Tahun 622 M. Jemaah haji dari Yathrib praktis jumlahnya banyak sekali, terdiri dari tujuh puluh lima orang, tujuh puluh tiga pria dan dua wanita. Mengetahui kedatangan mereka ini, terpikir oleh Muhammad akan mengadakan suatu ikrar lagi, tidak terbatas hanya pada seruan kepada Islam seperti selama ini, yang selama tiga belas tahun ini terus-menerus dilakukannya, dengan lemah-lembut, dengan segala kesabaran menanggung pelbagai macam pengorbanan dan kesakitan — melainkan kini lebih jauh lagi dari itu. Ikrar itu hendaknya menjadi suatu pakta persekutuan, yang dengan demikian kaum Muslimin dapat mempertahankan diri : pukulan dibalas dengan pukulan, serangan dengan serangan. Muhammad lalu mengadakan pertemuan rahasia dengan pemimpin- pemimpin mereka.
Setelah ada kesediaan mereka, dijanjikannya pertemuan itu akan diadakan di ‘Aqaba pada tengah malam pada hari-hari Tasyriq (Hari-hari Tasyriq ialah tiga hari berturut-turut setelah Hari Raya Kurban (lebaran Haji)). Peristiwa ini oleh Muslimin Yathrib tetap dirahasiakan dari kaum musyrik yang datang bersama-sama mereka. Menunggu sampai lewat sepertiga malam dari janji mereka dengan Nabi, mereka keluar meninggalkan kemah, pergi mengendap-endap seperti burung ayam-ayam, sembunyi-sembunyi jangan sampai rahasia itu terbongkar.
Sesampai mereka di gunung ‘Aqaba, mereka semua memanjati lereng-lereng gunung tersebut, demikian juga kedua wanita itu. Mereka tinggal di tempat ini menunggu kedatangan Rasul.
Kemudian Muhammad pun datang, bersama pamannya ‘Abbas bin Abd’l-Muttalib — yang pada waktu itu masih menganut kepercayaan golongannya sendiri. Akan tetapi sejak sebelum itu ia sudah mengetahui dari kemenakannya ini akan adanya suatu pakta persekutuan; di adakalanya hal ini dapat mengakibatkan perang. Disebutkan juga, bahwa dia sudah mengadakan perjanjian dengan Keluarga Muttalib dan Keluarga Hasyim untuk melindungi Muhammad. Maka dimintanya ketegasan kemanakannya itu dan ketegasan golongannya sendiri, supaya jangan kelak timbul bencana yang akan menimpa Keluarga Hasyim dan Keluarga Muttalib, dan dengan demikian berarti orang-orang Yathrib itu akan kehilangan pembela. Atas dasar itulah, maka ‘Abbas yang pertama kali bicara :
“Saudara-saudara dari Khazraj !“ kata ‘Abbas. “Posisi Muhammad di tengah-tengah kami sudah sama-sama tuan-tuan ketahui. Kami dan mereka yang sepaham dengan kami telah melindunginya dari gangguan masyarakat kami sendiri. Dia adalah orang yang terhormat di kalangan masyarakatnya dan mempunyai kekuatan di negerinya sendiri. Tetapi dia ingin bergabung dengan tuan-tuan juga. Jadi kalau memang tuan-tuan merasa dapat menepati janji seperti yang tuan-tuan berikan kepadanya itu dan dapat melindunginya dari mereka yang menentangnya, maka silakanlah tuan-tuan laksanakan. Akan tetapi, kalau tuan-tuan akan menyerahkan dia dan membiarkannya terlantar sesudah berada di tempat tuan-tuan, maka dari sekarang lebih baik tinggalkan sajalah.”
Setelah mendengar keterangan ‘Abbas pihak Yathrib menjawab : “Sudah kami dengar apa yang tuan katakan. Sekarang silakan Rasulullah bicara. Kemukakanlah apa yang tuan senangi dan disenangi Tuhan.”
Setelah membacakan ayat-ayat Quran dan memberi semangat Islam, Muhammad menjawab : “Saya minta ikrar tuan-tuan akan membela saya seperti membela istri-istri dan anak-anak tuan-tuan sendiri.”
Ketika itu Al-Bara’ bin Ma’rur hadir. Dia seorang pemimpin masyarakat dan yang tertua di antara mereka. Sejak ikrar ‘Aqaba pertama ia sudah Islam, dan menjalankan semua kewajiban agama, kecuali dalam sholat ia berkiblat ke Ka’bah, sedang Muhammad dan seluruh kaum Muslimin waktu itu masih berkiblat ke Al-Masjid’l-Aqsha. Oleh karena ia berselisih pendapat dengan masyarakatnya sendiri, begitu mereka sampai di Mekah segera mereka minta pertimbangan Nabi Muhammad melarang Al-Bara’ berkiblat ke Ka’bah.
------------------------------------------------------------
SEJARAH HIDUP MUHAMMAD, Muhammad Husain Haekal, diterbitkan oleh Litera Antar Nusa, Cetakan Kesebelas, Januari 1990, halaman 169-171
Setelah ada kesediaan mereka, dijanjikannya pertemuan itu akan diadakan di ‘Aqaba pada tengah malam pada hari-hari Tasyriq (Hari-hari Tasyriq ialah tiga hari berturut-turut setelah Hari Raya Kurban (lebaran Haji)). Peristiwa ini oleh Muslimin Yathrib tetap dirahasiakan dari kaum musyrik yang datang bersama-sama mereka. Menunggu sampai lewat sepertiga malam dari janji mereka dengan Nabi, mereka keluar meninggalkan kemah, pergi mengendap-endap seperti burung ayam-ayam, sembunyi-sembunyi jangan sampai rahasia itu terbongkar.
Sesampai mereka di gunung ‘Aqaba, mereka semua memanjati lereng-lereng gunung tersebut, demikian juga kedua wanita itu. Mereka tinggal di tempat ini menunggu kedatangan Rasul.
Kemudian Muhammad pun datang, bersama pamannya ‘Abbas bin Abd’l-Muttalib — yang pada waktu itu masih menganut kepercayaan golongannya sendiri. Akan tetapi sejak sebelum itu ia sudah mengetahui dari kemenakannya ini akan adanya suatu pakta persekutuan; di adakalanya hal ini dapat mengakibatkan perang. Disebutkan juga, bahwa dia sudah mengadakan perjanjian dengan Keluarga Muttalib dan Keluarga Hasyim untuk melindungi Muhammad. Maka dimintanya ketegasan kemanakannya itu dan ketegasan golongannya sendiri, supaya jangan kelak timbul bencana yang akan menimpa Keluarga Hasyim dan Keluarga Muttalib, dan dengan demikian berarti orang-orang Yathrib itu akan kehilangan pembela. Atas dasar itulah, maka ‘Abbas yang pertama kali bicara :
“Saudara-saudara dari Khazraj !“ kata ‘Abbas. “Posisi Muhammad di tengah-tengah kami sudah sama-sama tuan-tuan ketahui. Kami dan mereka yang sepaham dengan kami telah melindunginya dari gangguan masyarakat kami sendiri. Dia adalah orang yang terhormat di kalangan masyarakatnya dan mempunyai kekuatan di negerinya sendiri. Tetapi dia ingin bergabung dengan tuan-tuan juga. Jadi kalau memang tuan-tuan merasa dapat menepati janji seperti yang tuan-tuan berikan kepadanya itu dan dapat melindunginya dari mereka yang menentangnya, maka silakanlah tuan-tuan laksanakan. Akan tetapi, kalau tuan-tuan akan menyerahkan dia dan membiarkannya terlantar sesudah berada di tempat tuan-tuan, maka dari sekarang lebih baik tinggalkan sajalah.”
Setelah mendengar keterangan ‘Abbas pihak Yathrib menjawab : “Sudah kami dengar apa yang tuan katakan. Sekarang silakan Rasulullah bicara. Kemukakanlah apa yang tuan senangi dan disenangi Tuhan.”
Setelah membacakan ayat-ayat Quran dan memberi semangat Islam, Muhammad menjawab : “Saya minta ikrar tuan-tuan akan membela saya seperti membela istri-istri dan anak-anak tuan-tuan sendiri.”
Ketika itu Al-Bara’ bin Ma’rur hadir. Dia seorang pemimpin masyarakat dan yang tertua di antara mereka. Sejak ikrar ‘Aqaba pertama ia sudah Islam, dan menjalankan semua kewajiban agama, kecuali dalam sholat ia berkiblat ke Ka’bah, sedang Muhammad dan seluruh kaum Muslimin waktu itu masih berkiblat ke Al-Masjid’l-Aqsha. Oleh karena ia berselisih pendapat dengan masyarakatnya sendiri, begitu mereka sampai di Mekah segera mereka minta pertimbangan Nabi Muhammad melarang Al-Bara’ berkiblat ke Ka’bah.
------------------------------------------------------------
SEJARAH HIDUP MUHAMMAD, Muhammad Husain Haekal, diterbitkan oleh Litera Antar Nusa, Cetakan Kesebelas, Januari 1990, halaman 169-171
Tidak ada komentar:
Posting Komentar