Minggu, 14 Februari 2016

Adzan Terakhir Bilal di Negeri Syam

TIME TUNNEL. Mengikuti perjalanan iman seorang Bilal bin Rabah mengajarkanku betapa diriku masih jauh dari kesempurnaan iman. Ketika iman datang kepada Bilal bin Rabah menghujam dada beliau; “Ahad …! Ahad …! Ahad …!”, ucapan singkat itu pula yang tetap menegakkan iman meski dada dihimpit batu panas serta untaian kata itu pula yang menggetarkan dan melemahkan sendi-sendi tubuh sang mantan majikan, Umayah bin Khalaf saat bertemu di medan Badr. Perbuatan yang tak sia-sia bagiku adalah bisa ikut menangis bersama saudara muslimin Madinah tatkala mendengar adzan beliau di 3 hari sepulang Rasulullah s.a.w. ke rafiul a’la.
Senang bisa menempuh lorong waktu mengikuti perjalanan amirul mukminin Umar bin Khattab selepas masa kelaparan dan wabah penyakit di tahun 17 H  mengunjungi negeri Syam guna memeriksa keadaan kaum Muslimin di wilayah ini sampai ke pelosok. Dan aku hanya ingin bercerita tatkala amirul mukminin Umar bin Khattab merencanakan hendak kembali ke Madinah dari negeri Syam (wilayah Suria) meliwati Jabiah. Setelah amirul mukminin Umar bin Khattab berpidato dihadapan kaum Muslimin untuk mempersaksikan bahwa beliau telah menyelesaikan segala urusan umat di kawasan Syam. Selepas berpidato tibalah waktu sholat, ada di sekumpulan orang berkata : “Baiknya kita minta Bilal bin Rabah yang adzan”. Dan orang-orangpun sudah rindu mendengar suara adzan Bilal, sebagai ungkapan rasa syukur telah mengutus Rasul-Nya pada cahaya Islam dan mewariskan bumi ini, kemudian memperkuatnya dan berhasil menundukkan Persia dan Rumawi, serta berlalunya musibah kelaparan dan wabah penyakit.
Atas desakan amirul mukminin, Bilal pun berkenan menyerukan adzan lagi, suara merdunya yang bertahun-tahun tak terdengar tetap tidak berubah. Terkenang kembali ingatan mereka saat bersama-sama dengan Rasulullah, kala berdiri dibelakang Rasulullah dengan barisan teratur. Tak seorang pun dari mereka yang tidak menangis ketika Bilal sampai pada kalimat “Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah”. Bahkan mereka yang tak pernah mengalami hidup bersama Rasulullah pun larut dalam tangis haru. Amirul mukminin Umar bin Khattab adalah yang paling keras tangisnya.
Inilah adzan sholat yang pertama dan terakhir yang dikumandangkan Bilal bin Rabah muadzin Nabi udara Syam tak jauh dari Baitulmukadas.
--------------------------
Inspirasi :
Rijal Haolar Rasul
(Karakteristik Perihidup 60 Shahabat Rasulullah), Khalid Muhammad Khalid, Penerbit : CV. Penerbit Diponegoro, Cetakan keduapuluh 2006, halaman 101-117.
Umar bin Khattab, Sebuah Tela'ah Mendalam Tentang Pertumbuhan Islam dan Kedaulatannya, Muhammad Husain Haekal,diterbitkan oleh Litera Antar Nusa, Cetakan Kesebelas, Februari 2011, halaman 342-345.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar