KISAH TAUBATNYA PENTOLAN KAFIR
Ada dua Abu Sufyan, yang semula sama-sama memusuhi Islam. Abu Sufyan bin Harits dan Abu Sufyan bin Harb. Yang terakhir adalah pentolan kaum kafir ayah Muawiyah yang di kemudian hari banyak membikin masalah.
Kisah Abu Sufyan bin Harits menyimpang dari yang lain. Ia bukanlah termasuk di antara mereka yang segera ber-Islam. Bahkan demikian gigihnya ia memerangi Islam dan kaum muslimin, di berbagai peperangan. Namun iapun bukan golongan mereka yang ‘terlambat’ ber-Islam dalam arti masuk Islam karena tiada lagi pilihan. Abu Sufyan bin Harits bersyahadat menjelang Makkah dikalahkan.
Memang, seandainya terlambat sedikit saja, nilai keislamannya tidak akan ada artinya. Tetapi memang begitulah kehendak taqdir. Abu Sufyan bin Harits justru termasuk di antara para penyerbu dalam missi Fathul Makkah.
Namun begitu, ia masih juga dikatagorikan kelompok Afwajan, yaitu mereka yang berbondong-bondong masuk Islam pada saat Fathul Makkah. Kelompok ini jelas berbeda baik dengan kaum Anshar terlebih dengan Muhajirin, yang mengalami pahit getirnya perjuangan tak kenal lelah selama bertahun-tahun. Justru kelompok Afwajan inilah, di antara yang membikin kaum muslimin sengsara sekian lama.
Untunglah, bahwa Islam memang demikian lapang dada. Bahwa Allah benar-benar Rabb yang penuh dengan ampunan dan kasih sayang. Sehingga musuh yang membat para mujahid menderita, yang bahkan menyiksanya tanpa petasaan, masih juga bisa diterima pada akhirnya. Sungguh, andai saja Islam tidak demikian, mereka akan mengalami masa yang sangat sulit.
MEMUSUHI ISLAM
Abu Sufyan bin Harits adalah saudara sepupu dan sepesusuan dengan Rasulullah; Ayahnya, Harits, tak lain adalah putra Abdul Muthalib. Di masa kecil, Abu Sufyan pemah disusui Halimatus Sa’diyah sebagai mana Muhammad.
Namun begitu hingga 20 tahun perjuangan kaum muslimin, ía tak juga henti-hentinya menantang saudara-saudaranya. Bahkan, tiga saudaranya sudah terlebih masuk Islam yaitu Naufal, Rabi’ah dan Abdullah. Ia, tentu saja telah mendapatkan berkali-kali tawaran untuk segera saja mengikuti Rasulullah. Namun, tak juga kunjung datang waktunya. Bahkan, Abu Sufyan yang memang pintar bersyair itulah, yang menggubah syair-syair untuk menjelek-jelekkan nabi dan kaum muslimin.
DALAM KERAGUAN
Mungkin perasaan Abu Sufyan tidak jauh berbeda dengan sekutu-sekutunya, tentang Islam. Pada prinsipnya mereka sudah melihat keanehan-keanehan luar biasa pada diri dan pasukan kaum muslimin. Namun dasar hati yang belum terbuka, mereka tetap saja menghadapinya berulang-ulang.
Diriwayatkan pada saat perang Badar, Abu Sufyan berada di deretan para Quraisy. Di saat itu kebetulan Abu Lahab tidak bisa ikut, dan diwakili ‘Ash bin Hisyam. Karenanya, Abu Lahab begitu mengharapkan berita peperangan dengan segera, apalagi yang terdengar sayup-sayup Quraisy mengalami kekalahan pahit.
Pada saat itulah datang dengan berkuda, Abu Sufyan bin Harits. Tak sabar, Abu Lahab segera mengajak keponakannya itu duduk di sampingnya, di dekat sumur Zamzam. Apa yang disampaikan Abu Sufyan?
“Demi Allah! Tiada berita kecuali bahwa kami menemui suatu kaum yang kepada mereka kami serahkan leher-leher kami, hingga mereka sembelih sesuka hati mereka dan mereka tawan kami semau mereka...! Dan Demi Allah! Aku tak dapat menyalahkan orang-orang Quraisy...! Kami berhadapan dengan orang-orang serba putih mengendarai kuda hitam belang Putih, menyerbu dari antara langit dan bumi, tidak serupa dengan suatu pun dan tidak terhalang oleh suatu pun...!”
Ya, itulah tentara yang nampak bagi kaum kafirin namun tidak bagi kaum muslimin. Mereka memang bantuan dari Allah berupa para Malaikat, yang setia bertempur di sisi ummat Islam. Bagaimana mungkin kaum kafir akan mengalahkan mereka sedang segala sesuatunya ada di tangan Allah?
Itulah detik yang membuat Abu Sufyan bin Harits mulai ragu-ragu terhadap keyakinannya. Gerangan apa yang ada di tubuh ummat Islam sehingga datang bala bantuan demikian hebat? Bermula dari rasa itulah, sedikit demi sedikit berubah pikiran Ahu Sufyan bin Harits, hingga tibalah saatnya.
MASUK ISLAM
Tiba-tiba pada satu hari perasaannya sudah demikian bergejolak. Maka segera dia ajak putranya, Ja’far berkuda. “Kita akan menyerahkan diri ke haribaan Rasulullah dan menjadi hamba Allah Rabbul alamiin....”
Akan tetapi tekadnya seperti terhalang. Karena di Abwa’ mereka melihat barisan pasukan kaum muslimin. Tentu saja, sebagai orang yang telah memusuhi sekian lama, Abu Sufyan dan Ja’far harus berpikir beribu kali untuk menampakkan diri Masih untung bila langsung bertemu Rasulullah. Tapi kalau tidak? Salah-salah bisa dibunuh sia-sia. Dan juga mungkin sekali Nabi telah menghalalkan darahnya, sehingga tanpa pikir panjang akan dilakukan hukum qishas.
Abu Sufyan pun menyamar dan menyembunyikan identitas dirinya. Dengan memegang tangan puterannya Ja’far, ia berjalan kaki beberapa jauhnya, hingga tampaklah olehnya Rasulullah bersama rombongan sahabat. Tiba-tiba sambil membuka turup mukanya, Abu Sufyan menjatuhkan dirinya di hadapan Rasulullah. Terapi hatinya benar-benar pilu, karena Rasul tidak berkenan menerimanya begitu saja. Beliau palingkan mukanya. Bahkan ketika Abu Sufyan mengulanginya dari arah yang lain, begitu pula yang Rasul lakukan. Maka tanpa berlama-lama, keduanya segera berseru, bersyahadat di depan Rasul dan para sabahat.
Maka redalah suasana. Rasulpun berkenan menerima syahadatnya sembari berkata, “Tiada dendam dan tiada penyesalan, wahai Abu Sufyan!” Kemudian Nabi menyerahkannya kepada Ali bin Abi Thalib, katanya, “Ajarkanlah kepada saudara sepupumu ini cara berwudhu dan bawa lagi ke sini.”
Ali membawanya pergi, dan kemudian kembali. Maka kata Rasulullah, “Umumkanlah kepada orang-orang bahwa Rasulullah telah ridha kepada Abu Sufyan, dan mereka pun hendaklah ridha pula...!”
Kemudian Abu Sufyan pun merasakan bahagia yang luar biasa tatkala Rasul berpesan kepadanya, “Hendaklah kamu menggunakan masa yang penuh berkah...!” Bukan main memang, begitu mulianya persaudaraan dalam Islam. Abu Sufyan yang terbiasa dengan suasana saling bermusuhan, kini terbentur sebuah sentuhan lain. Maka iapun kian dalam tepekur memikirkan keadaannya.
