CALON KEPALA SUKU YANG GAGAL
Dia adalah seorang yang terkemuka diantara penduduk Medinah. Dia mempunyai pengaruh yang cukup besar diantara semua penduduk Medinah, selain dan pada kaum Yahudi. Kedua-duanya suku Arab, Banu Chazradj dan Banu Aus yang tinggal di Medinah sudah merancang akan menobatkan Abdullah bin Ubay jadi kepala mereka semua.
Sebelum Rasulullah s.a.w. hijrah ke Medinah sudah mulai ada dari anggauta kedua suku itu yang dengan sengaja datang ke Mekkah menjumpai Rasulullah s.a.w., dan mereka masuk Islam.
Bagi Abdullah bin Ubay hal ini tidak menjadi persoalan. Berlainan dengan Abu Lahab, yang selain sudah mempunyai kedudukan dan amat fanatik kepada ”agama” Quraisy, Abdullah bin Ubay bukanlah seorang yang berpegang teguh kepada salah satu kepercayaan, atau ideologi dan bersedia mempertahankannya dengan sungguh-sungguh. Kalaulah ada cita-cita hidup yang dianutnya secara konsekwen, itu adalah ambisinya kepada pengaruh, kedudukan dan kekuasaan.
Malang akan tumbuh, baru saja idam-idamannya akan berhasil jadi Kepala Suku Aus dan Chazrady, Rasulullah s.a.w. beserta Muhajirin hijrah dan disambut oleh Muslimin Medinah (Anshar), yang terdiri hampir seluruhnya dari anggauta-anggauta suku Aus dan Chazrady itu. Semua memandang Rasulullah s.a.w. sebagai Pemimpin dan Panutan mereka sehidup semati. Tak disebut-sebut lagi suku ini dan suku itu. Yang disebut dan dijadikan pegangan ialah Jama’ah Islamiyah, langsung dibawah tuntunan yang satu, yaitu Rasulullah s.a.w.
Abdullah bin Ubay dilupakan orang: dia tersisih kepinggir. Hal ini sangat mengecewakan Abdullah bin Ubay. Dia memandang Muhammad s.a.w. sebagai seorang yang tiba-tiba datang dan memotong jalan baginya sama sekali untuk berkuasa di Medinah. Andaikata sekarang ia masuk Islam bersama-sama dengan teman seanggota sukunya Chazradj itu, itupun tidak akan membukakan pintu untuk jadi berkuasa. Nomornya akan sama saja dengan nomor anggota sepesukuannya yang lain-lain. Jadi tidak ada rencananya untuk masuk Islam. Seluruh pikirannya ditujukannya kepada satu tujuan yaitu bagaimana menuntut balas dan menghancurkan kekuatan ummat Islam dan dengan demikian mengusir Muhammad dari Medinah. Soalnya: soal ambisi, bukan soal aqiedah atau pendirian.
PURA-PURA MASUK ISLAM
Dilihatnya kekuatan ummat Islam itu kian hari kian besar juga, walaupun diserang dari luar terus menerus oleh Quraisy Mekkah. Lebih-lebih lagi, sesudah dua tahun di Medinah, ummat Islam mendapat kemenangan diperang Badr.
Semenjak itu Abdullah bin Ubay mengambil taktik lain. Diajaknya pendukung-pendukungnya masuk Islam secara pura-pura. Dengan begitu, dia akan ada kesempatan untuk menghancurkan kekuatan Islam dari dalam. Disamping itu ada dua kekuatan yang memusuhi Islam, yang dapat digunakannya untuk mencapai maksudnya, yaitu Musyrikin Quraisy Mekkah, dan golongan Yahudi Medinah.
Untuk melakukan satu dan lainnya, Abdullah bin Ubay cs mempunyai satu senjata, yaitu satu seni bermuka dua (dan kalau perlu bermuka sepuluh).
”Dan apabila mereka bertemu dengan orang-orang yang beriman, mereka berkata: ”Kami telah beriman”, tetapi apabila bersendirian dengan ketua-ketua mereka, mereka berkata: ”Sesungguhnya kami beserta kamu, kami hanya memperolok-olok mereka itu”. (Al-Baqarah : 14).
Antara lain dalam surat Al-Hasyr ayat 11 Allah berfirman:
”Tidakkah engkau perhatikan orang-orang munafiq (golongan Abdullah bin Ubay, berkata kepada kaum Yahudi yang hendak diusir keluar Medinah) yang berkata kepada saudara-saudara mereka yang kafir dan Ahli Kitab : ”Jika kamu diusir keluar, sesungguhnya kami akan keluar bersama kamu, dan kami tidak akan sekali-kali tunduk kepada siapapun yang (menyusahkan) kamu; dan jika kamu diperangi, sesungguhnya kami akan tolong kamu, padahal Allah menyaksikan bahwasanya mereka itu orang-orang yang berdusta”.
Diriwayatkan, bagaimana Banu Nadhir, yang sudah kedapatan bersekongkol dengan kaum Quraisy untuk memerangi ummat Islam dan dengan demikian telah menghianati perjanjian co-existensi antara kaum Yahudi dan Muslimin. Mereka diperintahkan oleh Rasulullah supaya mereka jangan mau pergi, dan supaya bertahan di Medinah. Abdullah bin Ubay cs berjanji akan sehidup semati dengan mereka. Tetapi sesudah Banu Nadhir dikepung oleh Ummat Islam, selama tiga minggu, sehingga mereka menyerah, Abdullah bin Ubay cs berpangku tangan, pura-pura tak tahu.
Walhasil dengan senjata seribu muka itu, Abdullah bin Ubay hanya merupakan bala’ bagi semua orang yang berhubung dengan mereka, baik Muslimin maupun Quraisy ataupun Yahudi.
KEWASPADAAN RASULULLAH S.A.W.
Cara Rasulullah s.a.w. menghadapi Abdullah bin Ubay cs ini adalah sebagai berikut:
1. Mensinyalir mereka dan sifat-sifat mereka supaya diketahui oleh ummat Muhammad s.a.w.
2. Dalam ”social intercourse”, hablun minannas, mereka diperlakukan sebagai Muslimin, tetapi semua gerak-geriknya diawasi.
3. Mereka tidak dihukum a priori, dalam hal-hal kehidupan atau hubungan sehari-hari. Tetapi kalau sudah mengenai hubungan dengan Khaliq (Allah s.w.t.) ditarik garis demarkasi yang tegas. Umpamanya, tatkala Abdullah bin Ubay dekat sakaratul maut, dia minta mantel Rasulullah s.a.w. untuk jadi kafannya, Rasulullah berikan mantelnya. Akan tetapi turun ayat yang tegas supaya jangan sekali-kali mendoakan seorang munafiq seperti Abdullah bin Ubay itu.
4. Dibidang perjuangan (jihad) mereka yang seperti itu, sama sekali tidak boleh campur (diisolir).
”..............lalu mereka minta izin kepadanya untuk keluar (bersama-sama berperang), maka katakanlah: ”kamu tidak akan (diperkenankan) keluar (berperang) bersama-samaku, selama-lamanya; dan kamu tidak akan diperkenankan memerangi musuh bersamaku: maka duduklah sekarang bersama-sama orang yang tinggal”. (At-Taubah 83).
AMBISINYA DIBAWA MATI
Abdullah bin Ubay seorang yang aktif dan lincah bertekun dalam segala kekufuran, ambisi dan tipu dayanya kontinyu, on purpose dari mula sampai akhir. Malah diwaktu nyawanya akan melayangpun, di usahakannya supaya dapat berkafankan jubbah Rasulullah s.a.w., supaya matinya jadi sebutan orang dan dapat ”dibanggakan” oleh anak-cucunya.
”Berkafankan jubbah Rasulullah !“ — setetes air untuk kerongkongan mersik, oleh kehausan kepada ”nama” dan ”kedudukan”
KAFIR TIDAK, MUKMINPUN TIDAK
Disamping itu tidaklah pula setiap ”bunglon” sama dengan Abdullah bin Ubay. Kebanyakan bunglon hanya ”menyesuaikan diri” dengan pasif, mengurbankan segala kehormatan atau ”kelaki-lakiannya”. Lantaran ketakutan melihat hantu disiang hari.
”............ mereka takut kepada manusia seperti takut kepada Allah, atau malah lebih takut lagi! “. (An-Nisa 77).
Mereka ini bukan kafir, tetapi iman mereka belum tahan uji; mereka belum bisa menilai sesuatu dalam perspektifnya sejarah. Lantaran itu mudah sekali terombang-ambing oleh “the passing trend of immediate things” tapi tidak sampai berkhianat.
Kalau keadaan berubah menjadi baik, merekapun banyak yang taubat kembali. Bila taubat mereka ikhlas (bukan ala bunglon pula) maka Allah mengampuni, dan Rasulullahpun memaafkan. Tetapi untuk sama-sama duduk dalam cockpit jihad, itu lain soalnya. Tentu tidak bisa! !!.
Allah berfirman dalam Al-Qur’an surat At-Taubah ajat 102-103.
”Dan yang sebagian lainnya mengakui akan dósa-dosa mereka. Mereka campurkan amal yang baik dengan yang jelek. Mudah-mudahan Allah ampuni mereka, karena sesungguhnya Allah maha Pengampun lagi Penyayang”.
”Ambillah dari harta-harta mereka shadaqah yang engkau bersihkan dan sucikan mereka dengannya dan do’akanlah mereka, karena sesungguhnya. do’amu (adalah) satu ketenteraman bagi mereka, karena Allah itu Mendengar lagi Mengetahui”.
(Taubah: 102-103).
---------
Disajikan kembali dari buku “Dibawah Naungan Risalah” tulisan M. Natsir, Sinar Hudaya – Documenta 1971, halaman 51 - 58
Dia adalah seorang yang terkemuka diantara penduduk Medinah. Dia mempunyai pengaruh yang cukup besar diantara semua penduduk Medinah, selain dan pada kaum Yahudi. Kedua-duanya suku Arab, Banu Chazradj dan Banu Aus yang tinggal di Medinah sudah merancang akan menobatkan Abdullah bin Ubay jadi kepala mereka semua.
Sebelum Rasulullah s.a.w. hijrah ke Medinah sudah mulai ada dari anggauta kedua suku itu yang dengan sengaja datang ke Mekkah menjumpai Rasulullah s.a.w., dan mereka masuk Islam.
Bagi Abdullah bin Ubay hal ini tidak menjadi persoalan. Berlainan dengan Abu Lahab, yang selain sudah mempunyai kedudukan dan amat fanatik kepada ”agama” Quraisy, Abdullah bin Ubay bukanlah seorang yang berpegang teguh kepada salah satu kepercayaan, atau ideologi dan bersedia mempertahankannya dengan sungguh-sungguh. Kalaulah ada cita-cita hidup yang dianutnya secara konsekwen, itu adalah ambisinya kepada pengaruh, kedudukan dan kekuasaan.
Malang akan tumbuh, baru saja idam-idamannya akan berhasil jadi Kepala Suku Aus dan Chazrady, Rasulullah s.a.w. beserta Muhajirin hijrah dan disambut oleh Muslimin Medinah (Anshar), yang terdiri hampir seluruhnya dari anggauta-anggauta suku Aus dan Chazrady itu. Semua memandang Rasulullah s.a.w. sebagai Pemimpin dan Panutan mereka sehidup semati. Tak disebut-sebut lagi suku ini dan suku itu. Yang disebut dan dijadikan pegangan ialah Jama’ah Islamiyah, langsung dibawah tuntunan yang satu, yaitu Rasulullah s.a.w.
Abdullah bin Ubay dilupakan orang: dia tersisih kepinggir. Hal ini sangat mengecewakan Abdullah bin Ubay. Dia memandang Muhammad s.a.w. sebagai seorang yang tiba-tiba datang dan memotong jalan baginya sama sekali untuk berkuasa di Medinah. Andaikata sekarang ia masuk Islam bersama-sama dengan teman seanggota sukunya Chazradj itu, itupun tidak akan membukakan pintu untuk jadi berkuasa. Nomornya akan sama saja dengan nomor anggota sepesukuannya yang lain-lain. Jadi tidak ada rencananya untuk masuk Islam. Seluruh pikirannya ditujukannya kepada satu tujuan yaitu bagaimana menuntut balas dan menghancurkan kekuatan ummat Islam dan dengan demikian mengusir Muhammad dari Medinah. Soalnya: soal ambisi, bukan soal aqiedah atau pendirian.
PURA-PURA MASUK ISLAM
Dilihatnya kekuatan ummat Islam itu kian hari kian besar juga, walaupun diserang dari luar terus menerus oleh Quraisy Mekkah. Lebih-lebih lagi, sesudah dua tahun di Medinah, ummat Islam mendapat kemenangan diperang Badr.
Semenjak itu Abdullah bin Ubay mengambil taktik lain. Diajaknya pendukung-pendukungnya masuk Islam secara pura-pura. Dengan begitu, dia akan ada kesempatan untuk menghancurkan kekuatan Islam dari dalam. Disamping itu ada dua kekuatan yang memusuhi Islam, yang dapat digunakannya untuk mencapai maksudnya, yaitu Musyrikin Quraisy Mekkah, dan golongan Yahudi Medinah.
Untuk melakukan satu dan lainnya, Abdullah bin Ubay cs mempunyai satu senjata, yaitu satu seni bermuka dua (dan kalau perlu bermuka sepuluh).
”Dan apabila mereka bertemu dengan orang-orang yang beriman, mereka berkata: ”Kami telah beriman”, tetapi apabila bersendirian dengan ketua-ketua mereka, mereka berkata: ”Sesungguhnya kami beserta kamu, kami hanya memperolok-olok mereka itu”. (Al-Baqarah : 14).
Antara lain dalam surat Al-Hasyr ayat 11 Allah berfirman:
”Tidakkah engkau perhatikan orang-orang munafiq (golongan Abdullah bin Ubay, berkata kepada kaum Yahudi yang hendak diusir keluar Medinah) yang berkata kepada saudara-saudara mereka yang kafir dan Ahli Kitab : ”Jika kamu diusir keluar, sesungguhnya kami akan keluar bersama kamu, dan kami tidak akan sekali-kali tunduk kepada siapapun yang (menyusahkan) kamu; dan jika kamu diperangi, sesungguhnya kami akan tolong kamu, padahal Allah menyaksikan bahwasanya mereka itu orang-orang yang berdusta”.
Diriwayatkan, bagaimana Banu Nadhir, yang sudah kedapatan bersekongkol dengan kaum Quraisy untuk memerangi ummat Islam dan dengan demikian telah menghianati perjanjian co-existensi antara kaum Yahudi dan Muslimin. Mereka diperintahkan oleh Rasulullah supaya mereka jangan mau pergi, dan supaya bertahan di Medinah. Abdullah bin Ubay cs berjanji akan sehidup semati dengan mereka. Tetapi sesudah Banu Nadhir dikepung oleh Ummat Islam, selama tiga minggu, sehingga mereka menyerah, Abdullah bin Ubay cs berpangku tangan, pura-pura tak tahu.
Walhasil dengan senjata seribu muka itu, Abdullah bin Ubay hanya merupakan bala’ bagi semua orang yang berhubung dengan mereka, baik Muslimin maupun Quraisy ataupun Yahudi.
KEWASPADAAN RASULULLAH S.A.W.
Cara Rasulullah s.a.w. menghadapi Abdullah bin Ubay cs ini adalah sebagai berikut:
1. Mensinyalir mereka dan sifat-sifat mereka supaya diketahui oleh ummat Muhammad s.a.w.
2. Dalam ”social intercourse”, hablun minannas, mereka diperlakukan sebagai Muslimin, tetapi semua gerak-geriknya diawasi.
3. Mereka tidak dihukum a priori, dalam hal-hal kehidupan atau hubungan sehari-hari. Tetapi kalau sudah mengenai hubungan dengan Khaliq (Allah s.w.t.) ditarik garis demarkasi yang tegas. Umpamanya, tatkala Abdullah bin Ubay dekat sakaratul maut, dia minta mantel Rasulullah s.a.w. untuk jadi kafannya, Rasulullah berikan mantelnya. Akan tetapi turun ayat yang tegas supaya jangan sekali-kali mendoakan seorang munafiq seperti Abdullah bin Ubay itu.
4. Dibidang perjuangan (jihad) mereka yang seperti itu, sama sekali tidak boleh campur (diisolir).
”..............lalu mereka minta izin kepadanya untuk keluar (bersama-sama berperang), maka katakanlah: ”kamu tidak akan (diperkenankan) keluar (berperang) bersama-samaku, selama-lamanya; dan kamu tidak akan diperkenankan memerangi musuh bersamaku: maka duduklah sekarang bersama-sama orang yang tinggal”. (At-Taubah 83).
AMBISINYA DIBAWA MATI
Abdullah bin Ubay seorang yang aktif dan lincah bertekun dalam segala kekufuran, ambisi dan tipu dayanya kontinyu, on purpose dari mula sampai akhir. Malah diwaktu nyawanya akan melayangpun, di usahakannya supaya dapat berkafankan jubbah Rasulullah s.a.w., supaya matinya jadi sebutan orang dan dapat ”dibanggakan” oleh anak-cucunya.
”Berkafankan jubbah Rasulullah !“ — setetes air untuk kerongkongan mersik, oleh kehausan kepada ”nama” dan ”kedudukan”
KAFIR TIDAK, MUKMINPUN TIDAK
Disamping itu tidaklah pula setiap ”bunglon” sama dengan Abdullah bin Ubay. Kebanyakan bunglon hanya ”menyesuaikan diri” dengan pasif, mengurbankan segala kehormatan atau ”kelaki-lakiannya”. Lantaran ketakutan melihat hantu disiang hari.
”............ mereka takut kepada manusia seperti takut kepada Allah, atau malah lebih takut lagi! “. (An-Nisa 77).
Mereka ini bukan kafir, tetapi iman mereka belum tahan uji; mereka belum bisa menilai sesuatu dalam perspektifnya sejarah. Lantaran itu mudah sekali terombang-ambing oleh “the passing trend of immediate things” tapi tidak sampai berkhianat.
Kalau keadaan berubah menjadi baik, merekapun banyak yang taubat kembali. Bila taubat mereka ikhlas (bukan ala bunglon pula) maka Allah mengampuni, dan Rasulullahpun memaafkan. Tetapi untuk sama-sama duduk dalam cockpit jihad, itu lain soalnya. Tentu tidak bisa! !!.
Allah berfirman dalam Al-Qur’an surat At-Taubah ajat 102-103.
”Dan yang sebagian lainnya mengakui akan dósa-dosa mereka. Mereka campurkan amal yang baik dengan yang jelek. Mudah-mudahan Allah ampuni mereka, karena sesungguhnya Allah maha Pengampun lagi Penyayang”.
”Ambillah dari harta-harta mereka shadaqah yang engkau bersihkan dan sucikan mereka dengannya dan do’akanlah mereka, karena sesungguhnya. do’amu (adalah) satu ketenteraman bagi mereka, karena Allah itu Mendengar lagi Mengetahui”.
(Taubah: 102-103).
---------
Disajikan kembali dari buku “Dibawah Naungan Risalah” tulisan M. Natsir, Sinar Hudaya – Documenta 1971, halaman 51 - 58
Tidak ada komentar:
Posting Komentar