Selasa, 05 Agustus 2014

Bid'ah Khurafat (6)

BID’AH DALAM I’TIQAD
Dasar Bid’ah dalam I’tiqad
Agama Islam agama tauhid, yaitu agama yang mengajarkan kekuasaan dan pemeliharaan Allah atas makhluk-Nya. Tuhan tiada lain hanyalah Allah Yang Esa. Esa dalam kekuasaan-Nya, Esa dalam Dzat-Nya, Sifat-Nya dan Af’al-Nya. Hanya Allah yang berhak disembah dan dipuja; dan hanya Dia yang menolong hamba-Nya baik dengan jalan lahir maupun ghaib. Dan bahwa Allah tidak pernah dan tidak layak mewakilkan kekuasaan-Nya kepada manusia atau benda atau alam. Tidak ada seorangpun yang mendapat perwakilan kekuasaan dari Allah. Sedangkan para Rasul itupun hanya mendapat wahyu dan tugas tabligh, bukan kekuasaan apa-apa atas manusia. Allah berkuasa sendiri dan mengatur sendiri atas segala perkara.
Itu dia tauhid. Dengan tauhid itulah Islam mengatasi agama lainnya yaitu agama hasil kebudayaan manusia yang terpengaruh dan terkungkung oleh kekuasaan alam dan kekuasaan manusia. Agama kebudayaan atau agama alam ini mengajarkan kekuasaan serta kekeramatan benda-alam dan manusia yang menjadi pemimpin agama itu.
Pengaruh agama alam yang datang lebih dahulu ini sering merusak dan menyelewengkan keimanan ummat Islam, lalu melahirkan upacara-upacara sebagai ibadat yang, kelihatan dari luar seperti Islam tetapi sebenarnya mengandung unsur i’tiqad agama alam. Inilah bid’ah i’tiqad itu yang amat berbahaya karena condong ke arah kemusyrikan.
Maka yang dinamakan bid’ah dalam i’tiqad ialah kepercayaan keagamaan yang tidak ada dasarnya dalam Al-Qur’an dan ajaran Rasulullah.

Macam-macam Bid’ah dalam I’tiqad
Setiap i’tiqad membuahkan amalan yang mënyerupai atau dimaksud untuk beribadah. Pada ummat Islam bid’ah i’tiqad ini melahirkan amalan yang kelihatannya seperti agama Islam tetapi sebenarnya mengandung unsur kepercayaan yang keluar dari tauhid. Di antara bid’ah i’tiqad dan amalannya itu adalah sebagai berikut :
  1. Mempercayai bahwa berjabat tangan dengan orang yang pernah berjabat tangan dengan orang yang secara berantai sampai kepada orang yang pernah berjabat tangan dengan Rasulullah, akan masuk Syurga.
  2. Mengambil barakah dengan mencucup tangan ulama. Demikian itu dikerjakan dengan kepercayaan bahwa berkah Allah kepada ulama itu akan melimpah kepadanya.
  3. Mempercayai bahwa beberapa ulama tertentu itu keramat serta menjadi kekasih Allah sehingga terjaga dari berbuat dosa. Andaikatapun berbuat dosa, maka itu sekedar sengaja diperbuatnya untuk menyembunyikan kesuciannya, tidak dengan niat ma’siyat.
  4. Memakai ayat-ayat Al-Qur’an untuk azimat menolak bala, pengasih dan sebagainya.