MENEBUS DOSA
Mulai dari detik-detik keislamannya, Abu Sufyan mengejar dan menghabiskan waktunya dalam beribadat dan berjihad, untuk menghapus bekas-bekas masa lalu dan mengejar ketinggalannya selama ini.
Dalam peperangan-peperangan pasca Fatbul Makkah ia selalu ikut bersama Rasulullah SAW. Termasuk dalam perang Hunain, di saat pasukan kaum muslimin terjebak masuk perangkap para musyrikin. Serbuan mendadak dari tenrara yang tersembunyi menyebabkan barisan Islam porak-poranda.
Sebagian tentara Islam cerai berai melarikan diri, tetapi Rasulullah tidak beranjak dari tempat kedudukannya, hanya berseru, “Hai manusia...! Saya ini Nabi dan tidak dusta...! Saya adalah putra Abdul Muthalib .....!
Untunglah si saat-saat yang maha genting itu, masih ada beberapa gelintir sahabat yang tidak kehilangan akal. Dan di antara mereka ada Abu Sufyan bin Harits dan puteranya Ja’far.
Waktu itu Abu Sufyan Sedang memegang kekang kuda Rasulullah. Maka semakin menyala gelora dalam dirinya, bahwa rupanya saat untuk berjuang benar-benar fii sabilillah telah datang, dan syahid menghadang. Maka iapun terus bergerak sekuat tenaga, sambil memegang tali kekang. Keduanya sama-sama harus dipertahankan, nyawa dan kuda tunggangan Rasulullah.
Maka ketika kemenangan telah datang, dan kaum muslimin telah kembali ke medan pertempuran di sekeliling Nabi, nampaklah Rasulullah melihat berkeliling. Didapatinya seseorang tengah memegang erat-erat tali kekang kudanya. Sungguh rupanya semenjak berkecamuknya peperangan sampai selesai, orang itu tetap berada di situ dan tidak pernah meninggalkannya.
Rasulullah menatapnya lama-lama, lalu tanyanya, “Siapa ini ? Oh, saudaraku, Abu Sufyan bin Harits!” Dan demi didengarnya Rasulullah mengatakan “saudaraku” hatinya bagaikan terbang karena bahagia dan gembira. Maka diratapinya kedua kaki Rasulullah, diciummnya dan dicucinya dengan air matanya...
Ketika itu bangkitlah jiwa kepenyairannya. Maka spontan meluncurlah sebait pantun lirih dari mulutnya:
”Warga Ka’ab dan Amir sama mengetahui
di pagi Hunain ketika barisan telah cerai-berai
bahwa aku adalah seorang ksatria berani mati
menerjuni api peperangan tak pernah nyali
semata mengharapkan ridha Illahi Yang Maha Asih dan kepada-Nya sekalian urusan akan kembali.”
KHATIMAH
Abu Sufyan menghadapkan dirinya sepenuhnya kepada ibadat. Dan sepeninggal Rasulullah SAW. ruhnya mendambakan kematian agar dapat menemui Rasulullah di kampung akhirat. Demikianlah walaupun nafasnya masih turun naik, tetapi kematian tetap menjadi tumpuan hidupnya.
Pada suatu hari, orang melihatnya berada di Baqi’ sedang menggali lahad, menyiapkan dan mendatarkannya. Tatkala orang-orang. menunjukkan keheranan mereka, maka katanya, “Aku sedang menyiapkan kuburku ......”
Dan setelah tiga hari berlalu, tidak lebih, ia terbaring di rumahnya sementara keluarganya bertangisan di sekelilingnya. Dengan hati puas dan tenteram dibukanya matanya, lalu katanya, “Janganlah daku ditangisi, karena semenjak masuk Islam tak sedikitpun daku berlumur dosa...!”
Tak lama kemudian Abu Sufyan bin Harits benar-benar meninggalkan semuanya. Orang pun tak melupakannya. Abu Sufyan bin Harits, pentolan kafir yang menemukan jalan dan jati dirinya.
------------------------
SUARA HIDAYATULLAH, Edisi 07/ TH IV/ Nopember 1991, halaman 43 – 45.
Ada dua Abu Sufyan, yang semula sama-sama memusuhi Islam. Abu Sufyan bin Harits dan Abu Sufyan bin Harb. Yang terakhir adalah pentolan kaum kafir ayah Muawiyah yang di kemudian hari banyak membikin masalah.
Kisah Abu Sufyan bin Harits menyimpang dari yang lain. Ia bukanlah termasuk di antara mereka yang segera ber-Islam. Bahkan demikian gigihnya ia memerangi Islam dan kaum muslimin, di berbagai peperangan. Namun iapun bukan golongan mereka yang ‘terlambat’ ber-Islam dalam arti masuk Islam karena tiada lagi pilihan. Abu Sufyan bin Harits bersyahadat menjelang Makkah dikalahkan.
Memang, seandainya terlambat sedikit saja, nilai keislamannya tidak akan ada artinya. Tetapi memang begitulah kehendak taqdir. Abu Sufyan bin Harits justru termasuk di antara para penyerbu dalam missi Fathul Makkah.
Namun begitu, ia masih juga dikatagorikan kelompok Afwajan, yaitu mereka yang berbondong-bondong masuk Islam pada saat Fathul Makkah. Kelompok ini jelas berbeda baik dengan kaum Anshar terlebih dengan Muhajirin, yang mengalami pahit getirnya perjuangan tak kenal lelah selama bertahun-tahun. Justru kelompok Afwajan inilah, di antara yang membikin kaum muslimin sengsara sekian lama.
Untunglah, bahwa Islam memang demikian lapang dada. Bahwa Allah benar-benar Rabb yang penuh dengan ampunan dan kasih sayang. Sehingga musuh yang membat para mujahid menderita, yang bahkan menyiksanya tanpa petasaan, masih juga bisa diterima pada akhirnya. Sungguh, andai saja Islam tidak demikian, mereka akan mengalami masa yang sangat sulit.
MEMUSUHI ISLAM
Abu Sufyan bin Harits adalah saudara sepupu dan sepesusuan dengan Rasulullah; Ayahnya, Harits, tak lain adalah putra Abdul Muthalib. Di masa kecil, Abu Sufyan pemah disusui Halimatus Sa’diyah sebagai mana Muhammad.
Namun begitu hingga 20 tahun perjuangan kaum muslimin, ía tak juga henti-hentinya menantang saudara-saudaranya. Bahkan, tiga saudaranya sudah terlebih masuk Islam yaitu Naufal, Rabi’ah dan Abdullah. Ia, tentu saja telah mendapatkan berkali-kali tawaran untuk segera saja mengikuti Rasulullah. Namun, tak juga kunjung datang waktunya. Bahkan, Abu Sufyan yang memang pintar bersyair itulah, yang menggubah syair-syair untuk menjelek-jelekkan nabi dan kaum muslimin.
DALAM KERAGUAN
Mungkin perasaan Abu Sufyan tidak jauh berbeda dengan sekutu-sekutunya, tentang Islam. Pada prinsipnya mereka sudah melihat keanehan-keanehan luar biasa pada diri dan pasukan kaum muslimin. Namun dasar hati yang belum terbuka, mereka tetap saja menghadapinya berulang-ulang.
Diriwayatkan pada saat perang Badar, Abu Sufyan berada di deretan para Quraisy. Di saat itu kebetulan Abu Lahab tidak bisa ikut, dan diwakili ‘Ash bin Hisyam. Karenanya, Abu Lahab begitu mengharapkan berita peperangan dengan segera, apalagi yang terdengar sayup-sayup Quraisy mengalami kekalahan pahit.
Pada saat itulah datang dengan berkuda, Abu Sufyan bin Harits. Tak sabar, Abu Lahab segera mengajak keponakannya itu duduk di sampingnya, di dekat sumur Zamzam. Apa yang disampaikan Abu Sufyan?
