Di dalam al-Qur'an surat al-Baqarah
(2) : 195, Allah ta'ala memberikan aturan dalam berjihad fi-sabilillah dalam firman-Nya :
وَأَنفِقُوا۟ فِى سَبِيلِ اللَّـهِ
وَلَا تُلْقُوا۟ بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ ۛ وَأَحْسِنُوٓا۟ ۛ
إِنَّ اللَّـهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
Dan nafkahkanlah (harta) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan (dirimu sendiri) dengan tanganmu ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah; karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. (195).
Asbabun Nuzul
Dalam suatu riwayat yang bersumber dari Huzaifah dikemukakan bahwa ayat ini (QS. 2 : 195) turun berkenaan dengan hukum nafakah. (HR. Bukhari).
Dalam riwayat lain yang bersumber dari Abu Ayyub al-Anshari mengemukakan peristiwa ketika Islam telah berjaya dan berlimpah pengikutnya, kaum Anshar berbisik kepada sesamanya : "Harta kita telah habis, dan Allah telah menjayakan Islam. Bagaimana sekiranya kita membangun dan memperbaiki ekonomi kembali?" Maka turunlah ayat tersebut diatas (QS. 2 : 195) sebagai teguran kepada mereka, jangan menjerumuskan diri pada tahlukah (meninggalkan kewajiban fi sabilillah dan berusaha menumpuk-numpuk harta). (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Hibban dan al-Hakim).
Dalam riwayat lain yang bersumber dari Abi Jubaitah bin Dlahhak dikemukakan peristiwa tentang kaum Anshar yang terkenal gemar bersadaqah dengan mengeluarkan harta kekayaan sebanyak-banyaknya. Di saat paceklik (musim kelaparan), mereka tidak lagi memberikan sadaqah. Maka turunlah ayat tersebut diatas (QS. 2 : 195). (HR. ath-Thabarani).
Menurut riwayat lain yang bersumber dari an-Nu'man bin Basyir, tersebutlah seorang yang menganggap bahwa Allah tidak akan mengampuni dosa yang pernah dilakukannya. Maka turunlah "wala tulqu biaidikum ilat-tahlukah". (HR. ath-Thabarani, al-Hakim meriwayatkan hal senada yang bersumber dari al-Barra).
Dalam riwayat lain yang bersumber dari Abu Ayyub al-Anshari mengemukakan peristiwa ketika Islam telah berjaya dan berlimpah pengikutnya, kaum Anshar berbisik kepada sesamanya : "Harta kita telah habis, dan Allah telah menjayakan Islam. Bagaimana sekiranya kita membangun dan memperbaiki ekonomi kembali?" Maka turunlah ayat tersebut diatas (QS. 2 : 195) sebagai teguran kepada mereka, jangan menjerumuskan diri pada tahlukah (meninggalkan kewajiban fi sabilillah dan berusaha menumpuk-numpuk harta). (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Hibban dan al-Hakim).
Dalam riwayat lain yang bersumber dari Abi Jubaitah bin Dlahhak dikemukakan peristiwa tentang kaum Anshar yang terkenal gemar bersadaqah dengan mengeluarkan harta kekayaan sebanyak-banyaknya. Di saat paceklik (musim kelaparan), mereka tidak lagi memberikan sadaqah. Maka turunlah ayat tersebut diatas (QS. 2 : 195). (HR. ath-Thabarani).
Menurut riwayat lain yang bersumber dari an-Nu'man bin Basyir, tersebutlah seorang yang menganggap bahwa Allah tidak akan mengampuni dosa yang pernah dilakukannya. Maka turunlah "wala tulqu biaidikum ilat-tahlukah". (HR. ath-Thabarani, al-Hakim meriwayatkan hal senada yang bersumber dari al-Barra).
Tafsir Ayat
QS. 2 : 195. "Dan nafkahkanlah (harta) di jalan Allah, ...". Menghadapi peperangan, tentulah pembelanjaan akan berlipat ganda dari biasa. Pada saat-saat seperti demikian sangatlah dikehendaki kesanggupan berkurban. Sekali-kali jangan bakhil. Apatah lagi perang dalam menegakkan jalan Allah. Dia meminta pengorbanan harta dan jiwa. "..., dan janganlah kamu
menjatuhkan (dirimu sendiri) dengan tanganmu ke dalam kebinasaan, ...". Binasa karena bakhil, takut mengeluarkan uang, malas berkurban. Karena kemalasan berkurban musuh dapat leluasa. Perang meminta perlengkapan senjata dan pembekalan makanan. Seluruh masyarakat pada waktu itu wajib bersedia susah untuk mencapai kemenangan. Kelalaian pun membawa binasa. Apabila perang hendaklah wajib mempelajari segala siasat perang. Siasat penyerbuan, pertahanan, pengepungan dan penaklukan musuh. Diantaranya ialah tunduk dan patuh kepada komando pimpinan. Semangat berkobar, jika ilmu perang tidak diketahui, tidak satu komando atau bertindak sendiri-sendiri akan melempar diri ke dalam kebinasaan. Belajarlah dari perang Uhud. "..., dan
berbuat baiklah; ...". Majukanlah perbaikan, karena wa ahsinu berarti selalu berbuat baik dan selalu memperbaiki, maka banyaklah maksud yang terkandung di dalamnya. Tersimpul pula kata Ihsan. Terhadap Allah kamu beribadah seakan-akan melihat-Nya. Tetapi jika tidak dapat dilakukan, yakinlah Allah tetap melihat kamu. Dengan dasar yang demikian, orang-orang beriman selalu memperbaiki mutu amalnya, mutu ibadatnya dan dalam soal peperangan, maka memperbaiki mutu segala hal soal peperangan. "...; karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
berbuat baik". Teranglah soal wahyu Tuhan berkenaan dengan peperangan untuk membela agama dan melancarkan dakwah, ini menjadi dasar bagi kaum Muslimin dalam menegakkan agamanya. Bahkan kepada intisari ayat ini jugalah orang akan kembali, disukai Allah karena berbuat kebaikan.
---------------
Bibliography :
Asbabun Nuzul, KH Qomaruddin, Penerbit CV. Diponegoro Bandung, Cetakan ke-5, 1985, halaman 62 - 63.
Tafsir Al-Azhar Juzu' 2, Prof Dr. Haji Abdulmalik Abdulkarim Amrullah (Hamka), Penerbit PT. Pustaka Panjimas Jakarta, cetakan September 1987, halaman 156 - 157.
Al Qur'an Terjemahan Indonesia, Tim DISBINTALAD (Drs. H.A. Nazri Adlany, Drs. H. Hanafie Tamam dan Drs. H.A. Faruq Nasution); Penerbit P.T. Sari Agung Jakarta, cetakan ke tujuh 1994, halaman 30.
Bibliography :
Asbabun Nuzul, KH Qomaruddin, Penerbit CV. Diponegoro Bandung, Cetakan ke-5, 1985, halaman 62 - 63.
Tafsir Al-Azhar Juzu' 2, Prof Dr. Haji Abdulmalik Abdulkarim Amrullah (Hamka), Penerbit PT. Pustaka Panjimas Jakarta, cetakan September 1987, halaman 156 - 157.
Al Qur'an Terjemahan Indonesia, Tim DISBINTALAD (Drs. H.A. Nazri Adlany, Drs. H. Hanafie Tamam dan Drs. H.A. Faruq Nasution); Penerbit P.T. Sari Agung Jakarta, cetakan ke tujuh 1994, halaman 30.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar