Buah syahadat adalah barang mahal. Perlu penyaluran agar tidak mengarah yang bukan-bukan
Syahadat telah merombak segala-galanya. Syahadat adalah janin revolusi. Karenanya, jika lahir perlu segera dirawat dan dijaga; ia harus tetap aman.
Bila terjadi suatu revolusi, maka strukturserta pola pikir seseorang akan berubah dimulai dari perubahan cita-citanya. Bahkan ada kecenderungan secara langsung untuk juga menyesuaikan keadaan sekitarnya dengan cita-citanya lewat berbagai macam cara yang dibenarkan oleh keyakinannya. Ia akan menggunakan segala fasilitas dan sarana yang dimiliki untuk da’wahnya.
Arus untuk melakukan perubahan, mengalir deras dalam dirinya. Cukup mengganggu manakala tidak disalurkan. Apapun hasilnya dan bagaimanapun akibat da’wahnya akan dia terima dengan perasaan puas. Dan pada perasaan itu mengendap terus, lebih baik disalurkan saja. Ketimbang selalu jadi beban pikiran dan beban moril, lebih baik langsung tandang ke gelanggang.
Bukan apriori, akan tetapi dengan penuh keseriusan. Ia yakin sepenuhnya, hanya dengan melaksanakan apa yang diyakininya keadaan sekitarnya bisa berubah, menjadi lebih baik.
Karena dasarnya adalah ledakan yang melahirkan arus deras yang diwujudkan dalam bentuk proklamasi, manakala tidak disalurkan akan mengundang kerusakan ke dalam. Hilanglah stabilitas yang melahirkan gejolak demi gejolak yang selanjutnya bukan saja merusak dirinya tetapi akan merusak juga lingkungan sekitarnya.
Bila ledakan ini tidak sempat tersalur pada jalur yang teratur, pasti akan menyembur menjadi ledakan yang tidak terkendali. Ledakan ini menjadi liar, dengan sasaran yang sporadis, hantam kromo, sembarangan.
Artinya, manakala energi ini tidak disalurkan secara wajar akan memaksakan penyalurannya pada jalur yang tidak wajar. Dan kalau itu yang terjadi, akibatnya nanti muncul tindakan-tindakan yang lepas kontrol, tidak ada lagi pertimbangan dan antisipasi. Yang penting arus itu tersalur, apapun akibatnya sudah tidak jadi persoalan lagi. Akibatnya, dapat mengundang korban yang tidak perlu dalam jumlah yang tidak sedikit.
Kita teringat semangatnya Abu Bakar yang segera mau terjun ke lapangan mengajak orang-orang Quraisy menerima wahyu yang disampaikan oleh Rasulullah, pada saat Abu Bakar baru saja menerima dan meyakini kebenaran Risalah tersebut. Oleh karena jumlah pengikut yang masih sangat kurang, dengan pertimbangan risiko dan lain-lain, Rasulullah mengingatkan agar tidak tergesa-gesa. Namun Abu Bakar berkeras. Berdasarkan keyakinannya, tidak ada lagi yang perlu dikhawarirkan, bukankah segalanya di tangan Allah. Akhirnya di tengah-tengah majelis para pemuka Quraisy, Abu Bakar berseru. Belum sempat bicara banyak sudah dikeroyok. Karena sendirian, ia tidak bisa melawan dan jatuh pingsan penuh luka. Untung tidak sampai mati. Setelah siuman baru sadar kalau persoalan menyampaikan da’wah kepada mereka tidak boleh serampangan, harus penuh pertimbangan dan perhitungan. Faktor kekuatan yang dimiliki dalam mengantisipasi segala kemungkinan, dan yang paling baik sampai yang paling buruk harus menjadi bahan pertimbangan. Lain halnya dengan masuknya Umar ibnu Khattab dalam barisan ummat Islam. Pada waktu itu, Hamzah bin Abdul Muthalib sudah duluan masuk Islam. Dengan demikian dua singa padang pasir sudah bergabung dalam barisan Islam.
Cukup beralasan kalau setelah itu mereka mulai melakukan da’wah secara terbuka, mengajak berbaris keluar, satu barisan dipimpin oleh Hamzah dan satu lagi dipimpin oleh Umar ibnu Khattab, di tengah-tengah masyarakat kaum kafir Quraisy waktu itu.
