Tulisan H. Rosihan Anwar dalam buku “DEMI DA’WAH”, terbitan PT. Al-Ma’arif Bandung cetakan pertama, 1976, halaman 4 – 7
Dalam percakapan sehari-hari perkataan “santri” mempunyai dua makna: (1) seorang yang jadi murid pada sebuah pondok pesantren, menuntut ilmu Agama dan pemimpin pondok itu yakni seorang Kiyai; (2) seorang yang saleh, ta’at beragama; dalam kehidupannya menunaikan Arkanul Islam seperti sembahyang lima kali sehari, membayar zakat, berpuasa, dan jika mampu naik Haji.
Sebaliknya, seorang “abangan” meskipun ia penganut agama Islam, tidak begitu saleh dan alim, tidak begitu sungguh-sungguh memperlakukan Agama, tidak merasa perlu bersembahyang Jum’at, berpuasa, dan lain-lain.
Oleh karena itu dikatakan, apabila si-santri digolongkan kepada “Islam-yakin” sebaliknya si-abangan termasuk “Islam-statitik”. Ada juga dipakai sebutan lain buat membeda-bedakan mereka yakni kaum putihan dan kaum abangan.
Di masyarakat pedesaan seperti ditunjukkan oleh hasil penelitian Prof. Jay di desa “Modjokuto” tidak selalu diberi pengertian yang sama seperti di atas tadi kepada istilah santri. (“Modjukuto” ialah nama samaran; sesungguhnya yang dimaksud ialah Pare di Jawa Timur, tempat team penelitian Massachusetts Institute of Technology (MIT) menghimpun data di tahun 1953-1954, dan dalam team itu termasuk antara lain Prof. Jay, Geertz). Juga di sana santri tidak dibedakan dari abangan, akan tetapi dari tani. Santri ialah orang yang karena kelebihan pendidikan yakni pendidikan secara tradisionil, merasa dirinya atau umumnya diakui demikian, berada di atas tani pekerja biasa. Selain daripada itu rakyat di desa umumnya tidak suka berbicara tentang penggolongan santri dan abangan. Akan tetapi kalau sesudah dengan susah payah ditanyakan kepadanya, dan akhirnya dia mau juga bicara, maka keluarlah pengakuan, bahwa si Anu itu ialah “wong muslimin” (orang yang salat di depan umum) atau “wong Islam” atau dikatakan “wong Arab” “wong santri” “wong Islam tulen” sedangkan sebaliknya si Polan ialah “asli-Jawi” atau “wong Islam Jawa” atau “wong penduduk”.
Adapun Prof. Geertz melukiskan perbedaan antara santri dengan abangan itu dengan melihat kepada dua bidang yakni:
(1) bidang doktrin, ajaran agama;
(2) bidang organisasi sosial.
Demikianlah seorang abangan bersikap rada acuh tak acuh terhadap doktrin, ajaran agama, berlainan halnya dengan seorang santri. Seorang abangan tertarik perhatiannya dan usahanya terutama oleh soal-soal “ritual”, upacara, seperti kapan harus mengadakan slametan, makanan apa yang disajikan pada slametan itu, dan sebagainya. Sedangkan pada santri soal-soal “ritual” itu ialah sembahyang lima waktu, dan perhatiannya tertarik oleh penafiran moral dan sosial dari pada ajaran atau doktrin Islam.
Seorang abangan lebih bersikap toleran atau tasamuh terhadap aqidah keagamaan, sedangkan seorang santri terutama yang berdiam di kota - bersikap apologetik atau mu‘tadzir; pembelaan terhadap Islam sebagai suatu kode etik yang lebih superior bagi manusia modern, sebagai suatu doktrin sosial yang cocok bagi masyarakat modern dan menjadi sumber subur bagi nilai-nilai kebudayaan modern sangat penting kedudukannya dalam alam pikiran santri.
Perbedaan dalam bidang organisasi sosial tampak dalam titik berat yang diberikan oleh abangan, yang menganggap rumah tangga - suami, isteri dan anak-anaknya - sebagai kesatuan sosial yang azasi, sedangkan bagi santri yang penting ialah ummat. Islam dilihatnya sebagai suatu kumpulan lingkaran sosial yang konsentris, masyarakat yang kian meluas: Mojokuto, Jawa, Indonesia, seantero Dunia Islam, yang tersebar dan tempat berpijak masing-masing santri.
Maka untuk mengulangi dapatlah dikatakan, bahwa terdapat dua ciri pokok pada pola keagamaan santri yakni:
(1) mementingkan ajaran (dokfrin) serta apologi;
(2) mementingkan organisasi sosial, ummat, dan sebagainya.
Dengan demikian ia berbeda dari abangan.
Para sarjana ilmu sosial menggunakan cara peristilahan atau sebutan lain untuk membeda-bedakan santri dan abangan yakni istilah “orthodox” dan istilah “syncretist”.
Orthodox berasal dari perkataan Yunani klasik “orthodoxos” (orthos = benar; doxa = pendapat, opini) dalam hal ini dipakai dalam makna “sehat dalam aqidah, kepercayaan; sehat dalam opini keagamaan dan doktrin”. Maka apabila dikatakan, bahwa santri adalah “orthodox”, maka hal itu tidak boleh diartikan, dia kolot, kuno, akan tetapi bahwa dengan berpegang kepada Qur’an dan Hadits pendapatnya dalam soal-soal keagamaan adalah sehat.
Seorang “syncretist” ialah orang yang mencoba mencampuradukkan aqidah atau doktrin-doktrin yang tidak cocok satu sama lain ke dalam satu sistim. Prinsip-prinsip yang sebetulnya bertentangan dan tidak dapat saling dipertemukan digodoknya menjadi ibarat makanan gado-gado. Orang seperti Haji Datuk Batuah di Sumatera Barat, yang terkenal sebagai “Haji Merah”, yang di tahun 1920-an mengatakan, bahwa ajaran Komunisme dapat diterima oleh ajaran Islam, oleh karena baik Islam, maupun Komunisme mempunyai musuh yang sama yakni kapitalisme dan imperialisme, sebenarnya adalah seorang “syncretist”. Begitu juga orang yang memadukan kepercayaan kepada dewa-dewa Hinduisme ke dalam kepercayaan Islam akan Tuhan Yang Maha Esa ialah seorang “syncretist”. Seorang abangan tidak bebas dari pengaruh syncretisme itu, dan hal ini menyebabkan dia dianggap “belum tulen Islam” oleh si-santri.
Apakah sebabnya timbul gejala abangan di masyaiakat Islam di Jawa? Untuk menjawab pertanyaan ini marilah kita mengadakan tinjauan selayang pandang terhadap sejarah Jawa.
Dalam percakapan sehari-hari perkataan “santri” mempunyai dua makna: (1) seorang yang jadi murid pada sebuah pondok pesantren, menuntut ilmu Agama dan pemimpin pondok itu yakni seorang Kiyai; (2) seorang yang saleh, ta’at beragama; dalam kehidupannya menunaikan Arkanul Islam seperti sembahyang lima kali sehari, membayar zakat, berpuasa, dan jika mampu naik Haji.
Sebaliknya, seorang “abangan” meskipun ia penganut agama Islam, tidak begitu saleh dan alim, tidak begitu sungguh-sungguh memperlakukan Agama, tidak merasa perlu bersembahyang Jum’at, berpuasa, dan lain-lain.
Oleh karena itu dikatakan, apabila si-santri digolongkan kepada “Islam-yakin” sebaliknya si-abangan termasuk “Islam-statitik”. Ada juga dipakai sebutan lain buat membeda-bedakan mereka yakni kaum putihan dan kaum abangan.
Di masyarakat pedesaan seperti ditunjukkan oleh hasil penelitian Prof. Jay di desa “Modjokuto” tidak selalu diberi pengertian yang sama seperti di atas tadi kepada istilah santri. (“Modjukuto” ialah nama samaran; sesungguhnya yang dimaksud ialah Pare di Jawa Timur, tempat team penelitian Massachusetts Institute of Technology (MIT) menghimpun data di tahun 1953-1954, dan dalam team itu termasuk antara lain Prof. Jay, Geertz). Juga di sana santri tidak dibedakan dari abangan, akan tetapi dari tani. Santri ialah orang yang karena kelebihan pendidikan yakni pendidikan secara tradisionil, merasa dirinya atau umumnya diakui demikian, berada di atas tani pekerja biasa. Selain daripada itu rakyat di desa umumnya tidak suka berbicara tentang penggolongan santri dan abangan. Akan tetapi kalau sesudah dengan susah payah ditanyakan kepadanya, dan akhirnya dia mau juga bicara, maka keluarlah pengakuan, bahwa si Anu itu ialah “wong muslimin” (orang yang salat di depan umum) atau “wong Islam” atau dikatakan “wong Arab” “wong santri” “wong Islam tulen” sedangkan sebaliknya si Polan ialah “asli-Jawi” atau “wong Islam Jawa” atau “wong penduduk”.
Adapun Prof. Geertz melukiskan perbedaan antara santri dengan abangan itu dengan melihat kepada dua bidang yakni:
(1) bidang doktrin, ajaran agama;
(2) bidang organisasi sosial.
Demikianlah seorang abangan bersikap rada acuh tak acuh terhadap doktrin, ajaran agama, berlainan halnya dengan seorang santri. Seorang abangan tertarik perhatiannya dan usahanya terutama oleh soal-soal “ritual”, upacara, seperti kapan harus mengadakan slametan, makanan apa yang disajikan pada slametan itu, dan sebagainya. Sedangkan pada santri soal-soal “ritual” itu ialah sembahyang lima waktu, dan perhatiannya tertarik oleh penafiran moral dan sosial dari pada ajaran atau doktrin Islam.
Seorang abangan lebih bersikap toleran atau tasamuh terhadap aqidah keagamaan, sedangkan seorang santri terutama yang berdiam di kota - bersikap apologetik atau mu‘tadzir; pembelaan terhadap Islam sebagai suatu kode etik yang lebih superior bagi manusia modern, sebagai suatu doktrin sosial yang cocok bagi masyarakat modern dan menjadi sumber subur bagi nilai-nilai kebudayaan modern sangat penting kedudukannya dalam alam pikiran santri.
Perbedaan dalam bidang organisasi sosial tampak dalam titik berat yang diberikan oleh abangan, yang menganggap rumah tangga - suami, isteri dan anak-anaknya - sebagai kesatuan sosial yang azasi, sedangkan bagi santri yang penting ialah ummat. Islam dilihatnya sebagai suatu kumpulan lingkaran sosial yang konsentris, masyarakat yang kian meluas: Mojokuto, Jawa, Indonesia, seantero Dunia Islam, yang tersebar dan tempat berpijak masing-masing santri.
Maka untuk mengulangi dapatlah dikatakan, bahwa terdapat dua ciri pokok pada pola keagamaan santri yakni:
(1) mementingkan ajaran (dokfrin) serta apologi;
(2) mementingkan organisasi sosial, ummat, dan sebagainya.
Dengan demikian ia berbeda dari abangan.
Para sarjana ilmu sosial menggunakan cara peristilahan atau sebutan lain untuk membeda-bedakan santri dan abangan yakni istilah “orthodox” dan istilah “syncretist”.
Orthodox berasal dari perkataan Yunani klasik “orthodoxos” (orthos = benar; doxa = pendapat, opini) dalam hal ini dipakai dalam makna “sehat dalam aqidah, kepercayaan; sehat dalam opini keagamaan dan doktrin”. Maka apabila dikatakan, bahwa santri adalah “orthodox”, maka hal itu tidak boleh diartikan, dia kolot, kuno, akan tetapi bahwa dengan berpegang kepada Qur’an dan Hadits pendapatnya dalam soal-soal keagamaan adalah sehat.
Seorang “syncretist” ialah orang yang mencoba mencampuradukkan aqidah atau doktrin-doktrin yang tidak cocok satu sama lain ke dalam satu sistim. Prinsip-prinsip yang sebetulnya bertentangan dan tidak dapat saling dipertemukan digodoknya menjadi ibarat makanan gado-gado. Orang seperti Haji Datuk Batuah di Sumatera Barat, yang terkenal sebagai “Haji Merah”, yang di tahun 1920-an mengatakan, bahwa ajaran Komunisme dapat diterima oleh ajaran Islam, oleh karena baik Islam, maupun Komunisme mempunyai musuh yang sama yakni kapitalisme dan imperialisme, sebenarnya adalah seorang “syncretist”. Begitu juga orang yang memadukan kepercayaan kepada dewa-dewa Hinduisme ke dalam kepercayaan Islam akan Tuhan Yang Maha Esa ialah seorang “syncretist”. Seorang abangan tidak bebas dari pengaruh syncretisme itu, dan hal ini menyebabkan dia dianggap “belum tulen Islam” oleh si-santri.
Apakah sebabnya timbul gejala abangan di masyaiakat Islam di Jawa? Untuk menjawab pertanyaan ini marilah kita mengadakan tinjauan selayang pandang terhadap sejarah Jawa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar