Sebagaimana para orientalis telah menuduh bahwa poligami merupakan bentuk pelecehan terhadap wanita muslimah dan menjadikan mereka sebagai pelampiasan syahwat dan nafsu hewaniyah bagi laki-laki, begitu pula mereka telah menuduh bahwa diperbolehkannya cerai di dalam Islam dan bahwa hak cerai di tangan laki-laki, hal ini dianggap sebagai tindakan kekerasan, penganiayaan dan penindasan yang ditujukan terhadap wanita.
Untuk itu sudah sepantasnya jika kami memberikan uraian singkat tentang perceraian di dalam Islam sebagai bantahan terhadap tuduhan batil tersebut dengan cara menjelaskan hikmah dibalik diperbolehkannya cerai serta maslahahnya terhadap kedua mempelai dalam kondisi tertentu.
Sesungguhnya Islam adalah dien yang realistis yang seluruh aturan-aturannya tegak di atas landasan bahwa pada diri manusia masih memiliki kecenderungan dan tabiat, memiliki kekurangan dan kelemahan serta memiliki nurani dan perasaan yang menyebabkan suatu ketika tertimpa keadaan yang mendesak dan membutuhkan suatu solusi.
Sedangkan Allah Yang Maha Mengetahui dan Maha Melihat, Yang mengetahui urusan manusia apa-apa yang tidak mereka ketahui, tidak menghendaki ikatan suami istri justru menjadi belenggu dan penjara yang tiada jalan keluar dari kesulitan sekalipun kehidupan suami istri ibarat naar jahim karena buruknya prilaku salah satu di antara keduanya ataupun kedua-duanya.
Sayyid Quthb Rahimahullah berkata: “Dan Islam tidak tergesa-gesa memberikan peluang perceraian suatu ikatan suami istri pada awal terjadinya problem atau awal terjadinya perselisihan. Sesungguhnya Islam memperkokoh ikatan suami istri dengan kuat dan tidak melepaskannya kecuali setelah tidak memungkinkan untuk bersatu.
Allah menyeru kepada kaum laki-laki :
”Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS. An-Nisa’ : 19).
Maka Islam menganjurkan mereka untuk menahan dan bersabar sekalipun dalam keadaan sudah tidak menyukainya, dan membuka rahasia yang tersembunyi bagi mereka “mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” Mereka tidak mengetahui bahwa pada diri istri yang tidak dia sukai bisa jadi ada kebaikannya dan bahwa Allah mengingatkan kepada mereka kebaikan tersebut, maka tidak boleh bagi mereka untuk melepaskannya jika masih memungkinkan untuk dipertahankan dan tidak menyampaikan kepadanya tentang apa yang menjadi ganjalan dalam hatinya, tidak memperdebatkannya dan menampakkan rasa ketidaksukaannya ataupun menyebarkan rahasianya.
Manakala persoalan cinta dan benci sudah sampai pada tingkatan nusyuz dan perginya istri dari rumah suami (karena marah), maka perceraian bukanlah jalan pertama yang disodorkan Islam. Akan tetapi dengan mencoba meluruskan mereka:
”Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakim dari keluarga laki-laki dan seorang hakim dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami istri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS An-Nisa’ : 35).
Untuk itu sudah sepantasnya jika kami memberikan uraian singkat tentang perceraian di dalam Islam sebagai bantahan terhadap tuduhan batil tersebut dengan cara menjelaskan hikmah dibalik diperbolehkannya cerai serta maslahahnya terhadap kedua mempelai dalam kondisi tertentu.
Sesungguhnya Islam adalah dien yang realistis yang seluruh aturan-aturannya tegak di atas landasan bahwa pada diri manusia masih memiliki kecenderungan dan tabiat, memiliki kekurangan dan kelemahan serta memiliki nurani dan perasaan yang menyebabkan suatu ketika tertimpa keadaan yang mendesak dan membutuhkan suatu solusi.
Sedangkan Allah Yang Maha Mengetahui dan Maha Melihat, Yang mengetahui urusan manusia apa-apa yang tidak mereka ketahui, tidak menghendaki ikatan suami istri justru menjadi belenggu dan penjara yang tiada jalan keluar dari kesulitan sekalipun kehidupan suami istri ibarat naar jahim karena buruknya prilaku salah satu di antara keduanya ataupun kedua-duanya.
Sayyid Quthb Rahimahullah berkata: “Dan Islam tidak tergesa-gesa memberikan peluang perceraian suatu ikatan suami istri pada awal terjadinya problem atau awal terjadinya perselisihan. Sesungguhnya Islam memperkokoh ikatan suami istri dengan kuat dan tidak melepaskannya kecuali setelah tidak memungkinkan untuk bersatu.
Allah menyeru kepada kaum laki-laki :
”Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS. An-Nisa’ : 19).
Maka Islam menganjurkan mereka untuk menahan dan bersabar sekalipun dalam keadaan sudah tidak menyukainya, dan membuka rahasia yang tersembunyi bagi mereka “mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” Mereka tidak mengetahui bahwa pada diri istri yang tidak dia sukai bisa jadi ada kebaikannya dan bahwa Allah mengingatkan kepada mereka kebaikan tersebut, maka tidak boleh bagi mereka untuk melepaskannya jika masih memungkinkan untuk dipertahankan dan tidak menyampaikan kepadanya tentang apa yang menjadi ganjalan dalam hatinya, tidak memperdebatkannya dan menampakkan rasa ketidaksukaannya ataupun menyebarkan rahasianya.
Manakala persoalan cinta dan benci sudah sampai pada tingkatan nusyuz dan perginya istri dari rumah suami (karena marah), maka perceraian bukanlah jalan pertama yang disodorkan Islam. Akan tetapi dengan mencoba meluruskan mereka:
”Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakim dari keluarga laki-laki dan seorang hakim dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami istri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS An-Nisa’ : 35).
“Dan jika seorang wanita khawatir akan atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka).” (QS An-Nisa’ : 128).
Apabila persoalan tersebut tidak ada lagi jalan tengah maka berarti urusan tersebut sangat mendasar sehingga ada kesenjangan dalam kehidupan manakala keduanya tetap berdampingan sebagai suami istri, tidak akan ada kestabilan dalam hidupnya dan mempertahankan hubungan suami istri yang demikian ini hanyalah akan menambah kesengsaraan dan keputusasaan. Sehingga merupakan keputusan yang bijaksana dan tepat jika perceraian harus terjadi dan mengakhiri kehidupan suami istri tersebut.
Sudah seharusnya kami jelaskan di sini bahwa manusia tidak boleh menceraikan pada setiap waktu yang sesuka hatinya. Akan tetapi menurut sunnah, hendaknya talak terjadi tatkala istri dalam keadaan suci dan belum pernah dicampuri setelah itu. Penundaan diputusnya ikatan suami istri dalam beberapa waktu setelah terjadinya kemarahan dan tindakan yang menunjukkan rasa tidak suka tersebut dimaksudkan untuk memberi kesempatan pada waktu-waktu tersebut kalau-kalau ada perubahan sikap dan Allah memperbaiki hubungan antara keduanya yang sedang berselisih sehingga tidak terjadi perceraian. Jika terpaksa terjadi perceraian, maka setelah itu ada masa 'iddah (masa menunggu) bagi wanita yang telah dicerai. Sehingga dalam waktu-waktu tersebut masih banyak kesempatan untuk kembali jika perasaan cinta kembali mengalir di hati dan ada harapan untuk menyambung tali yang putus dari ikatan suami istri.
Yang perlu diperhatikan pula bahwa Syari’at Islam adalah satu-satunya yang memiliki aturan untuk diperbolehkannya rujuk (kembalinya) suatu ikatan pernikahan setelah perceraian dan tidak ada hal itu dalam syari’at yang lain.
Ini semua menunjukkan keinginan Islam untuk mengembalikan ikatan suami istri di antara kedua mempelai dan juga untuk menjaga keluarga agar tidak terlantar dan bercerai berai, serta memperbaiki hubungan yang telah rusak antara sepasang suami istri berupa kasih sayang dan ketenangan.
Pelajaran yang dapat diambil tentang diperbolehkannya rujuk di dalam Islam hingga beberapa waktu adalah sebagai ujian bagi sepasang suami istri dan memberikan kesempatan untuk berfikir dan kembali rujuk karena kesalahan dan kealpaan yang telah dilakukan, juga agar keduanya menyesal dan bertaubat kemudian kembali membangun rumah tangga yang diliputi suasana cinta, kasih sayang, ketenangan dan kekeluargaan.
Dan jika problem yang terjadi tidak bisa diatasi sehingga kehidupan rumah tangga --sebagaimana yang kami katakan di depan-- laksana naar jahim sehingga sudah tidak lagi dapat dipertahankan maka harus dicari solusi yang real berdasarkan jaminan dan hak-hak yang telah ditetapkan dalam syari’at Islam dan hal itu tidak kami paparkan dalam kitab ini.
Ustadz Mahmud Syakir berkata: ”...Apabila kehidupan suami istri laksana naar jahim, tidak dapat dipertahankan lagi hubungan suami istri lantas bagaimanakah solusinya? Jawabnya : Kita melihat ada dua jalan yang di tempuh manusia, pertama adalah talak (perceraian), dan inilah cara yang dipilih oleh Islam. Yang kedua adalah dengan tetap mempertahankan ikatan suami istri secara formalnya sekalipun masing-masing tidak dapat saling berhubungan baik fisik maupun perasaannya, tidak ada pula rasa cinta dan kasih sayang bahkan tidak ada istilah berhias untuk suami, terlebih-lebih lagi keduanya memperturutkan hawa nafsunya ke dalam perkara yang haram sehingga terkadang sang suami menuruti kemauannya dengan cara hidup bersama teman wanitanya, sedangkan sang istri menutup mata terhadap apa yang terjadi tersebut, seolah-olah dia tidak mengetahui apa-apa. Demikian sebaliknya sang istri berselingkuh dengan teman laki-lakinya sedangkan sang suami membutakan matanya seolah-olah dia tidak melihat apa-apa, setelah itu mereka bertemu di rumah pada penghabisan malam setelah semalaman keduanya menyerahkan tubuhnya kepada orang yang dicintainya. Nah jalan yang kedua inilah yang banyak dipilih oleh masyarakat modern sekarang ini, mengekor terhadap kaum nasrani dan yahudi yang mengingkari adanya talak. Bagaimana mungkin hubungan suami istri akan menjadi harmonis jika dia berdampingan dengan orang lain yang dia benci dan tidak dia cintai? Tidak pula dia kuasa untuk melihatnya, lantas bagaimana keduanya akan bekerjasama dengan menyatukan perasaan dan wataknya?
Oleh karena itu di antara negara-negara nasrani dan negara-negara yang lainnya akhirnya mengambil kebijakan untuk memperbolehkan terjadinya perceraian sekalipun harus menyelisihi akidah yang mereka yakini dan aturannya berlaku di muka bumi, karena melihat dampak negatif dan tidak adanya kemaslahatan dalam kehidupan.
Majlis permusyawaratan Perancis telah sepakat untuk menetapkan undang-undang diperbolehkannya cerai antara suami istri setelah berpisah dua tahun apabila keduanya sepakat untuk cerai, dan lima tahun apabila yang menyetujui perceraian hanya satu pthak. Sedangkan di negeri India, telah ditetapkan pula oleh parlemen India pada tanggal 14 Oktober 1954 tentang diperbolehkannya cerai dan dilarang cerai bagi sebagian tokoh-tokoh agama Hindu.
Di negara Italia majlis tingkat tinggi di Italia telah menetapkan diperbolehkannya cerai pada tahun 1970 karena melihat dampak buruk yang ditimbulkan dengan adanya larangan cerai sehingga harus bertentangan dengan negara Vatikan dalam hal tersebut.
Begitulah, pernikahan dan perceraian di dalam Islam adalah bukti keadilan Islam terhadap wanita dan demi kemaslahatan Wanita pula, begitu pula keduanya merupakan wujud penghargaan terhadap hak asasi manusia dan mendudukkan pada fitrahnya Sebagai manusia, menjaga kemuliaannya sehingga pastilah akan datang suatu hari --dengan kekuatan Allah-- yang menyeru kepada manusia yang tinggal di seluruh permukaan bumi untuk berhukum dengan syari’at Allah yang tidak ada di dalamnya kebatilan haik di depan ataupun di belakangnya yang diturunkan oleh Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Sebagai penutup dan pembahasan yang ringkas tentang talak di dalam Islam ini kami kutipkan uraian yang bagus dari da’i yang masyhur Sayyid Quthb Rahimahullah
”Dan jurang yang dalam di alam ini, Islam mengangkat martabat wanita dan dalam kaitannya dengan hubungan suami istri Islam memuliakan wanita sedemikian tinggi, suci dan mulia. Islam telah mengangkat wanita baik martabat, penghargaan, hak-hak dan jaminan. . . tatkala dia lahir dia tidak dikubur (sebagaimana kebiasaan jahiliyah sebelum datangnya Islam) dan tidak pula dihinakan. Ketika dewasa dia dilamar dan tidak berhak dia dinikahkan kecuali atas persetujuan darinya baik ketika dia sudah menjadi janda ataupun masih gadis. Sebagai seorang istri dia memiliki hak untuk dijaga yang dijamin oleh syari’at. Dan jelaslah dirinya memiliki hak-hak yang telah dirinci dalam syari’at Islam.
Islam mensyari’atkan itu semua bukan karena wanita tersebut berada di jazirah Arab atau di suatu tempat di alam ini yang di sana dia merasa tidak ridha, bukan pula karena perasaan laki-laki merasa tersiksa dengan menelantarkan para wanita, bukan karena di sana tinggal menjadi satu antara wanita Arab atau non Arab, bukan karena wanita telah masuk menjadi anggota majlis permusyawaratan (semacam MPR) dan bukan pula karena manusia-manusia di muka bumi bersepakat untuk merubah kondisi... akan tetapi semata-mata karena itu adalah syari’at dari langit untuk bumi..”
Masih adakah alasan setelah penjelasan tersebut bagi orang-orang yang suka ngomel dan menuduh untuk mengecap bahwa hukum tentang talak di dalam Islam adalah tindakan kekerasan dan penghinaan terhadap wanita??!!..
Masih adakah setelah itu keraguan pada diri mereka yang mengekor pada tuduhan para orientalis??!!..
Akan tetapi kenyataannya sebagaimana yang digambarkan oleh Allah :
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah : “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar).” Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.” (Al-Baqarah : 120).
---------
MENGENAL SHAHABIAH NABI S.A.W., Mahmud Mahdi Al-Istambuli dan Musthafa Abu Nashr Asy-Syalabi, Penerbit At-Tibyan Solo, cetakan kedua, Januari 2002, halaman 358 - 364
Apabila persoalan tersebut tidak ada lagi jalan tengah maka berarti urusan tersebut sangat mendasar sehingga ada kesenjangan dalam kehidupan manakala keduanya tetap berdampingan sebagai suami istri, tidak akan ada kestabilan dalam hidupnya dan mempertahankan hubungan suami istri yang demikian ini hanyalah akan menambah kesengsaraan dan keputusasaan. Sehingga merupakan keputusan yang bijaksana dan tepat jika perceraian harus terjadi dan mengakhiri kehidupan suami istri tersebut.
Sudah seharusnya kami jelaskan di sini bahwa manusia tidak boleh menceraikan pada setiap waktu yang sesuka hatinya. Akan tetapi menurut sunnah, hendaknya talak terjadi tatkala istri dalam keadaan suci dan belum pernah dicampuri setelah itu. Penundaan diputusnya ikatan suami istri dalam beberapa waktu setelah terjadinya kemarahan dan tindakan yang menunjukkan rasa tidak suka tersebut dimaksudkan untuk memberi kesempatan pada waktu-waktu tersebut kalau-kalau ada perubahan sikap dan Allah memperbaiki hubungan antara keduanya yang sedang berselisih sehingga tidak terjadi perceraian. Jika terpaksa terjadi perceraian, maka setelah itu ada masa 'iddah (masa menunggu) bagi wanita yang telah dicerai. Sehingga dalam waktu-waktu tersebut masih banyak kesempatan untuk kembali jika perasaan cinta kembali mengalir di hati dan ada harapan untuk menyambung tali yang putus dari ikatan suami istri.
Yang perlu diperhatikan pula bahwa Syari’at Islam adalah satu-satunya yang memiliki aturan untuk diperbolehkannya rujuk (kembalinya) suatu ikatan pernikahan setelah perceraian dan tidak ada hal itu dalam syari’at yang lain.
Ini semua menunjukkan keinginan Islam untuk mengembalikan ikatan suami istri di antara kedua mempelai dan juga untuk menjaga keluarga agar tidak terlantar dan bercerai berai, serta memperbaiki hubungan yang telah rusak antara sepasang suami istri berupa kasih sayang dan ketenangan.
Pelajaran yang dapat diambil tentang diperbolehkannya rujuk di dalam Islam hingga beberapa waktu adalah sebagai ujian bagi sepasang suami istri dan memberikan kesempatan untuk berfikir dan kembali rujuk karena kesalahan dan kealpaan yang telah dilakukan, juga agar keduanya menyesal dan bertaubat kemudian kembali membangun rumah tangga yang diliputi suasana cinta, kasih sayang, ketenangan dan kekeluargaan.
Dan jika problem yang terjadi tidak bisa diatasi sehingga kehidupan rumah tangga --sebagaimana yang kami katakan di depan-- laksana naar jahim sehingga sudah tidak lagi dapat dipertahankan maka harus dicari solusi yang real berdasarkan jaminan dan hak-hak yang telah ditetapkan dalam syari’at Islam dan hal itu tidak kami paparkan dalam kitab ini.
Ustadz Mahmud Syakir berkata: ”...Apabila kehidupan suami istri laksana naar jahim, tidak dapat dipertahankan lagi hubungan suami istri lantas bagaimanakah solusinya? Jawabnya : Kita melihat ada dua jalan yang di tempuh manusia, pertama adalah talak (perceraian), dan inilah cara yang dipilih oleh Islam. Yang kedua adalah dengan tetap mempertahankan ikatan suami istri secara formalnya sekalipun masing-masing tidak dapat saling berhubungan baik fisik maupun perasaannya, tidak ada pula rasa cinta dan kasih sayang bahkan tidak ada istilah berhias untuk suami, terlebih-lebih lagi keduanya memperturutkan hawa nafsunya ke dalam perkara yang haram sehingga terkadang sang suami menuruti kemauannya dengan cara hidup bersama teman wanitanya, sedangkan sang istri menutup mata terhadap apa yang terjadi tersebut, seolah-olah dia tidak mengetahui apa-apa. Demikian sebaliknya sang istri berselingkuh dengan teman laki-lakinya sedangkan sang suami membutakan matanya seolah-olah dia tidak melihat apa-apa, setelah itu mereka bertemu di rumah pada penghabisan malam setelah semalaman keduanya menyerahkan tubuhnya kepada orang yang dicintainya. Nah jalan yang kedua inilah yang banyak dipilih oleh masyarakat modern sekarang ini, mengekor terhadap kaum nasrani dan yahudi yang mengingkari adanya talak. Bagaimana mungkin hubungan suami istri akan menjadi harmonis jika dia berdampingan dengan orang lain yang dia benci dan tidak dia cintai? Tidak pula dia kuasa untuk melihatnya, lantas bagaimana keduanya akan bekerjasama dengan menyatukan perasaan dan wataknya?
Oleh karena itu di antara negara-negara nasrani dan negara-negara yang lainnya akhirnya mengambil kebijakan untuk memperbolehkan terjadinya perceraian sekalipun harus menyelisihi akidah yang mereka yakini dan aturannya berlaku di muka bumi, karena melihat dampak negatif dan tidak adanya kemaslahatan dalam kehidupan.
Majlis permusyawaratan Perancis telah sepakat untuk menetapkan undang-undang diperbolehkannya cerai antara suami istri setelah berpisah dua tahun apabila keduanya sepakat untuk cerai, dan lima tahun apabila yang menyetujui perceraian hanya satu pthak. Sedangkan di negeri India, telah ditetapkan pula oleh parlemen India pada tanggal 14 Oktober 1954 tentang diperbolehkannya cerai dan dilarang cerai bagi sebagian tokoh-tokoh agama Hindu.
Di negara Italia majlis tingkat tinggi di Italia telah menetapkan diperbolehkannya cerai pada tahun 1970 karena melihat dampak buruk yang ditimbulkan dengan adanya larangan cerai sehingga harus bertentangan dengan negara Vatikan dalam hal tersebut.
Begitulah, pernikahan dan perceraian di dalam Islam adalah bukti keadilan Islam terhadap wanita dan demi kemaslahatan Wanita pula, begitu pula keduanya merupakan wujud penghargaan terhadap hak asasi manusia dan mendudukkan pada fitrahnya Sebagai manusia, menjaga kemuliaannya sehingga pastilah akan datang suatu hari --dengan kekuatan Allah-- yang menyeru kepada manusia yang tinggal di seluruh permukaan bumi untuk berhukum dengan syari’at Allah yang tidak ada di dalamnya kebatilan haik di depan ataupun di belakangnya yang diturunkan oleh Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Sebagai penutup dan pembahasan yang ringkas tentang talak di dalam Islam ini kami kutipkan uraian yang bagus dari da’i yang masyhur Sayyid Quthb Rahimahullah
”Dan jurang yang dalam di alam ini, Islam mengangkat martabat wanita dan dalam kaitannya dengan hubungan suami istri Islam memuliakan wanita sedemikian tinggi, suci dan mulia. Islam telah mengangkat wanita baik martabat, penghargaan, hak-hak dan jaminan. . . tatkala dia lahir dia tidak dikubur (sebagaimana kebiasaan jahiliyah sebelum datangnya Islam) dan tidak pula dihinakan. Ketika dewasa dia dilamar dan tidak berhak dia dinikahkan kecuali atas persetujuan darinya baik ketika dia sudah menjadi janda ataupun masih gadis. Sebagai seorang istri dia memiliki hak untuk dijaga yang dijamin oleh syari’at. Dan jelaslah dirinya memiliki hak-hak yang telah dirinci dalam syari’at Islam.
Islam mensyari’atkan itu semua bukan karena wanita tersebut berada di jazirah Arab atau di suatu tempat di alam ini yang di sana dia merasa tidak ridha, bukan pula karena perasaan laki-laki merasa tersiksa dengan menelantarkan para wanita, bukan karena di sana tinggal menjadi satu antara wanita Arab atau non Arab, bukan karena wanita telah masuk menjadi anggota majlis permusyawaratan (semacam MPR) dan bukan pula karena manusia-manusia di muka bumi bersepakat untuk merubah kondisi... akan tetapi semata-mata karena itu adalah syari’at dari langit untuk bumi..”
Masih adakah alasan setelah penjelasan tersebut bagi orang-orang yang suka ngomel dan menuduh untuk mengecap bahwa hukum tentang talak di dalam Islam adalah tindakan kekerasan dan penghinaan terhadap wanita??!!..
Masih adakah setelah itu keraguan pada diri mereka yang mengekor pada tuduhan para orientalis??!!..
Akan tetapi kenyataannya sebagaimana yang digambarkan oleh Allah :
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah : “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar).” Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.” (Al-Baqarah : 120).
---------
MENGENAL SHAHABIAH NABI S.A.W., Mahmud Mahdi Al-Istambuli dan Musthafa Abu Nashr Asy-Syalabi, Penerbit At-Tibyan Solo, cetakan kedua, Januari 2002, halaman 358 - 364
Tidak ada komentar:
Posting Komentar