Allah berfirman: (QS. Ali Imran : 28)
”Dan janganlah orang-orang beriman menjadikan orang-orang kafir sebagai teman-teman lebih dari orang-orang beriman. Dan barangsiapa berbuat demikian, maka tidaklah ada (perlindungan) dari Allah sedikitpun. Kecuali karena kamu takut betul-betul (gangguan) dari mereka. Dan Allah mengancam kamu dengan diri-Nya dan kepada Allah tempat kembali.”
Ahli-ahli sejarah telah meriwayatkan bahwa sebagian orang yang tadinya masuk Islam terkecoh oleh kegagalan dan kekuatan orang-orang kafir kemudian mereka meninggalkan Islam dan memihak mereka. Soal seperti ini tidaklah aneh. Bahkan sesuatu yang sudah menjadi tabiat manusia.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa ia berkata, “Adalah Hajjaj bin Amr dan lbnu Abil Huqaiqu dan Qais Ibnu Zaid, semuanya orang Yahudi berteman karib dengan beberapa orang Anshor. Mereka ini suka mengganggu agama orang-orang Anshor itu. Lalu Rifaah bin Mundair ini berkata, “Jauhilah orang-orang Yahudi itu. Tetapi beberapa orang Anshor enggan, bahkan tetap berteman karib dengan mereka, orang-orang Yahudi itu.” Lalu turunlah ayat ini.
Ayat di atas maksudnya, janganlah orang-orang beriman memuliakan orang-orang kafir, lalu menyampaikan rahasia-rahasia tertentu dalam soal-soal agama kepada mereka dan mendahulukan kepentingan mereka daripada kaum mukminin. Karena perbuatan seperti ini berarti mengutamakan mereka dan menyokong kekafiran, serta mengabaikan keimanan.
Ringkasnya, orang-orang mukminin dilarang menjadikan orang-orang kafir sebagai teman dekat atau pimpinan, karena hubungan keluarga atau persahabatan jahiliyah atau karena tetangga atau hubungan pergaulan lain-lainnya. Tetapi seharusnya orang-orang mukmin memperhatikan apa yang menjadi perintah Islam seperti mencintai dan membenci semata-mata haruslah berdasarkan pertimbangan agama. Berdasarkan pertimbangan inilah maka memilih teman dekat sesama orang beriman lebih menjadikan baik kepentingan agama mereka daripada berteman karib dengan orang-orang kafir.
Tetapi jika hubungan teman karib dan kawan penjanjian itu untuk kepentingan bersama kaum muslimin, maka tidak ada salahnya. Sebab Nabi saw pernah mengadakan perjanjian persahabatan dengan suku Khuza’ah yang masih musyrik. Begitu pula tidak salah seorang muslim pencaya dan berhubungan baik dengan orang-orang bukan Islam dalam urusan keduniaan.
Akan tetapi bila dalam keadaan tertentu yang mengharuskan kaum mukminin untuk mengambil golongan kafir sebagai teman kerja sama, maka hal ini dibolehkan.
Jika menjadikan mereka sebagai teman itu dibolehkan, karena adanya bahaya, maka adalah lebih utama membolehkan mengambil mereka sebagai teman dekat di dalam urusan yang menguntungkan ummat Islam. Jadi tidak ada salahnya suatu negara Islam, bila mengadakan perjanjian persahabatan dengan negara non-Islam bila membawa keuntungan yang lebih baik, mungkin untuk menolak bahaya atau memperoleh keuntungan. Tetapi tidak boleh mengadakan perjanjian persahabatan di dalam sesuatu hal yang merugikan ummat Islam. Kebolehan ini tidak hanya terbatas ketika keadaan lemah, tetapi berlaku pada segala waktu.
--------
76 Karakter Yahudi dalam Al-Qur’an karya Syaikh Mustafa Al-Maraghi, penyusun Drs. M. Thalib, Penerbit CV. Pustaka Mantiq Solo, cetakan pertama April 1989, halaman 104 - 106
”Dan janganlah orang-orang beriman menjadikan orang-orang kafir sebagai teman-teman lebih dari orang-orang beriman. Dan barangsiapa berbuat demikian, maka tidaklah ada (perlindungan) dari Allah sedikitpun. Kecuali karena kamu takut betul-betul (gangguan) dari mereka. Dan Allah mengancam kamu dengan diri-Nya dan kepada Allah tempat kembali.”
Ahli-ahli sejarah telah meriwayatkan bahwa sebagian orang yang tadinya masuk Islam terkecoh oleh kegagalan dan kekuatan orang-orang kafir kemudian mereka meninggalkan Islam dan memihak mereka. Soal seperti ini tidaklah aneh. Bahkan sesuatu yang sudah menjadi tabiat manusia.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa ia berkata, “Adalah Hajjaj bin Amr dan lbnu Abil Huqaiqu dan Qais Ibnu Zaid, semuanya orang Yahudi berteman karib dengan beberapa orang Anshor. Mereka ini suka mengganggu agama orang-orang Anshor itu. Lalu Rifaah bin Mundair ini berkata, “Jauhilah orang-orang Yahudi itu. Tetapi beberapa orang Anshor enggan, bahkan tetap berteman karib dengan mereka, orang-orang Yahudi itu.” Lalu turunlah ayat ini.
Ayat di atas maksudnya, janganlah orang-orang beriman memuliakan orang-orang kafir, lalu menyampaikan rahasia-rahasia tertentu dalam soal-soal agama kepada mereka dan mendahulukan kepentingan mereka daripada kaum mukminin. Karena perbuatan seperti ini berarti mengutamakan mereka dan menyokong kekafiran, serta mengabaikan keimanan.
Ringkasnya, orang-orang mukminin dilarang menjadikan orang-orang kafir sebagai teman dekat atau pimpinan, karena hubungan keluarga atau persahabatan jahiliyah atau karena tetangga atau hubungan pergaulan lain-lainnya. Tetapi seharusnya orang-orang mukmin memperhatikan apa yang menjadi perintah Islam seperti mencintai dan membenci semata-mata haruslah berdasarkan pertimbangan agama. Berdasarkan pertimbangan inilah maka memilih teman dekat sesama orang beriman lebih menjadikan baik kepentingan agama mereka daripada berteman karib dengan orang-orang kafir.
Tetapi jika hubungan teman karib dan kawan penjanjian itu untuk kepentingan bersama kaum muslimin, maka tidak ada salahnya. Sebab Nabi saw pernah mengadakan perjanjian persahabatan dengan suku Khuza’ah yang masih musyrik. Begitu pula tidak salah seorang muslim pencaya dan berhubungan baik dengan orang-orang bukan Islam dalam urusan keduniaan.
Akan tetapi bila dalam keadaan tertentu yang mengharuskan kaum mukminin untuk mengambil golongan kafir sebagai teman kerja sama, maka hal ini dibolehkan.
Jika menjadikan mereka sebagai teman itu dibolehkan, karena adanya bahaya, maka adalah lebih utama membolehkan mengambil mereka sebagai teman dekat di dalam urusan yang menguntungkan ummat Islam. Jadi tidak ada salahnya suatu negara Islam, bila mengadakan perjanjian persahabatan dengan negara non-Islam bila membawa keuntungan yang lebih baik, mungkin untuk menolak bahaya atau memperoleh keuntungan. Tetapi tidak boleh mengadakan perjanjian persahabatan di dalam sesuatu hal yang merugikan ummat Islam. Kebolehan ini tidak hanya terbatas ketika keadaan lemah, tetapi berlaku pada segala waktu.
--------
76 Karakter Yahudi dalam Al-Qur’an karya Syaikh Mustafa Al-Maraghi, penyusun Drs. M. Thalib, Penerbit CV. Pustaka Mantiq Solo, cetakan pertama April 1989, halaman 104 - 106
Tidak ada komentar:
Posting Komentar