  5. Mengambil wasilah (perantara) orang yang telah mati untuk mendo’a kepada Allah. Mereka menziarahi kuburan para wali dan ulama besar dan memohon kepada Allah agar do’a (permohonan) orang yang berziarah kuburnya itu dikabulkan. Ada yang memohon dapat jodoh, anak, rezeki, pangkat, keselamatan dunia dan akhirat dan sebagainya. Mereka percaya bahwa dengan syafa’at (pertolongan) arwah para wali dan ulama itu, permohonan atau do’a mereka tentu dikabulkan Allah, karena wali dan ulama itu kekasih-Nya.
Maka pada hari-hari tertentu, ramailah kuburan keramat itu diziarahi orang siang dan malam, masing-masing membawa permohonannya sendiri-sendiri. Mereka berjongkok di sekeliling kuburan itu, memanggil nama yang telah dikubur serta menyampaikan permohonannya seakan-akan berbicara dengan orang yang masih hidup. Dengan begitu mereka mengharapkan dan percaya bahwa arwah kekasih-kekasih Allah dapat memberikan pertolongan atau syafa’at, baik yang terdiri dari anugrah di dunia maupun keselamatan pada hari Kiyamat. Akhirnya pada orang-orang yang tidak mengerti timbul kesalahan faham, yaitu kepercayaan bahwa benar-benar kuburan dan arwah itulah yang mengabulkan permohonan dan yang patut dimohoni pertolongan. Demikianlah jadinya, kepercayaan tentang wasilah dan syafa’at dapat menjadikan kemusyrikan yang berlawanan dengan tauhid. Dan kemusyrikan milah, disamping taqlid, telah membelenggu akal dan kecerdasan manusia, menghambat kemajuan bangsa dan masyarakat.
Wasilah artinya perantara, yaitu sesuatu yang dapat menyampaikan kita kepada maksud; seperti belajar adalah wasilah untuk menjadi pandai, bekerja untuk mendapat rezeki, beramal untuk mendapat pahala, beribadat untuk mendekatkan diri kepada Allah, ta’at kepada Allah dan Allah ridla kepada kita. Juga termasuk wasilah pertolongan seseorang untuk memohon bagi kita. Umpama kita hendak memohon pekerjaan kepada sesuatu kantor, akan lebih diharap berhasil jika minta tolong kepada seseorang yang dikenal baik atau disayangi oleh kepala kantor itu, untuk menyampaikan permohonan kita itu. Kepala kantor itu menerima permohonan kita karena dibantu oleh orang yang disayangi itu, tetapi juga karena kita dianggap cakap dan baik. Jika kita tidak cakap dan buruk nama, tentu kepala kantor itu tidak mau menerima kita. Dengan demikian berarti bahwa gunanya wasilah semacam ini hanya untuk lebih memudahkan dan menyegerakan dikabulkannya sesuatu permohonan yang memang pada dasarnya dapat dikabulkan.
Tanpa wasilah, permohonan itu dikabulkan juga, tetapi setelah melalui pertimbangan yang teliti dan proses yang lama.
Jadi gunanya wasilah manusia adalah untuk mendapat prioritas dan fasilitas atau penyegeraan dan kemudahan.
Pertolongan orang yang kita jadikan wasilah hingga permohonan kita terkabul, itulah yang dinamakan syafa’at. Yang dinamakan syafa’at para nabi dan para wali, ialah doa mereka kepada Allah hingga permohonan kita dikabulkan. Tetapi hanya orang yang masih hidup sajalah yang dapat mendo’akan kita. Para Nabi dan Wali atau siapa saja yang sudah mati tidak dapat berbuat apa-apa bagi dirinya, apalagi bagi kita.

