Beberapa waktu yang lalu ketika aku pengen bepergian dengan rombongan kecil sangat kesulitan mencari persewaan mobil yang nyaman dan akrab, setidaknya hanya dengan sang pemilik. Akhirnya aku menemukan persewaan mobil saat makan penyetan di Warung Lesehan 50-50
Semarang, JS Rent Car
Jl. Ngesrep Timur V No. 118 Banyumanik Semarang, dengan nomor-nomor yang bisa aku hubungi 024-70555050, 082226185131 dan 081225822260; karena markasnya memang dekat dengan warung penyetan tersebut.
Minggu, 31 Agustus 2014
Adab Bepergian Sunnat Keluar Pada Hari Kamis (2)
Shokher bin Wada’ah Alghomidy r.a. berkata : Rasulullah s.a.w. berdo’a : ALLAHUMMA BARIK LI’UMMATI FI BUKURIHA (Ya Allah berilah berkat bagi ummatku pada waktu pagi harinya). Dan adanya Nabi s.a.w. jika mengirim tentara, maka disuruh mereka berangkat pagi hari. Shokher juga sebagai pedagang selalu mengirimkan dagangannya pada pagi hari, hingga ia menjadi kaya dan banyak hartanya. (HR. Abu Dawud dan Attirmidzy).
----------------------
Tarjamah RIADHUS SHALIHIN II, Salim Bahreisy, Penerbit PT Alma’arif Bandung, Cetakan keempat 1979, halaman 98.
----------------------
Tarjamah RIADHUS SHALIHIN II, Salim Bahreisy, Penerbit PT Alma’arif Bandung, Cetakan keempat 1979, halaman 98.
Sabtu, 30 Agustus 2014
Adab Bepergian Sunnat Keluar Pada Hari Kamis (1)
Ka’ab bin Malik r.a. berkata : Nabi s.a.w. telah keluar menuju perang Tabuk pada hari Kamis. Dan Nabi suka keluar pada hari Kamis. (HR. Buchary dan Muslim).
Dalam lain riwayat : Jarang sekali Rasulullah s.a.w. keluar kecuali pada hari Kamis.
----------------------
Tarjamah RIADHUS SHALIHIN II, Salim Bahreisy, Penerbit PT Alma’arif Bandung, Cetakan keempat 1979, halaman 98.
Dalam lain riwayat : Jarang sekali Rasulullah s.a.w. keluar kecuali pada hari Kamis.
----------------------
Tarjamah RIADHUS SHALIHIN II, Salim Bahreisy, Penerbit PT Alma’arif Bandung, Cetakan keempat 1979, halaman 98.
Bermain di Taman Sapi
Taman Sapi di Fakultas Peternakan Undip Semarang |
Keberadaan taman patung Sapi dan rusa-rusa dari tahun 2012 menjadi alternatif hiburan bagi masyarakat. Setahu TravelNusa (Traveler Nusantara) patung Sapi ini pada awal tahun 1990 ada di sebelah barat kawasan Tugumuda yang berhadapan langsung dengan Wisma Perdamaian (rumah dinas Gubernur Jawa Tengah). Patung-patung tersebut setiap sore dijadikan warga Semarang untuk rekreasi warga Semarang dengan mengajak anak-anaknya untuk naik diatas punggung sapi. Maka alur lalu lintas diseputar Tugumuda menjadi tersendat. Selain mengurangi arti makna Tugumuda sebagai simbol perwujudan perjuangan, maka protespun bermunculan yang dialamatkan pada dinas pengelola taman. Akhirnya patung-patung tersebut dipindahkan dari lokasi Tugumuda. (baca Semarang News).
Jumat, 29 Agustus 2014
Perbaiki Saja Sejarah Kalian
William of Tyre sejarawan (1130-1185) mengungkap hari gelap Muslimin
dan hari kelam kemanusiaan: mereka (para pasukan salib) itu bergerak di
kota sambil menghunuskan pedang. Mereka membunuh siapapun musuh yang
mereka jumpai, tanpa melihat usia atau keadaan, tanpa kecuali. Penyembelihan menakutkan terjadi di mana-mana. Kepala-kepala berserakan. Hingga untuk berjalan, sangat sulit kalau tidak menginjaknya.
Versi sejarawan Muslim Ibnul Atsir, yang dibantai di pelataran al-Aqsho saja lebih dari 70.000 Muslim. Hari itu adalah HARI JUMAT 15 Juni 1099M / 492H !
DAN...... pada hari yang sama HARI JUMAT sekitar 90 tahun berikutnya !!! 12-10-1187 M / 27 Rajab 583 H, Sholahuddin al Ayyubi menerima kembali Al Quds dengan memaafkan mereka, memberi waktu 40 hari bagi yang mau meninggalkannya dengan aman dengan membaya sejumlah uang hanya bagi yang mampu dan membiarkan gereja-gereja mereka tetap berdiri, kecuali yang asalnya adalah masjid.
Versi sejarawan Muslim Ibnul Atsir, yang dibantai di pelataran al-Aqsho saja lebih dari 70.000 Muslim. Hari itu adalah HARI JUMAT 15 Juni 1099M / 492H !
DAN...... pada hari yang sama HARI JUMAT sekitar 90 tahun berikutnya !!! 12-10-1187 M / 27 Rajab 583 H, Sholahuddin al Ayyubi menerima kembali Al Quds dengan memaafkan mereka, memberi waktu 40 hari bagi yang mau meninggalkannya dengan aman dengan membaya sejumlah uang hanya bagi yang mampu dan membiarkan gereja-gereja mereka tetap berdiri, kecuali yang asalnya adalah masjid.
INILAH MUSLIMIN? INILAH MUJAHIDIN SESUNGGUHNYA. JANGAN AJARI KAMI TOLERANSI. PERBAIKI SAJA SEJARAH KALIAN. SELAMAT UNTUK SAUDARA KAMI MUJAHIDIN GAZA. ATAS KEMENANGAN YANG ALLAH BERIKAN PADA ANTUM SEMUA. INI KEMENANGAN KAMI SEMUA
هنيئا لكم أيها المجاهدون المرابطون في غزة على النصر الذي من الله به لكم
ذكرتمونا بذاك اليوم يوم الجمعة حين سلمت القدس للمسلمين بعد فقدها نحو 90 سنة
بعثتم إلينا الأمل والرجاء بعد أن يكاد ينعدم عند نظرنا لأحوال العرب والمسلمين اليوم
فجزاكم الله عنا جميعا وأسعدكم وإيانا بالانتصارات القادمة حتى تحرر القدس وسائر فلسطين وجميع بلاد المسلمين
أخوكم أبو دحية الاندونيسي
ذكرتمونا بذاك اليوم يوم الجمعة حين سلمت القدس للمسلمين بعد فقدها نحو 90 سنة
بعثتم إلينا الأمل والرجاء بعد أن يكاد ينعدم عند نظرنا لأحوال العرب والمسلمين اليوم
فجزاكم الله عنا جميعا وأسعدكم وإيانا بالانتصارات القادمة حتى تحرر القدس وسائر فلسطين وجميع بلاد المسلمين
أخوكم أبو دحية الاندونيسي
Harus Menangis Dan Takut Jika Berjalan Di Kubur Orang Dholim Atau Daerah Mereka Yang Telah Binasa Oleh Siksa
Ibn Umar r.a. berkata : Ketika perjalanan Rasulullah s.a.w. dengan para sahabatnya telah sampai didaerah kaum Tsamud, maka Rasulullah bersabda : Jangan kamu masuk pada orang-orang yang tersiksa ini kecuali jika kamu menangis, kalau kamu tidak dapat menangis lebih baik jangan masuk ke daerah mereka, jangan sampai kamu terkena apa yang mengenai mereka. (HR. Buchary dan Muslim).
Dalam lain riwayat : Ketika Rasulullah sa.w. sampai daerah Hijir berkata : Jangan kamu masuk tempat-tempat tinggal orang-orang yang dholim, jangan sampai kamu terkena apa yang mengenai mereka, kecuali jika kamu menangis. Kemudian Nabi s.a.w. mengudungi kepalanya dan mempercepat jalannya hingga keluar dari daerah itu.
----------------------
Tarjamah RIADHUS SHALIHIN II, Salim Bahreisy, Penerbit PT Alma’arif Bandung, Cetakan keempat 1979, halaman 97.
Dalam lain riwayat : Ketika Rasulullah sa.w. sampai daerah Hijir berkata : Jangan kamu masuk tempat-tempat tinggal orang-orang yang dholim, jangan sampai kamu terkena apa yang mengenai mereka, kecuali jika kamu menangis. Kemudian Nabi s.a.w. mengudungi kepalanya dan mempercepat jalannya hingga keluar dari daerah itu.
----------------------
Tarjamah RIADHUS SHALIHIN II, Salim Bahreisy, Penerbit PT Alma’arif Bandung, Cetakan keempat 1979, halaman 97.
Kamis, 28 Agustus 2014
Ijtihad Umar bin Khattab (2)
Turunnya Wahyu dengan Ketentuan Hukum sebagai Pembimbing Manusia
Rasulullah mengajak orang agar mengikuti wahyu yang disampaikan Tuhan kepadanya. Sesudah jumlah sahabatnya banyak, banyak pula yang mereka tanyakan mengenai hal-hal yang mereka hadapi yang belum ada dalam wahyu. Mengambil kebiasaan yang dilakukan oleh jahiliah bertentangan dengan yang diajarkan oleh Nabi. Tidak jarang wahyu turun sebagai jawaban atas pertanyaan-pertanyaan mereka itu. Dalam surah Baqarah Allah berfirman : “Mereka bertanya kepadamu, apa yang harus mereka nafkahkan. Katakanlah : Apa saja yang baik kamu nafkahkan hendaknya kepada ibu-bap dan kerabat, kepada anak yatim, dan orang miskin dan kepada orang terlantur dalam perjalanan. Dan segala perbuatan baik yang kamu lakukan, Allah mengetahuinyu. Diwajibkan kepada kamu berperang meskipun itu kamu benci. Tetapi mungkin apa yang tak kamu sukai justru itu justru membawa kebaikan kepada kamu, dan mungkin saja yang kamu sukai justru membawa bencana buat kamu, tetapi Allah mengetahui dan kamu tidak mengetahui. Mereka bertanya kepadamu tentang perang dalam bulan suci. Katakanlah : “Berperang dalam bulan itu suatu dosa besar. Tetapi merintangi orang dari jalan Allah, dan mengingkari-Nya, merintangi orang memasuki Masjidil Haram dan mengusir penduduk dari sekitarnya, lebih besar dalam pandangan Allah.” Fitnah itu lebih jahat daripada pembunuhan. Mereka akan terus memerangi kamu sebelum kamu meninggalkan agamamu kalau mereka mampu. Dan barang siapa di antara kamu ada yang meninggalkan agamanya, dan mati dalam kekafiran maka gugurlah segala amal mereka di dunia dan akhirat. Mereka menjadi penghuni api (neraka,) yang tinggal abadi di dalamnya. Mereka yang beriman dan mereka yang hijrah dan mereka yang berjuang di jalan Allah, mereka mengharapkan rahmat Allah; dan Allah Maha Pengampun, Maha Pengasih. Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah : “Keduanya mengandung dosa besar dan manfaat bagi manusia, tetapi dosanya lebih besar daripada manfaatnya.” Mereka bertanya kepadamu apa yang harus mereka nafkahkan. Katakanlah : “Yang tidak memberatkan.” Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berpikir tentang dunia dan akhirat. Mereka bertanya kepadamu tentang anak-anak yatim. Katakanlah : “Yang paling baik ialah memperbaiki keadaan mereka. Jika kamu bergaul dengan mereka, mereka adalah saudara-saudaramu juga. Allah mengetahui siapa yang melakukan kerusakan dan siapa yang mengadakan perbaikan dan jika Allah menghendaki niscaya Ia membuat kamu dalam kesulitan. Allah sungguh Mahaperkasa, Mahabijaksana.” Dan janganlah kamu menikah dengan perempuan-perempuan musyrik sebelum mereka beriman. Perempuan budak yang beriman lebih baik daripada perempuan musyrik sekalipun ia menarik hatimu. Juga janganlah menikahkan anak perempuanmu, dengan laki-laki musyrik sebelum mereka beriman. Seorang laki-laki budak beriman lebih baik daripada laki-laki musyrik sekalipun ia menarik hatimu. Mereka (kaum musyrik) akan membawa ke dalam api (neraka). Tetapi Allah akan memanggil ke dalam surga dan pengampunan dengan izin-Nya. Dan Ia akan menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia supaya mereka mendapat pelajaran. Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah : “Suatu gangguan. Oleh karena itu jauhilah perempuan yang sedang dalam haid dan janganlah dekati mereka sebelum mereka bersih. Tetapi bila mereka sudah membersihkan diri bergaullah dengan mereka sesuai dengan perintah Allah kepadamu, sebab Allah mencintai mereka yang bertobat dan mencintai mereka yang suci dan bersih.” (TQS. al-Baqarah (2) : 215-222).
Ayat-ayat dalam surah Baqarah yang berturut-turut ini diturunkan dalam waktu yang berlain-lainan. Semua itu diturunkan sebagai jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang oleh Muslimin ketika itu diajukan kepada Rasulullah. Maka Allah mewahyukan ayat-ayat tersebut kepadanya sebagai bimbingan untuk mereka dan untuk umat manusia, dan sebagai penjelasan tentang ketentuan-ketentuan hukum atas segala pertanyaan mereka itu. Ayat-ayat ini diturunkan berkenaan dengan peristiwa-peristiwa seperti diuraikan oleh para mufasir dan mereka beri nama asbãbun nuzül (sebab-sebab turunnya). Almarhum Muhammad al-Khudari dalam Tãrikh at-Tasyri’ al-Islami berkata : “Mengenai ketentuan-ketentuan hukum yang diturunkan tanpa didahului suatu peristiwa atau pertanyaan sedikit sekali, dan jarang kita melihat ada suatu ketentuan hukum yang oleh para mufasir tidak disebutkan peristiwanya sehubungan dengan turunnya ketentuan itu.”
Suatu sumber menyebutkan bahwa ketika Rasulullah mengutus Marsad al-Ganawi ke Mekah untuk mengeluarkan kaum duafa dari sana, seorang perempuan musyrik menawarkan diri untuk dikawini. Perempuan itu cantik dan kaya. Tawarannya itu diterima tetapi pelaksanaannya menunggu izin Rasulullah. Sekembalinya ke Medinah ia menyampaikan persoalan itu kepada Nabi, maka firman Allah ini turun : “…. Dan janganlah kamu menikah dengan perempuan-perempuan musyrik sebelum mereka beriman...” (TQS. al-Baqarah (2) : 221) dan seterusnya. Kita masih ingat bahwa orang-orang Yahudi dan musyrik di Medinah sering mengambil kesempatan saat-saat minum minuman keras untuk membangkitkan perselisihan lama antara Aus dengan Khazraj, dan karenanya Umar menanyakan kepada Rasulullah mengenai khamar yang ketika itu belum disebutkan di dalam Qur’an dengan mengatakan : Ya Allah jelaskanlah ketentuan khamar kepada kami, maka ayat ini turun : “Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah : “Keduanya mengandung dosa besar dan manfaat bagi manusia, tetapi dosanya lebih besar daripada manfaatnya.” (TQS. al-Baqarah (2) : 219).
Ijtihad Rasulullah dalam Hal Belum Turun Wahyu
Kaum Muslimin kadang menanyakan segala hal kepada Nabi. Kalau tak ada wahyu turun mengenai pertanyaan kaum Muslimin, ketika itulah Nabi memutuskan dengan pendapatnya sendiri. Dalam hal ini ia berkata : “Saya memutuskan perkara ini atas dasar pendapat dalam hal wahyu belum diturunkan.” Kalau sesudah itu Qur’an turun berbeda dengan yang sudah diputuskan, maka yang sudah ada itu segera tinggalkan, dan yang dipakai yang sudah diturunkan dalam Qur’an. Bukan sekali saja wahyu turun berlawanan dengan yang sudah diputuskan, di antaranya seperti yang sudah kita sebutkan mengenai tawanan perang Badr. Para tawanan itu menginginkan penebusan dan akan mereka membayar mahal. Mengenai hal ini Rasulullah bermusyawarah dengan sahabat-sahabatnya. Abu Bakr berkata : “Mereka itu masih masyarakat kita, keluarga kita, tangguhkanlah dulu kalau-kalau Allah akan mengampuni mereka. Terimalah tebusan itu untuk memperkuat kita dalam menghadapi orang-orang kafir.” Tetapi Umar berkata : “Mereka sudah membohongi kita dan mengusir kita. Bawalah mereka dan penggal leher mereka. Mereka itu biang keladi kaum kafir. Allah sudah memberi kecukupan kepada kita tanpa ada tebusan.” Sesudah itu Muhammad juga mendengarkan pendapat para pemuka Muslimin yang lain. Akhirnya tebusan itu diterima dan para tawanan dilepaskan. Setelah itulah turun firman Allah : “Tidaklah pantas bagi seorang nabi mempunyai tawanan perang sebelum Ia menaklukkan musuh di tempat itu. Yang ingin kamu peroleh hanya tujuan duniawi semata; tetapi tujuan Allah hari akhirat. Dan Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana. Sekiranya tidak karena ketentuan Allah yang sudah lebih dulu, niscaya azab yang keras menimpa kamu karena (tebusan) yang sudah kamu ambil. Maka nikmatilah apa yang sudah kamu peroleh, halal dan baik, dan bertakwalah kamu kepada Allah. Allah Maha Pengampun. Maha Pengasih.” (TQS. al-Anfal (8) : 67-69)
Setelah ayat ini turun Rasulullah berkata : “Kalau azab menimpa kita, yang akan selamat hanya Umar.”
Juga wahyu berbeda dengan pendapat Rasulullah dalam soal kaum Khawãlif (Khawãlif jamak khalifah orang-orang yang mencari-cari alasan untuk tidak ikut ke medan perang Perang Tabuk. Bandingkan dengan at-Taubat (9) : 81) yang diajak berangkat ke medan perang Tabuk dalam menghadapi pasukan Rumawi. Mereka berdalih kepada Nabi dengan berbagai alasan. Mereka meminta izin kepada Nabi untuk tetap tinggal di Medinah.
Nabi pun mengizinkan. Maka turunlah firman Allah ini: “Sekiranya ada keuntungan yang segera diperoleh dan perjalanan itu sederhana, pasti mereka mengikutimu. Tetapi ternyata perjalanan begitu jauh; mereka akan bersumpah demi Allah : “Kalau kami mampu, pastilah kami berangkat bersama kamu.” Mereka menghancurkan diri sendiri. Dan Allah tahu, mereka berdusta. Allah telah memberi rahmat kepadamu. Mengapa engkau memberi izin kepada mereka sebelum jelas bagimu mereka yang berkata benar dan kamu ketahui siapa yang berdusta?” (TQS. at-Taubah (9) : 42-43). Sekiranya ayat inii turun sebelum Rasulullah mengizinkan kaum Khawãlif pasti mereka tidak akan diberi izin.
Tetapi ijtihad Rasulullah yang bertentangan dengan wahyu sedikit sekali. Oleh karena itu sunah Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam tetap diikuti selama tidak bertentangan dengan wahyu. begitu juga caranya berijtihad telah dijadikan contoh pula. Nabi berpegang pada kias. Ketika ia ditanya oleh seorang gadis dari Banu Khas’am : Rasulullah, ayah saya sudah tua sekali ketika ada ketentuan ibadah haji sehingga ia sudah tak mampu melaksanakan. Bergunakah buat dia kalau saya yang menghajikan? Nabi menjawab : “Kalau ayahmu itu punya utang lalu kau menunaikannya, bergunakah itu buat dia?” Gadis itu menjawab : “Ya.” Kata Nabi lagi : “Utang kepada Allah lebih berhak untuk ditunaikan.” Mengaitkan utang kepada Allah dengan utang kepada manusia dalam keharusan penyelesaian dan manfaatnya. itulah kias.
Dalam memutuskan perkara di antara kaum Muslimin Rasulullah berkata : “Kalian mengadu kepadaku kalau-kalau yang sebagian dari kalian lebih mengetahui mengenai alasannya dari yang lain, maka saya membenarkan dia atas dasar dari yang saya dengar dari dia. Barang siapa ada yang saya benarkan dari hak saudaranya maka yang saya putuskan itu hanya merupakan sebagian dari api (neraka).” Al-Amidi mengatakan : “Hal itu menunjukkan bahwa adakalanya ia memutuskan hal yang tidak mengenai perkara itu sendiri.” Tidak heran kalau Amidi berkata begitu. Keputusan yang diambil oleh Rasulullah atas dasar bukti yang diajukan oleh lawan, dan keputusannya bukan pula dengan wahyu dan Allah, tetapi dengan pertimbangan bukti-bukti kuat yang diajukan kepadanya. Adakalanya orang yang berhak tidak mampu mengajukan bukti atas haknya itu atau tidak mampu menangkis bukti yang disampaikan oleh pihak lawan. Hakim yang adil tidak akan memutuskan dengan ilmunya, melainkan keputusan itu akan diambil berdasarkan keyakinan hati nuraninya dengan bukti yang sudah disampaikan kepadanya.
Rasulullah Selalu Bermusyawarah dengan Para Sahabatnya
Keputusan hakim berbeda dengan sunah, kendati keputusan itu juga termasuk sunah jika hukum itu sudah mengatur suatu prinsip yang umumnya mencakup peristiwa-peristiwa yang sama. Sedang mengenai sunah itu sendiri prinsip-prinsip dan hukumnya yang diwajibkan oleh Qur’an sudah dijelaskan oleh Rasulullah dengan perbuatan, dengan perkataan atau dengan kedua-duanya, seperti dalam firman Allah : “…. dan Kami turunkan risalah ini supaya kaujelaskan kepada manusia apa yang sudah diturunkan kepada mereka, dan supaya mereka renungkan.” (TQS. an-Nahl (16) : 44). Sunah dengan perbuatan ialah seperti shalat dan haji. Rasulullah mengimami shalat lima waktu dan mengatakan : “Shalatlah seperti yang kalian lihat aku melakukan shalat.” Ketika melaksanakan ibadah haji Rasulullah berkata kepada mereka yang ikut bersama-sama : ‘Contohlah aku dalam melaksanakan manasik.” Sedang sunah dengan perkataan disebut hadis, ada hadis yang berhubungan dengan wahyu sebagai penjelasan dan penafsirannya, ada yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari yang terjadi pada masa Nabi dan disampaikan kepadanya, lalu Nabi memberikan pendapatnya. Dalam hal-hal semacam ini Nabi memberikan itu setelah bermusyawarah dengan sahabat-sahabatnya sesuai dengan firman Allah : “…. dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam segala urusan. Jika engkau sudah mengambil keputusan bertawakallah kepada Allah.” (TQS. Ali Imran (3) : 159).
Tatkala Nabi bermusyawarah dengan para sahabat mengenai panggilan shalat, ada yang menyarankan dengan api, ada yang mengatakan dengan terompet dan yang lain menyarankan dengan genta (bel). Yang diputuskan kemudian dengan azan. Juga ia bermusyawarah dengan para sahabat jika hendak menghadapi perang. Dalam perang Uhud misalnya, akan bertahan dalam kota atau akan menyongsong musuh di pinggiran kota. Begitu juga musyawarah itu dilakukan ketika berhadapan dengan peristiwa Hudaibiah dan dalam peristiwa-peristiwa ekspedisi yang lain. Abu Hurairah mengatakan : “Saya tak pernah melihat orang begitu sering mengajak sahabat-sahabat bermusyawarah seperti yang dilakukan oleh Nabi sallallãhu ‘alaihi wasallam.”
Rasulullah mengajak sahabat-sahabatnya berijtihad. Ada sumber yang menyebutkan mengenai Amr bin As, bahwa dia berkata : Ada dua orang yang sedang berselisih datang mengadu kepada Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam, lalu katanya kepada saya : Amr, putuskanlah perkara mereka. Kata saya : Dalam hal ini Rasulullah, Anda lebih tepat. Nabi berkata lagi : Walaupun begitu. Kata saya : Atas dasar apa saya memutuskan? “Kalau keputusan Anda terhadap kedua orang itu tepat Anda akan mendapat sepuluh pahala, kalau Anda sudah berusaha lalu keliru Anda akan mendapat satu pahala.”
Nabi Mengajar Para Sahabat Berijtihad
Ketika Rasulullah menunjuk Sa’d bin Mu’adz untuk memutuskan perkara Banu Quraizah, keputusan Sa’d menjatuhkan hukuman mati kepada mereka dan menawan keluarga mereka. Nabi menyetujui pendapatnya itu. Dan tatkala Abu Qatadah membunuh seorang laki-laki musyrik dan orang lain yang mengambil perlengkapan perangnya, Abu Bakr berkata : Kami tidak bermaksud salah seorang dari singa Allah itu berperang demi Allah dan Rasul-Nya lalu kami berikan hasil perlengkapan perangnya (Salab jamak aslab “rampasan perang dari lawan yang dibunuh berupa pedang. pakaian, hewan dan sebagainya menjadi bagian yang membunuhnya) kepadamu. Kembalikanlah kepadanya perlengkapan korban itu. Rasulullah berkata : “Benar, kembalikan perlengkapan perang korban itu kepadanya.” Tatkala Nabi mengutus Mu’adz bin Jabal ke Yaman untuk mengajarkan seluk-beluk agama kepada penduduk, Mu’adz ditanya, hukum apa yang akan dipakainya, Mu’adz menjawab : Kitabullah. Kalau tidak ada? tanya Nabi. Mu’adz menjawab : Dengan sunah Rasulullah. Kalau tidak ada juga? Dengan pendapat saya sendiri, jawab Mu’adz. Nabi menyetujuinya seraya berkata : Alhamdulillah. Allah telah memberi petunjuk kepada utusan Rasulullah sesuai dengan yang dikehendaki-Nya dan dikehendaki Rasul-Nya.” Ini sesuai pula dengan yang diberitakan tentang Rasulullah alaihis-salãm bahwa dia berkata kepada Abdullah bin Mas’ud : “Laksanakanlah hukum itu dengan Qur’an dan Sunah, kalau ada. Kalau dalam keduanya ketentuan hukumnya tak ada, berijtihadlah dengan pendapat pikiran Anda.”
Tetapi ijtihad dengan pendapat sendiri itu pada masa Nabi dan masa-masa permulaan Islam tujuannya bukan untuk membentuk mazhab-mazhab fikih yang akan mencakup segala yang terlintas dalam pikiran orang, tetapi terbatas hanya pada peristiwa yang memang terjadi dalam masalah-masalah kehidupan yang memang memerlukan pemecahan dengan pikiran. Disebutkan bahwa Ibn Abbas mengatakan : “Saya tak pernah melihat suatu golongan yang lebih baik daripada sahabat-sahabat Rasulullah sallallãhu ‘alaihi wasallam. Sampai meninggalnya ada tiga belas masalah yang mereka tanyakan, semua dalam Qur’an... Dan yang mereka tanyakan itu yang memberi manfaat kepada mereka. Umar bin Khattab mengutuk orang yang menanyakan hal-hal yang tidak ada.” Disebutkan bahwa Umar bin Ishaq berkata : “Orang yang masih saya jumpai dari sahabat-sahabat Rasulullah lebih banyak dari yang sudah mendahului saya. Saya tidak melihat ada suatu golongan yang bersikap lebih luwes (tidak kaku) daripada mereka dan tidak terlalu keras.”
Itu sebabnya, perselisihan yang timbul karena ijtihad yang bukan untuk membentuk mazhab tersendiri, jelas sekali dalam hal legislasi (pembentukan hukum) waktu itu. Bahkan Rasulullah melarang sahabat-sahabatnya berpecah-belah dan berselisih dalam soal agama, sejalan dengan firman Allah dalam Qur’an : “...tegakkanlah agama dan janganlah berpecah-belah….” (TQS. asy-Syura (42) : 13), dan firman-Nya : “Mereka yang memecah-belah agama mereka dan menjadi kelompok-kelompok, sedikit pun kamu tidak termasuk mereka...” (TQS. al-Anam (6) : 159) dan banyak lagi ayat lain yang senada. Ia melarang sahabat-sahabatnya ketika dilihatnya mereka berbicara tentang takdir dengan mengatakan kepada mereka : “Mereka yang sebelum kita telah binasa karena terlalu dalam memasuki persoalan ini.” Karenanya. samasekali tak ada berita dari para sahabat yang menyebutkan mereka pernah hanyut dan mau bernalar dalam masalah ilmu kalam (teologi). Kalau itu memang pernah terjadi, niscaya ada beritanya yang sampai kepada kita, seperti tentang ijtihad dengan pikiran yang mereka lakukan dalam soal-soal yang berhubungan dengan kenyataan dalam kehidupan sehari-hari.
-------------------------
Umar bin Khattab, Sebuah Tela'ah Mendalam Tentang Pertumbuhan Islam dan Kedaulatannya, Muhammad Husain Haekal,diterbitkan oleh Litera Antar Nusa, Cetakan Kesebelas, Februari 2011, halaman 679-686.
Rasulullah mengajak orang agar mengikuti wahyu yang disampaikan Tuhan kepadanya. Sesudah jumlah sahabatnya banyak, banyak pula yang mereka tanyakan mengenai hal-hal yang mereka hadapi yang belum ada dalam wahyu. Mengambil kebiasaan yang dilakukan oleh jahiliah bertentangan dengan yang diajarkan oleh Nabi. Tidak jarang wahyu turun sebagai jawaban atas pertanyaan-pertanyaan mereka itu. Dalam surah Baqarah Allah berfirman : “Mereka bertanya kepadamu, apa yang harus mereka nafkahkan. Katakanlah : Apa saja yang baik kamu nafkahkan hendaknya kepada ibu-bap dan kerabat, kepada anak yatim, dan orang miskin dan kepada orang terlantur dalam perjalanan. Dan segala perbuatan baik yang kamu lakukan, Allah mengetahuinyu. Diwajibkan kepada kamu berperang meskipun itu kamu benci. Tetapi mungkin apa yang tak kamu sukai justru itu justru membawa kebaikan kepada kamu, dan mungkin saja yang kamu sukai justru membawa bencana buat kamu, tetapi Allah mengetahui dan kamu tidak mengetahui. Mereka bertanya kepadamu tentang perang dalam bulan suci. Katakanlah : “Berperang dalam bulan itu suatu dosa besar. Tetapi merintangi orang dari jalan Allah, dan mengingkari-Nya, merintangi orang memasuki Masjidil Haram dan mengusir penduduk dari sekitarnya, lebih besar dalam pandangan Allah.” Fitnah itu lebih jahat daripada pembunuhan. Mereka akan terus memerangi kamu sebelum kamu meninggalkan agamamu kalau mereka mampu. Dan barang siapa di antara kamu ada yang meninggalkan agamanya, dan mati dalam kekafiran maka gugurlah segala amal mereka di dunia dan akhirat. Mereka menjadi penghuni api (neraka,) yang tinggal abadi di dalamnya. Mereka yang beriman dan mereka yang hijrah dan mereka yang berjuang di jalan Allah, mereka mengharapkan rahmat Allah; dan Allah Maha Pengampun, Maha Pengasih. Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah : “Keduanya mengandung dosa besar dan manfaat bagi manusia, tetapi dosanya lebih besar daripada manfaatnya.” Mereka bertanya kepadamu apa yang harus mereka nafkahkan. Katakanlah : “Yang tidak memberatkan.” Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berpikir tentang dunia dan akhirat. Mereka bertanya kepadamu tentang anak-anak yatim. Katakanlah : “Yang paling baik ialah memperbaiki keadaan mereka. Jika kamu bergaul dengan mereka, mereka adalah saudara-saudaramu juga. Allah mengetahui siapa yang melakukan kerusakan dan siapa yang mengadakan perbaikan dan jika Allah menghendaki niscaya Ia membuat kamu dalam kesulitan. Allah sungguh Mahaperkasa, Mahabijaksana.” Dan janganlah kamu menikah dengan perempuan-perempuan musyrik sebelum mereka beriman. Perempuan budak yang beriman lebih baik daripada perempuan musyrik sekalipun ia menarik hatimu. Juga janganlah menikahkan anak perempuanmu, dengan laki-laki musyrik sebelum mereka beriman. Seorang laki-laki budak beriman lebih baik daripada laki-laki musyrik sekalipun ia menarik hatimu. Mereka (kaum musyrik) akan membawa ke dalam api (neraka). Tetapi Allah akan memanggil ke dalam surga dan pengampunan dengan izin-Nya. Dan Ia akan menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia supaya mereka mendapat pelajaran. Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah : “Suatu gangguan. Oleh karena itu jauhilah perempuan yang sedang dalam haid dan janganlah dekati mereka sebelum mereka bersih. Tetapi bila mereka sudah membersihkan diri bergaullah dengan mereka sesuai dengan perintah Allah kepadamu, sebab Allah mencintai mereka yang bertobat dan mencintai mereka yang suci dan bersih.” (TQS. al-Baqarah (2) : 215-222).
Ayat-ayat dalam surah Baqarah yang berturut-turut ini diturunkan dalam waktu yang berlain-lainan. Semua itu diturunkan sebagai jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang oleh Muslimin ketika itu diajukan kepada Rasulullah. Maka Allah mewahyukan ayat-ayat tersebut kepadanya sebagai bimbingan untuk mereka dan untuk umat manusia, dan sebagai penjelasan tentang ketentuan-ketentuan hukum atas segala pertanyaan mereka itu. Ayat-ayat ini diturunkan berkenaan dengan peristiwa-peristiwa seperti diuraikan oleh para mufasir dan mereka beri nama asbãbun nuzül (sebab-sebab turunnya). Almarhum Muhammad al-Khudari dalam Tãrikh at-Tasyri’ al-Islami berkata : “Mengenai ketentuan-ketentuan hukum yang diturunkan tanpa didahului suatu peristiwa atau pertanyaan sedikit sekali, dan jarang kita melihat ada suatu ketentuan hukum yang oleh para mufasir tidak disebutkan peristiwanya sehubungan dengan turunnya ketentuan itu.”
Suatu sumber menyebutkan bahwa ketika Rasulullah mengutus Marsad al-Ganawi ke Mekah untuk mengeluarkan kaum duafa dari sana, seorang perempuan musyrik menawarkan diri untuk dikawini. Perempuan itu cantik dan kaya. Tawarannya itu diterima tetapi pelaksanaannya menunggu izin Rasulullah. Sekembalinya ke Medinah ia menyampaikan persoalan itu kepada Nabi, maka firman Allah ini turun : “…. Dan janganlah kamu menikah dengan perempuan-perempuan musyrik sebelum mereka beriman...” (TQS. al-Baqarah (2) : 221) dan seterusnya. Kita masih ingat bahwa orang-orang Yahudi dan musyrik di Medinah sering mengambil kesempatan saat-saat minum minuman keras untuk membangkitkan perselisihan lama antara Aus dengan Khazraj, dan karenanya Umar menanyakan kepada Rasulullah mengenai khamar yang ketika itu belum disebutkan di dalam Qur’an dengan mengatakan : Ya Allah jelaskanlah ketentuan khamar kepada kami, maka ayat ini turun : “Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah : “Keduanya mengandung dosa besar dan manfaat bagi manusia, tetapi dosanya lebih besar daripada manfaatnya.” (TQS. al-Baqarah (2) : 219).
Ijtihad Rasulullah dalam Hal Belum Turun Wahyu
Kaum Muslimin kadang menanyakan segala hal kepada Nabi. Kalau tak ada wahyu turun mengenai pertanyaan kaum Muslimin, ketika itulah Nabi memutuskan dengan pendapatnya sendiri. Dalam hal ini ia berkata : “Saya memutuskan perkara ini atas dasar pendapat dalam hal wahyu belum diturunkan.” Kalau sesudah itu Qur’an turun berbeda dengan yang sudah diputuskan, maka yang sudah ada itu segera tinggalkan, dan yang dipakai yang sudah diturunkan dalam Qur’an. Bukan sekali saja wahyu turun berlawanan dengan yang sudah diputuskan, di antaranya seperti yang sudah kita sebutkan mengenai tawanan perang Badr. Para tawanan itu menginginkan penebusan dan akan mereka membayar mahal. Mengenai hal ini Rasulullah bermusyawarah dengan sahabat-sahabatnya. Abu Bakr berkata : “Mereka itu masih masyarakat kita, keluarga kita, tangguhkanlah dulu kalau-kalau Allah akan mengampuni mereka. Terimalah tebusan itu untuk memperkuat kita dalam menghadapi orang-orang kafir.” Tetapi Umar berkata : “Mereka sudah membohongi kita dan mengusir kita. Bawalah mereka dan penggal leher mereka. Mereka itu biang keladi kaum kafir. Allah sudah memberi kecukupan kepada kita tanpa ada tebusan.” Sesudah itu Muhammad juga mendengarkan pendapat para pemuka Muslimin yang lain. Akhirnya tebusan itu diterima dan para tawanan dilepaskan. Setelah itulah turun firman Allah : “Tidaklah pantas bagi seorang nabi mempunyai tawanan perang sebelum Ia menaklukkan musuh di tempat itu. Yang ingin kamu peroleh hanya tujuan duniawi semata; tetapi tujuan Allah hari akhirat. Dan Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana. Sekiranya tidak karena ketentuan Allah yang sudah lebih dulu, niscaya azab yang keras menimpa kamu karena (tebusan) yang sudah kamu ambil. Maka nikmatilah apa yang sudah kamu peroleh, halal dan baik, dan bertakwalah kamu kepada Allah. Allah Maha Pengampun. Maha Pengasih.” (TQS. al-Anfal (8) : 67-69)
Setelah ayat ini turun Rasulullah berkata : “Kalau azab menimpa kita, yang akan selamat hanya Umar.”
Juga wahyu berbeda dengan pendapat Rasulullah dalam soal kaum Khawãlif (Khawãlif jamak khalifah orang-orang yang mencari-cari alasan untuk tidak ikut ke medan perang Perang Tabuk. Bandingkan dengan at-Taubat (9) : 81) yang diajak berangkat ke medan perang Tabuk dalam menghadapi pasukan Rumawi. Mereka berdalih kepada Nabi dengan berbagai alasan. Mereka meminta izin kepada Nabi untuk tetap tinggal di Medinah.
Nabi pun mengizinkan. Maka turunlah firman Allah ini: “Sekiranya ada keuntungan yang segera diperoleh dan perjalanan itu sederhana, pasti mereka mengikutimu. Tetapi ternyata perjalanan begitu jauh; mereka akan bersumpah demi Allah : “Kalau kami mampu, pastilah kami berangkat bersama kamu.” Mereka menghancurkan diri sendiri. Dan Allah tahu, mereka berdusta. Allah telah memberi rahmat kepadamu. Mengapa engkau memberi izin kepada mereka sebelum jelas bagimu mereka yang berkata benar dan kamu ketahui siapa yang berdusta?” (TQS. at-Taubah (9) : 42-43). Sekiranya ayat inii turun sebelum Rasulullah mengizinkan kaum Khawãlif pasti mereka tidak akan diberi izin.
Tetapi ijtihad Rasulullah yang bertentangan dengan wahyu sedikit sekali. Oleh karena itu sunah Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam tetap diikuti selama tidak bertentangan dengan wahyu. begitu juga caranya berijtihad telah dijadikan contoh pula. Nabi berpegang pada kias. Ketika ia ditanya oleh seorang gadis dari Banu Khas’am : Rasulullah, ayah saya sudah tua sekali ketika ada ketentuan ibadah haji sehingga ia sudah tak mampu melaksanakan. Bergunakah buat dia kalau saya yang menghajikan? Nabi menjawab : “Kalau ayahmu itu punya utang lalu kau menunaikannya, bergunakah itu buat dia?” Gadis itu menjawab : “Ya.” Kata Nabi lagi : “Utang kepada Allah lebih berhak untuk ditunaikan.” Mengaitkan utang kepada Allah dengan utang kepada manusia dalam keharusan penyelesaian dan manfaatnya. itulah kias.
Dalam memutuskan perkara di antara kaum Muslimin Rasulullah berkata : “Kalian mengadu kepadaku kalau-kalau yang sebagian dari kalian lebih mengetahui mengenai alasannya dari yang lain, maka saya membenarkan dia atas dasar dari yang saya dengar dari dia. Barang siapa ada yang saya benarkan dari hak saudaranya maka yang saya putuskan itu hanya merupakan sebagian dari api (neraka).” Al-Amidi mengatakan : “Hal itu menunjukkan bahwa adakalanya ia memutuskan hal yang tidak mengenai perkara itu sendiri.” Tidak heran kalau Amidi berkata begitu. Keputusan yang diambil oleh Rasulullah atas dasar bukti yang diajukan oleh lawan, dan keputusannya bukan pula dengan wahyu dan Allah, tetapi dengan pertimbangan bukti-bukti kuat yang diajukan kepadanya. Adakalanya orang yang berhak tidak mampu mengajukan bukti atas haknya itu atau tidak mampu menangkis bukti yang disampaikan oleh pihak lawan. Hakim yang adil tidak akan memutuskan dengan ilmunya, melainkan keputusan itu akan diambil berdasarkan keyakinan hati nuraninya dengan bukti yang sudah disampaikan kepadanya.
Rasulullah Selalu Bermusyawarah dengan Para Sahabatnya
Keputusan hakim berbeda dengan sunah, kendati keputusan itu juga termasuk sunah jika hukum itu sudah mengatur suatu prinsip yang umumnya mencakup peristiwa-peristiwa yang sama. Sedang mengenai sunah itu sendiri prinsip-prinsip dan hukumnya yang diwajibkan oleh Qur’an sudah dijelaskan oleh Rasulullah dengan perbuatan, dengan perkataan atau dengan kedua-duanya, seperti dalam firman Allah : “…. dan Kami turunkan risalah ini supaya kaujelaskan kepada manusia apa yang sudah diturunkan kepada mereka, dan supaya mereka renungkan.” (TQS. an-Nahl (16) : 44). Sunah dengan perbuatan ialah seperti shalat dan haji. Rasulullah mengimami shalat lima waktu dan mengatakan : “Shalatlah seperti yang kalian lihat aku melakukan shalat.” Ketika melaksanakan ibadah haji Rasulullah berkata kepada mereka yang ikut bersama-sama : ‘Contohlah aku dalam melaksanakan manasik.” Sedang sunah dengan perkataan disebut hadis, ada hadis yang berhubungan dengan wahyu sebagai penjelasan dan penafsirannya, ada yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari yang terjadi pada masa Nabi dan disampaikan kepadanya, lalu Nabi memberikan pendapatnya. Dalam hal-hal semacam ini Nabi memberikan itu setelah bermusyawarah dengan sahabat-sahabatnya sesuai dengan firman Allah : “…. dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam segala urusan. Jika engkau sudah mengambil keputusan bertawakallah kepada Allah.” (TQS. Ali Imran (3) : 159).
Tatkala Nabi bermusyawarah dengan para sahabat mengenai panggilan shalat, ada yang menyarankan dengan api, ada yang mengatakan dengan terompet dan yang lain menyarankan dengan genta (bel). Yang diputuskan kemudian dengan azan. Juga ia bermusyawarah dengan para sahabat jika hendak menghadapi perang. Dalam perang Uhud misalnya, akan bertahan dalam kota atau akan menyongsong musuh di pinggiran kota. Begitu juga musyawarah itu dilakukan ketika berhadapan dengan peristiwa Hudaibiah dan dalam peristiwa-peristiwa ekspedisi yang lain. Abu Hurairah mengatakan : “Saya tak pernah melihat orang begitu sering mengajak sahabat-sahabat bermusyawarah seperti yang dilakukan oleh Nabi sallallãhu ‘alaihi wasallam.”
Rasulullah mengajak sahabat-sahabatnya berijtihad. Ada sumber yang menyebutkan mengenai Amr bin As, bahwa dia berkata : Ada dua orang yang sedang berselisih datang mengadu kepada Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam, lalu katanya kepada saya : Amr, putuskanlah perkara mereka. Kata saya : Dalam hal ini Rasulullah, Anda lebih tepat. Nabi berkata lagi : Walaupun begitu. Kata saya : Atas dasar apa saya memutuskan? “Kalau keputusan Anda terhadap kedua orang itu tepat Anda akan mendapat sepuluh pahala, kalau Anda sudah berusaha lalu keliru Anda akan mendapat satu pahala.”
Nabi Mengajar Para Sahabat Berijtihad
Ketika Rasulullah menunjuk Sa’d bin Mu’adz untuk memutuskan perkara Banu Quraizah, keputusan Sa’d menjatuhkan hukuman mati kepada mereka dan menawan keluarga mereka. Nabi menyetujui pendapatnya itu. Dan tatkala Abu Qatadah membunuh seorang laki-laki musyrik dan orang lain yang mengambil perlengkapan perangnya, Abu Bakr berkata : Kami tidak bermaksud salah seorang dari singa Allah itu berperang demi Allah dan Rasul-Nya lalu kami berikan hasil perlengkapan perangnya (Salab jamak aslab “rampasan perang dari lawan yang dibunuh berupa pedang. pakaian, hewan dan sebagainya menjadi bagian yang membunuhnya) kepadamu. Kembalikanlah kepadanya perlengkapan korban itu. Rasulullah berkata : “Benar, kembalikan perlengkapan perang korban itu kepadanya.” Tatkala Nabi mengutus Mu’adz bin Jabal ke Yaman untuk mengajarkan seluk-beluk agama kepada penduduk, Mu’adz ditanya, hukum apa yang akan dipakainya, Mu’adz menjawab : Kitabullah. Kalau tidak ada? tanya Nabi. Mu’adz menjawab : Dengan sunah Rasulullah. Kalau tidak ada juga? Dengan pendapat saya sendiri, jawab Mu’adz. Nabi menyetujuinya seraya berkata : Alhamdulillah. Allah telah memberi petunjuk kepada utusan Rasulullah sesuai dengan yang dikehendaki-Nya dan dikehendaki Rasul-Nya.” Ini sesuai pula dengan yang diberitakan tentang Rasulullah alaihis-salãm bahwa dia berkata kepada Abdullah bin Mas’ud : “Laksanakanlah hukum itu dengan Qur’an dan Sunah, kalau ada. Kalau dalam keduanya ketentuan hukumnya tak ada, berijtihadlah dengan pendapat pikiran Anda.”
Tetapi ijtihad dengan pendapat sendiri itu pada masa Nabi dan masa-masa permulaan Islam tujuannya bukan untuk membentuk mazhab-mazhab fikih yang akan mencakup segala yang terlintas dalam pikiran orang, tetapi terbatas hanya pada peristiwa yang memang terjadi dalam masalah-masalah kehidupan yang memang memerlukan pemecahan dengan pikiran. Disebutkan bahwa Ibn Abbas mengatakan : “Saya tak pernah melihat suatu golongan yang lebih baik daripada sahabat-sahabat Rasulullah sallallãhu ‘alaihi wasallam. Sampai meninggalnya ada tiga belas masalah yang mereka tanyakan, semua dalam Qur’an... Dan yang mereka tanyakan itu yang memberi manfaat kepada mereka. Umar bin Khattab mengutuk orang yang menanyakan hal-hal yang tidak ada.” Disebutkan bahwa Umar bin Ishaq berkata : “Orang yang masih saya jumpai dari sahabat-sahabat Rasulullah lebih banyak dari yang sudah mendahului saya. Saya tidak melihat ada suatu golongan yang bersikap lebih luwes (tidak kaku) daripada mereka dan tidak terlalu keras.”
Itu sebabnya, perselisihan yang timbul karena ijtihad yang bukan untuk membentuk mazhab tersendiri, jelas sekali dalam hal legislasi (pembentukan hukum) waktu itu. Bahkan Rasulullah melarang sahabat-sahabatnya berpecah-belah dan berselisih dalam soal agama, sejalan dengan firman Allah dalam Qur’an : “...tegakkanlah agama dan janganlah berpecah-belah….” (TQS. asy-Syura (42) : 13), dan firman-Nya : “Mereka yang memecah-belah agama mereka dan menjadi kelompok-kelompok, sedikit pun kamu tidak termasuk mereka...” (TQS. al-Anam (6) : 159) dan banyak lagi ayat lain yang senada. Ia melarang sahabat-sahabatnya ketika dilihatnya mereka berbicara tentang takdir dengan mengatakan kepada mereka : “Mereka yang sebelum kita telah binasa karena terlalu dalam memasuki persoalan ini.” Karenanya. samasekali tak ada berita dari para sahabat yang menyebutkan mereka pernah hanyut dan mau bernalar dalam masalah ilmu kalam (teologi). Kalau itu memang pernah terjadi, niscaya ada beritanya yang sampai kepada kita, seperti tentang ijtihad dengan pikiran yang mereka lakukan dalam soal-soal yang berhubungan dengan kenyataan dalam kehidupan sehari-hari.
-------------------------
Umar bin Khattab, Sebuah Tela'ah Mendalam Tentang Pertumbuhan Islam dan Kedaulatannya, Muhammad Husain Haekal,diterbitkan oleh Litera Antar Nusa, Cetakan Kesebelas, Februari 2011, halaman 679-686.
KEUNTUNGAN YANG KEMATIAN ANAK KECIL (3)
Abu Sa’id Alkhudry r.a. berkata : Seorang perempuan datang, lalu berkata kepada Nabi s.a.w. Ya Rasulullah orang-orang laki telah memborong semua hadits-Mu, maka berilah bagi kami kesempatan suatu hari yang kami akan datang kepada-Mu, supaya kau ajarkan kepada kami apa yang telah diajarkan Allah kepadamu. Maka Rasulullah menyuruh mereka datang pada suatu hari yang telah ditentukannya, maka berkumpullah mereka. Maka diajarkan oleh Nabi s.a.w. beberapa keterangan, kemudian Nabi bersabda : Tiada seorangpun diantara kamu yang kematian tiga anak, melainkan mereka itu nanti akan menjadi dinding dari api neraka. Maka seorang perempuan bertanya : Kalau dua orang anak bagaimana? Jawab Nabi : Juga dua orang anak. (HR. Buchary dan Muslim).
----------------------
Tarjamah RIADHUS SHALIHIN II, Salim Bahreisy, Penerbit PT Alma’arif Bandung, Cetakan keempat 1979, halaman 96.
----------------------
Tarjamah RIADHUS SHALIHIN II, Salim Bahreisy, Penerbit PT Alma’arif Bandung, Cetakan keempat 1979, halaman 96.
Rabu, 27 Agustus 2014
KEUNTUNGAN YANG KEMATIAN ANAK KECIL (2)
Abu Hurairah r.a. berkata : Rasulullah s.a.w. bersabda : Tiada seorang Muslim kematian tiga anak, lalu akan tersentuh oleh api neraka, kecuali sekadar untuk menepati sumpah Tuhan. (HR. Buhary dan Muslim).
Sumpah Tuhan dalam QS. 19 : 71 ; “Tiada seorangpun dari kamu melainkan pasti akan melewati neraka jahanam”.
----------------------
Tarjamah RIADHUS SHALIHIN II, Salim Bahreisy, Penerbit PT Alma’arif Bandung, Cetakan keempat 1979, halaman 95-96.
Sumpah Tuhan dalam QS. 19 : 71 ; “Tiada seorangpun dari kamu melainkan pasti akan melewati neraka jahanam”.
----------------------
Tarjamah RIADHUS SHALIHIN II, Salim Bahreisy, Penerbit PT Alma’arif Bandung, Cetakan keempat 1979, halaman 95-96.
Selasa, 26 Agustus 2014
KEUNTUNGAN YANG KEMATIAN ANAK KECIL (1)
Anas r.a. berkata : Rasulullah s.a.w. bersabda : Tiada seorang Muslim yang kematian tiga anak yang belum baligh, melainkan Allah akan memasukkan ke dalam sorga, karena kurnia rahmat Allah terhadap anak-anak itu. (HR. Buchary dan Muslim).
----------------------
Tarjamah RIADHUS SHALIHIN II, Salim Bahreisy, Penerbit PT Alma’arif Bandung, Cetakan keempat 1979, halaman 95.
----------------------
Tarjamah RIADHUS SHALIHIN II, Salim Bahreisy, Penerbit PT Alma’arif Bandung, Cetakan keempat 1979, halaman 95.
Senin, 25 Agustus 2014
Ijtihad Umar bin Khattab (1)
Definisi Tentang Pengertian Khalifah
DALAM sebuah sumber disebutkan bahwa Umar bin Khattab pernah bertanya kepada Salman : Saya ini raja atau khalifah? Salman menjawab : “Jika Anda memungut satu dirham, kurang atau lebih, lalu Anda gunakan tidak pada tempatnya, Anda adalah raja, bukan khalifah.” Umar merasa sedih sekali. Disebutkan juga bahwa suatu hari ia berkata : “Saya sungguh tidak tahu, saya ini khalifah atau raja. Kalau saya seorang raja, ini sungguh luar biasa!” Ada orang berkata : “Amirulmukminin, antara keduanya itu ada perbedaan.” “Apa bedanya?”, tanya Umar. Orang itu menjawab : “Khalifah mengambil hanya atas dasar yang benar dan menggunakannya juga hanya atas dasar yang benar, dan alhamdulillah, Anda demikian. Sedang raja bertindak sewenang-wenang, kepada yang seorang ia mengambil, kepada yang lain ia memberi.” Umar diam.
Definisi tentang khalifah semacam ini dan hanya cukup dengan batas-batas itu tidak sesuai dengan pengertian kaum Muslimin sang mula-mula. Para khalifah yang mula-mula itu telah dilukiskan sebagai al-khulafa ar-rasyidün (“para khalifah teladan”). Dengan sebutan itu dimaksudkan bahwa mereka para pengganti Rasulullah terhadap kaum Muslimin, mengikuti jejaknya, menjalankan kebiasaannya dan menempuh jalan yang ditempuhnya mengenai soal-soal agama dan dunia. Dalam hal ini Umar berkata : “Saya punya dua orang sahabat menempuh satu jalan : kalau saya melanggar mereka, orang akan melanggar saya.” Adapun mereka yang datang kemudian setelah Khulafã’ Rasyidün itu mereka sudah berperilaku seperti raja-raja. Oleh karenanya mereka menjadi para penguasa atas kaum mukmin, bukan pengganti Rasulullah atau pengganti para penggantinya.
Sekali-kali Rasulullah bukanlah seorang raja. Apa yang dipikulnya mengurus kaum Muslimin di Medinah samasekali tidak sama dengan yang dilakukan oleh raja-raja Persia dan Rumawi pada masanya itu, atau oleh raja-raja berbagai bangsa apa dan di zaman kapan pun. Dia adalah Rasul Allah yang memberikan bimbingan dan petunjuk kepada umat, membawa kabar gembira dan peringatan, membawa pesan dan ajaran-Nya untuk disampaikan kepada umat manusia, mengajak mereka kepada agama yang lurus dengan cara yang bijaksana dan seruan yang baik. Kaum Muslimin berlindung di bawah naungannya untuk menambah petunjuk dan ayat-ayat wahyu dan dari sunah yang diajarkan kepada mereka, yang pernah didengarnya, dan para penggantinya yang sudah menjadi teladan, para Khulafa Rãsyidün yang kemudian menggantikannya. Para khalifah itu pun bukanlah rasul-rasul yang mendapat wahyu, tetapi mereka sahabat-sahabat Rasulullah, mereka mengikuti ajaran-ajaran dan sudah menghirup prinsip-prinsip ajaran itu. Sesudah kemudian mereka menggantikannya, ajaran-ajaran dan prinsip-prinsip itu mereka sebarkan kepada segenap umat manusia, membimbing mereka kepada hidayah. Mereka masing-masing mengambil atas dasar yang benar dan menempatkannya atas dasar yang benar pula. Dalam pengertian inilah Umar menjadi Khalifah, begitu juga Abu Bakr sebelumnya. Itu sebabnya, ia ingin sekali mengikuti jejak Abu Bakr, dalam kesederhanaan hidup, dalam menjalankan persamaan antara dirinya dengan orang lain, dengan selalu mengikuti kebenaran dan mengajak orang ke arah itu dan melaksanakannya.
-------------------------
Umar bin Khattab, Sebuah Tela'ah Mendalam Tentang Pertumbuhan Islam dan Kedaulatannya, Muhammad Husain Haekal,diterbitkan oleh Litera Antar Nusa, Cetakan Kesebelas, Februari 2011, halaman 678-679.
DALAM sebuah sumber disebutkan bahwa Umar bin Khattab pernah bertanya kepada Salman : Saya ini raja atau khalifah? Salman menjawab : “Jika Anda memungut satu dirham, kurang atau lebih, lalu Anda gunakan tidak pada tempatnya, Anda adalah raja, bukan khalifah.” Umar merasa sedih sekali. Disebutkan juga bahwa suatu hari ia berkata : “Saya sungguh tidak tahu, saya ini khalifah atau raja. Kalau saya seorang raja, ini sungguh luar biasa!” Ada orang berkata : “Amirulmukminin, antara keduanya itu ada perbedaan.” “Apa bedanya?”, tanya Umar. Orang itu menjawab : “Khalifah mengambil hanya atas dasar yang benar dan menggunakannya juga hanya atas dasar yang benar, dan alhamdulillah, Anda demikian. Sedang raja bertindak sewenang-wenang, kepada yang seorang ia mengambil, kepada yang lain ia memberi.” Umar diam.
Definisi tentang khalifah semacam ini dan hanya cukup dengan batas-batas itu tidak sesuai dengan pengertian kaum Muslimin sang mula-mula. Para khalifah yang mula-mula itu telah dilukiskan sebagai al-khulafa ar-rasyidün (“para khalifah teladan”). Dengan sebutan itu dimaksudkan bahwa mereka para pengganti Rasulullah terhadap kaum Muslimin, mengikuti jejaknya, menjalankan kebiasaannya dan menempuh jalan yang ditempuhnya mengenai soal-soal agama dan dunia. Dalam hal ini Umar berkata : “Saya punya dua orang sahabat menempuh satu jalan : kalau saya melanggar mereka, orang akan melanggar saya.” Adapun mereka yang datang kemudian setelah Khulafã’ Rasyidün itu mereka sudah berperilaku seperti raja-raja. Oleh karenanya mereka menjadi para penguasa atas kaum mukmin, bukan pengganti Rasulullah atau pengganti para penggantinya.
Sekali-kali Rasulullah bukanlah seorang raja. Apa yang dipikulnya mengurus kaum Muslimin di Medinah samasekali tidak sama dengan yang dilakukan oleh raja-raja Persia dan Rumawi pada masanya itu, atau oleh raja-raja berbagai bangsa apa dan di zaman kapan pun. Dia adalah Rasul Allah yang memberikan bimbingan dan petunjuk kepada umat, membawa kabar gembira dan peringatan, membawa pesan dan ajaran-Nya untuk disampaikan kepada umat manusia, mengajak mereka kepada agama yang lurus dengan cara yang bijaksana dan seruan yang baik. Kaum Muslimin berlindung di bawah naungannya untuk menambah petunjuk dan ayat-ayat wahyu dan dari sunah yang diajarkan kepada mereka, yang pernah didengarnya, dan para penggantinya yang sudah menjadi teladan, para Khulafa Rãsyidün yang kemudian menggantikannya. Para khalifah itu pun bukanlah rasul-rasul yang mendapat wahyu, tetapi mereka sahabat-sahabat Rasulullah, mereka mengikuti ajaran-ajaran dan sudah menghirup prinsip-prinsip ajaran itu. Sesudah kemudian mereka menggantikannya, ajaran-ajaran dan prinsip-prinsip itu mereka sebarkan kepada segenap umat manusia, membimbing mereka kepada hidayah. Mereka masing-masing mengambil atas dasar yang benar dan menempatkannya atas dasar yang benar pula. Dalam pengertian inilah Umar menjadi Khalifah, begitu juga Abu Bakr sebelumnya. Itu sebabnya, ia ingin sekali mengikuti jejak Abu Bakr, dalam kesederhanaan hidup, dalam menjalankan persamaan antara dirinya dengan orang lain, dengan selalu mengikuti kebenaran dan mengajak orang ke arah itu dan melaksanakannya.
-------------------------
Umar bin Khattab, Sebuah Tela'ah Mendalam Tentang Pertumbuhan Islam dan Kedaulatannya, Muhammad Husain Haekal,diterbitkan oleh Litera Antar Nusa, Cetakan Kesebelas, Februari 2011, halaman 678-679.
PUJIAN ORANG PADA SI MAYYIT (2)
Abul-Aswad berkata : Ketika saya datang ke kota Madinah, saya duduk bersama Umar bin Alkhotthob, mendadak ada jenazah lewat, maka orang-orang memuji-muji mayyit itu. Berkata Umar : Wajabat. Kemudian ada lain janazah juga orang-orang pada memuji kebaikannya. Umar berkata : Wajabat. Kemudian ketiga kalinya ada janazah dan orang-orang menyebut kejahatannya. Umar juga berkata ; Wajabat. Abul-Aswad bertanya : Apakan arti Wajabat hai Amiril Mu’minin? Jawab Umar : Saya berkata sebagai yang telah dikatakan oleh Nabi s.a.w. Tiap Muslim yang disaksikan oleh empat orang bahwa ia baik, Allah akan memasukkannya ke dalam sorga. Kami bertanya : Kalau tiga orang? Jawab Nabi : Juga tiga. Kami bertanya: Kalau dua orang? Jawab Nabi : Dan dua orang. Kemudian kami tidak sampai bertanya satu orang. (HR. Buchary).
----------------------
Tarjamah RIADHUS SHALIHIN II, Salim Bahreisy, Penerbit PT Alma’arif Bandung, Cetakan keempat 1979, halaman 94.
----------------------
Tarjamah RIADHUS SHALIHIN II, Salim Bahreisy, Penerbit PT Alma’arif Bandung, Cetakan keempat 1979, halaman 94.
Minggu, 24 Agustus 2014
PUJIAN ORANG PADA SI MAYYIT (1)
Anas r.a. berkata : Ketika ada janazah lewat, maka sahabat-sahabat memuji mayyit itu atas kebaikan kelakuannya. Maka Nabi s.a.w. bersabda : Wajabat (Pasti baginya). Kemudian ada lain janazah berjalan dan orang-orang menyebut-nyebut kejahatannya. Nabipun bersabda : Wajabat (Pasti baginya). Maka Umar bin Alkhotthob bertanya : Apakah arti Wajabat? Jawab Nabi s.a.w. : Itu tadi kamu memuji kebaikannya maka pasti ia masuk sorga. Dan yang mini kamu sebut-sebut kejahatannya, maka pasti ia masuk neraka. Kamu sebagai saksi Allah di atas bumi ini. (HR. Buchary dan Muslim).
----------------------
Tarjamah RIADHUS SHALIHIN II, Salim Bahreisy, Penerbit PT Alma’arif Bandung, Cetakan keempat 1979, halaman 93-94.
----------------------
Tarjamah RIADHUS SHALIHIN II, Salim Bahreisy, Penerbit PT Alma’arif Bandung, Cetakan keempat 1979, halaman 93-94.
Hancurnya PBB
Dalam perundingan di Kairo; Senin, 18 Agustus 2014, pukul 21.00 GMT, tanpa diucapkan telah hancur lah reputasi PBB. Komposisi para perunding ini membuka mata dunia tentang kerendahan hati Hamas dan ketulusannya untuk Palestina bersatu.
Berikut ini 6 syarat yang diajukan para perunding Palestina yang dipimpin Hamas :
1. Gencatan senjata 10 tahun
2. Penarikan total Zionis Israel dari Jalur Gaza
3. Pemberlakukan kembali kesepakatan 2012
4. Dihentikannya pengepungan (blockade) atas Jalur Gaza
5. Pembangunan pelabuhan dan dibebaskannya laut Gaza
6. Pembangunan bandar udara dan dibebaskannya langit Gaza
Keenam-enamnya bukan tuntutan diplomasi; itu HAK HIDUP SEMUA MASYARAKAT DI MUKA BUMI.
1. Gencatan senjata 10 tahun
2. Penarikan total Zionis Israel dari Jalur Gaza
3. Pemberlakukan kembali kesepakatan 2012
4. Dihentikannya pengepungan (blockade) atas Jalur Gaza
5. Pembangunan pelabuhan dan dibebaskannya laut Gaza
6. Pembangunan bandar udara dan dibebaskannya langit Gaza
Keenam-enamnya bukan tuntutan diplomasi; itu HAK HIDUP SEMUA MASYARAKAT DI MUKA BUMI.
Sabtu, 23 Agustus 2014
SEDEKAH UNTUK MAYYIT DAN MENDO’KANNYA (2)
Abu Hurairah r.a. berkata : Rasulullah s.a.w. bersabda : Jika mati seseorang, maka putuslah amalnya, kecuali tiga macam : Sedekah yang terus-menerus berjalan, atau ilmu yang telah diajarkan dan berguna. Atau anak Salih yang mendo’akan baginya. (HR. Muslim).
Pengertian hadits ini sangat jelas : Bahwa tiap mayyit telah selesai dan putus amal kelakuannya sendiri, karena ia telah tidak dapat beramal sendiri. Juga tidak ada keterangan dalam hadits ini bahwa ia tidak dapat menerima hadiyah bantuan do’a dan sebagainya dari lain orang, bahkan yang jelas bahwa kalau seorang yang pernah mendapat pelajaran baik daripadanya, lalu diamalkannya ia masih dapat pahala, dan sebab amal lain orang itu. Juga dalam sholat janazah itu jelas sekali segala orang Muslim boleh mendo’akan untuk keselamatan dia, dan akan diterima oleh Allah. Dan pendapat yang mengikat do’a hanya dari anak itu, tidak logis hanya saja memang dalam hadits disebut anak, sebab ialah yang bakal ingat selalu kepada ayahnya, dimana orang-orang lain telah melupakannya. Sebagaimana yang diterangkan dalam QS. 59 : 10.
----------------------
Tarjamah RIADHUS SHALIHIN II, Salim Bahreisy, Penerbit PT Alma’arif Bandung, Cetakan keempat 1979, halaman 92.
Pengertian hadits ini sangat jelas : Bahwa tiap mayyit telah selesai dan putus amal kelakuannya sendiri, karena ia telah tidak dapat beramal sendiri. Juga tidak ada keterangan dalam hadits ini bahwa ia tidak dapat menerima hadiyah bantuan do’a dan sebagainya dari lain orang, bahkan yang jelas bahwa kalau seorang yang pernah mendapat pelajaran baik daripadanya, lalu diamalkannya ia masih dapat pahala, dan sebab amal lain orang itu. Juga dalam sholat janazah itu jelas sekali segala orang Muslim boleh mendo’akan untuk keselamatan dia, dan akan diterima oleh Allah. Dan pendapat yang mengikat do’a hanya dari anak itu, tidak logis hanya saja memang dalam hadits disebut anak, sebab ialah yang bakal ingat selalu kepada ayahnya, dimana orang-orang lain telah melupakannya. Sebagaimana yang diterangkan dalam QS. 59 : 10.
----------------------
Tarjamah RIADHUS SHALIHIN II, Salim Bahreisy, Penerbit PT Alma’arif Bandung, Cetakan keempat 1979, halaman 92.
Hasrat yang Aneh
MY TRIP MY ADVENTURE. Tiba-tiba kepengen sholat di Masjid dekat terminal Penggaron yang dulu sering TravelNusa (Traveler Nusantara) lewati di tahun 1998 sampai tahun 2000, bukan apa-apa karena arsitektur atap mesjidnya mengingatkanku pada arsitektur atap masjid Agung Demak dan mesjid Kadilangu-nya sunan Kalijaga. Segera TravelNusa (Traveler Nusantara) melangkahkan kaki untuk ber-BRT-ria dimulai dari Shalter ADA Setyabudi sekitar jam 08.00 WIB dengan menggunakan BRT II-021 dengan kondektur mbak Tri Wulansari menuju Shalter Transit SMAN 5 perjalanan lancar melewati shalter Srondol - shalter Tembalang - shalter Jatingaleh - shalter Kesatrian - shalter Don Bosco - shalter Akpol - shalter Papandayan - shalter Elizabeth - shalter Gajahmungkur - shalter Ngaglik - shalter Mapolrestabes - shalter RST Bhakti Wira Tamtama - shalter SMAN 5. Kemudian TravelNusa (Traveler Nusantara) pindah bis BRT I-012, menuju terminal Penggaron melewati jalan Pandanaran - shalter Pandanaran - shalter Shantika Primere - shalter Simpang Lima - shalter A. Yani - shalter Milo - shalter Gajah - shalter Gayamsari - shalter ADA Majapahit - shalter BLKI - shalter Samsat Pedurungan - shalter Zebra - shalter Plamongan dan sampai terminal Penggaron.
Masjid Baitul Na'im Pedurungan |
TravelNusa (Traveler Nusantara) langkahkan kaki keluar terminal menuju arah barat, akhirnya sampai juga di masjid tujuan, masjid Baitul Na'im jalan Majapahit Penggaron Pedurungan Lor Pedurungan Semarang. Setelah beberapa saat di masjid ini dan melakukan segala keinginan akhirnya TravelNusa (Traveler Nusantara) kembali menempuh perjalanan pulang dan menunggu BRT di shalter 002 depan SPBU 41-501-28 dengan BRT I-019. Perjalanan terus berlanjut hingga shalter Transit Balaikota untuk selanjutnya pindah ke koridor 2 dengan BRT II-014 dan mengakhiri perjalanan di Shalter Tembalang. Nice Trip with BRT Trans Semarang.
Khilafah Yang Menyatukan, Khalifah Yang Melindungi
(Dok. Photo : Jeni-Roxi) |
Pernahkah kita membayangkan bahwa pada satu masa yang panjang, kaum Muslim di seluruh dunia pernah bersatu padu dalam satu ummat? Pada kenyataannya ummat Muslim memang pernah bersatu dalam kurun waktu sekitar 1300 tahun lamanya. Bermula dari kepemimpinan Rasulullah Muhammad saw pada 622 M di Madinah dan berakhir pada Kekhilafahan Utsmaniyyah tahun 1924 M di Turki.
Terbayangkah kita bagaimana kekuatan ummat Muslim saat mereka bersatu? Allah limpahkan berkah pada mereka dan kebaikan dunia-akhirat, kekuatann yang tiada bandingannya dan kehormatan serta kemuliaan, disegani lawan dan disukai kawan. Dengan pemimpin yang satu, kepemimpinan yang satu, bendera yang satu | aturan yang satu, rasa yang satu, dan komando yang satu.
Masa-masa bersatunya kaum Muslim itulah masanya Khilafah Islam mewujud, dengan Khalifah sebagai pemimpin yang melindungi ummat Muslim. Pada masa itu darah dan kehormatan kaum Muslim dilindungi oleh Khalifah, begitupun dengan darah dan harta kaum kafir dzimmi didalamnya (kaum kafir yang damai yang hidup di negara Islam, mereka membayar jizyah dan tunduk pada aturan syariah Islam).
Bahkan saat Khilafah sedang berada dalam kondisi lemah karena konflik internal-eksternal yang tak kunjung usai, tetap saja Khalifah yang saat itu dijuluki “Sick-Man of Europe” masih punya taji dan kekuatan. Misalnya, pada 1889 seorang penulis drama asal Prancis Henri de Bornier berencana mementaskan drama yang bertajuk “Muhammad atau Kefanatikan” yang isinya menghina Nabi Muhammad saw.
Saat berita itu sampai kepada Khalifah, maka Khalifah Abdul Hamid II melalui duta di Paris pada saat itu Es’at Pasha, segera meminta agar drama tendensius itu dibatalkan pementasannya karena hal itu menyakiti perasaan ummat Muslim. Setelah keberatan dan protes dari Khalifah diberitahukan, Perdana Menteru Prancis Charles de Freycinet melarang pementasan drama itu di Prancis pada 1890.
Dilarang di Prancis, Henri de Bornier tidak kehabisan akal lalu berencana mementaskan drama yang sama di Inggris. Maka, sekali lagi Khalifah meminta pemerintah Inggris agar melarangnya, dan memberitahukan bahwa Prancis pun sudah melarang pementasan yang sama karena drama itu adalah penghinaan bagi Nabi Muhammad saw.
Diluar dugaan Khalifah, Inggris menolaknya dengan alasan tiket-tiket telah dijual dan pembatalan itu bertentangan dengan prinsip kebebasan berekspresi (freedom of act and speech) yang diyakininya.
Saat berita itu sampai kepada Khalifah, maka Khalifah Abdul Hamid II melalui duta di Paris pada saat itu Es’at Pasha, segera meminta agar drama tendensius itu dibatalkan pementasannya karena hal itu menyakiti perasaan ummat Muslim. Setelah keberatan dan protes dari Khalifah diberitahukan, Perdana Menteru Prancis Charles de Freycinet melarang pementasan drama itu di Prancis pada 1890.
Dilarang di Prancis, Henri de Bornier tidak kehabisan akal lalu berencana mementaskan drama yang sama di Inggris. Maka, sekali lagi Khalifah meminta pemerintah Inggris agar melarangnya, dan memberitahukan bahwa Prancis pun sudah melarang pementasan yang sama karena drama itu adalah penghinaan bagi Nabi Muhammad saw.
Diluar dugaan Khalifah, Inggris menolaknya dengan alasan tiket-tiket telah dijual dan pembatalan itu bertentangan dengan prinsip kebebasan berekspresi (freedom of act and speech) yang diyakininya.
Mendengar jawaban itu Khalifah Abdul Hamid II lalu menyampaikan pada pemerintah Inggris bila tetap bersikeras atas pernyatannya. Khalifah Abdul Hamid II lalu berucap “saya akan mengeluarkan perintah kepada umat Islam dengan mengumumkankan bahwa Inggris sedang menyerang dan menghina Rasulullah kami! saya akan kobarkan Jihad Al-Akbar”
Dengan ancaman itu Inggris pun serta merta membatalkan niatnya mementaskan drama besutan Bornier. Begitulah kesatuan Muslim dalam Khilafah dapat menjaga kehormatan mereka.
Clifford Edmund Bosworth, seorang orientalis dan sejarawan asal Inggris pada 1970 berkomentar tentang hal ini dalam bukunya “A Dramatisation of the Prophet Muhammad’s Life: Henri de Bornier’s Mahomet’” halaman 116
“Since Bornier’s time, no major European dramatist seems to have essayed a play on the life of the Prophet”
Beginilah pemimpin seharusnya melindungi kehormatan ummat Muslim, tidak seperti sekarang saat pemimpin-pemimpin kaum Muslim banyak diam dan tak berbuat apapun saat penghinaan pada Nabi begitu marak. Khalifah Abdul Hamid II yang memimpin Khilafah adalah Khalifah terakhir, namun walaupun dalam kondisi yang sangat lemah, Khilafah tetap disegani bangsa Eropa. Ini membuktikan bahwa pemimpin yang amanah yaitu Khalifah, hanya akan bersinar dalam sistem yang amanah yaitu Khilafah.
Khalifah adalah pemimpin kaum Muslim yang bertindak berdasarkan Islam, seorang pemimpin bagi kaum Muslim seluruh dunia yang berdasar pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Kita pahami bahwa Rasulullah meninggalkan pada kita 2 hal yang kita takkan tersesat bila kita berpegang teguh pada keduanya, dan 2 hal itu adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah. Maka harusnya Al-Qur’an tidak hanya dijadikan panduan bagi pemimpin semata, tapi juga jadi panduan dalam sistem kepemimpinan kaum Muslim. Hanya dengan pemimpin amanah yaitu Khalifah dan sistem kepemimpinan amanah yakni Khilafah kehormatan kaum Muslim akan terjaga mulia.
Kabar baiknya, Rasulullah mengabarkan bahwa Khilafah dan Khalifah yang berdasar manhaj kenabian ini akan bangkit sekali lagi, “adalah Kenabian itu ada di tengah-tengah kamu sekalian, yang ada atas kehendak Allah, lalu Allah mengangkatnya bila Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada Khilafah yang menempuh jejak Kenabian, yang ada atas kehendak Allah, lalu Allah mengangkatnya bila Dia berkehendak mengangkatnya. Lalu akan ada kekuasaan yang menggigit, yang ada atas kehendak Allah, lalu Allah mengangkatnya bila Dia berkehendak mengangkatnya. Lalu akan ada kekuasaan yang memaksa (diktator), yang ada atas kehendak Allah, lalu Allah mengangkatnya, bila Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada Khilafah yang menempuh jejak Kenabian. Kemudian beliau (Nabi) diam” (HR Ahmad)
Dengan ancaman itu Inggris pun serta merta membatalkan niatnya mementaskan drama besutan Bornier. Begitulah kesatuan Muslim dalam Khilafah dapat menjaga kehormatan mereka.
Clifford Edmund Bosworth, seorang orientalis dan sejarawan asal Inggris pada 1970 berkomentar tentang hal ini dalam bukunya “A Dramatisation of the Prophet Muhammad’s Life: Henri de Bornier’s Mahomet’” halaman 116
“Since Bornier’s time, no major European dramatist seems to have essayed a play on the life of the Prophet”
Beginilah pemimpin seharusnya melindungi kehormatan ummat Muslim, tidak seperti sekarang saat pemimpin-pemimpin kaum Muslim banyak diam dan tak berbuat apapun saat penghinaan pada Nabi begitu marak. Khalifah Abdul Hamid II yang memimpin Khilafah adalah Khalifah terakhir, namun walaupun dalam kondisi yang sangat lemah, Khilafah tetap disegani bangsa Eropa. Ini membuktikan bahwa pemimpin yang amanah yaitu Khalifah, hanya akan bersinar dalam sistem yang amanah yaitu Khilafah.
Khalifah adalah pemimpin kaum Muslim yang bertindak berdasarkan Islam, seorang pemimpin bagi kaum Muslim seluruh dunia yang berdasar pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Kita pahami bahwa Rasulullah meninggalkan pada kita 2 hal yang kita takkan tersesat bila kita berpegang teguh pada keduanya, dan 2 hal itu adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah. Maka harusnya Al-Qur’an tidak hanya dijadikan panduan bagi pemimpin semata, tapi juga jadi panduan dalam sistem kepemimpinan kaum Muslim. Hanya dengan pemimpin amanah yaitu Khalifah dan sistem kepemimpinan amanah yakni Khilafah kehormatan kaum Muslim akan terjaga mulia.
Kabar baiknya, Rasulullah mengabarkan bahwa Khilafah dan Khalifah yang berdasar manhaj kenabian ini akan bangkit sekali lagi, “adalah Kenabian itu ada di tengah-tengah kamu sekalian, yang ada atas kehendak Allah, lalu Allah mengangkatnya bila Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada Khilafah yang menempuh jejak Kenabian, yang ada atas kehendak Allah, lalu Allah mengangkatnya bila Dia berkehendak mengangkatnya. Lalu akan ada kekuasaan yang menggigit, yang ada atas kehendak Allah, lalu Allah mengangkatnya bila Dia berkehendak mengangkatnya. Lalu akan ada kekuasaan yang memaksa (diktator), yang ada atas kehendak Allah, lalu Allah mengangkatnya, bila Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada Khilafah yang menempuh jejak Kenabian. Kemudian beliau (Nabi) diam” (HR Ahmad)
Maka bagi kitalah diamanahkan dan diberikan kehormatan perjuangan ini, yaitu akan kembalinya Khilafah yang menaungi ummat Muslim. Khilafah adalah sistem kepemimpinan Islam yang amanah, yang hanya membolehkan pemimpin beriman amanah yang memimpin, tidak selainnya. Dengan sistem kepemimpinan Khilafah inilah, Khalifah akan menerapkan syariah bagi seluruh ummat. Dengan itu insyaAllah keberkahan bagi semuanya.
DZIKIR DAN DO’A (25)
Dari ‘Aisyah r.a.; Bahwasanya Nabi s.a.w. mengajarkan padanya do’a ini : “Ya Allah, hamba bermohon kepada-Mu kebaikan semuanya, di dunia dan di akhirat, apa yang hamba mengerti dan yang tidak mengerti; dan hamba berlindung kepada-Mu dari kejahatan seluruhnya, di dunia dan di akhirat, yang hamba mengerti dan yang tidak mengerti. Ya Allah, hamba mohon kepada-Mu dari kebaikan yang dimohonkan oleh hamba dan Nabi-Mu dariMu. Dan hamba berlindung kepada-Mu dari kejahatan yang diminta perlindungan oleh hamba-Mu dan Nabi-Mu. Ya Allah, hamba mohon sorga pada-Mu, dan apa-apa yang mendekatkan kepadanya daripada ucapan dan perbuatan; dan hamba berlindung kepada-Mu dari siksa neraka, dan apa-apa yang mendekatkan kepadanya daripada perkataan dan perbuatan; dan hamba bermohon kepada-Mu supaya segala yang Engkau pastikan buat hamba itu dengan kepastian yang baik”. Dikeluarkan oleh Ibnu Majah dan disahkan oleh Ibnu Hibban dan Hakim.
Dan diriwayatkan oleh Syaikhani dari Abu Hurairah r.a., ia berkata ; Rasulullah s.a.w. bersabda : “Dua kalimat yang paling disukai Allah yang maha rahman, rigan bagi lidah, berat dalam timbangan ialah : “SUBHANALLAH WABIHAMDIHI” (Maha Suci Allah serta dengan puji-Nya), SUBHANALLAHIL ‘AZHIM (Maha Suci Allah yang Maha Agung)”.
---------------------------------
Tarjamah BULUGHUL MARAM, Ibnu Hajar Asqalany, Penerbit : PT. Alma’arif Bandung, Cetakan ke tujuh, 1984, Bab Kitabul Jami', halaman 570-571.
Dan diriwayatkan oleh Syaikhani dari Abu Hurairah r.a., ia berkata ; Rasulullah s.a.w. bersabda : “Dua kalimat yang paling disukai Allah yang maha rahman, rigan bagi lidah, berat dalam timbangan ialah : “SUBHANALLAH WABIHAMDIHI” (Maha Suci Allah serta dengan puji-Nya), SUBHANALLAHIL ‘AZHIM (Maha Suci Allah yang Maha Agung)”.
---------------------------------
Tarjamah BULUGHUL MARAM, Ibnu Hajar Asqalany, Penerbit : PT. Alma’arif Bandung, Cetakan ke tujuh, 1984, Bab Kitabul Jami', halaman 570-571.
Jumat, 22 Agustus 2014
SEDEKAH UNTUK MAYYIT DAN MENDO’KANNYA (1)
‘Aisyah r.a. berkata : Seorang bertanya kepada Nabi s.a.w. : Ibuku telah mati mendadak, dan saya kira sekiranya ia sempat bicara, pasti akan bersedekah, apakah ada pahala baginya jika aku bersedekah untuknya? Jawab Nabi s.a.w. : Ya. (HR. Buchary dan Muslim).
----------------------
Tarjamah RIADHUS SHALIHIN II, Salim Bahreisy, Penerbit PT Alma’arif Bandung, Cetakan keempat 1979, halaman 92.
----------------------
Tarjamah RIADHUS SHALIHIN II, Salim Bahreisy, Penerbit PT Alma’arif Bandung, Cetakan keempat 1979, halaman 92.
DZIKIR DAN DO’A (24)
Dari Anas r.a., ia berkata; Adalah Rasulullah s.a.w. berdo’a : “Ya Allah, berilah hamba manfa’at dengan apa-apa yang Engkau telah ajarkan kepada hamba, dan ajarkanlah kepada hamba apa-apa yang memberi manfaat kepada hamba, dan berilah hamba rizqi dengan ilmu yang bermanfaat buat hamba”. Diriwayatkan oleh Nasa’i dan Hakim.
Dan dalam riwayat Nasa’i dari hadits Abu Hurairah r.a., seperti itu dan beliau berdo’a di akhirnya : “Dan tambahlah ilmu hamba, segala puji bagi Allah dalam segala hal, dan hamba berlindung kepada Allah dari kelakuan ahli neraka”. Dan sanadnya hasan.
------------------------------------
Tarjamah BULUGHUL MARAM, Ibnu Hajar Asqalany, Penerbit : PT. Alma’arif Bandung, Cetakan ke tujuh, 1984, Bab Kitabul Jami', halaman 569-570.
Dan dalam riwayat Nasa’i dari hadits Abu Hurairah r.a., seperti itu dan beliau berdo’a di akhirnya : “Dan tambahlah ilmu hamba, segala puji bagi Allah dalam segala hal, dan hamba berlindung kepada Allah dari kelakuan ahli neraka”. Dan sanadnya hasan.
------------------------------------
Tarjamah BULUGHUL MARAM, Ibnu Hajar Asqalany, Penerbit : PT. Alma’arif Bandung, Cetakan ke tujuh, 1984, Bab Kitabul Jami', halaman 569-570.
Hari ini 1422 tahun lalu
Hari ini 1380 tahun lalu dalam tahun Masehi atau 1422 tahun lalu dalam tahun Hijriyah, khalil (teman kesayangan) Rasulullah s.a.w., Abu Bakr As-Siddiq kembali menghadap Tuhannya. Senin sore kala itu dalam usia 63 tahun, usia yang sama saat Rasulullah s.a.w. berpulang.
Di dalam bilik ummul mukminin 'Aisyah putrinya, beliau berbaring disisi Rasulullah s.a.w.
Kamis, 21 Agustus 2014
MENDO‘AKAN MAYYIT SESUDAH DI KUBUR DAN MEMBACAKAN ISTIGHFAR
Usman bin Affan r.a. berkata : Adanya Nabi s.a.w. jika selesai mengubur mayyit maka ia berdiri dan bersabda : Mintalah ampun untuk kawanmu ini, dan mintakan kepada Allah semoga diberi ketabahan, karena kini ia sedang ditanya (diuji). (HR. Abu Dawud).
Amru bin Al-Ash r.a berkata : Jika kamu telah mengubur saya maka tinggallah di sekitar kuburku selama kira-kira orang menyembelih kambing hingga dibagi bagikan dagingnya supaya saya merasa jinak kepada kamu, dan sampai saya selesai menjawab pertanyaan utusan Tuhanku. (HR. Muslim).
----------------------
Tarjamah RIADHUS SHALIHIN II, Salim Bahreisy, Penerbit PT Alma’arif Bandung, Cetakan keempat 1979, halaman 90.
Amru bin Al-Ash r.a berkata : Jika kamu telah mengubur saya maka tinggallah di sekitar kuburku selama kira-kira orang menyembelih kambing hingga dibagi bagikan dagingnya supaya saya merasa jinak kepada kamu, dan sampai saya selesai menjawab pertanyaan utusan Tuhanku. (HR. Muslim).
----------------------
Tarjamah RIADHUS SHALIHIN II, Salim Bahreisy, Penerbit PT Alma’arif Bandung, Cetakan keempat 1979, halaman 90.
Peranan Ilmu, Hati, Nafsu dan Do ‘a
Ya Allah! Ya Tuhanku! Sesungguhnya aku berlindung diri kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat, dari hati yang tidak khusyu’, dari nafsu yang tidak pernah merasa kenyang (puas) dan dari do’a yang tidak mustajab. (HR Muslim/ Syarah Nawasi, 17 : 41).
DEMIKIAN, salah satu do’a Rasulullah s.a.w. yang biasa dipanjatkan ke hadirat Allah s.w.t. Dalam do’anya itu Rasulullah s.a.w. minta perlindungan kepada Allah terhadap empat perkara :
1. Ilmu yang tidak bermanfa’at
Ilmu adalah suluh yang dapat menerangi hati seseorang dan masyarakat serta mengangkat derajat manusia ke jenjang penghidupan dan kehidupan yang baik, di dunia maupun di akhirat kelak. Di dalam al-Qur’an banyak sekali ayat-ayat yang menyitir peranan ilmu seperti itu, dan kenyataan pun membuktikannya, antara lain :
“Allah akan mengangkat orang-orang yang beriman dari kalanganmu dan orang-orang yang diberi ilmu (berilmu) ke berbagai derajat.” (QS Al-Mujadalah : 11).
“Hanya orang-orang yang berilmulah yang bisa takut kepada Allah”. (QS Fathir : 28).
“Dan barangsiapa yang diberi ilmu, maka sungguh dia itu diberi kebaikan yang banyak.” (QS Al-Baqarah : 269).
Ilmu yang berperan seperti itu adalah ilmu yang bermanfaat, yaitu ilmu yang dipergunakan untuk kebaikan buat dirinya sendiri dan masyarakatnya. Tetapi tidak jarang pula, ilmu yang berperan sepert itu berbalik menjadi penyebab malapetaka, karena salah penggunaannya. Ilmu semacam itu disebut ilmu yang tidak bermanfaat; dan itulah yang dimintakan perlindungan oleh Rasulullah s.a.w. kepada Allah s.w.t. Masalahnya adalah terletak pada pemegangnya. Tak ubahnya dengan senjata, ia adalah alat yang jelas manfa’atnya, tetapi kadang-kadang bisa mencelakakan karena kesalahan penggunaannya oleh pemegangnya. Jadi sekarang kuncinya berada di tangan pemegangnya itu sendiri. Kunci itu ialah “taqwallah”, seperti yang diungkapkan oleh para hukama’ kita : “Pokok dari segala hikmah (ilmu) itu ialah takut kepada Allah”. (Terjemah al-Hikam, Salim Bahreisy, hal. 127).
Agaknya tepat sekali kalau tujuan pendidikan nasional kita itu ditekankan pada pembentukan manusia taqwa, mampu berdiri sendiri dan trampil.
2. Hati yang tidak khusyu’
Hati adalah pendorong dan pembentuk sikap dan perbuatan manusia. Ia dapat dinilai sebagai promotor juga stabilisator, bahkan ia juga dijadikan neraca bagi baik buruknya amal seseorang, diterima dan tidak diterimanya amal itu oleh Allah s.w.t. kelak setelah manusia meninggal dunia dan menghadap ke hadirat-Nya : “Sesungguhnya Allah tidak akan melihat bentuk-(badan)-mu, tetapi Ia akan melihat hati-hati kamu.” (HR. Muslim).
Allah adalah Dzat Yang Maha Kuasa dan Maha Bijaksana. Namun kekuasaan dan kebijaksanaan-Nya itu selalu dibarengi dengan sebab musabab (causalitet leer). Misalnya tentang mengubah kondisi seseorang maupun bangsa, senantiasa diawali dengan sebab musabab yang tumbuh dari seseorang dan bangsa itu sendiri yang berbentuk olah dan ketrampilan dengan didorong oleh kemauan yang keras yang bertolak dari suara hati : “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah apa-apa (kondisi) suatu kaum, sehingga kaum itu mau mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS Ar-Ra’d : 11).
Apa yang ada dalam diri seseorang yang dimaksud dalam ayat itu, ialah hati atau sikap batinnya.
Jadi menurut ayat itu, perubahan kondisi suatu bangsa yang akan dilakukan Allah itu bergantung kepada sikap batin bangsa itu. Ada dua macam sikap batin manusia :
DEMIKIAN, salah satu do’a Rasulullah s.a.w. yang biasa dipanjatkan ke hadirat Allah s.w.t. Dalam do’anya itu Rasulullah s.a.w. minta perlindungan kepada Allah terhadap empat perkara :
1. Ilmu yang tidak bermanfa’at
Ilmu adalah suluh yang dapat menerangi hati seseorang dan masyarakat serta mengangkat derajat manusia ke jenjang penghidupan dan kehidupan yang baik, di dunia maupun di akhirat kelak. Di dalam al-Qur’an banyak sekali ayat-ayat yang menyitir peranan ilmu seperti itu, dan kenyataan pun membuktikannya, antara lain :
“Allah akan mengangkat orang-orang yang beriman dari kalanganmu dan orang-orang yang diberi ilmu (berilmu) ke berbagai derajat.” (QS Al-Mujadalah : 11).
“Hanya orang-orang yang berilmulah yang bisa takut kepada Allah”. (QS Fathir : 28).
“Dan barangsiapa yang diberi ilmu, maka sungguh dia itu diberi kebaikan yang banyak.” (QS Al-Baqarah : 269).
Ilmu yang berperan seperti itu adalah ilmu yang bermanfaat, yaitu ilmu yang dipergunakan untuk kebaikan buat dirinya sendiri dan masyarakatnya. Tetapi tidak jarang pula, ilmu yang berperan sepert itu berbalik menjadi penyebab malapetaka, karena salah penggunaannya. Ilmu semacam itu disebut ilmu yang tidak bermanfaat; dan itulah yang dimintakan perlindungan oleh Rasulullah s.a.w. kepada Allah s.w.t. Masalahnya adalah terletak pada pemegangnya. Tak ubahnya dengan senjata, ia adalah alat yang jelas manfa’atnya, tetapi kadang-kadang bisa mencelakakan karena kesalahan penggunaannya oleh pemegangnya. Jadi sekarang kuncinya berada di tangan pemegangnya itu sendiri. Kunci itu ialah “taqwallah”, seperti yang diungkapkan oleh para hukama’ kita : “Pokok dari segala hikmah (ilmu) itu ialah takut kepada Allah”. (Terjemah al-Hikam, Salim Bahreisy, hal. 127).
Agaknya tepat sekali kalau tujuan pendidikan nasional kita itu ditekankan pada pembentukan manusia taqwa, mampu berdiri sendiri dan trampil.
2. Hati yang tidak khusyu’
Hati adalah pendorong dan pembentuk sikap dan perbuatan manusia. Ia dapat dinilai sebagai promotor juga stabilisator, bahkan ia juga dijadikan neraca bagi baik buruknya amal seseorang, diterima dan tidak diterimanya amal itu oleh Allah s.w.t. kelak setelah manusia meninggal dunia dan menghadap ke hadirat-Nya : “Sesungguhnya Allah tidak akan melihat bentuk-(badan)-mu, tetapi Ia akan melihat hati-hati kamu.” (HR. Muslim).
Allah adalah Dzat Yang Maha Kuasa dan Maha Bijaksana. Namun kekuasaan dan kebijaksanaan-Nya itu selalu dibarengi dengan sebab musabab (causalitet leer). Misalnya tentang mengubah kondisi seseorang maupun bangsa, senantiasa diawali dengan sebab musabab yang tumbuh dari seseorang dan bangsa itu sendiri yang berbentuk olah dan ketrampilan dengan didorong oleh kemauan yang keras yang bertolak dari suara hati : “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah apa-apa (kondisi) suatu kaum, sehingga kaum itu mau mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS Ar-Ra’d : 11).
Apa yang ada dalam diri seseorang yang dimaksud dalam ayat itu, ialah hati atau sikap batinnya.
Jadi menurut ayat itu, perubahan kondisi suatu bangsa yang akan dilakukan Allah itu bergantung kepada sikap batin bangsa itu. Ada dua macam sikap batin manusia :
- Sikap batin yang baik, yang cenderung kepada kebajikan dan selalu berharap akan ridha Allah. Sikap hati semacam ini nanti di hari kiyamat akan menghadap Allah dengan tenang : “... Pada hari di mana harta dan anak-anak tidak lagi berguna. Kecuali orang yang datang menghadap Allah dengan hati yang salim (menyerah).” (QS Asy-Syu‘ara : 88 – 89). Sikap batin semacam itu selanjutnya disebut “hati yang khusyu’, yang mempunyai pengaruh positif dalam sikap lahiriyah manusia.
- Sikap batin yang buruk, yang cenderung kepada keburukan. Pengaruhnya terhadap sikap lahiriyah pun sangat jelek, dan akan membawa kerugian masyarakat. Dan kelak di akhirat pelakunya akan menderita kerugian besar. Sikap batin semacam itu, selanjutnya disebut “hati yang tidak khusyu” dan itulah yang diminta Rasulullah s.a.w. untuk dilindunginya.
3. Nafsu yang tidak merasa kenyang
Nafsu yang dimaksud di sini ialah keinginan-keinginan terhadap sesuatu kehidupan duniawi. Tentang ini sebenarnya telah ditentukan oleh Allah sendiri dengan bertingkat. Karena itu seharusnya berapa pun banyaknya harta duniawi itu yang diberikan Allah kepadanya. seharusnya diterima dengan rasa kepuasan; dan di situlah pangkal ketenangan dalam hidup. Sebaliknya apabila pemberian Allah itu Selalu diterima dengan penuh kekurangan, hidup pun akan selalu gundah, yang biasanya — demi memenuhi kepusan nafsunya itu — disusulnya dengan perbuatan-perbuatan yang tidak simpatik, seperti mencuri, merampok dan sebagainya.
Untuk itu, nafsu perlu dijaga akan kebersihannya supaya hidup itu selalu dalam kebahagiaan. “Sungguh bahagialah orang yang membersihkan jiwanya.” (QS Asy-Syams : 9). Salah satu cara membersihkan nafsu itu ialah dengan membiasakan merasa puas akan pembenan Allah.
4. Do’a yang tidak mustajab
Do’a adalah senjata seorang mukmin yang maha raksasa, juga alat yang paling ampuh untuk mengatasi problema hidup yang tidak dapat diatasi dengan ilmu dan tenaga. Akan tetapi sungguh malangnya, kalau do’a yang begitu besar peranannya itu sudah tidak lagi terdengarkan, tak ubahnya senjata yang berkarat atau pisau yang tumpul. Itulah sebabnya senjata do’a ini perlu dirawat dan diasah, supaya tetap ampuh dan tajam. Caranya :
- Berdo’alah kepada Allah supaya do’anya itu sendiri jangan sampai tidak dikabulkan.
- Menjaga diri dari perbuatan dan makanan yang haram.
- Terus menerus bertaqarrub kepada Allah dan ditinggatkan.
Do’a Rasulullah s.a.w. di atas itu pula yang kini kita panjatkan ke hadirat Allah, kiranya Allah berkenan. Amin.
-----------------------------------------
Majalah Al-Muslimun No 154 Tahun XIII (29), Rabi'ul Awal/ Rabi'ul Akhir 1403 H/Januari 1983 M, halaman 16-18.
DZIKIR DAN DO’A (23)
Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata; Adalah Rasulullah s.a.w. berdo’a : “Ya Allah, perbaikilah urusan agama hamba yang jadi pegangan (penjaga segala urusan) hamba, dan perbaikilah dunia hamba yang hamba hidup padanya, dan perbaikilah akhirat hamba yang jadi tempat hamba kembali, jadikanlah hidup itu tambahan buat hamba dalam segala kebajikan, dan jadikanlah mati itu istirahat bagi hamba dari segala kejahatan”. Dikeluarkan oleh Muslim.
-------------------------------------
Tarjamah BULUGHUL MARAM, Ibnu Hajar Asqalany, Penerbit : PT. Alma’arif Bandung, Cetakan ke tujuh, 1984, Bab Kitabul Jami', halaman 569.
-------------------------------------
Tarjamah BULUGHUL MARAM, Ibnu Hajar Asqalany, Penerbit : PT. Alma’arif Bandung, Cetakan ke tujuh, 1984, Bab Kitabul Jami', halaman 569.
Rabu, 20 Agustus 2014
NASEHAT DIPEKUBURAN
Ali r.a. berkata : Ketika kami menghantar jenazah di Baqi’ilghorqod, maka datang Rasulullah s.a.w. dan duduk, kamipun duduk di sekitarnya, sedang di tangan Nabi s.a.w. ada tongkat kecil, yang mana ia sambil menundukkan kepalanya menukikkan tongkat ke tanah, kemudian bersabda : Tiada seorangpun diantara kamu, melainkan telah ditentukan tempatnya neraka atau sorga. Maka berkata para sahabat : Ya Rasulullah, apakah tidak sebaiknya kita menyerah saja pada suratan yang sudah tertentu itu? Jawab Nabi s.a.w. : Beramallah, maka masing-masing dimudahkan kepada apa yang telah ditentukan baginya. (HR. Buchary dan Muslim).
----------------------
Tarjamah RIADHUS SHALIHIN II, Salim Bahreisy, Penerbit PT Alma’arif Bandung, Cetakan keempat 1979, halaman 89.
----------------------
Tarjamah RIADHUS SHALIHIN II, Salim Bahreisy, Penerbit PT Alma’arif Bandung, Cetakan keempat 1979, halaman 89.
DZIKIR DAN DO’A (22)
Dari Abu Musa Al-Asy’ari r.a., ia berkata; Adalah Nabi s.a.w. berdo’a : “Ya Allah, ampunilah segala kesalahan hamba dan kebodohan hamba, keterlaluan perkara hamba, dan apa-apa yang Engkau lebih mengetahui daripada hamba, dan apa-apa yang Engkau lebih mengetahui daripada hamba. Ya Allah ampunilah kesalahan hamba yang dengan sungguh-sungguh dan yang dengan main-main yang dengan tidak sengaja atau yang sengaja, kesemuanya itu ada pada hamba. Ya Allah ampunilah hamba, apa yang telah lalu dan yang kemudian, apa yang hamba rahasiakan dan yang hamba tampakkan, dan apa yang Engkau lebih mengetahui dari hamba, Engkau yang mendahulukan dan yang mengakhirkan, dan Engkau atas segala perkara berkuasa”. Muttafaq ‘alaih.
------------------------------------
Tarjamah BULUGHUL MARAM, Ibnu Hajar Asqalany, Penerbit : PT. Alma’arif Bandung, Cetakan ke tujuh, 1984, Bab Kitabul Jami', halaman 568-569.
------------------------------------
Tarjamah BULUGHUL MARAM, Ibnu Hajar Asqalany, Penerbit : PT. Alma’arif Bandung, Cetakan ke tujuh, 1984, Bab Kitabul Jami', halaman 568-569.
Selasa, 19 Agustus 2014
SEGERA MEMBAYARKAN HUTANG MAYYIT
Abu Hurairah r.a. berkata : Bersabda Nabi s.a.w. : Jiwa seorang mukmin tergantung pada hutangnya, hingga dibayar daripadanya. (HR. Attirmidzy).
Hushoin bin Wahwah r.a. berkata : Ketika Tholhah bin Albara’ sakit, datang Rasulullah s.a.w. menengok, kemudian Nabi berkata : Saya perhatikan keadaan Tholhah mungkin akan mati, sebab itu jika mati maka segera beritahukan kepadaku, dan segerakan merawat jenazahnya, karena tidak layak mayyit (jenazah) Muslim ditahan di rumah keluarganya. (HR. Abu Dawud).
----------------------
Tarjamah RIADHUS SHALIHIN II, Salim Bahreisy, Penerbit PT Alma’arif Bandung, Cetakan keempat 1979, halaman 88.
Hushoin bin Wahwah r.a. berkata : Ketika Tholhah bin Albara’ sakit, datang Rasulullah s.a.w. menengok, kemudian Nabi berkata : Saya perhatikan keadaan Tholhah mungkin akan mati, sebab itu jika mati maka segera beritahukan kepadaku, dan segerakan merawat jenazahnya, karena tidak layak mayyit (jenazah) Muslim ditahan di rumah keluarganya. (HR. Abu Dawud).
----------------------
Tarjamah RIADHUS SHALIHIN II, Salim Bahreisy, Penerbit PT Alma’arif Bandung, Cetakan keempat 1979, halaman 88.
BENTUK-BENTUK PENGABAIAN DAN AKIBATNYA
Pada hakikatnya setiap bentuk pengabaian adalah tindakan tercela. Orang benci terhadapnya. Pengabaian ini dapat bertingkat-tingkat dari masalah-masalah kecil sampai permasalahan besar yang menyangkut kemaslahatan umat. Mengabaikan masalah besar maupun kecil sebenarnya sama buruknya. Pengabaian terhadap masalah besar biasanya juga berangkat dari pengabaian berulang-ulang terhadap masalah kecil-kecilan. Sudah seharusnyalah bila kita menghindari berbagai bentuk pengabaian meskipun terhadap masalah-masalah yang sepele. Berikut adalah gambaran bentuk-bentuk pengabaian dalam berbagai bidang dengan berbagai akibatnya. Dalam pergaulan sering kita jumpai orang yang meminjam suatu alat, sandal misalnya, tanpa seizin yang empunya (ghosob), memasuki rumah/ kamar orang lain tanpa memberi salam terlebih dulu, menaruh suatu barang tidak pada tempatnya, menggunakan suatu alat tidak sesuai dengan fungsinya, tidak segera mengembalikan barang/ uang pinjaman setelah penggunaan selesai sedangkan barang/ uang untuk pengembalian sudah tersedia. Hal-hal tersebut merupakan bentuk pengabaian yang mengakibatkan pelakunya dianggap tidak sopan, tidak berakhlak mulia, serta tidak bertanggungjawab.
Tidak menjaga kebersihan badan, pakaian, serta tampat tinggal; makan dan minum tidak teratur dan tidak memperhatikan halal-haramnya thayyib-kotornya; merupakan bentuk pengabaian di bidang kesehatan, Termasuk di dalamnya adalah mengacuhkan ketentuan dokter mengenai diet, dosis obat yang harus diminum si sakit. Karena pengabaian ini, bisa jadi muncul penyakit baru, penyakit bertambah parah, atau tidak segera sembuh.
Tidak mau menyimak pembacaan ayat-ayat Quran atau penjelasan-penjelasan mengenai ayat-ayat Qur’an, atau bahkan bercakap-cakap sendiri ketika mubaliqh sedang berbicara tentangnya di suatu forum kajian Islam, apalagi beraktifitas sendiri ketika khatib sedang berkhutbah merupakan wujud pengabaian. Sikap-sikap tersebut menyebabkan terputusnya rahmat Allah, tercurahnya azab Allah karena manghalangi manusia untuk mendapatkan petunjuk, serta hilangnya pahala shalat Jum’at. Pada gilirannya, orang tersebut akan meremehkan setiap pembicaraan orang lain yang bukan dari kelompoknya. Sehingga, Ia tidak memperhatikan seseorang karena pembicaraannya melainkan memperhatikan suatu pembicaraan karena orangnya.
Tidak mendengarkan dan selanjutnya mendatangi kumandang adzan yang memanggil umat mengerjakan shalat padahal tidak ada udzur, berarti mengabaikan hikmah shalat berjamaah sekaligus memberi contoh orang lain yang lebih awam untuk tidak shalat berjama’ah dan memakmurkan masjid.
Tidak sesuainya kata dengan perbuatan (dusta), tidak menepati janji tidak menjaga amanat yang dipikulkan kepadanya tanpa sekedar memberikan alasan syar’i kepada yang berkepentingan merupakan bentuk pengabaian. Sebagai akibatnya, ia diremehkan orang lain, tidak lagi dipercaya, dan dianggap tidak bertanggung-jawab, bahkan dinilai sebagai orang munafik.
Seorang pengemudi yang terus memacu mobil dengan cepatnya ketika traffic-light merah menyala, kemudian bertabrakan dengan mobil lain, berarti melakukan pengabaian sekaligus menanggung akibatnya. Bila pengabaian terhadap rambu-nambu lalu lintas saja berbahaya bagaimanakah halnya dengan akibat dari pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan Allah? Tentu lebih berbahaya. Banyak contoh dari umat terdahulu yang mendustakan seruan rasul- rasul Allah yang kemudian dibinasakan dengan azab yang dahsyat. Barang siapa melanggar ketentuan Allah, maka benar-benar ia telah menganiaya dirinya sendiri.” (OS. Ath-Thalaq (65) : 1). Barangsiapa melanggar ketentuan Allah, mereka itu adalah orang- orang yang zalim (Q.S Al-Baqarah (2) : 229). Termasuk pengabaian juga bila umat Islam tidak memperhatikan keberadaan musuh-musuhnya dengan berbagai kekuatan dan kemampuan mereka. Tanpa memperhatikan mereka, bisa jadi kaum muslimin justru terjebak oleh ranjau-siasat tipu-daya mereka sebelum strategi untuk menghadapinya tersusun. Na’udzubillah.
-----------------------------------------
Buletin Da'wah 'IZZAH No. 41/II 19 Rajab 1412 H / 24 Januari 1991 M.
Tidak menjaga kebersihan badan, pakaian, serta tampat tinggal; makan dan minum tidak teratur dan tidak memperhatikan halal-haramnya thayyib-kotornya; merupakan bentuk pengabaian di bidang kesehatan, Termasuk di dalamnya adalah mengacuhkan ketentuan dokter mengenai diet, dosis obat yang harus diminum si sakit. Karena pengabaian ini, bisa jadi muncul penyakit baru, penyakit bertambah parah, atau tidak segera sembuh.
Tidak mau menyimak pembacaan ayat-ayat Quran atau penjelasan-penjelasan mengenai ayat-ayat Qur’an, atau bahkan bercakap-cakap sendiri ketika mubaliqh sedang berbicara tentangnya di suatu forum kajian Islam, apalagi beraktifitas sendiri ketika khatib sedang berkhutbah merupakan wujud pengabaian. Sikap-sikap tersebut menyebabkan terputusnya rahmat Allah, tercurahnya azab Allah karena manghalangi manusia untuk mendapatkan petunjuk, serta hilangnya pahala shalat Jum’at. Pada gilirannya, orang tersebut akan meremehkan setiap pembicaraan orang lain yang bukan dari kelompoknya. Sehingga, Ia tidak memperhatikan seseorang karena pembicaraannya melainkan memperhatikan suatu pembicaraan karena orangnya.
Tidak mendengarkan dan selanjutnya mendatangi kumandang adzan yang memanggil umat mengerjakan shalat padahal tidak ada udzur, berarti mengabaikan hikmah shalat berjamaah sekaligus memberi contoh orang lain yang lebih awam untuk tidak shalat berjama’ah dan memakmurkan masjid.
Tidak sesuainya kata dengan perbuatan (dusta), tidak menepati janji tidak menjaga amanat yang dipikulkan kepadanya tanpa sekedar memberikan alasan syar’i kepada yang berkepentingan merupakan bentuk pengabaian. Sebagai akibatnya, ia diremehkan orang lain, tidak lagi dipercaya, dan dianggap tidak bertanggung-jawab, bahkan dinilai sebagai orang munafik.
Seorang pengemudi yang terus memacu mobil dengan cepatnya ketika traffic-light merah menyala, kemudian bertabrakan dengan mobil lain, berarti melakukan pengabaian sekaligus menanggung akibatnya. Bila pengabaian terhadap rambu-nambu lalu lintas saja berbahaya bagaimanakah halnya dengan akibat dari pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan Allah? Tentu lebih berbahaya. Banyak contoh dari umat terdahulu yang mendustakan seruan rasul- rasul Allah yang kemudian dibinasakan dengan azab yang dahsyat. Barang siapa melanggar ketentuan Allah, maka benar-benar ia telah menganiaya dirinya sendiri.” (OS. Ath-Thalaq (65) : 1). Barangsiapa melanggar ketentuan Allah, mereka itu adalah orang- orang yang zalim (Q.S Al-Baqarah (2) : 229). Termasuk pengabaian juga bila umat Islam tidak memperhatikan keberadaan musuh-musuhnya dengan berbagai kekuatan dan kemampuan mereka. Tanpa memperhatikan mereka, bisa jadi kaum muslimin justru terjebak oleh ranjau-siasat tipu-daya mereka sebelum strategi untuk menghadapinya tersusun. Na’udzubillah.
-----------------------------------------
Buletin Da'wah 'IZZAH No. 41/II 19 Rajab 1412 H / 24 Januari 1991 M.
DZIKIR DAN DO’A (21)
Dari Anas r.a., ia berkata ; Adalah kebanyakan do’anya Rasulullah s.a.w. ialah : “Ya Allah, berilah hamba kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan jagalah hamba dari siksa neraka”. Muttafaq ‘alaih.
--------------------------------------
Tarjamah BULUGHUL MARAM, Ibnu Hajar Asqalany, Penerbit : PT. Alma’arif Bandung, Cetakan ke tujuh, 1984, Bab Kitabul Jami', halaman 568.
--------------------------------------
Tarjamah BULUGHUL MARAM, Ibnu Hajar Asqalany, Penerbit : PT. Alma’arif Bandung, Cetakan ke tujuh, 1984, Bab Kitabul Jami', halaman 568.
Senin, 18 Agustus 2014
MEMPERCEPAT JENAZAH (2)
Abu Sa’id Alkhudry r.a. berkata : Bersabda Nabi s.a.w. : Jika telah siap jenazah dan telah diangkat oleh orang-orang diatas bahu mereka, maka jika ia (simayyit) baik, berkata : Segerakanlah saya. Dan jika (simayyit) tidak baik, berkata kepada keluarganya : Alangkah celakanya, kemanakah akan kamu bawa? Suara itu dapat didengar oleh segala sesuatu kecuali manusia. Dan andaikan didengar oleh manusia pasti ia pingsan. (HR. Buchary).
----------------------
Tarjamah RIADHUS SHALIHIN II, Salim Bahreisy, Penerbit PT Alma’arif Bandung, Cetakan keempat 1979, halaman 87.
----------------------
Tarjamah RIADHUS SHALIHIN II, Salim Bahreisy, Penerbit PT Alma’arif Bandung, Cetakan keempat 1979, halaman 87.
DZIKIR DAN DO’A (20)
Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata; Adalah Rasulullah s.a.w., apabila pagi-pagi beliau berdo’a ; “Ya Allah, dengan-Mu kami di waktu pagi, dan dengan-Mu kami di waktu sore, dan dengan-Mu kami hidup, dan dengan-Mu kami mati, dan kepada-Mu kami dikumpulkan”. Dan apabila sore beliau berdo’a seperti itu pula, hanya beliau mendo’a pada akhirnya: “Dan kepada-Mu tempat kembali”. Dikeluarkan oleh Imam yang Empat (Abu Daud, Ibnu Majah, Tirmidzi dan Nasa’i).
------------------------------------
Tarjamah BULUGHUL MARAM, Ibnu Hajar Asqalany, Penerbit : PT. Alma’arif Bandung, Cetakan ke tujuh, 1984, Bab Kitabul Jami', halaman 567-568.
------------------------------------
Tarjamah BULUGHUL MARAM, Ibnu Hajar Asqalany, Penerbit : PT. Alma’arif Bandung, Cetakan ke tujuh, 1984, Bab Kitabul Jami', halaman 567-568.
Minggu, 17 Agustus 2014
Sholatnya Salafush-shalihin
TIME TUNNEL. Ketika aku membaca sebuah alinea di halaman 302 buku Muhammad Al-Fatih 1453 karangan Felix Siauw ; “... Mehmed (Muhammad Al-Fatih) remaja tidak pernah melalaikan shalatnya. Dia tidak hanya shalat tepat waktu, namun juga dia mengerjakannya secara berjama’ah di dalam masjid. Bahkan, sepanjang hidupnya, Mehmed tidak pernah masbuq atau ketinggalan salam salatnya. Terbukti, sejak usia baligh, Mehmed tidak pernah meninggalkan shalat rawatib, yaitu shalat sunnah yang mengikuti shalat fardhu. Selain itu, sejak remaja, Mehmed tidak pernah meninggalkan shalat tahajjud barang semalam pun. Bahkan, pada saat dia terbaring sakit pun, Mehmed selalu menyempatkan diri bangun pada sepertiga malam terakhirnya untuk bersimpuh sujud di hadapan Rabb-nya.”
Aku malu sendiri membaca alinea ini, begitulah aku masih jauh dari insan pilihan Tuhan. Aku berpikir apa yang menjadikan Mehmed begitu kuat keyakinannya bahwa perbuatan tersebut akan menolongnya di dunia. Yakinkan aku ya Allah.
Tidur yang membawaku ke ruang waktu yang senantiasa ku rindukan untuk bertemu para tauladan pun tersampaikan. Segala tanya soal keyakinan Mehmed remaja mengantarkanku pada suatu majelis kecil berisi sekumpulan insan-insan teladan disalah satu sudut kota Madinah selepas Rasulullah berpulang ke Rahmatullah.
Sholat Berjamaah di Masjid
“Wahai para sahabat Rasulullah ﷺ yang mulia, semoga Allah merahmati kalian semua. Tolong ceritakan kepadaku soal Sholat berjama’ah.”, tanyaku membuka majelis ilmu.
Dan yang tampil pertama beliau Abu Hurairah r.a., ia berkata bahwa Rasulullah ﷺ bersabda : “Sholat berjama’ah berlipat ganda dari sholat sendiri di rumah atau di pasar dengan dua puluh lima lipat. Yang demikian itu karena seorang jika menyempurnakan wudlu’ kemudian keluar ke masjid, tiada ia melangkahkan kaki selangkah melainkan terangkat satu derajat dan dihapus satu dosa dan bila ia sholat selalu dido’akan oleh para malaikat selama ia di tempat sholat itu tidak berhadas, malaikat berdo’a “ALLAHUMMA SHOLLI’ALAIHI ALLAHUMMAR HAMHU” (Ya Allah ampunkan baginya ya Allah kasihanilah ia). Dan tetap ia dianggap dalam sholat selama ia menantikan sholat.”
Abu Hurairah r.a. berkata menceritakan pula bahwa : “Seorang buta datang kepada Nabi ﷺ dan berkata : “Ya Rasulullah tiada seorang penuntun bagiku untuk menuntun ke masjid, maka ijinkanlah aku sholat di rumah. Maka diijinkan aku sholat di rumah.” Kemudian ketika orang itu telah bangun berjalan pulang dipanggil kembali oleh Nabi s.a.w. dan ditanya : “Apakah kau mendengar suara adzan untuk sholat?” Jawabnya : “Ya.” Kalau demikian kau harus datang menyambut.”
Abu Hurairah r.a. berkata bahwa Rasulullah ﷺ bersabda : “Demi Allah yang jiwaku ada di tangan-Nya, saya ingin menyuruh orang mengumpulkan kayu api, kemudian saya perintahkan mu’adzzin beradzan, dan saya menyuruh orang menjadi imam pada orang-orang, kemudian saya pergi kepada orang-orang yang tidak datang sholat saya bakar rumah-rumah mereka dengan mereka sekali.”
Kemudian Ibn Mas’ud r.a., sahabat mulia Rasulullah yang Muslim sejak usia belia ini pun berkata bahwa “Siapa yang ingin bertemu kepada Allah sebagai seorang Muslim harus menjaga benar-benar sholat pada waktunya ketika terdengar suara adzan. Maka sesungguhnya Allah telah mensyari’atkan (mengajarkan) kepada Nabi ﷺ beberapa kelakuan hidayat dan menjaga sholat itu termasuk dari SUNANUL HUDA kelakuan-kelakuan hidayat. Andaikan kamu sholat di rumah sebagai kebiasaan orang yang tidak suka berjama’ah berarti kamu meninggalkan sunnat Nabimu, dan bila kamu meninggalkan sunnat Nabimu pasti kamu tersesat. Sungguh saja dahulu pada masa Nabi tiada seorang tertinggal dari sholat berjama’ah kecuali orang-orang munafiq yang terang-terang nifaq. Sungguh adakalanya seorang itu dihantar ke masjid didukung oleh dua orang kanan kirinya untuk ditegakkan di barisan shaf.
Aku mencoba mencermati paparan para sahabat mulia ini soal sholat berjama’ah. Begitu pentingnya sholat berjamaah di masjid yang hakekatnya perintah dari Allah sampai Rasulullah sendiri yang turun tangan membakar rumah-rumah yang berisikan lelaki-lelaki yang masih berada di rumah ketika adzan sudah dikumandangkan. Mungkin ada beberapa umat (dan akupun pernah mendengar) yang berkata : “Itukan jaman Rasulullah”. Heran, apakah malaikat itu bukan makhluk ciptaan Allah, yang dengan segala ketaatannya akan mentaati perintah Allah? Mungkin dia tidak takut ketika malaikat Allah menaruh api dalam hatinya, pikirannya, harta bendanya atau segala apa yang dicintainya yang menjadikan ia lalai? Masya Allah, semoga Allah mengampuni kedzaliman itu dan mencurahkan rahmatnya.
Ketika mencermati dan menggaris bawahi perkataan sahabat mulia, Ibn Mas’ud r.a., bahwa “Siapa yang ingin bertemu kepada Allah sebagai seorang Muslim harus menjaga benar-benar sholat pada waktunya ketika terdengar suara adzan.” Subhanallah, syarat bisa bertemu Allah sangat sederhana, “HARUS MENJAGA BENAR-BENAR SHOLAT PADA WAKTUNYA KETIKA TERDENGAR SUARA ADZAN.” Dan title/predikat yang lebih mengerikan lagi yang disampaikan oleh Ibn Mas’ud r.a. : “Sungguh saja dahulu pada masa Nabi tiada seorang tertinggal dari sholat berjama’ah KECUALI ORANG-ORANG MUNAFIQ YANG TERANG-TERANG NIFAQ.”
Menjaga Sholat Rawatib
Dan ketika aku bertanya soal sholat rawatib, ummulmukminin ‘Aisyah r.a. berkata bahwa, Nabi ﷺ tidak pernah meninggalkan empat raka’at sebelum dhuhur dan dua raka’at sebelum subuh. Kemudian kata beliau lagi : Tiadalah kerajinan Nabi ﷺ menepati sholat sunnat melebihi dari ketetapannya (kerajinannya) dalam sholat sebelum subuh. Dan lebih ditegaskan lagi oleh ummulmukminin ‘Aisyah r.a. bahwa bersabda Nabi ﷺ : Dua raka’at sunnat sebelum subuh lebih baik dari dunia seisinya.
Beberapa saat kemudian Umm Habibah (Romlah) binti Abi Sufyan r.a. berkata bahwa beliau telah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda : “Tiada orang Muslim yang sholat sunnat karena Allah, pada tiap hari dua belas raka’at, melainkan Allah akan membangunkan untuknya sebuah rumah di sorga.”
Keutamaan Sholat Tahajjud
“Wahai para sahabat Rasulullah ﷺ yang mulia, semoga Allah merahmati kalian semua. Tolong ceritakan kepadaku soal Sholat Malam.”, pintaku membuka majelis ilmu.
Salim bin Abdullah bin Umar r.a. berkata : “Ayah berceritera kepada saya bahwa Rasulullah ﷺ berkata : Sebaik-baik orang Abdullah, andaikan ia suka sholat malam. Berkata Salim : Maka sejak itu Abdullah tiada tidur malam kecuali sedikit sekali.”
Abu Hurairah r.a. berkata : “Rasulullah ﷺ bersabda : Syaithon mengikat di atas kepala salah satu kamu jika ia tidur, tiga bundelan, pada tiap bundelan ia berkata : Masih jauh malam, maka tidurlah. Maka apabila bangun dan berdzikir terlepas satu bundelan, dan jika berwudlu’ terlepas bundelan yang kedua, kemudian jika ia sholat terlepas semua bundelan itu, sehingga ia berpagi-pagi tangkas riang gembira dan lapang dada, kalau tidak, maka ia sempit dada dan malas.”
Jabir r.a. berkata : “Saya telah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda : Pada waktu malam ada sa’at tiada seorang muslim yang dapat menemukannya lalu ia sedang meminta kepada Allah sesuatu kebaikan, melainkan pasti akan diberinya, baik kebaikan so’al keduniaan atau akherat, dan sa’at itu pada tiap malam.”
Abdullah bin Salam r.a. berkata : “Bersabda Nabi ﷺ : Hai sekalian manusia, sebarkanlah salam, dan berikanlah makanan dan sholat malam-lah, di waktu manusia sedang tidur, supaya kamu masuk sorga dengan selamat (salam).”
Ummulmukminin ‘Aisyah r.a. berkata : “Adanya Nabi ﷺ bangun sholat malam hingga merekah (bengkak) kakinya, maka saya tegur : Mengapakah berbuat demikian padahal Tuhan telah mengampunkan bagimu dosa yang telah lalu dan yang akan datang? Jawab Nabi : Tidakkah sudah selayaknya saya menjadi hamba yang bersyukur (terima kasih) kepada-Nya.”
Ampuni aku ya Rabb, yang masih suka mendholimi diri sendiri, rahmati dan bimbing aku dalam hidayah-Mu.
----------------------
Inspirasi : Tarjamah RIADHUS SHALIHIN II, Salim Bahreisy, Penerbit PT Alma’arif Bandung, Cetakan keempat 1979.
Aku malu sendiri membaca alinea ini, begitulah aku masih jauh dari insan pilihan Tuhan. Aku berpikir apa yang menjadikan Mehmed begitu kuat keyakinannya bahwa perbuatan tersebut akan menolongnya di dunia. Yakinkan aku ya Allah.
Tidur yang membawaku ke ruang waktu yang senantiasa ku rindukan untuk bertemu para tauladan pun tersampaikan. Segala tanya soal keyakinan Mehmed remaja mengantarkanku pada suatu majelis kecil berisi sekumpulan insan-insan teladan disalah satu sudut kota Madinah selepas Rasulullah berpulang ke Rahmatullah.
Sholat Berjamaah di Masjid
“Wahai para sahabat Rasulullah ﷺ yang mulia, semoga Allah merahmati kalian semua. Tolong ceritakan kepadaku soal Sholat berjama’ah.”, tanyaku membuka majelis ilmu.
Dan yang tampil pertama beliau Abu Hurairah r.a., ia berkata bahwa Rasulullah ﷺ bersabda : “Sholat berjama’ah berlipat ganda dari sholat sendiri di rumah atau di pasar dengan dua puluh lima lipat. Yang demikian itu karena seorang jika menyempurnakan wudlu’ kemudian keluar ke masjid, tiada ia melangkahkan kaki selangkah melainkan terangkat satu derajat dan dihapus satu dosa dan bila ia sholat selalu dido’akan oleh para malaikat selama ia di tempat sholat itu tidak berhadas, malaikat berdo’a “ALLAHUMMA SHOLLI’ALAIHI ALLAHUMMAR HAMHU” (Ya Allah ampunkan baginya ya Allah kasihanilah ia). Dan tetap ia dianggap dalam sholat selama ia menantikan sholat.”
Abu Hurairah r.a. berkata menceritakan pula bahwa : “Seorang buta datang kepada Nabi ﷺ dan berkata : “Ya Rasulullah tiada seorang penuntun bagiku untuk menuntun ke masjid, maka ijinkanlah aku sholat di rumah. Maka diijinkan aku sholat di rumah.” Kemudian ketika orang itu telah bangun berjalan pulang dipanggil kembali oleh Nabi s.a.w. dan ditanya : “Apakah kau mendengar suara adzan untuk sholat?” Jawabnya : “Ya.” Kalau demikian kau harus datang menyambut.”
Abu Hurairah r.a. berkata bahwa Rasulullah ﷺ bersabda : “Demi Allah yang jiwaku ada di tangan-Nya, saya ingin menyuruh orang mengumpulkan kayu api, kemudian saya perintahkan mu’adzzin beradzan, dan saya menyuruh orang menjadi imam pada orang-orang, kemudian saya pergi kepada orang-orang yang tidak datang sholat saya bakar rumah-rumah mereka dengan mereka sekali.”
Kemudian Ibn Mas’ud r.a., sahabat mulia Rasulullah yang Muslim sejak usia belia ini pun berkata bahwa “Siapa yang ingin bertemu kepada Allah sebagai seorang Muslim harus menjaga benar-benar sholat pada waktunya ketika terdengar suara adzan. Maka sesungguhnya Allah telah mensyari’atkan (mengajarkan) kepada Nabi ﷺ beberapa kelakuan hidayat dan menjaga sholat itu termasuk dari SUNANUL HUDA kelakuan-kelakuan hidayat. Andaikan kamu sholat di rumah sebagai kebiasaan orang yang tidak suka berjama’ah berarti kamu meninggalkan sunnat Nabimu, dan bila kamu meninggalkan sunnat Nabimu pasti kamu tersesat. Sungguh saja dahulu pada masa Nabi tiada seorang tertinggal dari sholat berjama’ah kecuali orang-orang munafiq yang terang-terang nifaq. Sungguh adakalanya seorang itu dihantar ke masjid didukung oleh dua orang kanan kirinya untuk ditegakkan di barisan shaf.
Aku mencoba mencermati paparan para sahabat mulia ini soal sholat berjama’ah. Begitu pentingnya sholat berjamaah di masjid yang hakekatnya perintah dari Allah sampai Rasulullah sendiri yang turun tangan membakar rumah-rumah yang berisikan lelaki-lelaki yang masih berada di rumah ketika adzan sudah dikumandangkan. Mungkin ada beberapa umat (dan akupun pernah mendengar) yang berkata : “Itukan jaman Rasulullah”. Heran, apakah malaikat itu bukan makhluk ciptaan Allah, yang dengan segala ketaatannya akan mentaati perintah Allah? Mungkin dia tidak takut ketika malaikat Allah menaruh api dalam hatinya, pikirannya, harta bendanya atau segala apa yang dicintainya yang menjadikan ia lalai? Masya Allah, semoga Allah mengampuni kedzaliman itu dan mencurahkan rahmatnya.
Ketika mencermati dan menggaris bawahi perkataan sahabat mulia, Ibn Mas’ud r.a., bahwa “Siapa yang ingin bertemu kepada Allah sebagai seorang Muslim harus menjaga benar-benar sholat pada waktunya ketika terdengar suara adzan.” Subhanallah, syarat bisa bertemu Allah sangat sederhana, “HARUS MENJAGA BENAR-BENAR SHOLAT PADA WAKTUNYA KETIKA TERDENGAR SUARA ADZAN.” Dan title/predikat yang lebih mengerikan lagi yang disampaikan oleh Ibn Mas’ud r.a. : “Sungguh saja dahulu pada masa Nabi tiada seorang tertinggal dari sholat berjama’ah KECUALI ORANG-ORANG MUNAFIQ YANG TERANG-TERANG NIFAQ.”
Menjaga Sholat Rawatib
Dan ketika aku bertanya soal sholat rawatib, ummulmukminin ‘Aisyah r.a. berkata bahwa, Nabi ﷺ tidak pernah meninggalkan empat raka’at sebelum dhuhur dan dua raka’at sebelum subuh. Kemudian kata beliau lagi : Tiadalah kerajinan Nabi ﷺ menepati sholat sunnat melebihi dari ketetapannya (kerajinannya) dalam sholat sebelum subuh. Dan lebih ditegaskan lagi oleh ummulmukminin ‘Aisyah r.a. bahwa bersabda Nabi ﷺ : Dua raka’at sunnat sebelum subuh lebih baik dari dunia seisinya.
Beberapa saat kemudian Umm Habibah (Romlah) binti Abi Sufyan r.a. berkata bahwa beliau telah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda : “Tiada orang Muslim yang sholat sunnat karena Allah, pada tiap hari dua belas raka’at, melainkan Allah akan membangunkan untuknya sebuah rumah di sorga.”
Keutamaan Sholat Tahajjud
“Wahai para sahabat Rasulullah ﷺ yang mulia, semoga Allah merahmati kalian semua. Tolong ceritakan kepadaku soal Sholat Malam.”, pintaku membuka majelis ilmu.
Salim bin Abdullah bin Umar r.a. berkata : “Ayah berceritera kepada saya bahwa Rasulullah ﷺ berkata : Sebaik-baik orang Abdullah, andaikan ia suka sholat malam. Berkata Salim : Maka sejak itu Abdullah tiada tidur malam kecuali sedikit sekali.”
Abu Hurairah r.a. berkata : “Rasulullah ﷺ bersabda : Syaithon mengikat di atas kepala salah satu kamu jika ia tidur, tiga bundelan, pada tiap bundelan ia berkata : Masih jauh malam, maka tidurlah. Maka apabila bangun dan berdzikir terlepas satu bundelan, dan jika berwudlu’ terlepas bundelan yang kedua, kemudian jika ia sholat terlepas semua bundelan itu, sehingga ia berpagi-pagi tangkas riang gembira dan lapang dada, kalau tidak, maka ia sempit dada dan malas.”
Jabir r.a. berkata : “Saya telah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda : Pada waktu malam ada sa’at tiada seorang muslim yang dapat menemukannya lalu ia sedang meminta kepada Allah sesuatu kebaikan, melainkan pasti akan diberinya, baik kebaikan so’al keduniaan atau akherat, dan sa’at itu pada tiap malam.”
Abdullah bin Salam r.a. berkata : “Bersabda Nabi ﷺ : Hai sekalian manusia, sebarkanlah salam, dan berikanlah makanan dan sholat malam-lah, di waktu manusia sedang tidur, supaya kamu masuk sorga dengan selamat (salam).”
Ummulmukminin ‘Aisyah r.a. berkata : “Adanya Nabi ﷺ bangun sholat malam hingga merekah (bengkak) kakinya, maka saya tegur : Mengapakah berbuat demikian padahal Tuhan telah mengampunkan bagimu dosa yang telah lalu dan yang akan datang? Jawab Nabi : Tidakkah sudah selayaknya saya menjadi hamba yang bersyukur (terima kasih) kepada-Nya.”
Ampuni aku ya Rabb, yang masih suka mendholimi diri sendiri, rahmati dan bimbing aku dalam hidayah-Mu.
----------------------
Inspirasi : Tarjamah RIADHUS SHALIHIN II, Salim Bahreisy, Penerbit PT Alma’arif Bandung, Cetakan keempat 1979.
BANU NADHIR
Tantangan Kaum Yahudi
DIWAKTU Rasulullah s.a.w. melakukan hijrah, di dapati di Medinah selain dari Muslimin Anshar, juga beberapa golongn kaum Yahudi, seperti Banu Quraidzah, Banu Nadhir dan lain-lain.
Antara Rasulullah dan golongan-golongan Yahudi diadakan perjanjian hidup berdampingan secara damai (co-existensi) dengan tidak mengurangi pelaksanaan da’wah Islamiyah bil-hikmah wal mau’idzatil hasanah dan mujadalah billati hiya ahsan.
Tetapi pada satu ketika Banu Nadhir berkhianat, mengadakan komplotan untuk membunuh Rasulullah. Percobaan mereka untuk membunuh Rasulullah gagal. Setelah ternyata penghianatan mereka kepada perjanjian co-existensi itu, maka mereka diusir dari Medinah.
Sesudah terusir itu Banu Nadhir ini terus berusaha untuk menuntut balas. Mereka menghasut dan memobilisir kabilah-kabilah Arab Musyrikin sebanyak mungkin untuk menghancurkan Muhammad dan ummatnya di Medinah. Untuk ini Banu Nadhir mempergunakan segala tipu daya dan cara.
Lebih dahulu mereka mengirim utusan kepada musuh ummat Islam yang utama yaitu Quraisy Makkah. Mereka diajak Banu Quraisy bersama-sama menyerang ummat Islam sampai habis keakar-akarnya. Mulanya Banu Quraisy merasa curiga terhadap Banu Nadhir yang begitu bersemangat mengajak mereka bersama-sama memerangi Muhammad s.a.w. Sebab walaupun bagaimana, mereka mengetahui bahwa pada pokoknya antara agama Yahudi dengan Islam itu banyak persamaannya. Kedua-duanya menyeru kepada Tauhid dan makarimul-akhlaq. Mengapa Banu Nadhir ini sampai mengajak mereka yang musyrik, untuk bersekutu memerangi Muhammad.
Untuk menghilangkan keragu-raguan mereka, pemimpin Banu Quraisy mengajukan pertanyaan secara kategoris kepada perutusan Banu Nadhir :
“Wahai tuan-tuan kaum Yahudi! Kamu adalah ahli kitab. Kamu mengetahui apa yang menjadi pertentangan antara kami dengan Muhammad; sekarang kami ingin bertanya secara kategoris dan minta dijawab secara kategoris pula : “Antara agama kami dan agama Muhammad, mana yang lebih baik?”.”
Tanpa tedeng aling-aling, utusan Yahudi itu menjawab : “Tentu saja, agamamu yang lebih baik. Kamulah yang lebih benar dari dia !”
Dengan begitu Musyrikin Quraisy mau bersekutu dengan Banu Nadhir. Satu persekutuan antara dua kelompok suku yang berbeda aqiedahnya.
Mengorbankan Prinsip = Pengkhianatan
Jadi untuk merangkul Musyrikin Quraisy, kauni Yahudi yang masih menamakan dirinya ahli kitab itu, tidak segan-segan mengurbankan prinsip, mengkhianati dasar-dasar keyakinan agama mereka sendiri.
Ini bisa juga orang namakan : tipu-daya.
Tapi ini bukan “Nu’aimisme”. Ini bukan “Khud’ah” terhadap musuh.
Yang terang, ini adalah penkhianatan terhadap agama dan pendirian.
Rasulullah s.a.w. berkata kepada Nu’aim bin Mas’ud : “Perang itu tipu-daya”.
Ada perbedaan yang mendalam antara Nu’aimisme atau Ammarisme dengan Nadhirisme.
Kalau orang tidak awas, bisa keliru menilai. Yang lebih banyak mendapat pasaran ialah “Nadhirisme”, ialah tidak banyak risiko, tak perlu gentar. Selain daripada perlu sedikit kesenian untuk mengkamuflir “Nadhirisme” dengan sebutan “Nu’aimisme”.
-----------------------
Disajikan kembali dari buku “dibawah naungan risalah” tulisan M. Natsir, Sinar Hudaya – Documenta 1971, halaman 41 - 43.
DIWAKTU Rasulullah s.a.w. melakukan hijrah, di dapati di Medinah selain dari Muslimin Anshar, juga beberapa golongn kaum Yahudi, seperti Banu Quraidzah, Banu Nadhir dan lain-lain.
Antara Rasulullah dan golongan-golongan Yahudi diadakan perjanjian hidup berdampingan secara damai (co-existensi) dengan tidak mengurangi pelaksanaan da’wah Islamiyah bil-hikmah wal mau’idzatil hasanah dan mujadalah billati hiya ahsan.
Tetapi pada satu ketika Banu Nadhir berkhianat, mengadakan komplotan untuk membunuh Rasulullah. Percobaan mereka untuk membunuh Rasulullah gagal. Setelah ternyata penghianatan mereka kepada perjanjian co-existensi itu, maka mereka diusir dari Medinah.
Sesudah terusir itu Banu Nadhir ini terus berusaha untuk menuntut balas. Mereka menghasut dan memobilisir kabilah-kabilah Arab Musyrikin sebanyak mungkin untuk menghancurkan Muhammad dan ummatnya di Medinah. Untuk ini Banu Nadhir mempergunakan segala tipu daya dan cara.
Lebih dahulu mereka mengirim utusan kepada musuh ummat Islam yang utama yaitu Quraisy Makkah. Mereka diajak Banu Quraisy bersama-sama menyerang ummat Islam sampai habis keakar-akarnya. Mulanya Banu Quraisy merasa curiga terhadap Banu Nadhir yang begitu bersemangat mengajak mereka bersama-sama memerangi Muhammad s.a.w. Sebab walaupun bagaimana, mereka mengetahui bahwa pada pokoknya antara agama Yahudi dengan Islam itu banyak persamaannya. Kedua-duanya menyeru kepada Tauhid dan makarimul-akhlaq. Mengapa Banu Nadhir ini sampai mengajak mereka yang musyrik, untuk bersekutu memerangi Muhammad.
Untuk menghilangkan keragu-raguan mereka, pemimpin Banu Quraisy mengajukan pertanyaan secara kategoris kepada perutusan Banu Nadhir :
“Wahai tuan-tuan kaum Yahudi! Kamu adalah ahli kitab. Kamu mengetahui apa yang menjadi pertentangan antara kami dengan Muhammad; sekarang kami ingin bertanya secara kategoris dan minta dijawab secara kategoris pula : “Antara agama kami dan agama Muhammad, mana yang lebih baik?”.”
Tanpa tedeng aling-aling, utusan Yahudi itu menjawab : “Tentu saja, agamamu yang lebih baik. Kamulah yang lebih benar dari dia !”
Dengan begitu Musyrikin Quraisy mau bersekutu dengan Banu Nadhir. Satu persekutuan antara dua kelompok suku yang berbeda aqiedahnya.
Mengorbankan Prinsip = Pengkhianatan
Jadi untuk merangkul Musyrikin Quraisy, kauni Yahudi yang masih menamakan dirinya ahli kitab itu, tidak segan-segan mengurbankan prinsip, mengkhianati dasar-dasar keyakinan agama mereka sendiri.
Ini bisa juga orang namakan : tipu-daya.
Tapi ini bukan “Nu’aimisme”. Ini bukan “Khud’ah” terhadap musuh.
Yang terang, ini adalah penkhianatan terhadap agama dan pendirian.
Rasulullah s.a.w. berkata kepada Nu’aim bin Mas’ud : “Perang itu tipu-daya”.
Ada perbedaan yang mendalam antara Nu’aimisme atau Ammarisme dengan Nadhirisme.
Kalau orang tidak awas, bisa keliru menilai. Yang lebih banyak mendapat pasaran ialah “Nadhirisme”, ialah tidak banyak risiko, tak perlu gentar. Selain daripada perlu sedikit kesenian untuk mengkamuflir “Nadhirisme” dengan sebutan “Nu’aimisme”.
-----------------------
Disajikan kembali dari buku “dibawah naungan risalah” tulisan M. Natsir, Sinar Hudaya – Documenta 1971, halaman 41 - 43.
MEMPERCEPAT JENAZAH (1)
Abu Hurairah r.a. berkata : Rasulullah s.a.w. bersabda : Segerakanlah penyelesaian penguburan jenazah, maka kalau ia jenazah orang Salih, maka berarti kamu menyegarakan kepada kebaikan, dan apabila sebaliknya, maka berarti kamu telah meletakkan kejahatan dari bahumu (pundakmu). (HR. Buchary dan Muslim)
----------------------
Tarjamah RIADHUS SHALIHIN II, Salim Bahreisy, Penerbit PT Alma’arif Bandung, Cetakan keempat 1979, halaman 87.
----------------------
Tarjamah RIADHUS SHALIHIN II, Salim Bahreisy, Penerbit PT Alma’arif Bandung, Cetakan keempat 1979, halaman 87.
MENGHITUNG ZAKAT PROFESI
Jika kita sepakat, bahwa zakat profesi itu wajib, maka bisa dihitung nishabnya berdasarkan hasil panen (setara dengan 653 kg beras) atau nishab emas (setara emas murni 85 gram). Pembayarannya diqyaskan dengan panen, yaitu saat diterima, tanpa menunggu setahun. Contohnya :
- Seorang pegawai memiliki penghasilan per bulan Rp. 2.500.000. Bagaimana zakatnya? Jika harga beras per kilogram adalah Rp 1.300, maka nishabnya menurut zakat pertanian adalah 653 kg x Rp 2.300 = Rp 848.900 (sekali panen, yaitu setiap tiga bulan). Oleh karena itu penghasilan pegawai tersebut telah mencapai nishab. Zakatnya adalah 2,5 % x Rp. 1.500.000 = Rp. 37.500. Jika ia menabung Rp. 250.000 per bulan, pada akhir tahun ia belum terkena wajib zakat atas tabungannya, tetapi di akhir tahun kedua maka ia terkena zakat simpanan yang nishabnya dihitung menurut zakat emas. Jika harga emas Rp. 27.000, nishabnya dihitung 85 x Rp. 27.000 = Rp. 2.295.000. Simpanan dia Rp. 250.000 x 12 = Rp. 3.000.000. Ia wajib zakat 2,5 % x Rp. 3.000.000 = Rp. 75.000.
- Seorang pegawai memiliki penghasilan per bulan Rp. 250.000. Bagaimana zakatnya? Nishab penghasilan setahun adalah Rp. 2.546.700. Sementara itu penghasilan dia setahun adalah 12 x Rp. 250.000 = Rp. 3.000.000. Berarti, sudah mencapai nishab. Zakatnya dikeluarkan setiap bulan sebesar 2,5 % x Rp. 250.000 = Rp. 6.250.
- Seorang pegawai memiliki penghasilan per tahun Rp. 2.500.000. Bagaimana zakatnya? Pada umumnya, setahun petani bisa mengalami tiga kali panen, dengan pengelolaan yang baik. Oleh karena itu, nishab per tahun menurut zakat pertanian adalah 3 x Rp. 848.900 = Rp. 2.546.700. Jadi, penghasilan pegawai tersebut belum mencapai nishab, meskipun sudah mendekati. Namun, ia tidak terhalang untuk mengeluarkan shadaqah atau infak, baik 2,5 %, kurang atau lebih.
- Seseorang memiliki rumah kontrakan, yang setiap bulannya menerima uang sewa Rp. 1.000.000, biaya pemeliharaan sebesar Rp. 50.000. Berarti, pendapatan dia sudah mencapai nishab. Zakatnya adalah 10 % x Rp.950.000 = Rp. 95.000.
Allahu a’lam.
-----------------------------------------
Buletin Jum'at 'IZZAH No. 14 Tahun VII 6 Muharam 1417 H / 24 Mei 1996 M.
-----------------------------------------
Buletin Jum'at 'IZZAH No. 14 Tahun VII 6 Muharam 1417 H / 24 Mei 1996 M.
Bercermin dan berbenah
Kalau kita menghadapi masalah yang mencemaskan;
- Tanyakan pada diri sendiri; Apakah yang terburuk yang mungkin terjadi?
- Siapkan diri kita untuk menerima hal yang terburuk itu, jika memang akan terjadi.
- Kemudian dengan tenang lakukan perbaikan-perbaikan yang mungkin terhadap sesuatu yang buruk itu.
#570
DZIKIR DAN DO’A (19)
Dari Buraidah r.a., ia berkata : Nabi s.a.w. mendengar seorang laki-laki berkata : “Ya Allah, sungguh hamba mohon pada-Mu, bahwasanya hamba menyaksikan bahwa Engkau Tuhan Allah, tiada Tuhan selain-Mu, yang Esa, tempat sekalian makhluk bergantung, yang tiada beranak dan tiada beribu-bapak, dan tiada seorangpun yang menyamai-Nya”. Maka Rasulullah s.a.w. bersabda : “Sungguh ia telah memohon kepada Allah dengan nama-Nya yang apabila orang bermohon dengan-Nya pasti diberi, apabila ia berdo’a dengan-Nya pasti dikabul”. Dikeluarkan oleh Iman yang Empat (Abu Daud, Ibnu Majah, Tirmidzy dan Nasa’i) dan disahkan oleh Ibnu Hibban.
------------------------------
Tarjamah BULUGHUL MARAM, Ibnu Hajar Asqalany, Penerbit : PT. Alma’arif Bandung, Cetakan ke tujuh, 1984, Bab Kitabul Jami', halaman 567.
------------------------------
Tarjamah BULUGHUL MARAM, Ibnu Hajar Asqalany, Penerbit : PT. Alma’arif Bandung, Cetakan ke tujuh, 1984, Bab Kitabul Jami', halaman 567.
Ber-BRT-trip di Rute Baru Koridor 4
Tak Lupa selalu shot yang manis |
TravelNusa (Traveler Nusantara) mencoba melakukan perjalanan ber-BRT-ria dimulai dari Shalter depan SD Srondol sekitar jam 08.00 WIB dengan menggunakan BRT II-018 dengan kondektur mbak Indah Wahyuningsih menuju Terboyo perjalanan lancar melewati shalter Tembalang - shalter Jatingaleh - shalter Kesatrian - shalter Don Bosco - shalter Akpol - shalter Papandayan - shalter Elizabeth dan aku bertanya kepada mbak Indah bisakah pergi ke Cangkiran tanpa harus menggunakan BRT koridor 1 dan oleh beliau disarankan untuk berganti bis di shalter Stasiun Tawang (Shalter terakhir koridor 4), perjalanan berlanjut ke shalter Gajahmungkur - shalter Ngaglik - shalter Mapolrestabes - shalter RST Bhakti Wira Tamtama - shalter SMAN 5 - shalter Mandiri - shalter Johar - shalter Layur dan shalter Stasiun Tawang. Kemudian TravelNusa (Traveler Nusantara) pindah bis BRT IV-001, dari shalter Stasiun Tawang melewati jalan Cendrawasih dan jalan Letjen Suprapto - shalter Kota Lama - melewati jalan Kol Sugiono dan jalan Imam Bonjol - shalter Pegadaian - shalter Stasiun Poncol - melewati jalan Tanjung lalu jalan Pemuda - shalter Balaikota - shalter Pasar Bulu - shalter Sugiyono - shalter Karangayu - shalter Cakrawala - shalter Muradi - shalter Pengadilan dan terus sampai Cangkiran.
Dari terminal Cangkiran TravelNusa (Traveler Nusantara) kembali menempuh perjalanan pulang dengan membeli tiket sebelumnya. Dengan BRT IV-003 TravelNusa (Traveler Nusantara) memulai perjalanan dari terminal Cangkiran. Dan sesampainya di shalter Transit Pengadilan TravelNusa (Traveler Nusantara) bertanya mencari tahu; apakah bisa ikut rute koridor 4 sampai shalter Balaikota, dan dijawab boleh tetapi harus bayar lagi karena pemberhentian terakhir koridor 4 di shalter Stasiun Tawang. TravelNusa (Traveler Nusantara) putuskan untuk ikut sampai shalter Stasiun Tawang karena pengen tahu rute-rute yang dilewati. Dari shalter Karangayu - shalter Sugiyono - shalter Pasar Bulu - shalter Imam Bonjol - shalter Stasiun Poncol - shalter Pegadaian - shalter Layur dan sampailah di terminal akhir koridor 4, shalter Stasiun Tawang. Dengan BRT IV-001 lagi TravelNusa (Traveler Nusantara) menuju arah pulang dan berpindah di shalter Balaikota untuk selanjutnya pindah ke koridor 2 dengan BRT II-015 dan mengakhiri perjalanan di Shalter Tembalang. Nice Trip with BRT Trans Semarang.
Ciri BRT koridor 4 tempat duduk warna merah |
Kawasan Sejarah
Taman Diponegoro adalah taman di depan shalter Elizabeth ini dibangun menyusul lahirnya Kota Praja Semarang pada tahun 1906. Pada waktu itu, Dewan Pengelola Kota menilai bahwa kota Semarang bawah sudah mulai kumuh sehingga diputuskan untuk membuka daerah Candi Baru, terutama untuk permukiman. Maka pada tahun 1925, kawasan ini mulai dibangun. Taman Diponegoro merupakan pusat dari kawasan permukiman Candi Baru, dahulu taman ini disebut Raadsplein. Rencana pengembangan kawasan Candi yang yang dilakukan oleh Thomas Karsten pada tahun 1916, maka diperkirakan keberadaan raadsplein mulai tahun 1916. Konsep yang diterapkan Thomas Karsten dalam merancang kawasan ini adalah Garden City, yang menguatkan perancangan raadsplein, yaitu menurut Thomas Karsten bangunan-bangunan kota yang membentuk public urban space sebagai pokok atau central permasalahan. Perancangan Raadsplein dengan perancangan Burgermeesterwoning di sebelah utaranya, membentuk aksis yang kuat bertujuan untuk mencerminkan kekuasaan walikota pada waktu itu. Dan juga merupakan penyelesaian kondisi topografi tanah yang miring.
Taman ini berbentuk empat persegi panjang dengan ukuran 50 x 15 meter, dengan bagian tengah terdapat plaza berbentuk bulat dengan axis utara-selatan. Kondisi taman ini masih tetap dipertahankan dengan pohon-pohon yang tertata untuk menambah kesejukan lingkungan dengan memanfaatkan kondisi tofografis alami. Pola taman ini dipengaruhi oleh konsep taman-taman vista di Perancis pada massa Renaisance. Taman Diponegoro dirancang dengan sumbu menghadap ke rumah dinas Kasdam Diponegoro atau Rumah Dinas Walikota Semarang (dulu). (baca : Semarangan Loenpia).
Taman ini berbentuk empat persegi panjang dengan ukuran 50 x 15 meter, dengan bagian tengah terdapat plaza berbentuk bulat dengan axis utara-selatan. Kondisi taman ini masih tetap dipertahankan dengan pohon-pohon yang tertata untuk menambah kesejukan lingkungan dengan memanfaatkan kondisi tofografis alami. Pola taman ini dipengaruhi oleh konsep taman-taman vista di Perancis pada massa Renaisance. Taman Diponegoro dirancang dengan sumbu menghadap ke rumah dinas Kasdam Diponegoro atau Rumah Dinas Walikota Semarang (dulu). (baca : Semarangan Loenpia).
Sabtu, 16 Agustus 2014
Cara Merawat Batik dengan Pewarna Alam
BATIK PEKALONGAN. Batik yang dicelup menggunakan pewarna alami memang lebih cepat pudar dibanding dengan menggunakan pewarna kimiawi, karena batik dengan pewarna alami tidak mengalami proses fiksasi (penguncian warna) yang maksimal. Kain batik dengan pewarnaan alami membutuhkan penanganan khusus dibanding kain batik biasa. Untuk merawat kain batik dengan pewarna alami, caranya antara lain :
- Mencuci kain batik dengan menggunakan sampo rambut. Sebelumnya, larutkan dulu sampo hingga tak ada lagi bagian yang mengental. Setelah itu baru kain batik dicelupkan. Anda juga bisa menggunakan sabun pencuci khusus untuk kain batik yang dijual di pasaran. Harap diperhatikan, anda juga tidak perlu merendamnya terlalu lama.
- Kain batik jangan dicuci dengan menggunakan mesin cuci. Cara mencuci kain batik seperti ini akan membuat warna alami kain batik tak bertahan lama.
- Sebaiknya Anda juga tidak menjemur kain batik berpewarna alami di bawah sinar matahari langsung, dan lebih bagus jika anda menjemurnya dalam keadaan terbalik
- Bila Anda ingin memberi pewangi dan pelembut kain pada batik tulis, jangan disemprotkan langsung pada kainnya. Sebelumnya, tutupi dulu kain dengan kain pelapis lainnya lebih baik yang berwarna muda/polos, baru semprotkan cairan pewangi dan pelembut kain.
- Masih dengan kain pelapis, Anda bisa menyetrika kain batik berpewarna alami tersebut. Jangan menyetrika langsung pada kainnya karena ini bisa memengaruhi warna motifnya.
- Anda sebaiknya juga tidak menyemprotkan parfum atau minyak wangi langsung ke kain atau pakaian berbahan batik berpewarna alami.
APA YANG DIBACA DALAM SHOLAT JENAZAH (6)
Abdullah bin Abi Aufa r.a. menyolatkan mayyit putrinya, maka ia bertakbir empat kali, dan sesudah takbir yang keempat ia masih tetap berdiri membacakan istighfar dan berdo’a. Kemudian ia berkata : Dahulu Rasulullah s.a.w. berbuat demikian ini.
Dalam lain riwayat : sesudah ia bertakbir empat kali, berhenti sejenak hingga disangka ia akan bertakbir lagi yang kelima. Kemudian baru ia salam ke kanan dan ke kiri. Dan setelah selesai kami bertanya : Mengapakah demikian? Jawabnya : Saya tidak menambah apa-apa dari apa yang telah saya lihat dari perbuatan Rasulullah s.a.w. (HR. Alhakim).
----------------------
Tarjamah RIADHUS SHALIHIN II, Salim Bahreisy, Penerbit PT Alma’arif Bandung, Cetakan keempat 1979, halaman 86.
Dalam lain riwayat : sesudah ia bertakbir empat kali, berhenti sejenak hingga disangka ia akan bertakbir lagi yang kelima. Kemudian baru ia salam ke kanan dan ke kiri. Dan setelah selesai kami bertanya : Mengapakah demikian? Jawabnya : Saya tidak menambah apa-apa dari apa yang telah saya lihat dari perbuatan Rasulullah s.a.w. (HR. Alhakim).
----------------------
Tarjamah RIADHUS SHALIHIN II, Salim Bahreisy, Penerbit PT Alma’arif Bandung, Cetakan keempat 1979, halaman 86.
DZIKIR DAN DO’A (18)
Dari Abdullah bin Umar ra.. ia berkata; Adalah Rasulullah ﷺ bersabda : “Ya Allah, hamba berlindung kepada-Mu dari desakan utang, dan dari desakan musuh-rnusuh, dan dari kejahatan permusuhan.” Diriwayatkan oleh Nasa’i dan disahkan oleh Hakim.
------------------------------------
Tarjamah BULUGHUL MARAM, Ibnu Hajar Asqalany, Penerbit : PT. Alma’arif Bandung, Cetakan ke tujuh, 1984, Bab Kitabul Jami', halaman 567.
------------------------------------
Tarjamah BULUGHUL MARAM, Ibnu Hajar Asqalany, Penerbit : PT. Alma’arif Bandung, Cetakan ke tujuh, 1984, Bab Kitabul Jami', halaman 567.
Jumat, 15 Agustus 2014
Factory Visit Again
mbak Catur with Sumber Alam AA 1566 AL |
Rute Perjalanan
Pukul 07.45 WIB bis Sumber Alam dengan nopol AA 1566 AL sudah merapat di depan kantor Kelurahan Sumurboto dan kami segera berhamburan menempati tempat duduk bis. Perjalanan TravelNusa (Traveler Nusantara) di mulai dari jam 08.10 WIB setelah mendengarkan pengarahan dari mbak Catur. Melewati pintu tol Banyumanik via Jalan Tirto Agung dan berujung di pintu tol Bawen lalu perjalanan ambil jalur ke arah Solo melewati Jl. Slamet Riyadi, Kampoeng Kopi Banaran, melintasi jembatan Tuntang, melewati Jl. Fatmawati selanjutnya wilayah Blotongan, kemudian Jl. YOS Sudarso dan akhirnya bertemu Jl. Pattimura. Lokasi pabrik PT. Charoen Pokphand Indonesia khususnya Food Division di Salatiga. Yang TravelNusa (Traveler Nusantara) rasakan perbedaan suasana perjalanan kali ini dari perjalanan sebelumnya adalah kepadatan lingkungan mendekati lokasi pabrik, bangunan begitu rapat sehingga bis yang kami tumpangi susah bermanouver.
Waktunya Kunjungan Pabrik
Materi kunjungan kira-kira sama dengan yang pernah TravelNusa (Traveler Nusantara) lakukan beberapa waktu yang lalu. Setelah selesai pengenalan produk kami dipersilahkan duduk sebentar sambil menikmati nasi kotak produk makanan hasil olahan yang disediakan oleh PT. Charoen Pokphand Indonesia Food Division sembari menunggu pesanan produk yang sudah kami pesan sebelumnya. Cuma yang membedakan antusiasme kali ini adalah rombongan ibu-ibu PKK RT 04 RW 03 Kelurahan Sumurboto Kecamatan Banyumanik membeli produk PT. Charoen Pokphand Indonesia Food Division Salatiga lebih tinggi, sehingga lama menunggu pengambilan produk dari gudang hingga satu setengah jam.
APA YANG DIBACA DALAM SHOLAT JENAZAH (5)
Watsilah bin Al-Asqo r.a. berkata : Rasulullah s.a.w. menyolatkan orang mati bersama kami, maka saya mendengar ia membaca : ALLAHUMMA INNA FULAN BIN FULAN FIDZIMATIKA WAHABLI JIWARIKA FAQIHI FITNATAL QOBRI WA ‘ADZABIHI WA ANTA AHLUL WAFA’I WALHAMDI, ALLAHUMMAGHFIRLAHU WARHAMHU INNAKA ANTAL GHOFURURROHIM. (Ya Allah Sesungguhnya Fulan bin Fulan hidup dalam janji-Mu dan tali perlindungan-Mu, maka hindarkan ia dari ujian kubur siksa kubur. Engkau yang menepati janji dan terpuji, ya Allah ampunkan baginya dan kasihanilah ia sungguh Engkau maha pengampun dan penyayang). (HR. Abu Dawud).
Demikianlah contoh dan beberapa do’a Rasulullah s.a.w. dalam sholat janazah, selalu Rasulullah s.a.w. dalam berdo’a mengikuti suasana dan perasaan gelora hatinya, supaya do’a itu benar-benar khusyu’ dan tidak menjemukan hingga hilang khusyu’nya.
----------------------
Tarjamah RIADHUS SHALIHIN II, Salim Bahreisy, Penerbit PT Alma’arif Bandung, Cetakan keempat 1979, halaman 85-86.
Demikianlah contoh dan beberapa do’a Rasulullah s.a.w. dalam sholat janazah, selalu Rasulullah s.a.w. dalam berdo’a mengikuti suasana dan perasaan gelora hatinya, supaya do’a itu benar-benar khusyu’ dan tidak menjemukan hingga hilang khusyu’nya.
----------------------
Tarjamah RIADHUS SHALIHIN II, Salim Bahreisy, Penerbit PT Alma’arif Bandung, Cetakan keempat 1979, halaman 85-86.
ZAKAT PENGHASILAN (PROFESI)
Berilah para kerabat haknya, demikian pula kepada orang-orang miskin dan orang-orang yang terlantar dalam perjalanan. Dan janganlah kau boroskan hartamu! (QS Al-Isra’ : 2)
Islam memandang bahwa manusia adalah makhluk sosial. Oleh karena itu, sebagai makhluk ia tidak bisa melepaskan diri dari ikatan dengan penciptanya sedang sifat sosialnya mengharuskan dia mengakui dan selalu berhubungan dengan masyarakatnya. Secara sunnatullah, ikatan dengan masyarakat itu dibuktikan sejak kelahirannya, yaitu bahwa tidak ada sesuatupun yang dipakai atau dihasilkan olehnya tanpa melibatkan orang lain.
Demikian juga tentang harta seseorang. Sunnatullah membuktikan bahwa meskipun seseorang mendapatkan harta seolah-olah berdasarkan upayanya sendiri, kenyataannya tidak bisa dipungkiri jasa orang lain. Hak sosial yang ada dalam kekayaan seseorang itulah yang sering didengungkan dalam syariat Islam. Firman Allah,
“Sesungguhnya manusia diciptakan penuh kegelisahan. Bila mereka ditimpa kesusahan, mereka berkeluh kesah; tetapi jika mengalami kesenangan, mereka sangat kikir. Tidaklah demikian orang-orang yang setia menjalankan shalat dan orang-orang yang (merasa) dalam harta kekayaannya terdapat hak yang sudah ditentukan bagi peminta-minta dan orang-orang yang tidak berkecukupan.” (Al Ma ‘arij : 19 – 25).
Orang-orang yang bertaqwa menyadari sepenuhnya bahwa kekayaan mereka bukanlah milik mereka sendiri Secara mutlak. Mereka menyadari bahwa di dalam hartanya terdapat hak-hak orang lain yang membutuhkan. Hak itu dikeluarkan bukan merupakan hadiah, sumbangan, atau atas kemurahan hati mereka, tetapi sudah ditetapkan dalam Al Quran. Oleh karena itu, dalam konsep pembagian harta di dalam Islam, penerima tidak perlu merasa lebih rendah dan hina, dan pemberi tidak boleh merasa lebih tinggi.
Kewajiban Zakat
Ayat-ayat zakat yang turun di Madinah menegaskan kewajiban perbuatan itu. Perintahnya pun tegas. Allah berfirman,
“Dirikanlah oleh kalian shalat dan bayarkanlah zakat.” (QS Al-Baqarah : 110).
Selain itu, di dalam surat At Taubah juga terdapat ayat yang menumpahkan perhatian besar terhadap zakat. Allah berfirman,
“Apabila sudah habis bulan-bulan haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu di mana saja kalian temui mereka. Kepunglah mereka dan intailah di tempat-tempat pengintaian. Jika mereka bertaubat, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang” (QS At-Taubah : 5).
Berdasarkan ayat ini, ada tiga syarat untuk mengakhiri konfrontasi yang disebabkan oleh penolakan orang-orang musyrik terhadap da’wah, yaitu jika mereka telah bertaubat dari kesyirikan dan kekafiran dengan mengucapkan syahadat, mereka mendirikan shalat wajib, dan mereka membayar zakat yang dibebankan kepada orang-orang yang mampu untuk dibagikan kepada orang-orang yang berkekurangan.
Para ulama sejak zaman shahabat telah mengingatkan suatu hal penting, yaitu bahwa Al Qur’an selalu menghubungkan zakat dengan shalat. Adullah bin Mas’ud berkata, “Kalian diperintahkan mendirikan shalat dan membayar zakat. Siapa yang tidak berzakat berarti tidak ada gunanya shalatnya. Ibnu Zaid berkata, “Shalat tidak akan diterima tanpa zakat. Selamat bagi Abu Bakar yang mengerti benar masalah ini.” Sementara itu, Abu Bakar berkata, “Saya tidak akan memisahkan dua hal yang disatukan sendiri oleh Allah.”
Orang-orang munafik di zaman Abu Bakar menganggap bahwa zakat merupakan upeti kepada Muhammad, dan sekarang Muhammad telah meninggal. Zakat bagi mereka hanya selama hidup Muhammad. Abu Bakar pada masa pemerintahannya telah memerangi kaum munafik yang menolak membayar zakat setelah Rasulullah s.a.w. wafat. Beberapa shahabat utama semula menolak keputusan Abu Bakar, namun akhirnya mereka menyadari bahwa tindakan Abu Bakar tepat sekali menurut syari’at demi tegaknya agama Allah di muka bumi ini
Hadits-hadits Rasulullah tentang zakat ini banyak tersebar, Rasulullah bersabda.
“Saya diperintahkan untuk memerangi manusia kecuali bila mereka mengikrarkan syahadat bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasulullah, mendirikan shalat dan menunaikan zakat.” (HR Bukhari dan Muslim).
Rasulullah juga bersabda.
“Siapa yang dikarunial oleh Allah kekayaan tetapi tidak mengeluarkan zakatnya, maka pada hari kiamat nanti ia akan didatangi oleh seekor ular jantan gundul, yang sangat berbisa dan sangat menakutkan dengan dua bintik di atas kedua matanya lalu melilit dan mematuk lehernva sambil herteriak, “Sava adalah kekayaanmu, saya adalah kekayaanmu, yang engkau timbun-timbun dulu.” Nabi s.a.w. kemudian membaca, “Janganlah orang-orang yang kikir sekali dengan karunia yang diberikan oleh Allah kepada mereka itu mengira bahwa tindakannya itu baik bagi mereka. Segala yang mereka kikirkan itu dikalungkan di leher mereka nanti pada hari kiamat.”
Zakat Penghasilan
Tidak terdapat contoh dalam fikih terdahulu tentang zakat penghasilan dan profesi, selain masalah khusus mengenai persewaan seperti yang dibahas oleh Imam Ahmad bin Hambal, yaitu bahwa orang yang menyewakan rumahnya dan mendapatkan pembayaran uang sewa yang cukup nishab, maka orang tersebut wajib berzakat ketika menerimanya tanpa menunggu setahun. Hal inilah yang pada hakikatnya menyerupai penghasilan atau profesi yang wajib dikeluarkan zakatnya jika sudah mencapai nishab.
Ustadz DR Yusuf Qardhawi mengatakan bahwa sesuatu yang mendesak adalah menemukan hukum yang pasti tentang harta penghasilan. Karena itu, terdapat hal-hal penting yang perlu diperhatikan, yaitu bahwa hasil pencaharian, profesi, dan kekayaan non perdagangan dapat digolongkan pada zarta penghasilan itu. Bila kekayaan yang sudah dikeluarkan zakatnya tersebut mengalami perkembangan, maka perhitungan tahunnya disamakan dengan penghitungan tahun induknya. Hal itu dikarenakan hubungan keuntungan dengan induknya sangat erat.
Setelah membandingkan pendapat-pendapat ulama dengan alasannya masing-masing, penelitian nash-nash yang berhubungan dengan status zakat dalam bermacam-macam kekayaan, memperhatikan hikmah dan maksud Allah mewajibkan zakat, dan memperhatikan pula kebutuhan Islam dan ummat Islam pada masa sekarang, Yusuf Qardhawi berpendapat bahwa harta hasil usaha wajib dikeluarkan zakatnya, persyaratan satu tahun dan dikeluarkan pada waktu diterima. Harta hasil usaha tersebut berupa gaji pegawai, upah karyawan, pendapatan dokter, insinyur, advokat dan harta lain yang merupakan hasil dari profesi tertentu serta pendapatan yang diperoleh dari modal yang diinvestasikan di luar sektor perdagangan, seperti pada mobil, kapal, pesawat terbang, percetakan, tempat hihuran. dan lain-lain
Kewajiban zakat uang atau sejenisnya pada saat diterima seorang muslim diqiyaskan dengan kewajiban zakat pada tanaman dan buah-buahan pada waktu panen. Jika kita memungut dari petani, maka wajarlah jika kita juga memungut dari para profesional atau pegawai itu. Jika Allah telah menyatukan penghasilan yang diterima oleh seorang muslim dengan hasil yang dikeluarkan Allah dari tanah dalam satu ayat, “Hai orang-orang yang beriman, keluarkanlah sebagian penghasilan kalian dan sebagian yang Kami keluarkan dari tanah, mengapa kita membeda-bedakan dua masalah yang diatur Allah dalam satu aturan sedangkan keduanya adalah sama-sama rezeki dan nikmat dari Allah SWT?
Khatimah
Zakat atas penghasilan, upah, gaji profesi, maupun investasi sangat sesuai dengan tuntunan Islam yang menanamkan nilai-nilai kebaikan, kemauan berkorban, belas kasihan, serta suka memberi dalam jiwa seorang muslim. Zakat tersebut sesuai dengan nilai-nilai sosial, dengan ikut merasakan beban orang lain, serta menanamkan nilai-nilai agama tersebut supaya menjadi pokok kepribadian seorang muslim.
Abu Musa Al Asy’ari meriwayatkan dari Rasulullah saw., “Setiap orang muslim wajib bersedekah. Para shahabat bertanya, “Hai Nabi Allah, bagaimana mereka yang tidak mampu Rasulullah bersabda, “Bekerjalah untuk mendapatkan sesuatu untuk dirinya, lalu bersedekah!” Para shahabat bertanya, “Kalau tidak punya pekerjaan?” Rasulullah bersabda, “Tolonglah orang yang meminta pertolongan!” Para shahabat bertanya, “Bagaimana jika tidak bisa?” Rasulullah menjawab, “Kerjakan kebaikan dan tinggalkan kejelekan. Hal itu merupakan sedekah. (HR Bukhari).
Allahu a’lam
-----------------------------------------
Tulisan : Trisno Susilo, Buletin Jum'at 'IZZAH No. 14 Tahun VII 6 Muharam 1417 H / 24 Mei 1996 M.
Islam memandang bahwa manusia adalah makhluk sosial. Oleh karena itu, sebagai makhluk ia tidak bisa melepaskan diri dari ikatan dengan penciptanya sedang sifat sosialnya mengharuskan dia mengakui dan selalu berhubungan dengan masyarakatnya. Secara sunnatullah, ikatan dengan masyarakat itu dibuktikan sejak kelahirannya, yaitu bahwa tidak ada sesuatupun yang dipakai atau dihasilkan olehnya tanpa melibatkan orang lain.
Demikian juga tentang harta seseorang. Sunnatullah membuktikan bahwa meskipun seseorang mendapatkan harta seolah-olah berdasarkan upayanya sendiri, kenyataannya tidak bisa dipungkiri jasa orang lain. Hak sosial yang ada dalam kekayaan seseorang itulah yang sering didengungkan dalam syariat Islam. Firman Allah,
“Sesungguhnya manusia diciptakan penuh kegelisahan. Bila mereka ditimpa kesusahan, mereka berkeluh kesah; tetapi jika mengalami kesenangan, mereka sangat kikir. Tidaklah demikian orang-orang yang setia menjalankan shalat dan orang-orang yang (merasa) dalam harta kekayaannya terdapat hak yang sudah ditentukan bagi peminta-minta dan orang-orang yang tidak berkecukupan.” (Al Ma ‘arij : 19 – 25).
Orang-orang yang bertaqwa menyadari sepenuhnya bahwa kekayaan mereka bukanlah milik mereka sendiri Secara mutlak. Mereka menyadari bahwa di dalam hartanya terdapat hak-hak orang lain yang membutuhkan. Hak itu dikeluarkan bukan merupakan hadiah, sumbangan, atau atas kemurahan hati mereka, tetapi sudah ditetapkan dalam Al Quran. Oleh karena itu, dalam konsep pembagian harta di dalam Islam, penerima tidak perlu merasa lebih rendah dan hina, dan pemberi tidak boleh merasa lebih tinggi.
Kewajiban Zakat
Ayat-ayat zakat yang turun di Madinah menegaskan kewajiban perbuatan itu. Perintahnya pun tegas. Allah berfirman,
“Dirikanlah oleh kalian shalat dan bayarkanlah zakat.” (QS Al-Baqarah : 110).
Selain itu, di dalam surat At Taubah juga terdapat ayat yang menumpahkan perhatian besar terhadap zakat. Allah berfirman,
“Apabila sudah habis bulan-bulan haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu di mana saja kalian temui mereka. Kepunglah mereka dan intailah di tempat-tempat pengintaian. Jika mereka bertaubat, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang” (QS At-Taubah : 5).
Berdasarkan ayat ini, ada tiga syarat untuk mengakhiri konfrontasi yang disebabkan oleh penolakan orang-orang musyrik terhadap da’wah, yaitu jika mereka telah bertaubat dari kesyirikan dan kekafiran dengan mengucapkan syahadat, mereka mendirikan shalat wajib, dan mereka membayar zakat yang dibebankan kepada orang-orang yang mampu untuk dibagikan kepada orang-orang yang berkekurangan.
Para ulama sejak zaman shahabat telah mengingatkan suatu hal penting, yaitu bahwa Al Qur’an selalu menghubungkan zakat dengan shalat. Adullah bin Mas’ud berkata, “Kalian diperintahkan mendirikan shalat dan membayar zakat. Siapa yang tidak berzakat berarti tidak ada gunanya shalatnya. Ibnu Zaid berkata, “Shalat tidak akan diterima tanpa zakat. Selamat bagi Abu Bakar yang mengerti benar masalah ini.” Sementara itu, Abu Bakar berkata, “Saya tidak akan memisahkan dua hal yang disatukan sendiri oleh Allah.”
Orang-orang munafik di zaman Abu Bakar menganggap bahwa zakat merupakan upeti kepada Muhammad, dan sekarang Muhammad telah meninggal. Zakat bagi mereka hanya selama hidup Muhammad. Abu Bakar pada masa pemerintahannya telah memerangi kaum munafik yang menolak membayar zakat setelah Rasulullah s.a.w. wafat. Beberapa shahabat utama semula menolak keputusan Abu Bakar, namun akhirnya mereka menyadari bahwa tindakan Abu Bakar tepat sekali menurut syari’at demi tegaknya agama Allah di muka bumi ini
Hadits-hadits Rasulullah tentang zakat ini banyak tersebar, Rasulullah bersabda.
“Saya diperintahkan untuk memerangi manusia kecuali bila mereka mengikrarkan syahadat bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasulullah, mendirikan shalat dan menunaikan zakat.” (HR Bukhari dan Muslim).
Rasulullah juga bersabda.
“Siapa yang dikarunial oleh Allah kekayaan tetapi tidak mengeluarkan zakatnya, maka pada hari kiamat nanti ia akan didatangi oleh seekor ular jantan gundul, yang sangat berbisa dan sangat menakutkan dengan dua bintik di atas kedua matanya lalu melilit dan mematuk lehernva sambil herteriak, “Sava adalah kekayaanmu, saya adalah kekayaanmu, yang engkau timbun-timbun dulu.” Nabi s.a.w. kemudian membaca, “Janganlah orang-orang yang kikir sekali dengan karunia yang diberikan oleh Allah kepada mereka itu mengira bahwa tindakannya itu baik bagi mereka. Segala yang mereka kikirkan itu dikalungkan di leher mereka nanti pada hari kiamat.”
Zakat Penghasilan
Tidak terdapat contoh dalam fikih terdahulu tentang zakat penghasilan dan profesi, selain masalah khusus mengenai persewaan seperti yang dibahas oleh Imam Ahmad bin Hambal, yaitu bahwa orang yang menyewakan rumahnya dan mendapatkan pembayaran uang sewa yang cukup nishab, maka orang tersebut wajib berzakat ketika menerimanya tanpa menunggu setahun. Hal inilah yang pada hakikatnya menyerupai penghasilan atau profesi yang wajib dikeluarkan zakatnya jika sudah mencapai nishab.
Ustadz DR Yusuf Qardhawi mengatakan bahwa sesuatu yang mendesak adalah menemukan hukum yang pasti tentang harta penghasilan. Karena itu, terdapat hal-hal penting yang perlu diperhatikan, yaitu bahwa hasil pencaharian, profesi, dan kekayaan non perdagangan dapat digolongkan pada zarta penghasilan itu. Bila kekayaan yang sudah dikeluarkan zakatnya tersebut mengalami perkembangan, maka perhitungan tahunnya disamakan dengan penghitungan tahun induknya. Hal itu dikarenakan hubungan keuntungan dengan induknya sangat erat.
Setelah membandingkan pendapat-pendapat ulama dengan alasannya masing-masing, penelitian nash-nash yang berhubungan dengan status zakat dalam bermacam-macam kekayaan, memperhatikan hikmah dan maksud Allah mewajibkan zakat, dan memperhatikan pula kebutuhan Islam dan ummat Islam pada masa sekarang, Yusuf Qardhawi berpendapat bahwa harta hasil usaha wajib dikeluarkan zakatnya, persyaratan satu tahun dan dikeluarkan pada waktu diterima. Harta hasil usaha tersebut berupa gaji pegawai, upah karyawan, pendapatan dokter, insinyur, advokat dan harta lain yang merupakan hasil dari profesi tertentu serta pendapatan yang diperoleh dari modal yang diinvestasikan di luar sektor perdagangan, seperti pada mobil, kapal, pesawat terbang, percetakan, tempat hihuran. dan lain-lain
Kewajiban zakat uang atau sejenisnya pada saat diterima seorang muslim diqiyaskan dengan kewajiban zakat pada tanaman dan buah-buahan pada waktu panen. Jika kita memungut dari petani, maka wajarlah jika kita juga memungut dari para profesional atau pegawai itu. Jika Allah telah menyatukan penghasilan yang diterima oleh seorang muslim dengan hasil yang dikeluarkan Allah dari tanah dalam satu ayat, “Hai orang-orang yang beriman, keluarkanlah sebagian penghasilan kalian dan sebagian yang Kami keluarkan dari tanah, mengapa kita membeda-bedakan dua masalah yang diatur Allah dalam satu aturan sedangkan keduanya adalah sama-sama rezeki dan nikmat dari Allah SWT?
Khatimah
Zakat atas penghasilan, upah, gaji profesi, maupun investasi sangat sesuai dengan tuntunan Islam yang menanamkan nilai-nilai kebaikan, kemauan berkorban, belas kasihan, serta suka memberi dalam jiwa seorang muslim. Zakat tersebut sesuai dengan nilai-nilai sosial, dengan ikut merasakan beban orang lain, serta menanamkan nilai-nilai agama tersebut supaya menjadi pokok kepribadian seorang muslim.
Abu Musa Al Asy’ari meriwayatkan dari Rasulullah saw., “Setiap orang muslim wajib bersedekah. Para shahabat bertanya, “Hai Nabi Allah, bagaimana mereka yang tidak mampu Rasulullah bersabda, “Bekerjalah untuk mendapatkan sesuatu untuk dirinya, lalu bersedekah!” Para shahabat bertanya, “Kalau tidak punya pekerjaan?” Rasulullah bersabda, “Tolonglah orang yang meminta pertolongan!” Para shahabat bertanya, “Bagaimana jika tidak bisa?” Rasulullah menjawab, “Kerjakan kebaikan dan tinggalkan kejelekan. Hal itu merupakan sedekah. (HR Bukhari).
Allahu a’lam
-----------------------------------------
Tulisan : Trisno Susilo, Buletin Jum'at 'IZZAH No. 14 Tahun VII 6 Muharam 1417 H / 24 Mei 1996 M.
Langganan:
Postingan (Atom)