Kamis, 07 Agustus 2014

Bid'ah Khurafat (7)

BID’AH DALAM IBADAH
Tentang bid’ah dalam ibadah ini akan kita bicarakan mengenai bid’ah idlafiah.
Seperti yang telah diterangkan, adalah bid’ah idlafiyah itu suatu ibadah yang jika dipandang dari ujudnya kelihatan sebagaimana ujudnya ibadah, tetapi dipandang dari segi lain adalah satu bid’ah sebab dikerjakan tidak-menurut ketentuan Sunnah tentang cara dan waktunya serta jumlahnya. Atau dengan lain perkataan : “ibadah yang dilakukan tidak menurut ketentuan Sunnah”.
Bid’ah Idlafiyah inilah yang terbanyak macam dan ragamnya, dan di antaranya ada yang dipengaruhi oleh i’tiqad.
Di antara bid’ah-bid’ah idlafiyah yaitu :
1. Melafalkan Niat Sholat
Sebagaimana maksud kita menyusun risalah ini demikian juga dalam kita mengemukakan tentang “niat untuk sholat” ini adalah tidak dengan tujuan membongkar soal-soal lama khilafiyah atau soal-soal pelik dan rumit; melainkan semata-mata dengan maksud mengembangkan pengetahuan tentang pelaksanaan agama yang terjadi dalam masyarakat, jadi merupakan studi yang bersifat ilmiyah bagi mereka yang ingin belajar.
Setiap ‘amal apalagi ‘ibadah, wajib dikerjakan dengan niat yang ikhlas. Maka adalah layak kalau sahnya sholat harus dengan niat. Tetapi jika niat itu harus diucapkan dengan lisan, maka menjadi bid’ah karena tidak pernah dituntunkan oleh Rasulullah. Umpamanya melafalkan niat itu dengan kata-kata, “Ushalli: fardlal ‘ashri arba’a raka’a: tin ada: an lilla: hi ta’a; la.” yang artinya : “aku berniat sholat fardlu ashar empat raka’at semata-mata karena Allah Ta’ala”.
Pada mulanya memang para ulama yang menganggap baik (mustahab) ushalli itu adalah untuk menuntun hati, apalagi hati yang belum tetap. Dan para ulama itu telah mengakui bahwa memang ushalli itu tidak dikerjakan dan tidak dituntunkan oleh Rasulullah. Tetapi hati perlu dituntun oleh lisan agar lebih mantap. Kita tidak dapat menolak bahwa maksud itu memang baik dan bersifat faedagogis. Tetapi apa yang hanya dianggap baik oleh ulama, oleh pengikutnya generasi demi generasi, lama-lama dianggap satu keharusan yang layak dan akhirnya tidak boleh ditinggalkan, hingga orang-orang dewasa yang sejak kecil ber-ushalli sampai tuanyapun tetap ber-ushalli juga. Maka kelihatan bahwa ushalli ini dipcrcayai sebagai rangkaian sholat dan tidak sempurna sholat tanpa ushalli.
Tersebut dalam hasyiyah kitab “Kanzud-Daqaiq” karangan Siddieqie : “Mengucapkan niat itu bid’ah, tetapi ulama mutaakhirun menganggap baik dilakukan oleh orang yang batinya belum tetap”.
Jelaslah bahwa membaca ushalli itu bid’ah, diadakan oleh sebagian ulama untuk mendidik hati orang yang lemah tetapi kemudian menjadi kelaziman, bahkan banyak orang yang menganggapnya sunnah atau ibadah, maka telah menjadi perkara yang wajib dihentikan.
2. Do’a Bersama-sama Sesudah Sholat
Melazimkan berdo’a dengan suara nyaring oleh imam sesudah selesai berjama’ah fardlu, dan para makmum meng-amin-kan bersama-sama. Kelaziman seperti ini tidak pernah dilakukan pada zaman Nabi s.a.w.
Adapun yang dituntunkan oleh Rasulullah s.a.w. sehabis salam sholat fardlu ialah membaca : ‘Tidak ada Tuhan selain Allah yang Maha Esa tidak bersekutu. Yang mempunyai kerajaan dan pujian, dan berkuasa atas segala sesuatu. Ya Allah, tak adalah seorangpun yang berkuasa mencegah pemberian yang Engkau berikan, dan tidak seorangpun berkuasa memberikan sesuatu yang telah Engkau cegah, serta tidak ada gunanya kemuliaan yang diberikan kepada orang yang telah Engkau muliakan”. (Dari hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Mughirah bin Syu’bah).
Dan dari sebuah hadits yang diriwayatkan dan Abi Hurairah diterangkan bahwa Rasulullah menentukan kepada para orang fakir muhajirin agar sehabis sholat fardlu ‘membaca tasbih, takhir dan tahmid, masing-masing tiga puluh tiga kali. Juga ada riwayat : “Dari Tsauban berkata : Adalah Rasulullah s.a.w. itu jika selesai dari shoalatnya ia mendo’a istighfar (mohon ampun) tiga kali dan mnengucap ; Ya Allah, Engkanlah kesejahteraan dan daripada-Mu datangnya kesejahteraan itu. Maha suci Engkau wahai Tuhan yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.” (Diriwayatkan oleh jama’ah selain Bukhari).
Sekian banyaknya riwayat, tetapi tidak ada satupun yang menerangkan bahwa sehabis sholat fardlu Rasulullah mengangkat tangan dan mendo’a serta diaminkan oleh makmum bersama-sama. Menurut sunnah hendaklah masing-masing membaca seperti yang dituntunkan Rasulullah tersebut di atas dengan suara perlahan-lahan.
3. Mengirim Pahala Kepada Mayat
Telah menjadi suatu bid’ah yang meluas bahwa orang hidup dapat mengirimkan pahala kepada orang mati. Biasanya yang dikirimkan itu pahala sedekahan, bacaan Al-Quran, tahlil dan khususnya bacaan surat Al-Ikhlash. Menurut kepercayaan mereka, pahala itu dapat sampai dan diterima oleh si mati; Allah menerimakan pahala tu kepadanya. Dengan adanya kepercayaan itu maka bid’ah ini juga tergolong dalam bid’ah aqoid dan mempunyai kedudukan yang amat penting untuk diselidiki dan dibicarakan. Biasanya pula mereka sengaja membaca Al-Quran itu di atas kuburan si mati, dan sering dengan menerima upah atau dengan kata-halus: sedekah. Yang demikian ini menjadikan orang lengah dan melengahkan agama karena toh pahala dapat dikirim oleh orang yang masih hidup. Padahal Allah berfirman : “Tiadalah akan diperolehnya manusia kecuali apa yang ia kerjakan (Surat Najm : 39).
Lagi pula Imam Nawawi dalam kitabnya ‘Al-Adzkar’ menerangkan bahwa Madzhab Syafi’i sendiri berpendapat bahwa pahala membaca Al-Quran itu tidak sampai kepada si mati. Bagaimana akan sampai, si mati itu tidak membaca dan mendengarpun tidak akan bacaan orang di atas kuburnya, karena ia sudah mati. Baik Quran maupun Hadits tidak menerangkan atau menyuruh kita membaca Quran untuk onang yang sudah mati. Sebaliknya Rasulullah telah bersabda dalam sebuah Hadits yang telah amat masyhur yang artinya :’’Jika mati anak Adam, maka terputaslah segala amal dari padanya kecuali (pahala) dari tiga perkara yaitu shadaqah jariyah, ilmu yang dipermanfa‘atkan dan do‘a seorang anak yang Shalih”.
Shadaqah jariyah, ialah ‘amal yang pahalanya berjalan terus karena amalan itu bermanfa’at terus meskipun yang beramal telah mati, seperti halnya harta yang diwakafkan untuk mesjid, madrasah, rumah sakit dan sebagainya. Jadi sebenarnya shadaqah jariyah inipun amal si mati sendiri yang dikerjakan diwaktu hidupnya, bukan amal orang lain.
Ilmu yang dipermanfa’atkan, yaitu jika orang mengajarkan sesuatu ilmu kepada orang lain yang lalu diamalkan dan bermanfa’at kepada manusia, maka pahala dan kemanfa’atan ilmu itu akan sampai terus kepada yang mengajarkan meskipun dia telah mati. Pahala ini juga sebenarnya hasil jerih payah si mati itu, yang dikerjakan di waktu masih hidup.
Do’a anak yang shalih selamanya dikabulkan Allah bagi ayahnya atau ibunya yang telah mati. Ini juga hakekatnya buah dari amal si mati itu yang selagi hidupnya telah bersusah payah mendidik anaknya sehingga menjadi seorang yang sholeh. Terkabulnya do’a ini sudah tentu dengan syarat bahwa orang tuanya itu semasa hidupnya harus seorang mukmin, karena Allah tidak akan mengampuni dosa orang musyrik dan kafir sekalipun dido’akan tujuhpuluh kali, bahkan Allah melarang kita mendo’akan orang musyrik dan kafir meskipun orangtua atau anak kita sendiri.
Biasanya orang yang berpendapat bahwa pahala amal orang hidup dapat sampai kepada orang yang sudah mati, dengan dalil riwayat sebagai berikut :
  1. Seorang perempuan dari Junainah bertanya kepada Nabi apakah ia boleh menghajjikan ibunya yang telah mati padahal mempunyai nadzar berhajji yang belum ditunaikan. Nabi menjawab : “Hajjikanlah! Kalau ibumu itu meninggalkan hutang apa tidak akan engkau bayar? Bayarlah, karena hutang kepada Allah itu yang lebih patut dibayar”. (Riwayat Bukhori).
  2. Ibnu Abbas berkata : “Ya Rasulullah, ibuku mati dan mempunyai hutang puasa nadzar apakah aku puasakan dia”. Rasulullah berkata : “Jika ibumu itu meninggalkan hutang lalu engkau bayarkan, apakah telah lunas hutang itu daripadanya?” Ia menjawab. “Ya”. Maka berkata Nabi : “Kalau begitu puasakanlah ibumu itu “. (Riwayat Bukhori dan Muslim).
  3. Berkata ‘Aisyah bahwa Nabi bersabda : “Ayah hamba mati dan tidak berwasiyat. Bergunakab baginya jika hamba bersedekah baginya?” Rasulullah menjawab : “Ya”. (Riwayat Muslim).
  4. Seorang lelaki bertanya kepada Nabi : “Ayah hamba mati dan tidak berwasiyat. Bergunakah baginya jika hamba bersedekah baginya?” Rasulullah menjawab : “Ya” (Riwayat Muslim).
  5. Beberapa riwayat lain yang maksudnya sama, yaitu ahli waris boleh melunasi hutang puasa dan hajji nadzar dari orang mati yang tidak sempat menunaikannya.

Keterangan:
  1. Ibadah sholat fardlu adalah ibadah yang tidak boleh terhalang, wajib dijalankan meskipun dalam keadaan sakit. Oleh karena itu tidak ada qadla dalam sholat seperti misalnya oleh karena sakit tidak mengerjakan sholat dan diganti sesudah sembuh. Tetapi ibadah puasa diperkenankan terhalang oleh suatu keadaan seperti sakit, sedang musafir dan haidl serta wajib diganti setelah sembuh, dan dapat diganti dengan fidiyah bagi orang tua yang sudah tidak kuat berpuasa. Adapun ibadah hajji diwajibkan kepada orang yang mampu, sekali seumur hidup. Dan ibadah zakat ‘setahun sekali. Sering terjadi orang telah berniat melakukan ibadah hajji atau berzakat, sebelum ditunaikan telah meninggal dunia. Ada yang sempat mewasiyatkan ada yang tidak. Dalam hal ini pelaksanaan kewajiban yang telah diniatkan itu menjadi hutang kepada Allah. Jadi apabila mampu, ahli waris dianjurkan untuk membayarnya.
  2. Dalam surat Najm ayat 39, Allah telah berfirman bahwa manusia tidak akan menerima pahala selain dari amalnya sendiri termasuk amal jariyah, ilmu bermanfa’at yang diajarkan dan do’a anaknya yang shalih yang juga sesungguhnya buah amalnya sendiri.
  3. Memahami sesuatu hadits Nabi adalah tidak diperkenankan menyalahi firman Allah. Maka riwayat-riwayat tersebut di atas itu memang tidak menyatakan bahwa pahala ahli waris yang mempuasakan atau menghajjikan orang yang meninggal, akan sampai kepada yang meninggal itu, melainkan menyatakan bahwa hutang si mati menjadi lunas, tidak akan disiksa karena tidak menunaikan kewajibannya, sedang pahala tetap bagi ahli waris yang mengamalkan.
  4. Adapun tentang sedekah yang dilakukan oleh ahli waris untuk yang mati sebagaimana riwayat tersebut, memang berguna bagi si mati itu sekadar pelunas hutang sedekah (zakat) yang belum dibayarkan. Jika dengan wasiyat maka barulah pahala itu sampai kepadanya. Sudah tentu harus diambilkan dari harta peninggalan si mati.
  5. Yang dimaksud dengan shodaqoh tidak melulu makan bersama seperti lazimnya diistilahkan orang dengan kata : sedekahan dimana justru fakir miskin kurang mendapat perhatian. Tetapi yang dimaksud shodaqoh ialah memberikan harta untuk : (a). Memberi sandang-pangan kepada fakir-miskin dan anak yatim, seperti termaksud dalam firman Allah surat Al-Ma’un; (b). Delapan golongan yang berhak menerima shodaqoh (zakat harta) seperti termaksud dalam surat Taubat ayat 60.

Jika orang tua atau kerabat kita meninggal, sangat utama antara ahli waris ada persetujuan sebagian dari harta peninggalan dikeluarkan untuk memberi sandang pangan kepada fakir miskin dan anak yatim, atau untuk sabilillah seperti membangun mesjid, sekolahan, da’wah dan pembeayaan gerakan Islam; daripada untuk sedekahan dan selamatan. Terserah kepada Allah dan bukan urusan kita apakah si mati menerima pahala dari itu.

Bid’ah dalam Sholat Tarawih
Yang dinamakan sholat Tarawih ialah sholat-lail atau sholat-malam yang dilakukan pada bulan Ramadlan. Raka’at dalam sholat-tarawih itu ada yang genap dan ada yang ganjil, umpamanya 2 kali sholat masing-masing 4 raka’at dan satu kali 3 raka’at. Sholat yang genap raka’atnya tersebut dinamakan sholat-tarawih dan yang ganjil disebut sholat-witir. Kata “witir” berarti ganjil. Tetapi karena jumlah seluruh raka’at tarawih itu ganjil maka keseluruhan sholat-tarawih dinamakan juga sholat-witir. Waktu sholat-tarawih ialah dari sesudah melakukan sholat ‘Isya sampai terbit tajar.

Sholat Tarawih menurut Sunnah Rasulullah
  1. Rasulullah pernah melakukan sholat-lail dengan berjama’ah walaupun sesudah itu dia lakukan selalu di rumah. Dengan demikian dewasa ini kita boleh mengerjakan sholat tarawih dengan berjama’ah di masjid atau surau atau gedung lain dan boleh pula di rumah dengan sendiri-sendiri (munfarid).
  2. Jumlah raka’atnya sebelas, dilakukan empat raka’at empat raka’at tanpa tahiyat awal lalu witir tiga raka’at juga tanpa tahiyat awal. Beralasan Hadits ‘Aisyah yang menerangkan, bahwa ketika ia tanya tentang sholat Rasulullah s.a.w. dalam bulan Ramadlan, maka ia menjawab “ Pada bulan Ramadlan maupun di bulan lainnya tak pernah Rasulullah mengerjakan lebih dari sebelas raka’at, ia kerjakan empat raka’at. Jangan engkau tanyakan eloknya dan lamanya kemudian ia kerjakan lagi empat raka’at, dan jangan engkau tanyakan eloknya dan lamanya. Lalu ia kerjakan tiga raka’at (Riwayat Bukhari dan Muslim)
  3. Atau dilakukan empat kali masing-masing dua raka’at lalu witir tiga raka’at. Tetapi apabila sholat-tarawih itu dikerjakan menjelang fajar dan kuatir akan terkejar waktu shubuh maka witirnya boleh satu raka’at saja sehingga seluruhnya hanya sembilan raka’atnya. Beralasan Hadits Ibnu Umar yang mengatakan : Seorang lelaki bangkit berdiri lalu menanyakan : “Bagaimana cara sholat malam, hai Rasulullah?” jawab Rasulullah s.a. w. : “Sholat malam itu dua raka ‘at, dua raka’at. Jika engkau khawatir akan terkejar Shubuh, hendaklah engkau kerjakan witir satu raka’at saja.” (Riwayat Jama‘ah).
  4. Atau yang sebelas raka’at sebagian tersebut diatas dikerjakan dengan satu kali delapan raka’at tanpa tahiyat awal, tahiyat akhir dilakukan pada raka’at kedelapan; lalu sholat witir dua raka’at salam kemudian disambung satu raka’at dan salam. Diterangkan dalam riwayat Abu Dawud dan Qatadah katanya : “Nabi sholat delapan raka’at dengan tidak duduk (tahiyyat) kecuali pada raka’at yang kedelapan. Dalam duduk itu membaca dzikir dan do’a kemudian membaca salam dengan salam terdengar sampai kepada kami, lalu sholat dua raka’at sambil duduk setelah ia membaca salam. Kemudian ia sholat lagi satu raka’at. Itulah sebelas raka’at semuanya hai anakku”.
  5. Sebelum mengerjakan sholat-tarawih yang sebelas raka’atnya sebagai tersebut di atas, lebih dahulu diawali dengan sholat dua raka’at yang pendek. Sholat ini namanya Iftitah. Dengan demikian seluruhnya tigabelas raka’at dengan iftitahnya. Beralasan pula Hadits, Zaid bin Khalid Al Juhani yang mengatakan : “Benar-benar aku hendak mengamati sholat Rasulullah malam ini. Lalu (aku lihat) dia sholat dua raka’at singkat-singkat kemudian dua raka’at panjang-panjang kemudian ia sholat dua raka’at yang kurang panjang dari yang sebelumnya lain sholat dua raka’at yang kurang lagi panjangnya dari yang sebelumnya kemudian ia sholat lagi dua raka’at yang kurang lagi panjangnya dari yang sebelumnya lalu sholat lagi dua raka’at yang kurang lagi panjangnya dari yang sebelumnya, kemudian ia sholat witir. Maka jadilah seluruhnya tigabelas raka’at.” (Riwayat Muslim). Beralasan hadits Kuraib dari Ibnu ‘Abbas yang menceriterakan dalam ceriteranya ketika ia bermalam di rumah Maimunah : “Nabi lalu sholat dua raka’at pendek-pendek membaca Fatihah dalam tiap raka’atnya kemudian membaca salam lalu sholat sebelas raka’at dengan witirnya kemudian tidur. Maka shahabat Bilal menghampirinya sambil berseru : Waktu sholat hai Rasulullah. Nabi lalu bangkit dan sholat dua raka’at, kemudian memimpin sholat orang banyak”. (Riwayat Abu Dawud).
  6. Atau yang tigabelas raka’at sebagai tersebut di atas dilakukan dengan sholat-iftitah dua raka’at lalu tiga kali masing-masing dua raka’at kemudian witir lima raka’at sekaligus tanpa tahiyat awal. Beralasan pula pada Hadits ‘Aisyah yang menerangkan : “Adapun Rasulullah sering mengerjakan sholat-malam tigabelas raka‘at dengan perhitungan lima daripadanya selaku witir yang ia kerjakan terusan tanpa duduk kecuali pada akhirnya”. (Riwayat Bukhari dan Muslim).
  7. Atau yang tigabelas raka’at tersebut di atas dilakukan dengan sholat iftitah dua raka’at lalu tarawih empat raka’at satu kali salam atau dua kali kemudian witir tujuh raka’at tanpa tahiyyat awal dan satu kali salam. Dan beralasan Hadits Ummi Salamah yang menerangkan : “Rasulullah pernah mengerjakan witir tujuh atau lima raka‘at tanpa dipisah antara semuanya dengan bacaan salam atau lainnya”. (Riwayat Nasa’i, Ibnu Majah)
  8. Seperti yang telah diterangkan di atas, keseluruhan sholat-lail atau sholat tarawih itu disebut juga sholat-witir. Ini ternyata jelas dalam riwayat di bawah ini : Beralasan Hadits Abdullah bin Abu Qais yang mengatakan bahwa ia pernah bertanya pada ‘Aisyah “Berapa raka’at Rasulullah sholat witir?” Ia menjawab : “Ia kerjakan witir empat lalu tiga, atau enam lalu tiga, atau delapan lalu tiga atau sepuluh lalu tiga. Ia tak pernah berwitir kurang dari tujuh raka‘at dan tidak lebih dari  tigabelas”. (Riwayat Abu Dawud).

Dengan berlandaskan riwayat itu jelaslah bahwa Rasulullah tidak pernah melakukan sholat-lail atau sholat-tarawih lebih dari tigabelas raka’at. Maka sholat-lail atau tarawih yang dilakukan lebih dari tigabelas raka’at seperti tigapuluh enam atau duapuluh raka’at dan sebagainya, adalah bid ‘ah.

Kesimpulan
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sholat-lail atau sholat tarawih itu sebelas raka’at dengan witirnya, dan dapat diawali dengan sholat-iftitah dua raka’at sehingga menjadi tigabelas raka’at. Boleh dikerjakan berjama’ah atau munfarid. Gerakan tarawih berjama’ah seperti yang berlaku sekarang ini amat baik dan itu bukan bid’ah melainkan tergolong Mashalihul-mursalah karena faedahnya diperlukan bagi tegaknya agama. Faedah gerakan tarawih berjama’ah itu antara lain ialah menimbulkan dan menggembirakan gairah beribadah terutama pada anak-anak dan remaja, dapat diadakan ceramah agama sesudah sholat-tarawih untuk memperdalam pengetahuan dan menjadi syi’ar agama Islam.
------------------------
Ahlus Sunnah Wal Jama'ah - Bid'ah Khurafat, H. Djarnawi Hadikusuma, PT. Percetakan Persatuan Yogyakarta, Cetakan Ke IV, halaman 53-62.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar