Jumat, 18 Juli 2014

Ahlus Sunnah Wal Jama'ah (3)

TAQLID
Taqlid ialah mengikuti paham orang lain dengan tidak mengetahui atau bermaksud mengetahui alasannya, atau mengetahui alasannya lalu dengan mutlak mengakui kebenarannya sambil menyatakan atau tidak mengambil perhatian atas pendapat serta alasan pihak lain. Umpamanya jika kita taqlid kepada Imam Syafi’i kita ikuti saja hukum-hukum yang ditetapkannya dengan tidak merasa perlu mengetahui dalilnya, atau mengetahuinya sambil secara apriori menolak pendapat ulama lain atau tidak mengambil perhatian atas dalil-dalil ulama lain itu. Maka taqlid itu mengandung arti; Secara mutlak meyakini kebenaran seseorang tertentu dengan atau tanpa mengetahui alasannya dan dalilnya.
Taqlid ini asalnya bukan dari agama Islam melainkan peninggalan dari agama Yahudi yang dikepalai oleh pendeta-pendetanya (rabbaniyyun). Mereka mempunyai kekuasaan mutlak mengenai agama, dan apapun perkataannya wajib dianggap benar dan dita’ati, seperti yang difirmankan Allah :
“Mereka menjadikan pendeta dan orang saleh mereka sebagai Tuhan selain Allah”.
Mempertuhan pendeta, artinya menganggap bahwa para pendeta itu wakil Tuhan, wajib dita’ati sebarang perintah dan perkataannya. Unsur ini tidak seluruhnya masuk ke dalam keyakinan ummat Islam, melainkan sebagiannya, yaitu anggapan bahwa para ulama itu wali dan kekasih Allah dan keramat. Inilah gejala yang bisa menimbulkan Khurafat atau syirik. Ada sebagiannya yang lebih ringan dan lebih kecil, yaitu anggapan bahwa sebarang fatwa dan hukum yang ditetapkan oleh ulama adalah pasti benar dan wajib ta’ati baik dengan mengetahui alasannya atau tidak, inilah dia taqlid itu. Imam tempat bertaqlid umumnya ada tempat yaitu Madzhab Empat telah disebut terdahulu. Kadang-kadang kaum taqlid mengecap sesat atau kafir kepada orang yang tidak bertaqlid, tentu ini sekedar ekses yang berlebih-lebihan.
Padahal Imam-imam Empat itu sendiri melarang taqlid. Inilah perkataan mereka antara lain :
  1. Berkata Imam Abu Hanifah : “Terlarang bagi orang yang tidak mengetahui dalilku untuk memberi fatwa dengan perkataanku”. “Ini hanya sekedar pendapat Abu Hanifah. Maka siapa saja mendapakan ijtihad yang lebih baik niscaya akan kami terima”.
  2. Berkata Imam Malik ketika memberikan hukum dari hasil ijtihadnya : “Nilailah ijtihadku ini oleh karena mengenai perkara agama (jangan terus diterima saja). Tidak seorang manusia kecuali dapat diterima perkataannya dan dapat pula ditolak, kecuali manusia yang dimakamkan dalam kuburan ini (ya’ni Rasulullah, yang sabdanya harus diterima tidak boleh ditolak). “Saya ini manusia biasa, dapat salah dan bisa benar. Karena itu nilailah pendapatku dan setiap sesuai dengan Kitab dan Sunnah maka terimalah, dan jika tidak sesuai dengan Kitab dan Sunnah maka tinggalkanlah!”
  3. Berkata Imam Syafi’i : “Jika kamu sekalian berpendapat bahwa perkataan saya menyalahi perkataan Rasulullah maka amalkanlah perkataan Rasulullah dan perkataan saya itu lemparkan saja keluar pagar”. “Berkata Imam Syafi’i kepada Rabi’ muridnya : Janganlah engkau beritaqlid padaku tentang tiap apa yang kukatakan, melainkan engkau sendiri harus memikirkan (menyelidiki) dalam perkara itu, karena itu sesuatu mengenai agama”. “Jika sesuatu Hadits ternyata shahih, maka itulah madzhabku”. “Tiada halal bertaqlid kepada seseorang selain kepada Nabi s.a.w.”.
  4. Berkata Imam Ahmad bin Hanbal : “Berpikirlah (selidikilah) dalam perkara agamamu, sebab taqlid kepada orang yang tidak ma’shum itu tercela dan membuta-tulikan hatisanubari”. (Manusia yang ma ‘shum atau terhindar dari kesalahan hanyalah Rasul dan Nabi). “Tercela sekali orang yang telah diberi pelita untuk dijadikan penerangan tetapi dia sendiri padamkan pelita itu lalu ia berjalan bergantung pada orang lain”. (Orang yang mematikan atau membekukan akalnya lalu taqlid pada pendapat orang lain). “Jangan sekali-kali engkau taqlid kepadaku, jangan pula taqlid kepada Imam Malik, jangan pula kepada Imam Auza’i dan jangan pula kepada Imam Nakha ‘i serta jangan pula kepada lain-lainnya. Ambillah hukum langsung dari mana mereka mengambil” (yaitu Quran dan Sunnah Rasul).

Jelaslah bahwa Imam-imam yang ditaqlidi orang itu sebenarnya melarang taqlid dan tidak rela ditaqlidi. Taqlid yang dibolehkan bahkan diwajibkan, hanya kepada seorang manusia saja, yaitu Rasulullah.
Jelas bahwa taqlid itu dilarang, dan berfikir untuk mengetahui dalil-dalil setiap hukum itu diperintahkan dalam agama. Menerima hukum dengan mengetahui dalilnya Quran dan Hadits itu dinamakan ittiba’. Mencari hukum sesuatu yang belum ada nasnya yang jelas dan tegas dalam Quran dan Sunnah, ini bernama ijtihad. Ijtihad dan ittiba’ hukumnya wajib. Orang alim atau guru yang mengerjakan sesuatu hukum, wajib menerangkan dalil-dalilnya agar orang dapat berittiba’. Cela sekali ulama yang mau atau ingin ditaqlidi.
------------------------
Ahlus Sunnah Wal Jama'ah - Bid'ah Khurafat, H. Djarnawi Hadikusuma, PT. Percetakan Persatuan Yogyakarta, Cetakan Ke IV, halaman 9-12.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar