PENYIKSAAN DAN PEMAKSAAN
Yasir, beserta isterinya Sumaiyah
dan anaknya Ammar, termasuk orang-orang yang pertama memeluk agama Islam.
Diwaktu itu jumlah pengikut Rasulullah s.a.w. baru beberapa puluh orang saja,
dan kebanyakan terdiri dari rakyat jelata yang tidak mampu (haves not).
Kekejaman kaum Musyrikin Quraisy berlaku bukan alang-kepalang, terhadap
orang-orang yang kedapatan oleh mereka sudah masuk Islam. Juga keluarga Yasir
pada satu kali menjadi sasaran keganasan Musyrikin Quraisy. Yasir suami isteri
dan anak mereka Ammar, mereka seret kepadang pasir yang panas menyala. Disana
mereka dijemur dan dipukuli, sehingga Yasir mati. Istri Yasir, Sumaiyah ditikam
dengan tombak oleh tangan Abu Jahal sendiri. Diapun mati sebagai syahidah yang
pertama dalam Islam. Datang giliran Ammar bin Yasir. Dia dijemur, dipukul,
dihimpit dadanya dengan batu besar dan panas, kemudian dibenamkan kedalam air.
”Kami tidak akan lepaskan engkau dari azab ini, sebelum engkau memuji-muji Lata
dan Uzza”, kata sang algojo. Lantaran tak tahan lagi, Ammar berbuat apa yang
diinginkan algojo itu lalu dia dilepaskan. Kemudian Ammar dalam kebingungan dan
datang kepada Rasulullah dengan air mata bercucuran. Rasulullah menanyakan apa
yang telah terjadi. Diceritakannyalah apa yañg telah terjadi, dan untuk
terlepas dari penyiksaan yang tak tertahankan olehnya itu, ia terpaksa
menurutkan kemauan para penyiksanya, memuji-muji Lata dan Uzza. Rasulullah
bertanya; ”Diwaktu itu bagaimana kau dapati hatimu ?“. Jawab Amman: ”Kudapati
hatiku tenang dan tetap dengan keimanan”. Berkata Rasulullah: ”Kalau mereka
berbuat seperti itu lagi berbuatlah begitu pula”. Maka pada waktu itu turunlah
Surat An-Nahl 105-106 dan seterusnya. ”Hanyalah mereka yang tidak beriman
kepada ayat-ayat Allah, yang mengada-adakan dusta; dan merekalah orang-orang
yang berdusta. (Ialah) orang yang tidak percaya kepada Allah sesudah dia
beriman; kecuali orang yang dipaksa sedangkan hatinya penuh. dengan keimanan.
Tetapi barang siapa yang terbuka hatinya dengan kekufuran maka atas mereka
kemarahan Allah, dan bagi mereka azab yang besar”. (An-Nahl 105-106).
Peristiwa Ammar bin Yasir ini dapat
ditilik dari dua sudut :
1.
Dalam hubungan pribadi sebagai hamba
Allah dengan Khaliq (hablun minallah), maka Allah s.w.t. mengampuni,
bertindak sebagai Ammar bin Yasir dalam keadaan seperti itu, Yakni dalam
keadaan: a. dalam paksaan langsung. b. imannya tidak goyah sedikitpun
juga.
2.
Dalam hubungan antara manusia (hablun
minannas) yakni perhubungan pribadi sebagai anggauta ummat dengan lain
timbal-balik (dalam hal ini dalam rangka menegakkan ‘aqiedah), maka Rasulullah
s.a.w. setelah mendengar dari Ammar, bahwa imannya tidak gojah, berkata: ”Kalau
mereka berbuat begitu lagi, buatlah begitu pula !“
Untuk dapat memahami arti peristiwa
Ammar bin Yasir ini perlu kita perhatikan hal-hal berikut :
Dimasa ummat Islam sangat lemah dan
tak berdaya (seperti dengan peristiwa Ammar bin Yasir itu juga) terjadi
beberapa peristiwa penyiksaan atas para anggauta ummat Islam, antara
lain:
·
Bilal dipaksa dengan segala macam
siksaan supaya mau meninggalkan keimanannya. Bilal hampir pingsan, lantaran
siksaan itu, dan dia tidak henti-hentinya mengucapkan; Ahad! Ahad! (Allah
adalah satu! Allah adalah satu!) Malah dia berkata: ”Demi Allah, jika kuketahui
satu kalimat yang lebih menjengkelkan kamu mendengarnya dari itu, pasti aku
akan ucapkan !“. Bilal dapat diselamatkan oleh Abu Bakar yang kebetulan datang
ketempat penyiksaan.
·
Habib bin Zaid Al-Anshary juga kena
siksa. Musailamah bin Kaddzab yang menyiksanya bertanya kepadanya: ”Apakah
engkau naik saksi bahwa Muhammad Rasulullah ?“. Dijawabnya oleh Habib: ”Ya”.
Ditanya lagi: "Apakah engkau naik saksi bahwa aku Rasulullah ?“. Ia jawab:
”Tak pernah ku dengar yang begitu itu !”. Habib bin Zaid sewaktu itu juga
dibunuh dan dicincang-cincang.
·
Diantara Muslimin pertama-tama yang
bersikap seperti Habib bin Zaid itu dalam menghadapi penyiksaan fisik, tetapi
tidak sampai mati, antara lain: Habbab bin Al-Art, Suhaib, Amir bin Fuhairah,
Ubaid bin Khalaf. Dan diantara Muslimat pertama antara lain Lubainah, Zunairah
(sampai jadi buta), Annahdiyah, Ummu Unais. Ada yang dapat tertolong oleh Abu
Bakar, ada yang dilepaskan dengan penebusan dengan seluruh hartanya (Habbab),
ada pula yang dihentikan penyiksaannya, lantaran disangka sudah mati (Ubaid bin
Khalaf).
BERSABAR DAN BERTEGUH HATI
Dalam keadaan ummat Islam yang
diwaktu itu masih amat lemah dan tak berdaya, Rasulullah s.a.w. senantiasa
berusaha kepada ummatnya supaya bersabar dan berteguh hati dalam menghadapi
segala macam penderitaan fisik. Beliau terus menghidupkan dan menanamkan
keyakinan kepada pertolongan Ilahi dan kemenangan yang pasti akan dàtang bagi
orang-orang yang beriman. Kepada mereka yang tak mampu mempertahankan diri
sedangkan beliau sendiri dan Jama’ah Islam sebagai satu kesatuan belum mampu
melindungi mereka, beliau menganjurkan supaya hijrah kenegeri Habsyah, dimana
mereka dapat hidup dengan aman. Dibelakang hari, Muhajirin yang pertama ini
kembali menggabungkan diri dengan saudara-saudara yang berpadu dalam satu
keyakinan dengan mereka di Medinah dan turut aktif mengambil bagian dalam jihad
menegakkan Kalimah Tauhid seterusnya. Adapun sikap teguh dan tabah yang
diperlihatkan oleh para sahabat seperti Bilal, Habib bin Zaid, Ubaid bin Khalaf
dan lain-lain itu (ada yang sampai buta, ada yang setengah mati, ada yang
sampai syahid) tidak pernah Rasulullah cela sebagai sikap yang terlampau
fanatik atau yang semacam itu. Memang keteguhan hati dan istiqamah dikalangan
para Mukminin yang pertama itulah yang menjadi modal ummat Islam dalam
perjuangan selanjutnya. Jika kiranya tidak ada ruh jihad yang demikian itu,
perjalanan Risalah Muhammad s.a.w. tentulah akan sudah terhenti pada taraf
dimana jama’ah Islam itu hanya terdiri dari tiga-puluhan orang, yang sewaktü
waktu berkumpul secara diam-diam dirumah Arqam bin Arqam, dimana mereka dapat
menerima tuntunan tuntunan dari Rasulullah s.a.w. dan melakukan ibadah
bersama-sama. Sebagaimana kita ketahui dalam hal ketabahan dan keteguhan hati,
Rasulullah s.a.w. sendiri berdiri ditengah-tengah ummatnya sebagal hasanah,
yakni Sebagai suri tauladan yang baik. Makà yang memberi ”shibghah”, corak yang
karakteristik kepada jalan perjuangan menegakkan Risalah Muhammad s.a.w. itu
selanjutnya, bukan peristiwa Ammar bin Yasir yang satu itu, akan tetapi
peristiwa dan amal perbuatan yang tak terbilang banyaknya dari ribuan para
sahabat, dibawah pimpinan langsung Rasulullah s.a.w sendiri, dalam masa 23
tahun lamanya, baik dari para sahabat yang berkaliber seperti Abu Bakar, Umar,
Usman, Ali, Siti Khadijah, Siti ‘Aisjah, Bilal dan lain-lain, sampai kepada
Mujahidin yang nama mereka tidak tercatat dan yang sudah syahid sebelum
tercapainya kemenangan Risalah atas jahiliyah. Dalam rangka inilah kita harus
memahamkan arti atau nilài praktis dari peristiwa Ammar bin Yasir.
KEBIJAKSANAAN KHUSUS
Dapatlah kita simpulkan, bahwa sikap
yang diambil oleh Rasulullah s.a.w. terhadap peristiwa Ammar bin Yasir, adalah
suatu kebijaksanaan khusus dalam suatu rangkaian keadaan yang tertentu. Dengan
lain perkataan: ”satu kelonggaran dan pedoman umum yang sudah digariskan”.
Beliau beri kelonggaran dalam keadaan yang tertentu itu, setelah terpenuhi dua
syarat :
- Ada paksaan yang nyata dan langsung;
- Iman dan ‘aqiedah yang bersangkutan tetap tidak goyah, diwaktu dan sesudah dia memberi "verbal confession” itu.
Sudah barang tentu peristiwa Ammar
bin Yasir, tidaklah untuk buru-buru dipergunakan sebagai alasan bagi generasi
yang kemudian guna mengelakkan serba kesulitan, setiap kali jika kelihatan ada
risikonya. Allah s.w.t. tidak bisa ditipu: Allah mengetahui apa yang
tersembunyi dalam hati seseorang. Amman bin Yasir sendiri bukanlah model orang
yang mau menipu Allah dan RasulNya. Ammar bin Yasir adalah salah seorang dari
orang yang pertama-tama mengikuti panggilan Rasul. Yasir melihat dihadapannya
sendiri bagaimana bapaknya mati disiksa, dan kemudian ibunya mati dibunuh pula.
Cukup tanda-tanda yang meyakinkan bahwa sang algojo tidak akan segan-segan membunuhnya
pula, sesudah mereka menyiksanya puas-puas. Dan diwaktu ditengah-tengah siksaan
yang dilakukan atas dirinya itu, dia mengucapkan kata-kata yang dipaksakan oleh
para penyiksanya itu, iman dan ‘aqiedahnya sedikitpun tidak bergoyah. Bukan
hingga itu saja! Setelah itu sisa umurnya yang ada dipergunakannya seluruhnya
untuk berjuang mempertahankan, menyuburkan dan menebarkan kurnia Ilahi berupa
iman dan ‘aqiedahnya, bersama-sama dengan para sahabat lainnya dibawah pimpinan
Rasulullah. Begitulah cara Amman bin Yasir mensyukuri kelonggaran bagi dirinya
yang telah diberikan oleh Allah dan Rasul-Nya.
--------------------------------------
Dibawah
Naungan Risalah, M. Natsir, Sinar Hudaya – Documenta, 1971