Nampaknya dari sinilah dasarnya, kenapa dalam Islam dikenal yang dinamakan garis komando. Dengan garis ini setiap orang yang selesai bersyahadat segera siap diatur dalam satu kendali.
Makin direnungkan eksistensi syahadat, wujud keberadaannya serta sifat dan karakternya, makin terasa betapa mutlak dan pentingnya garis komando itu. Minimal sebagai antisipasi menghindari adanya ledakan-ledakan liar yang merugikan bukan saja dirinya tetapi banyak pihak. Dari dan pada garis komando itulah potensi arus yang ada dapat ditampung sedemikian rupa untuk disusun menjadi satu kekuatan maha dahsyat guna mengangkat kerja-kerja keras dan berat untuk kepentingan risalah Islam bagi kemanusiaan. Tentu saja akhirnya memang tergantung kepada bobot kualitas manajemen garis komando tersebut, menyangkut pelbagai macam hal terutama soal keadilan.
Kemutlakan ini sama sekali tidak bisa ditawar. Karena potensio itu datang diantar oleh dorongan syahadatnya. Kalau salah mengaturnya akibat kekeliruan atau kelemahan manajemen akan sangat fatal akibatnya. Bukankah orang masuk Islam dengan ber-syahadat yang berkonotasi penyerahan diri adalah dengan harapan memperoleh nilai tambah? Firman Allah :
“Bahwa dengan Al-Qur’an ini engkau dijamin menjadi manusia yang tetap waras. Dan bagi kamu perolehan ganjaran yang tidak ada batasnya. Dan engkau akan tampil sebagai orang yang memiliki akhlaq yang paling mulia.” (QS. Al-Qalam : 2-4)
Itu jaminan bagi siapa saja yang konsekuen ber-Qur’an sebagai tindak lanjut dari syahadat. Jaminan tersebut merupakan urusan dan kewajiban pemegang tampuk tanggung jawab garis komando untuk mewujudkannya. Bukankah mereka yang sudah bersyahadat itu sudah menyerahkan diri sepenuhnya untuk siap diatur?
-----
Suara Hidayatullah, Edisi 07/TH IV/Rabiul Akhir – Jumadil Awwal 1412/ Nopember 1991, halaman 28 - 30
Syahadat telah merombak segala-galanya. Syahadat adalah janin revolusi. Karenanya, jika lahir perlu segera dirawat dan dijaga; ia harus tetap aman.
Bila terjadi suatu revolusi, maka strukturserta pola pikir seseorang akan berubah dimulai dari perubahan cita-citanya. Bahkan ada kecenderungan secara langsung untuk juga menyesuaikan keadaan sekitarnya dengan cita-citanya lewat berbagai macam cara yang dibenarkan oleh keyakinannya. Ia akan menggunakan segala fasilitas dan sarana yang dimiliki untuk da’wahnya.
Arus untuk melakukan perubahan, mengalir deras dalam dirinya. Cukup mengganggu manakala tidak disalurkan. Apapun hasilnya dan bagaimanapun akibat da’wahnya akan dia terima dengan perasaan puas. Dan pada perasaan itu mengendap terus, lebih baik disalurkan saja. Ketimbang selalu jadi beban pikiran dan beban moril, lebih baik langsung tandang ke gelanggang.
Bukan apriori, akan tetapi dengan penuh keseriusan. Ia yakin sepenuhnya, hanya dengan melaksanakan apa yang diyakininya keadaan sekitarnya bisa berubah, menjadi lebih baik.
Karena dasarnya adalah ledakan yang melahirkan arus deras yang diwujudkan dalam bentuk proklamasi, manakala tidak disalurkan akan mengundang kerusakan ke dalam. Hilanglah stabilitas yang melahirkan gejolak demi gejolak yang selanjutnya bukan saja merusak dirinya tetapi akan merusak juga lingkungan sekitarnya.
Bila ledakan ini tidak sempat tersalur pada jalur yang teratur, pasti akan menyembur menjadi ledakan yang tidak terkendali. Ledakan ini menjadi liar, dengan sasaran yang sporadis, hantam kromo, sembarangan.
Artinya, manakala energi ini tidak disalurkan secara wajar akan memaksakan penyalurannya pada jalur yang tidak wajar. Dan kalau itu yang terjadi, akibatnya nanti muncul tindakan-tindakan yang lepas kontrol, tidak ada lagi pertimbangan dan antisipasi. Yang penting arus itu tersalur, apapun akibatnya sudah tidak jadi persoalan lagi. Akibatnya, dapat mengundang korban yang tidak perlu dalam jumlah yang tidak sedikit.