“Demi Allah! Tiada berita kecuali bahwa kami menemui suatu kaum yang kepada mereka kami serahkan leher-leher kami, hingga mereka sembelih sesuka hati mereka dan mereka tawan kami semau mereka...! Dan Demi Allah! Aku tak dapat menyalahkan orang-orang Quraisy...! Kami berhadapan dengan orang-orang serba putih mengendarai kuda hitam belang Putih, menyerbu dari antara langit dan bumi, tidak serupa dengan suatu pun dan tidak terhalang oleh suatu pun...!”
Ya, itulah tentara yang nampak bagi kaum kafirin namun tidak bagi kaum muslimin. Mereka memang bantuan dari Allah berupa para Malaikat, yang setia bertempur di sisi ummat Islam. Bagaimana mungkin kaum kafir akan mengalahkan mereka sedang segala sesuatunya ada di tangan Allah?
Itulah detik yang membuat Abu Sufyan bin Harits mulai ragu-ragu terhadap keyakinannya. Gerangan apa yang ada di tubuh ummat Islam sehingga datang bala bantuan demikian hebat? Bermula dari rasa itulah, sedikit demi sedikit berubah pikiran Ahu Sufyan bin Harits, hingga tibalah saatnya.
MASUK ISLAM
Tiba-tiba pada satu hari perasaannya sudah demikian bergejolak. Maka segera dia ajak putranya, Ja’far berkuda. “Kita akan menyerahkan diri ke haribaan Rasulullah dan menjadi hamba Allah Rabbul alamiin....”
Akan tetapi tekadnya seperti terhalang. Karena di Abwa’ mereka melihat barisan pasukan kaum muslimin. Tentu saja, sebagai orang yang telah memusuhi sekian lama, Abu Sufyan dan Ja’far harus berpikir beribu kali untuk menampakkan diri Masih untung bila langsung bertemu Rasulullah. Tapi kalau tidak? Salah-salah bisa dibunuh sia-sia. Dan juga mungkin sekali Nabi telah menghalalkan darahnya, sehingga tanpa pikir panjang akan dilakukan hukum qishas.
Abu Sufyan pun menyamar dan menyembunyikan identitas dirinya. Dengan memegang tangan puterannya Ja’far, ia berjalan kaki beberapa jauhnya, hingga tampaklah olehnya Rasulullah bersama rombongan sahabat. Tiba-tiba sambil membuka turup mukanya, Abu Sufyan menjatuhkan dirinya di hadapan Rasulullah. Terapi hatinya benar-benar pilu, karena Rasul tidak berkenan menerimanya begitu saja. Beliau palingkan mukanya. Bahkan ketika Abu Sufyan mengulanginya dari arah yang lain, begitu pula yang Rasul lakukan. Maka tanpa berlama-lama, keduanya segera berseru, bersyahadat di depan Rasul dan para sabahat.
Maka redalah suasana. Rasulpun berkenan menerima syahadatnya sembari berkata, “Tiada dendam dan tiada penyesalan, wahai Abu Sufyan!” Kemudian Nabi menyerahkannya kepada Ali bin Abi Thalib, katanya, “Ajarkanlah kepada saudara sepupumu ini cara berwudhu dan bawa lagi ke sini.”
Ali membawanya pergi, dan kemudian kembali. Maka kata Rasulullah, “Umumkanlah kepada orang-orang bahwa Rasulullah telah ridha kepada Abu Sufyan, dan mereka pun hendaklah ridha pula...!”
Kemudian Abu Sufyan pun merasakan bahagia yang luar biasa tatkala Rasul berpesan kepadanya, “Hendaklah kamu menggunakan masa yang penuh berkah...!” Bukan main memang, begitu mulianya persaudaraan dalam Islam. Abu Sufyan yang terbiasa dengan suasana saling bermusuhan, kini terbentur sebuah sentuhan lain. Maka iapun kian dalam tepekur memikirkan keadaannya.
MENEBUS DOSA
Mulai dari detik-detik keislamannya, Abu Sufyan mengejar dan menghabiskan waktunya dalam beribadat dan berjihad, untuk menghapus bekas-bekas masa lalu dan mengejar ketinggalannya selama ini.
Dalam peperangan-peperangan pasca Fatbul Makkah ia selalu ikut bersama Rasulullah SAW. Termasuk dalam perang Hunain, di saat pasukan kaum muslimin terjebak masuk perangkap para musyrikin. Serbuan mendadak dari tenrara yang tersembunyi menyebabkan barisan Islam porak-poranda.
Sebagian tentara Islam cerai berai melarikan diri, tetapi Rasulullah tidak beranjak dari tempat kedudukannya, hanya berseru, “Hai manusia...! Saya ini Nabi dan tidak dusta...! Saya adalah putra Abdul Muthalib .....!
Untunglah si saat-saat yang maha genting itu, masih ada beberapa gelintir sahabat yang tidak kehilangan akal. Dan di antara mereka ada Abu Sufyan bin Harits dan puteranya Ja’far.
Waktu itu Abu Sufyan Sedang memegang kekang kuda Rasulullah. Maka semakin menyala gelora dalam dirinya, bahwa rupanya saat untuk berjuang benar-benar fii sabilillah telah datang, dan syahid menghadang. Maka iapun terus bergerak sekuat tenaga, sambil memegang tali kekang. Keduanya sama-sama harus dipertahankan, nyawa dan kuda tunggangan Rasulullah.
Maka ketika kemenangan telah datang, dan kaum muslimin telah kembali ke medan pertempuran di sekeliling Nabi, nampaklah Rasulullah melihat berkeliling. Didapatinya seseorang tengah memegang erat-erat tali kekang kudanya. Sungguh rupanya semenjak berkecamuknya peperangan sampai selesai, orang itu tetap berada di situ dan tidak pernah meninggalkannya.
Rasulullah menatapnya lama-lama, lalu tanyanya, “Siapa ini ? Oh, saudaraku, Abu Sufyan bin Harits!” Dan demi didengarnya Rasulullah mengatakan “saudaraku” hatinya bagaikan terbang karena bahagia dan gembira. Maka diratapinya kedua kaki Rasulullah, diciummnya dan dicucinya dengan air matanya...
Ketika itu bangkitlah jiwa kepenyairannya. Maka spontan meluncurlah sebait pantun lirih dari mulutnya:
”Warga Ka’ab dan Amir sama mengetahui
di pagi Hunain ketika barisan telah cerai-berai
bahwa aku adalah seorang ksatria berani mati
menerjuni api peperangan tak pernah nyali
semata mengharapkan ridha Illahi Yang Maha Asih dan kepada-Nya sekalian urusan akan kembali.”
KHATIMAH
Abu Sufyan menghadapkan dirinya sepenuhnya kepada ibadat. Dan sepeninggal Rasulullah SAW. ruhnya mendambakan kematian agar dapat menemui Rasulullah di kampung akhirat. Demikianlah walaupun nafasnya masih turun naik, tetapi kematian tetap menjadi tumpuan hidupnya.
Pada suatu hari, orang melihatnya berada di Baqi’ sedang menggali lahad, menyiapkan dan mendatarkannya. Tatkala orang-orang. menunjukkan keheranan mereka, maka katanya, “Aku sedang menyiapkan kuburku ......”
Dan setelah tiga hari berlalu, tidak lebih, ia terbaring di rumahnya sementara keluarganya bertangisan di sekelilingnya. Dengan hati puas dan tenteram dibukanya matanya, lalu katanya, “Janganlah daku ditangisi, karena semenjak masuk Islam tak sedikitpun daku berlumur dosa...!”
Tak lama kemudian Abu Sufyan bin Harits benar-benar meninggalkan semuanya. Orang pun tak melupakannya. Abu Sufyan bin Harits, pentolan kafir yang menemukan jalan dan jati dirinya.
------------------------
SUARA HIDAYATULLAH, Edisi 07/ TH IV/ Nopember 1991, halaman 43 – 45.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar