Sesudah peristiwa itu gangguan Quraisy kepada Muhammad makin menjadi-jadi. Ia merasa tertekan sekali. Terasing seorang diri, ia pergi ke Taif (At-Ta’if sebuah kota dan pusat musim panas dengan ketinggian 1520 m. dari permukaan laut, lebih kurang 60 km. timur laut Mekah), dengan tiada orang yang mengetahuinya. Ia pergi ingin mendapatkan dukungan dan suaka dari Thaqif terhadap masyarakatnya sendiri, dengan harapan mereka pun akan dapat menerima Islam. Tetapi ternyata mereka juga menolaknya secara kejam sekali. Kalaupun sudah begitu, ia masih mengharapkan mereka jangan memberitahukan kedatangannya minta pertolongan itu, supaya jangan ia disoraki oleh masyarakatnya sendiri. Tetapi permintaannya itu pun tidak didengar. Bahkan mereka menghasut orang-orang pandir agar bersorak-sorai dan memakinya.
Ia pergi lagi dari sana, berlindung pada sebuah kebun kepunyaan ‘Utba dan Syaiba anak-anak Rabi’a. Orang-orang yang pandir itu kembali pulang. Ia lalu duduk di bawah naungan pohon anggur. Ketika itu keluarga Rabi’a sedang memperhatikannya dan melihat pula kemalangan yang dideritanya Sesudah agak reda, ia mengangkat kepala menengadah ke atas, ia hanyut dalam suatu doa yang berisi pengaduan yang sangat mengharukan :
“Allahumma ya Allah, kepada-Mu juga aku mengadukan kelemahanku, kurangnya kemampuanku serta kehinaan diriku di hadapan manusia. O Tuhan Maha Pengasih, Maha Penyayang. Engkaulah yang melindungi si lemah dan Engkaulah Pelindungku. Kepada siapa hendak Kuserahkan daku? Kepada orang yang jauhkah yang berwajah muram kepadaku, atau kepada musuh yang akan menguasai diriku? Asalkan Engkau tidak murka kepadaku, aku tidak peduli, sebab sungguh luas kenikmatan yang Kau limpahkan kepadaku. Aku berlindung kepada Nur Wajah-Mu yang menyinari kegelapan, dan karenanya membawakan kebaikan bagi dunia dan akhirat - daripada kemurkaan-Mu yang akan Kau timpakan kepadaku. Engkaulah yang berhak menegur hingga berkenan pada-Mu. Dan tiada daya upaya selain dengan Engkau juga.” (Doa ini dikenal dengan nama “Doa Ta’if”).
Dalam memperhatikan keadaan itu hati kedua orang anak Rabi’a itu merasa tersentak. Mereka merasa iba dan kasihan melihat nasib buruk yang dialaminya itu. Budak mereka, seorang beragama Nasrani bernama ‘Addas, diutus kepadanya membawakan buah anggur dari kebun itu. Sambil meletakkan tangan di atas buah-buahan itu Muhammad berkata : “Bismillah!” Lalu buah itu dimakannya.
‘Addas memandangnya keheranan.
“Kata-kata ini tak pernah diucapkan oleh penduduk negeri ini”, kata ‘Addas.
Lalu Muhammad menanyakan negeri asal dan agama orang itu. Setelah diketahui bahwa orang tersebut beragama Nasrani dari Nineveh, katanya : “Dari negeri orang baik-baik, Yunus anak Matta.”
“Dan mana tuan kenal nama Yunus anak Matta?” tanya ‘Addas.
“Dia saudaraku. Dia seorang nabi, dan aku juga Nabi”, jawab Muhammad.
Saat itu ‘Addas lalu membungkuk mencium kepala, tangan dan kaki Muhammad. Sudah tentu kejadian ini menimbulkan keheranan keluarga Rabi’a yang melihatnya. Sungguhpun begitu mereka tidak sampai akan meninggalkan kepercayaan mereka. Dan tatkala ‘Addas sudah kembali mereka berkata :
“Addas, jangan sampai orang itu memalingkan kau dari agamamu yang masih lebih baik daripada agamanya.”
-----------------------------------------------------------------
SEJARAH HIDUP MUHAMMAD, Muhammad Husain Haekal, diterbitkan oleh Litera Antar Nusa, Cetakan Kesebelas, Januari 1990, halaman 148-150
Ia pergi lagi dari sana, berlindung pada sebuah kebun kepunyaan ‘Utba dan Syaiba anak-anak Rabi’a. Orang-orang yang pandir itu kembali pulang. Ia lalu duduk di bawah naungan pohon anggur. Ketika itu keluarga Rabi’a sedang memperhatikannya dan melihat pula kemalangan yang dideritanya Sesudah agak reda, ia mengangkat kepala menengadah ke atas, ia hanyut dalam suatu doa yang berisi pengaduan yang sangat mengharukan :
“Allahumma ya Allah, kepada-Mu juga aku mengadukan kelemahanku, kurangnya kemampuanku serta kehinaan diriku di hadapan manusia. O Tuhan Maha Pengasih, Maha Penyayang. Engkaulah yang melindungi si lemah dan Engkaulah Pelindungku. Kepada siapa hendak Kuserahkan daku? Kepada orang yang jauhkah yang berwajah muram kepadaku, atau kepada musuh yang akan menguasai diriku? Asalkan Engkau tidak murka kepadaku, aku tidak peduli, sebab sungguh luas kenikmatan yang Kau limpahkan kepadaku. Aku berlindung kepada Nur Wajah-Mu yang menyinari kegelapan, dan karenanya membawakan kebaikan bagi dunia dan akhirat - daripada kemurkaan-Mu yang akan Kau timpakan kepadaku. Engkaulah yang berhak menegur hingga berkenan pada-Mu. Dan tiada daya upaya selain dengan Engkau juga.” (Doa ini dikenal dengan nama “Doa Ta’if”).
Dalam memperhatikan keadaan itu hati kedua orang anak Rabi’a itu merasa tersentak. Mereka merasa iba dan kasihan melihat nasib buruk yang dialaminya itu. Budak mereka, seorang beragama Nasrani bernama ‘Addas, diutus kepadanya membawakan buah anggur dari kebun itu. Sambil meletakkan tangan di atas buah-buahan itu Muhammad berkata : “Bismillah!” Lalu buah itu dimakannya.
‘Addas memandangnya keheranan.
“Kata-kata ini tak pernah diucapkan oleh penduduk negeri ini”, kata ‘Addas.
Lalu Muhammad menanyakan negeri asal dan agama orang itu. Setelah diketahui bahwa orang tersebut beragama Nasrani dari Nineveh, katanya : “Dari negeri orang baik-baik, Yunus anak Matta.”
“Dan mana tuan kenal nama Yunus anak Matta?” tanya ‘Addas.
“Dia saudaraku. Dia seorang nabi, dan aku juga Nabi”, jawab Muhammad.
Saat itu ‘Addas lalu membungkuk mencium kepala, tangan dan kaki Muhammad. Sudah tentu kejadian ini menimbulkan keheranan keluarga Rabi’a yang melihatnya. Sungguhpun begitu mereka tidak sampai akan meninggalkan kepercayaan mereka. Dan tatkala ‘Addas sudah kembali mereka berkata :
“Addas, jangan sampai orang itu memalingkan kau dari agamamu yang masih lebih baik daripada agamanya.”
-----------------------------------------------------------------
SEJARAH HIDUP MUHAMMAD, Muhammad Husain Haekal, diterbitkan oleh Litera Antar Nusa, Cetakan Kesebelas, Januari 1990, halaman 148-150
Tidak ada komentar:
Posting Komentar