Kita teringat semangatnya Abu Bakar yang segera mau terjun ke lapangan mengajak orang-orang Quraisy menerima wahyu yang disampaikan oleh Rasulullah, pada saat Abu Bakar baru saja menerima dan meyakini kebenaran Risalah tersebut. Oleh karena jumlah pengikut yang masih sangat kurang, dengan pertimbangan risiko dan lain-lain, Rasulullah mengingatkan agar tidak tergesa-gesa. Namun Abu Bakar berkeras. Berdasarkan keyakinannya, tidak ada lagi yang perlu dikhawarirkan, bukankah segalanya di tangan Allah. Akhirnya di tengah-tengah majelis para pemuka Quraisy, Abu Bakar berseru. Belum sempat bicara banyak sudah dikeroyok. Karena sendirian, ia tidak bisa melawan dan jatuh pingsan penuh luka. Untung tidak sampai mati. Setelah siuman baru sadar kalau persoalan menyampaikan da’wah kepada mereka tidak boleh serampangan, harus penuh pertimbangan dan perhitungan. Faktor kekuatan yang dimiliki dalam mengantisipasi segala kemungkinan, dan yang paling baik sampai yang paling buruk harus menjadi bahan pertimbangan. Lain halnya dengan masuknya Umar ibnu Khattab dalam barisan ummat Islam. Pada waktu itu, Hamzah bin Abdul Muthalib sudah duluan masuk Islam. Dengan demikian dua singa padang pasir sudah bergabung dalam barisan Islam.
Cukup beralasan kalau setelah itu mereka mulai melakukan da’wah secara terbuka, mengajak berbaris keluar, satu barisan dipimpin oleh Hamzah dan satu lagi dipimpin oleh Umar ibnu Khattab, di tengah-tengah masyarakat kaum kafir Quraisy waktu itu.
Nampaknya dari sinilah dasarnya, kenapa dalam Islam dikenal yang dinamakan garis komando. Dengan garis ini setiap orang yang selesai bersyahadat segera siap diatur dalam satu kendali.
Makin direnungkan eksistensi syahadat, wujud keberadaannya serta sifat dan karakternya, makin terasa betapa mutlak dan pentingnya garis komando itu. Minimal sebagai antisipasi menghindari adanya ledakan-ledakan liar yang merugikan bukan saja dirinya tetapi banyak pihak. Dari dan pada garis komando itulah potensi arus yang ada dapat ditampung sedemikian rupa untuk disusun menjadi satu kekuatan maha dahsyat guna mengangkat kerja-kerja keras dan berat untuk kepentingan risalah Islam bagi kemanusiaan. Tentu saja akhirnya memang tergantung kepada bobot kualitas manajemen garis komando tersebut, menyangkut pelbagai macam hal terutama soal keadilan.
Kemutlakan ini sama sekali tidak bisa ditawar. Karena potensio itu datang diantar oleh dorongan syahadatnya. Kalau salah mengaturnya akibat kekeliruan atau kelemahan manajemen akan sangat fatal akibatnya. Bukankah orang masuk Islam dengan ber-syahadat yang berkonotasi penyerahan diri adalah dengan harapan memperoleh nilai tambah? Firman Allah :
“Bahwa dengan Al-Qur’an ini engkau dijamin menjadi manusia yang tetap waras. Dan bagi kamu perolehan ganjaran yang tidak ada batasnya. Dan engkau akan tampil sebagai orang yang memiliki akhlaq yang paling mulia.” (QS. Al-Qalam : 2-4)
Itu jaminan bagi siapa saja yang konsekuen ber-Qur’an sebagai tindak lanjut dari syahadat. Jaminan tersebut merupakan urusan dan kewajiban pemegang tampuk tanggung jawab garis komando untuk mewujudkannya. Bukankah mereka yang sudah bersyahadat itu sudah menyerahkan diri sepenuhnya untuk siap diatur?
-----
Suara Hidayatullah, Edisi 07/TH IV/Rabiul Akhir – Jumadil Awwal 1412/ Nopember 1991, halaman 28 - 30
Tidak ada komentar:
Posting Komentar