Minggu, 17 Agustus 2014

BANU NADHIR

Tantangan Kaum Yahudi
DIWAKTU Rasulullah s.a.w. melakukan hijrah, di dapati di Medinah selain dari Muslimin Anshar, juga beberapa golongn kaum Yahudi, seperti Banu Quraidzah, Banu Nadhir dan lain-lain.
Antara Rasulullah dan golongan-golongan Yahudi diadakan perjanjian hidup berdampingan secara damai (co-existensi) dengan tidak mengurangi pelaksanaan da’wah Islamiyah bil-hikmah wal mau’idzatil hasanah dan mujadalah billati hiya ahsan.
Tetapi pada satu ketika Banu Nadhir berkhianat, mengadakan komplotan untuk membunuh Rasulullah. Percobaan mereka untuk membunuh Rasulullah gagal. Setelah ternyata penghianatan mereka kepada perjanjian co-existensi itu, maka mereka diusir dari Medinah.
Sesudah terusir itu Banu Nadhir ini terus berusaha untuk menuntut balas. Mereka menghasut dan memobilisir kabilah-kabilah Arab Musyrikin sebanyak mungkin untuk menghancurkan Muhammad dan ummatnya di Medinah. Untuk ini Banu Nadhir mempergunakan segala tipu daya dan cara.
Lebih dahulu mereka mengirim utusan kepada musuh ummat Islam yang utama yaitu Quraisy Makkah. Mereka diajak Banu Quraisy bersama-sama menyerang ummat Islam sampai habis keakar-akarnya. Mulanya Banu Quraisy merasa curiga terhadap Banu Nadhir yang begitu bersemangat mengajak mereka bersama-sama memerangi Muhammad s.a.w. Sebab walaupun bagaimana, mereka mengetahui bahwa pada pokoknya antara agama Yahudi dengan Islam itu banyak persamaannya. Kedua-duanya menyeru kepada Tauhid dan makarimul-akhlaq. Mengapa Banu Nadhir ini sampai mengajak mereka yang musyrik, untuk bersekutu memerangi Muhammad.
Untuk menghilangkan keragu-raguan mereka, pemimpin Banu Quraisy mengajukan pertanyaan secara kategoris kepada perutusan Banu Nadhir :
“Wahai tuan-tuan kaum Yahudi! Kamu adalah ahli kitab. Kamu mengetahui apa yang menjadi pertentangan antara kami dengan Muhammad; sekarang kami ingin bertanya secara kategoris dan minta dijawab secara kategoris pula : “Antara agama kami dan agama Muhammad, mana yang lebih baik?”.”
Tanpa tedeng aling-aling, utusan Yahudi itu menjawab : “Tentu saja, agamamu yang lebih baik. Kamulah yang lebih benar dari dia !”
Dengan begitu Musyrikin Quraisy mau bersekutu dengan Banu Nadhir. Satu persekutuan antara dua kelompok suku yang berbeda aqiedahnya.

Mengorbankan Prinsip = Pengkhianatan
Jadi untuk merangkul Musyrikin Quraisy, kauni Yahudi yang masih menamakan dirinya ahli kitab itu, tidak segan-segan mengurbankan prinsip, mengkhianati dasar-dasar keyakinan agama mereka sendiri.
Ini bisa juga orang namakan : tipu-daya.
Tapi ini bukan “Nu’aimisme”. Ini bukan “Khud’ah” terhadap musuh.
Yang terang, ini adalah penkhianatan terhadap agama dan pendirian.
Rasulullah s.a.w. berkata kepada Nu’aim bin Mas’ud : “Perang itu tipu-daya”.
Ada perbedaan yang mendalam antara Nu’aimisme atau Ammarisme dengan Nadhirisme.
Kalau orang tidak awas, bisa keliru menilai. Yang lebih banyak mendapat pasaran ialah “Nadhirisme”, ialah tidak banyak risiko, tak perlu gentar. Selain daripada perlu sedikit kesenian untuk mengkamuflirNadhirisme” dengan sebutan “Nu’aimisme”.
-----------------------
Disajikan kembali dari buku “dibawah naungan risalah” tulisan M. Natsir, Sinar Hudaya – Documenta 1971, halaman 41 - 43.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar