Sabtu, 16 Mei 2015

Isra’ Mi’raj

Sejak diproklamirkannya kerasulan Muhammad s.a.w., sejak dimulainya seruan Kalimat Tauhid Laa ilaaha illa Allah, hantaman badai dan taufan kebencian melanda Nabi dan para pengikutnya. Berbagai intimidasi, provokasi, dan siksaan mewarnai kehidupan sahabat-sahabat Rasulullah. Tidak seorangpun dari mereka yang beriman pada seruan beliau dapat mengenyam ketenteraman hidup di tengah keluarganya. Masyarakat jahiliyah Quraisy di masa itu benar-benar mempertunjukkan kebuasannya.
Puncak kesulitan dan penderitaan selama beliau mengemban tugas dakwah ialah ketika beliau diusir oleh orang-orang Bani Tsaqif di Ta’if. Dengan mengerahkan anak-anak dan para remaja, mereka melempari beliau dengan batu. Sekujur tubuh beliau terluka, demikian pula sahabat Zaid bin Haritsah yang menyertai beliau dalam misi dakwah. Penderitaan ini amat memilukan, mengingat dakwah beliau ditolak justru oleh generasi muda yang sebenarnya masih suci fitrahnya, tetapi termakan oleh eksploitasi fitnah orang-orang tua. Kesedihan ini demikian besarnya sebab sebelum peristiwa ini, beliau ditinggal oleh pamanda Abu Thalib yang wafat sebelum mengimani Tauhidullah, serta berpulangnya keramatullah isteri tercinta, pcndukung utama dakwah. Khadijah radliallahu anha.
Jika Rasulullah bersedih, ini tidak berarti beliau cengeng dalam berjihad. Kesedihan ini disebabkan kasih sayang beliau pada manusia dan rasa santun yang begitu mendalam. Beliau sangat menginginkan semua orang mau menerima kebenaran dan hidup dalam kebahagiaan dunia dan akhirat. Beliau merasa pedih dan pilu mengenang penderitaan yang akan mereka alami karena menolak ajaran islam.

Kekuasaan Allah
Di tengah suasana kesedihan inilah Allah s.w.t. berkehendak menenteramkan hati Rasul-Nya, memberi nikmat keberkahan hidup, dan menunjukkan kepadanya kekuasaan Allah swt yang tiada terbatas. Rasulullah s.a.w. mengalami peristiwa isra’ Mi’raj yang mengagumkan itu.
“Maha suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya di malam hari dari masjid Al-Haram ke masjid Al-Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya, untuk Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kekuasaan) Kami. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS.17: 1).
Yang dimaksud dengan Isra’ ialah perjalanan menakjubkan di malam hari, mulai dari masjid Al-Haram di Makkah hingga Masjid Al-Aqsha di Jerussalem Palestina. Mi’raj adalah perjalanan setelah Isra’, naik ke petala langit ke tujuh hingga tiba di Mustawa dan beraudiensi dengan Allah sampai beliau kembali ke masjid Al-Haram di Makkah.
“…….. dan sesungguhnva Muhammad telah melihat Jibril (dalam rupa aslinya) pada waktu yang berbeda, yakni di sidratul Muntaha. Di arkatnya Jibril) di saat Sidratul Muntaha dilipuri sesuatu. Penglihatan Muhammad tidaklah melenceng dari yang disaksikannya, dan tidak pula melebihinya, sungguh ia telah melihat sebagian tanda-tanda kekuasaan Rabb-nya yang Maha Besar”.(QS. 53 : 13 – 18).
Inilah Tarbiyah Rabaniyah (sistem pendidikan Allah) yang memiliki nilai-nilai tinggi dan pengaruh yang sangat besar dalam perjuangan Rasulullah menegakkan dienul Islam. Ia dapat dipandang sebagai pengobatan untuk menyembuhkan penderitaan masa lalu sekaligus sebagai benih keberhasilan di masa mendatang.
Perjalanan Rasulullah s.a.w. menyaksikan sebagian dan tanda-tanda kebesaran dan kekuasaan Allah s.w.t. di bumi dan di langit. berpengaruh sangat dalam pada pembentukan sikap beliau. Beliau melihat betapa lemahnya tipu daya orang-orang kafir, betapa kecilnya kekuatan gerombolan mereka, kenikmatan duniawi yang mereka banggakan tiada artinya dibandingkan syurga yang dijanjikan Allah s.w.t., dan alangkah dahsyatnya penderitaan mereka di neraka nanti. Ini semua menambah semangat dan keyakinan beliau dalam memperjuangkan Kalimat Allah.

Hikmah Isra’ dan Mi’raj
Sebagaimana ditegaskan dalam ayat terdahulu, tujuan Isra’ ialah : Allah hendak memperlihatkan kepada hamba-Nya (Muhammad s.a.w.) tanda-tanda kekuasaan Allah di langit dan di bumi. Peristiwa-peristiwa tersebut banyak mengandung hikmah, yang terpenting di antaranya :
  1. Perjalanan Rasulullah dari masjid al-Haram ke masjid al-Aqsha memberi pengertian tentang keuniversalan Risalah Islam, sekaligus menunjukkan bukti kenabian, sertasatu millahnya para nabi. Selama masa yang panjang, sebelum kerasulan Muhammad saw, kenabian selalu berada di lingungan Bani Israil dengan Baitul Maqdis (menjadi Al Aqsha) sebagian soko gurunya. Ia menjadi sumber cahaya yang menerangi ummat manusia dan menjadi kawasan tanah air bagi bangsa Yahudi di masa itu. Namun setelah orang-orang Yahudi itu menggebrak-abrik kemulyaan wahyu Ilahi dan menginjak-injak hukum Allah, mereka terkena kutukan, dan risalah kenabian tergeser dari lingkungan mereka untuk selama-lamanya. Muhammad saw adalah Nabi terakhir. Beliau dan keturunan Nabi Ismail as, dipilih Allah swt untuk menerima wahyu dan mengambil alih pimpinan kerohanian di dunia yang dulu selalu berpindah-pindah dari satu bangsa ke bangsa yang lain. Beliau adalah Nabi untuk seluruh ummat manusia sampai akhir zaman, memadukan masa silam, masa kini dan masa yang akan d.atang. Serta menghubungkannya menjadi hakikat kebenaran yang satu. Beliau memandang masjid Al-Aqsha sebagai tempat suci ketiga dalam Islam.
  2. Dalam hadits Shahih diriwayatkan, bahwa Rasulullah s.a.w. mengalami Nabi dan Rasul dalam shalat dua rakaat di masjid Al Aqsha. Kisah ini menunjukkan suatu pengakuan yang sangat jelas bahwa Islam adalah agama Allah terakhir yang diamanatkan kepada seluruh manusia. Agama ini mencapai kesempurnaannya ditangan Muhammad s.a.w. pengungkapan mengenai kedudukan Rasulullah ini bukan berupa pujian yang diketengahkan dalam upacara penghormatan, melainkan berupa keterangan yang jelas mengenai hakekat kebenaran yang ditetapkan dalam nyata sejak awal turunnya hidayah ke permukaan bumi.
  3. Dengan peristiwa Isra’ Mi’raj ciri utama dienullah Al Islam lebih tegas dan lebih jelas yaitu “Fitrah” (suci). Dalam hadits dikisahkan : “…… kemudian Jibril membawa kepadaku dua buah wadah, yang satu berisi arak dan lainnya berisi susu. Kuambil yang berisi susu. Jibril lalu berkara : Itulah fitrah yang kamu dan ummatmu berdiri di atasnya.” Intisari Islam adalah kesucian. Suci dari noda hawa nafsu dan keinginan-keinginan manusia. Ummat Islam tidak akan kehilangan pegangan jika tetap berpegang pada fitrah, baik fitrah syar’iyah yaitu Dienullah Al Islam, maupun fitrah kauniyah berupa kesucian hati nurani.
  4. Pada saat Mi’raj itulah Rasulullah s.a.w. menerima perintah Allah tentang shalat fardlu lima kali sehari semalam. Ketentuan ini ditetapkan di langit, agar shalat menjadi “mi’rajul mu’min”. Shalat akan mengangkat martabat manusia lebih tinggi, karena ia merupakan dialog dan audiensi dengan Rabbul ‘Alamin. Ia adalah upaya mencapai derajat mulia di Sisi Allah yang dilakukan secara rutin. Shalat dapat membentuk pribadi yang sanggup melawan hawa nafsu dan bujuk rayu dunia lainnnya. Tanda seseorang telah melaksanakan shalatnya dengan sungguh-sungguh ialah shalat dapat menjauhkan dari sikap yang rendah, keji dan mungkar, ia merasa malu terus bergelimang dalam sikap seperti itu segera meninggalkannya. Bilamana shalat yang dilakukannva tidak mengangkatnya pada martabat ini, maka jelaslah bahwa shalatnya itu bohong belaka. Orang-orang yang hatinya telah terkunci mati. Shalat tidak bermanfaat baginya. Ia akan tetap dalam keadaan seperti itu sampai hatinya terbuka dan hidup kembali, atau sampai ditimbun dengan tanah. Na’udzubillahi mindzalik.
-----------------------------------------
Buletin Da'wah 'IZZAH No. 43/II 3 Sya'ban 1412 H / 7 Februari 1992 M.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar