Rabu, 16 Juli 2014

Ahlus Sunnah Wal Jama'ah (2)

IJTIHAD
Sumber dari segala ajaran dan hukum Islam ialah Al-Quran dan Sunnah Rasul, tentang ini tiada seorangpun ummat Islam yang mengingkari, bahkan tidaklah bernama Muslim orang yang mengingkari Al-Quran dan Sunnah Rasul sebagai sumber ajaran dan hukum Islam. Selama hayat Rasulullah tidak terdapat kesulitan apa-apa tentang hal hukum dan pelaksanaan perintah karena segala sesuatu yang terasa musykil dapat ditanyakan langsung pada Rasulullah. Setelah beliau wafat segala pertanyaan dihadapkan kepada para sahabat, yang kadang-kadang terdapat sedikit perbedaan dalam jawabannya. Setelah wafat para sahabat datanglah zaman tabi’in dan tabi’it-tabi’in dimana agama Islam telah merata di sekeliling jazirah Arab seperti Persi dan Spanyol. Persoalan bertambah banyak dan bermacam-macam. Pentafsiran ayat Quran bertambah luas serta penggalian Hadits dan kedudukannya menjadi penyelidikan yang terutama. Para ulama sama giat berijtihad mengambil hukum beralaskan Quran dan Sunnah dalam perkara yang jelas berdalil yang qoth’i (tegas) dari Quran dan Sunnah itu. Sudah tentu hasil ijtihad para ulama itu tidak selama sama, sering berlainan kadang-kadang menjadi pertikaian secara ilmiyah. Pertikaian faham secara ilmiyah yang pada hakekatnya telah mendorong lahirnya kemajuan dalam ilmu agama dan segala alat-alatnya itu, akhirnya pada akhir abad keempat hijrah oleh para ulama terkemuka pada masa itu ijtihad ditutup dan dihentikan. Orang tidak lagi diperkenankan berijtihad untuk menghindarkan lahirnya pertikaian-pertikaian paham, serta menganggap bahwa ijtihad para ulama sebelum itu telah cukup mencakup segala bidang dan segi dan tidak dan tidak ada ijtihad baru. Bahkan para mujtahidin yang banyak jumlahnya itu, hanya empat ulama saja yang ijtihadnya dapat dianggap sebagai pegangan, Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Ahmad bin Hambal dan Imam Syafi’i. Maka timbullah nama Madzhab Empat yang terkenal yang sering dimasyhurkan di Indonesia ini oleh segolongan orang dengan nama Madzhab Sunnah Wal-Jama’ah, Mufti dan Qodli diharuskan memberi hukum dengan madzhab empat itu. Kemudian para ulama abad itu menentukan syarat-syarat untuk dapat berijtihad yang sebenarnya tidak perlu lagi kalau pintu ijtihad telah ditutup. Adapun syarat-untuk dapat berijtihad tidak sama pada pendapat para ulama, ada yang terlalu berat ada yang tidak. Syarat yang terlalu berat ialah terdiri dari 16 ilmu yang harus dimiliki oleh seorang yang hendak berijtihad. Keenambelas ilmu itu harus dikuasai secara mendalam dan dapat diingat sekaligus setiap waktu, yaitu ilmu-ilmu yang dinamakan alat ijtihad seperti ilmu bahasa Arab lengkap dengan nahwuf-shorof, ma’ani, bajan dan badi’, asbabun-nuzul, ilmu hadits dengan cabangangnya, hafal sekian ribu hadits dengan sanadnya, mempunyai pengertian dalam tentang maksud ayat-ayat Al-Quran dan Hadits, dan sebagainya.
Adapun syarat yang tidak terlalu berat itu ialah :
  1. Mengetahui ayat-ayat Quran dan Hadits yang menurut Imam Ghazali dan Ibnul Arabi, jumlah ayat-ayat Quran yang paling sedikit harus diketalui ialah 500 ayat yang mengenai hukum. Tentang Hadits ada yang menyatakan 3000 ada yang 1200, dengan derajatnya serta sanad dan perawinya, ada yang mengharuskan mengetahui Hadits-hadits dalam kitab enam. Baik mengenai Quran dan Hadits yang harus diketahui itu, tidak disyaratkan harus hafal di luar kepala.
  2. Mengetahui soal ijma’ (keputusan musyawarah para ulama), sehingga tidak memutuskan sesuatu yang menyalahi ijma’, jika ia menganggap ijma’ sebagai dalil syara’. Jika tidak, tak ada ikatan yang menahan dia memutuskan sesuatu yang menyelisihi ijma’.
  3. Mengetahui Bahasa Arab dengan mendalam untuk dapat memahami pengertian Al-Quran.
  4. Mengetahui dengan mendalam tentang ilmu Usul Fekih.
  5. Mengetahui nasich dan mansuch, yaitu hukum yang termaktub dalam ayat-ayat Al-Quran yang telah dibatalkan oleh ayat lainnya.

Penetapan syarat-syarat itu dilakukan oleh para ulama, yang juga berlainan pendapatnya. Syarat yang terlalu berat itu memang dapat dianggap seakan-akan sebagai alat penutupan pintu ijtihad, tetapi juga dianggap sebagai penetapan masih terbukanya pintu ijtihad meskipun dengan syarat yang amat berat.
Paham penutupan pintu ijtihad dari sejak abad ke 4 hijrah itu telah mengalir ke Indonesia. Paham pembaharuan bahwa pintu ijtihad belum tertutup yang dikobarkan oleh ulama Ibnu Taimiyah (wafat th. 728 H.) dan muridnya Ibnu Qayyim (wafat th 751 H.) yang dalam perkembangannya kemudian paham pembaharuan ini selanjutnya oleh Jamaluddin al-Afghani, Muhammad ‘Abduh, Rasyid Ridla dan lain-lainnya, juga mengalir ke Indonesia. Kedua paham ini baik di sana atau di Indonesia bersaing satu dengan lainnya, beradu kuat merebut opini masyarakat. Persaingan itu bisa menimbulkan perpecahan yang mendalam. Sampai-sampai orang bisa berkata : “Adalah suatu tugas suci bagi saya untuk menghilangkan pengaruh ‘Abduh”. Padahal satu-satunya tugas suci (le mision sacre) dalam perintah Allah ialah da’wah Islam. Ataupun kalau ada lainnya lagi, tentu bukan menghapuskan pengaruh ajaran Syekh Muhammad ‘Abduh.

Apakah sebaiknya kita berijtihad
Seyogyanyalah kita berpendapat bahwa pintu ijtihad belum pernah tertutup. Tetapi apakah kita harus mengaku telah berijtihad itu persoalan lain pula. Janganlah kita menyombongkan diri dengan mengatakan kita telah berijtihad. Tetapi yang penting ialah pendapat : “Pintu ijtihad belum tertutup dan masih banyak hal-hal yang perlu diijtihadkan. Marilah belajar dan belajar agar kita cerdas dan ‘alim untuk berijtihad. Siapa yang telah cukup ‘alim, silahkan berijtihad”. Ini pendirian setiap pikiran yang hidup. Hasil para ulama dahulu khususnya Imam Madzhab Empat wajib kita hormati, kita pedomani, kita pelajari, tetapi tidak menutup pintu. Mudah-mudahan Allah memberi mereka rahmat dan pahala yang berlipat ganda. Empat yang kita kemukakan itu tidak pernah menutup pintu ijtihad, tetapi melarang bertaqlid.
------------------------
Ahlus Sunnah Wal Jama'ah - Bid'ah Khurafat, H. Djarnawi Hadikusuma, PT. Percetakan Persatuan Yogyakarta, Cetakan Ke IV, halaman 7-9.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar