan kitabnya yang bernama “Azza’faran” dalam 40 jilid, berisi fatwa-fatwa dan pendapat-pendapatnya yang terkena1 dengan sebutan “Qaul Qadim” (pendapat lama).
PULANG KE MAKKAH
Pada tahun 181 beliau pulang ke tanah airnya. Kedatangannya kembali ke Kota Makkah, disambut dengan gembira sekali oleh rakyat. Sebagaimana beliau pergi tidak membawa bekal apa-apa, demikianlah pulangnya kembali habis oleh-olehnya uang dinar dan peraknya diserak-serakkannya kepada rakyat. Sejak itu beliau tinggal di Kota Makkah, sampai 17 tahun lamanya. Selama itu beliau mengajar di Mesjid Haram dan mengembangkan Madzhabnya kepada Jema’ah-jema’ah Pengunjung-pengunjung Haji
.
KE BAGHDAD LAGI
Setelah Khalifah Harun Arrasyid meninggal, maka digantikan oleh puteranya Ma’mun. Oleh karena Khalifah Ma’mun tidak memusuhi kaum Alawiyin (keturunan ‘Ali bin Abi Thalib), bahkan menghormati mereka, maka timbullah hasratnya ingin kembali ke Baghdad. Tetapi tidak lama beliau tinggal di sana, hanya sebulan saja.
KE MESIR
Entah mengapa, aku tidak tahu.
Hatiku selalu rindu
Ingin merantau
Ke Kairo
Ke Kairo saja,
Kelain tempat?
Tidak, aku tidak ada hasrat.
Sunyi sepi, kering kerdil.
Aku tidak mengerti,
apa kehendak Rabbul ‘Izzati?
B’gia, mukti?
Apa untuk mati?
Dari Baghdad beliau terus pergi ke Mesir. Kedatangannya disambut dengan meriah sekali oleh rakyat, terutama oleh Imam ‘Abdullah bin Hakam teman belajar waktu di Madinah pada Imam Malik, yang kini sudah menjadi ‘Ulama besar di Mesir.
Sebagai tanda pernyataan penghormatan dan gembira atas kedatangan beliau, maka atas nama rakyat dan para dermawan, telah disampaikan oleh Imam Abdullah bin Hakam 4000 dinar kepada beliau.
MEMBERI KULIAH
Sejak itu mulailah beliau menjalankan tugasnya sebagai Maha Guru memberi kuliyah di Mesjid ‘Amr bin ‘Ash. Dalam cara memberi kuliyah, kepada murid-muridnya diberi kebebasan berfikir dalam menerima pelajaran dan mengemukakan pendapat. Kata beliau :
“Bilamana saya memberi keterangan-keterangan atau dalil-dalil yang tidak sesuai atau tidak, masuk akalmu, janganlah kamu terima begitu saja, sebab pikiran harus tunduk kepada kebenaran (haq)”. Kuliyahnya itu bukan saja diikuti oleh para mahasiswa, Alim ‘Ulama, tetapi juga terbuka untuk umum, laki-laki dan wanita, sehingga benar-benar merupakan Perguruan Tinggi.
Di antara buah gemblengan Kuliyah Imam Syafi’i ini, banyak menghasilkan ‘Ulama-’ulama besar, seperti : Imam Rabi’, Imam Jizi, Imam Harmalah, Imam Buaithi, Imam Muhammad.
Dan di antara kaum wanita seperti Saudara perempuannya Imam Muzni, itu srikandi yang namanya disejajarkan dengan ‘Ulama-’ulama besar pria.
KESEDERHANAAN
Walaupun rizkinya mengalir terus, tetapi beliau tidak mau hidup mewah. Pakaiannya sederhana saja dari katun buatan Baghdad.
Selama di Mesir setiap bulan beliau mendapat sumbangan dari Tuan Puteri Nafisah dan kadang-ladang Permaisuri Harun Arrasyid, Zubaidah berupa uang dan pakaian. Tetapi semua itu dibagi-bagikannya kepada rakyat, sebagaimana biasanya dalam tiap-tiap menerima hadiah.
Lega rasa hatiku,
bila sudak ada rizki untuk hari ini.
Jangan kau fikirkan untuk besok.
Untuk besok ada lagi rizki lain.
Terimalah apa kehendak Allah ja’uhilah apa yang tidak dikehendaki.
TAKUT KEPADA ALLAH
Karena takutnya kepada Allah, beliau tidak pernah berbuat dosa, atau mengerjakan kemungkaran. Suatu hari ada orang membaca firman Allah yang artinya :
“Pada hari itu (Qiamah) tidak ada yang bisa bicara, tidak ada yang diberi kesempatan untuk mengemukakan alasan”.
Mendengar itu, berdiri bulu romanya, gemetar seluruh tubuhnya, mukanya pucat dan jatuh pingsan.
Setelah sadar kembali beliau berkata :
“Aku berlindung kepada-Mu Ya Tuhan, dari kedudukan manusia-manusia pendusta dan alpa. Ya Allah. Kepada-Mu aku berdo’a :
Tunduklah semua hati manusia arif bijaksana, yang rindu dan mengharapkan keridlaan-Mu. Ya Allah, berilah aku kemurahan-Mu yang melimpah-limpah. Ampunilah segala kekurangan dan kealpaaku”.
KEDERMAWANANNYA
Suatu waktu Imam Syafi’i pergi ke Yaman. Dari sana pulang ke Makkah dengan membawa uang 10.000 dirham. Setibanya, beliau mendirikan perkhemahan di luar Kota. Banyak rakyat datang mengunjungi beliau. Uang yang 10.000 dirham itu habis dibagi-bagikan kepada mereka.
TERHADAP KAUM KELUARGANYA
Sungguhpun beliau sudah mencapai kedudukan yang tinggi dalam masyarakat, namun beliau tetap peramah dan hormat terhadap kaum keluarganya, tidak sombong dan takabur.
“Adalah orang yang aniaya, kata beliau, bila sudah mendapat kedudukan tinggi, lupa kepada kaum keluarganya, tidak mau kenal, tidak mau tahu lagi kepada kaum keluarganya, tidak mau kenal, tidak mau tahu lagi kepada mereka, tidak mau melihat sebelah mata kepada rakyat bawahan dan berlaku sombong terhadap atasan”.
IMAM SYAFI’I DENGAN IMAM AHMAD BIN HANBAL
Suatu hari Imam Syafi’i bertemu di rumah Imam Hanbali dan bermalam. Imam Hanbali punya anak perempuan, dan ia telah mendengar nama Imam Syafi’i dan bapanya. Karena bapanya sangat mengagumi Imam Syafi’i itu.
Anak itu ingin melihat orangnya, kebetulan sekarang beliau datang bertamu. Nah ini, katanya yang saya nanti-nantikan. Mudah-mudahan saya dapat menyaksikan tingkah-lakunya yang luhur dan mendengar káta-katanya yang bermutu.
Haripun malamlah. Sebagaimana biasa Imam Ahmad bin Hanbal bangun beribadah, sholat Tahajud, berdo’a dan berzikir, tetapi Imam Syafi’i terus berbaring saja sampai pagi. Begitulah yang dilihat oleh anak perempuan itu.
Pagi harinya anak itu bertanya kepada bapanya : Pa, saya tidak mengerti. Apa yang bapa kagumi pada Imam Syafi’i itu? Apa kerjanya semalam suntuk tadi, hanya tidur saja, sudah sholat tidak berzikir, tidak wirid ?“
Dalam pada itu, datanglah Imam Syafi’i menghampiri.
- “Senangkah kau tadi malam ?“ Tegur Imam Ahmad.
+ “Begitulah. Belum pernah saya merasa senang dari berbahagia seperti semalam”.
- “Bagaimana itu? Coba ceritakan !“
+ “Ya, semalam suntuk tadi, saya telah dapat menyusun 100 masalah, sambil berbaring. Semuanya untuk kepentingan umum”.
Setelah Imam Syafi’i pamitan, berkatalah Imam Ahmad bin Hanbal kepada anaknya : “Begitulah nak, apa yang dikerjakan oleh Imam Syafi’i semalam suntuk tadi sambil berbaring, lebih berguna daripada yang kukerjakan semalam”.
INTI PATI
Orang yang bekerja dengan ilmunya, guna kepentingan umum, lebih berguna daripada orang yang hanya beribadah untuk pribadi (‘ibadat-’ibadat sunnat) saja.
W A F A T
Lima tahun lebih, Imam Syafi’i tinggal di Mesir mengajar dan mengarang. Pada akhir usianya beliau menderita penyakjt bawasir, yang semakin berat. Waktu hampir ajalnya, beliau berpesan kepada keluarganya, bila mati, supaya menghadap kepada Gubernur, agar beliau suka memandikan jenazahnya. Wasiat mana telah dilaksanakan, setelah arwahnya kembali kehadlirat Tuhan.
- “Adakah Pa Imam meninggalkan hutang ?“ Tanya Gubernur kepada kaum keluarganya Imam Syafi’i.
+ “Ada”
- ‘Ini terimalah, untuk menutup semua hutangnya dan inilah artinya permintaan beliau meminta saya memandikan jenazahnya”.
DARI HAL QIAS
1. Kata Imam Ahmad bin Hanbal : “Saya pernah bertanya kepada Imam Syafi’i tentang Qias, jawabnya : “Hanya dalam keadaan darurat”.
2. Kata Imam Syafi’i : “Saya tidak akan meninggalkan Sunnah Rasul s.a.w. untuk menetapkan hukum Qias. Sebab tidak mungkin ada huküm Qias disamping Sunnah Rasul s.a.w.”
Imam Syafi’i dalam menetapkan hukum Qias hanya dalam urusan keduniaan / Mu’amajah saja yang hukumnya tidak terdapat nashnya dalam Qur’an dan Hadits Nabi atau dalam Ijma’ Shahabat.
DASAR-DASAR MADZHAB IMAM SYAFI’I
- Qur’an.
- Sunnah Rasul s.a.w.
- Ijma’ para Shahabat.
- Qias.
- Istid-lal = mengambil dalil-dalil/ keterangan-keterangan berdasarkan hukum-hukum Agama lain/ Kitab-kitab Suci.
PERKEMBANGAN MADZHAB IMAM SYAFI’I
Mula-mula Madzhab Imam Syafi’i itu berkembang di Mesir. Kemudian di ‘Iraq, Baghdad, Khurasan, Daghistan, Toran, Sirya, Andalusia, Yaman, Hijaz, Iran, India dan Indonesia.
----------------------------------------------------------------
Empat Besar Sahabat-sahabat Rasulullah dan Imam Madzhab, M. Said, Penerbit PT. Alma’arif Bandung, cetakan ke-IV, halaman 94-111