Merasa kesal melihat Muhammad s.a.w. dan sahabat-sahabatnya dianiaya demikian rupa, ia pergi menemui Zuhair bin Abi Umayya (Banu Makhzum). Ibnu Zuhair ini adalah Atika binti Abd’l-Muttalih (Banu Hasyim).
“Zuhair”, kata Hisyam. “Kau sudi menikmati makanan, pakaian dan wanita-wanita, padahal, seperti kau ketahui, keluarga ibumu demikian rupa tidak boleh berhubungan dengan orang, berjual-beli, tidak boleh saling mengawinkan? Aku bersumpah, bahwa kalau mereka itu keluargaku dari pihak ibu, keluarga Abu’l-Hakam ibn Hisyam, lalu aku diajak seperti mengajak kau, tentu akan kutolak.”
Keduanya kemudian sepakat akan sama-sama membatalkan piagam ini. Tapi meskipun begitu harus mendapat dukungan juga dari yang lain, dan secara rahasia mereka harus diyakinkan. Pendirian kedua orang itu kemudian disetujui oleh Mut’im bin ‘Adi (Naufal), Abu’l-Bakhtari bin Hisyam dan Zam’a bin’l-Aswad (keduanya dari Asad). Kelima mereka lalu sepakat akan mengatasi persoalan piagam itu dan akan membatalkannya.
Dengan tujuh kali mengelilingi Ka’bah keesokannya paginya Zuhair bin Umayya berseru kepada orang banyak: “Hai penduduk Mekah! Kamu sekalian enak-enak makan dan berpakaian padahal Banu Hasyim binasa tidak dapat mengadakan hubungan dagang! Demi Allah saya tidak akan duduk sebelum piagam yang kejam ini dirobek!”
Tetapi Abu Jahal, begitu mendengar ucapan itu, ia pun berteriak : “Bohong! Tidak akan kita robek!”
Saat itu juga terdengar suara-suara Zam’a, Abu’Bakhtari, Mut’im dan ‘Amr ibn Hisyam mendustakan Abu Jahal dann mendukung Zuhair.
Abu Jahal segera menyadari bahwa peristiwa ini akan terselesaikan juga malam itu dan orang pun sudah menyetujui Kalau dia menentang mereka juga, tentu akan timbul bencana. Merasa kuatir, lalu cepat-cepat ia pergi. Waktu itu, ketika Mut’im bersiap akan merobek piagam tersebut dilihatnya sudah mulai dimakan rayap, kecuali pada bagian pembukaannya yang berbunyi: “Atas nama-Mu ya Allah ….. “
Dengan demikian terdapat kesempatan pada Muhammad s.a.w. dan sahabat-sahabat pergi meninggalkan celah bukit yang curam itu dan kembali ke Mekah. Kesempatan berjual-beli dengan Quraisy juga terbuka, sekalipun hubungan antara keduanya seperti dulu juga, masing-masing siap-siaga bila permusuhan itu kelak sewaktu-waktu memuncak lagi.
Beberapa penulis biografi dalam hal ini berpendapat bahwa di antara mereka yang bertindak menghapuska piagam itu terdapat orang-orang yang masih menyembah berhala. Untuk menghindar timbulnya bencana, mereka mendatangi Muhammad s.a.w. dengan permintaan supaya ia mau saling mengulurkan tangan dengan Quraisy dengan misalnya memberi hormat kepada dewa-dewa mereka sekalipun cukup hanya dengan jari-jarinya saja dikelilingkan. Agak cenderung juga hatinya atas usul itu, sebagai pengharapan atas kebaikan hati mereka. Dalam hatinya seolah ia berkata: “Tidak apa kalau saya lakukan itu. Allah mengetahui bahwa saya tetap taat.”
Atau karena mereka yang telah menghapuskan piagam dan beberapa orang lagi itu, pada suatu malam mengadakan pertemuan dengan Muhammad s.a.w. sampai pagi. Dalam perbicaraan itu mereka sangat menghormatinya, menempatkannya sebagai yang dipertuan atas mereka, mengajaknya kompromi, seraya kata mereka : “Tuan adalah pemimpin kami …… “
Sementara mereka masih mengajaknya bicara itu, sampai-sampai hampir saja ia mengalah atas beberapa hal menurut kehendak mereka ini adalah dua sumber hadits, yang pertama sebagian diceritakan oleh Sa’id bin Jubair, sedang yang kedua oleh Qatada. Kata mereka kemudian Allah melindungi Muhammad s.a.w. dari kesalahan, dengan firman-Nya : “Dan hampir-hampir saja mereka itu menggoda kau tentang yang sudah Kami wahyukan kepadamu, supaya engkau mau atas nama Kami memalsukan dengan yang lain. Ketika itulah mereka mengambil engkau menjadi kawan mereka. Dan kalaupun tidak Kami tabahkan hatimu, niscaya engkau hampir cenderung juga kepada mereka barang sedikit. Dalam hal ini, akan Kami timpakan kepadamu hukuman berlipat ganda, dalam hidup dan mati. Selanjutnya engkau tiada mempunyai penolong menghadapi Kami” (Q.S. 17 : 73-75).
Ayat-ayat ini turun — menurut dugaan mereka yang membawa cerita gharaniq —sehubungan dengan cerita bohong itu seperti yang sudah kita lihat. Sedang kedua ahli hadits ini menghubungkannya pada cerita pembatalan piagam. Sebaliknya menurut hadits ‘Ata’ lewat Ibn ‘Abbas, ayat-ayat ini turun sehubungan dengan delegasi Thaqif, yang datang meminta kepada Muhammad s.a.w. supaya lembah mereka dianggap suci seperti
Pohon, burung dan binatang di Mekah. Dalam hal ini Nabi a.s. masih maju mundur sebelum ayat-ayat tersebut turun.
Apa pun juga yang sebenarnya terjadi, terhadap peristiwa yang menyebahkan turunnya ayat-ayat itu sumber-sumber tersebut tidak berbeda, yaitu melukiskan salah satu segi kebesaran jiwa Muhammad s.a.w., di samping kejujuran dan keikhlasannya, dengan suatu lukisan yang sungguh kuat sekali. Segi ini yang juga dilukiskan oleh ayat-ayat yang sudah kita kutipkan dan Surah “Abasa” (80) dan pula seluruh sejarah kehidupan Muhammad s.a.w. membuktikannya pula. Secara terus-terang dikatakan, bahwa dia adalah manusia biasa seperti yang lain, tapi yang telah mendapat wahyu Tuhan guna memberikan bimbingan, dan bahwa dia, sebagai manusia biasa, tidak luput dari kesalahan kalau tidak karena mendapat perlindungan Tuhan. Ia telah bersalah ketika bermuka masam dan berpaling dari Ibn Umm Maktum, dan hampir pula salah sehubungan dengan turunnya Surah “Isra” (17), juga hampir pula ia tergoda tentang apa yang telah diwahyukan kepadanya untuk dipalsukan dengan yang lain.
Apabila wahyu turun kepadanya memberi peringatan atas perbuatannya terhadap orang buta itu, dan terhadap godaan Quraisy yang hampir menjerumuskannya, maka kejujurannya dalam menyampaikan wahyu itu kepada orang sama pula seperti ketika menyampaikan amanat Tuhan itu. Tak ada sesuatu yang akan menghalanginya ia menyatakan apa yang sebenarnya tentang dirinya itu. Tak ada sikap sombong dan congkak, tidak ada rasa tinggi hati.
Jadi kebenaranlah, dan hanya kebenaran semata yang ada dalam risalahnya itu. Apabila dalam menanggung siksaan orang lain demi idea yang diyakininya, orang yang berjiwa besar masih sanggup memikulnya, maka pengakuan orang besar itu bahwa ia hampir-hampir tergoda, tidaklah menjadi kebiasaan, sekalipun oleh orang-orang besar sendiri. Hal-hal semacam itu biasanya oleh mereka disembunyikan dan yang diperhitungkan hanya harga dirinya, meskipun dengan susah payah. Inilah kebesaran yang tak ada taranya, lebih besar dari orang hesar. Itulah sebenarnya kebesaran jiwa yang dapat memperlihatkan kebenaran secara keseluruhan. Itulah yang juga lebih luhur dari segala kebesaran, dan lebih besar dari segala yang besar, yakni sifat kenabian yang menyertai Rasul itu dengan segala keikhlasan dan kejujurannya meneruskan Risalah Kebenaran Tertinggi.
Sesudah piagam disobek, Muhammad s.a.w. dan pengikut-pengikutnya pun keluar dari lembah bukit-bukit itu. Seruannya dikumandangkan lagi kepada penduduk Mekah dan kepada kabilah-kabilah yang pada bulan bulan suci itu datang berziarah ke Mekah. Meskipun ajakan Muhammad s.a.w. sudah tersiar kepada seluruh kabilah Arab di samping banyaknya mereka yang sudah menjadi pengikutnya tapi sahabat-sahabat itu tidak selamat dari siksaan Quraisy, juga dia tidak dapat mencegahnya.
-----------------------------------------------------------
SEJARAH HIDUP MUHAMMAD, Muhammad Husain Haekal, diterbitkan oleh Litera Antar Nusa, Cetakan Kesebelas, Januari 1990, halaman 143-146