Wasilah dan Syafa’at menurut Sunnah
Dengan demikian kita tidak layak, tidak dapat dan tidak ada gunanya memohon syafa’at kepada orang yang sudah mati meskipun dia nabi atau wali dan ini bid’ah i’tiqad yang lekas menjadi syirik. Dinamakan bid’ah, karena tidak berdasar Al-Qur’an dan Sunnah. Menurut Qur’an dan Sunnah, mencari wasilah dan syafa’at hanya diizinkan kepada orang yang masih hidup.

Siapa yang dapat memberi syafa’at
Kata “syafa’at” dapat berarti “pertolongan dengan daya gaib” dan dapat pula diartikan do’a. Pengertian pertama itulah yang menjadikan musyrik, dan pengertian kedua itulah yang dikehendaki dan diizinkan dalam ajaran Islam. Yaitu: seseorang yang dikasihi Allah mendo’akan kepada Allah untuk kita. Mereka yang dikasihi Allah ialah : para Nabi dan Rasul (sudah wafat semua sekarang ini): para orang mukmin yang ta’at dan tunduk ingat selalu kepada Allah serta senantiasa menyediakan diri untuk mengabdi kepada Allah, mereka ini ada yang terdiri dari alim-ulama, kyai, guru, orang terpelajar, dan juga orang mukmin biasa yang tidak menduduki tempat yang tinggi dalam masyarakat. Allah memilih kekasih-Nya bukan tergantung pada ilmu dan martabat kemasyarakatan, tetapi berdasar atas taqwa dan pengabdian seseorang kepada-Nya.
Benar sekali bahwa ilmu agama yang tinggi dan mendalam terutama dalam ilmu ushuluddin, dapat menjadikan orang alim dan ma’rifat kepada Allah dengan jelas, yang menghasilkan taqwa serta ta’at mengabdi kepada-Nya dengan mengalahkan kesenangan dunia. Termaterilah dalam kalbunya kecintaan kepada Allah dan Allah cinta kepadanya, maka jadilah ia wali Allah atau kekasih Allah, manusia yang dapat memberi syafa’at selagi ia hidup, dan hanya kepada orang baik. Firman Allah :
“Sesungguhnya yang dapat benar-benar takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah para ulama”. (Surat Al-Fathir : 28).
Demikianlah firman Allah. Adapun orang yang tinggi dan luas pengetahuan agamanya, tetapi tidak tambah ma’rifatnya kepada Allah, tidak bertambah ta’atnya, tidak gemar berbakti dan tidak ingin mengabdi kepada-Nya, cintanya kepada dunia melebihi cintanya kepada Allah : tentu bukan mereka yang dimaksud Allah dalam ayat tersebut dan Allah tidak kasih kepadanya, dia bukan kekasih Allah, tidak dapat memberi syafa’at meskipun masih hidup, bahkan perlu diberi syafa’at.
Para Wali Sanga, mungkin mereka itu benar wali Allah atau kekasih Allah. Allah mengasihi mereka karena mereka mengasihi Allah dengan rela meninggalkan keduniaan mereka, demikian menurut riwayatnya. Tetapi mereka sudah wafat, tidak kuasa memberi syafa’at lagi.
Wali Allah ialah kekasih Allah, Allah hanya kasih kepada orang yang kasih akan Dia. Yaitu mereka yang sedia hilang keduniaannya asal untuk mengabdi Dzat yang dikasihinya, ta’at mengerjakan segala perintah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya. Karena itu mereka tidak khawatir atau susah dalam segala peristiwa yang dialami dalam hidupnya, yang ada hanya syukur dan tawakkal. Siapa saja dapat menjadi wali Allah asal menetapi sifat yang tersebut itu. Tentang para wali ini Allah berfirman :
“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak dapat ditimpa ketakutan dan tidak pula mereka itu pernah merasa susah”. (Surat Yunus : 62)
Karena kasih dan rindunya untuk menghadap bertemu dengan Allah, mereka memperbanyak ibadah dan beramal shaleh serta membela agama. Dengan demikian mereka yakin masuk syurga serta mengharap-harap mati dengan husnul khotimah. Ini menjadi tanda bukti kewalian. Maka ketika bangsa Yahudi menganggap dirinya satu-satunya bangsa yang dikasihi Allah, Allah lalu berfirman minta bukti :
“Katakanlah : Hai orang Yahudi, jika kamu menganggap bahwa kamulah kekasih Allah tanpa orang lain, maka harap-haraplah oleh kamu akan mati, jika benar anggapanmu itu”. (Surat Jama ‘ah : 6)
Tetapi tidak hanya kepada para wali kita boleh meminta wasilah dan syafa’at. Jika kita bermohon kepada Allah, kita sendiri mendo’a dan disamping itu kita boleh datang kepada orang yang kita anggap lebih taqwa daripada kita untuk meminta agar beliau mendo’akan untuk terkabulnya do’a kita itu. Do’anya itulah yang bernama syafa’at.

Dalil tentang Wasilah dan Syafa’at
Adapun dalil-dalil tentang wasilah dan syafa’at antara lain sebagai berikut :
“Hai sekalian orang yang beriman, ikutlah kepada Allah dan carilah perantara kepada-Nya, dan bersungguh-sungguhlah kamu membela agama-Nya, agar kamu sekalian bahagia”. (Surat Maidah : 35).
Para ulama ahli tafsir yang kenamaan telah mentafsirkan tentang arti dan maksud dari kata-kata “wasilah” tersebut dalam ayat itu yaitu : pada pokoknya mendekatkan diri kepada Allah dengan jalan ta’at melakukan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Di antara mereka terdapat Imam Jalaluddin Al-Muhalli dan Imam Jalaluddin As-Sayuthi dalam tafsirannya “Al-Jalalain”, Imam Sulaiman Al-Jamal dalam tafsirnya “Al-Futuhatul Ilahiyah”, Imam Khatib As-Syabini dalam tafsirnya “Sirajul-Munir”, Imam Qadli Al-Baidhawi dalam “Anwarut-Tanzil, Imam Zamachsyari dalam Tafsir “Al-Kassyaf”, Imam Fachruddin Ar-Rozi dalam Tafsir “Al-Kabir” dan lain-lainnya.
Dari sana kita dapat mengambil kesimpulan bahwa wasilah yang mendekatkan manusia kepada Allah ialah taqwa dan taqwa itu membuahkan ta’at mengabdi kepada-Nya. Adapun jika meminta dido’akan oleh orang shalih itu dimasukkan ke dalam macamnya wasilah, itupun tidak mengapa asal orang shalih itu masih hidup.
Dalam suatu riwayat diterangkan :
“Bahwasanya Umar bin Khattab rodliyallahu anhu jika datang musim kemarau melakukan shalat memohon hujan seraya berwasilah dengan ‘Abbas bin Abdul Muththalib (paman Nabi), dan ia berdo’a ; Ya Allah, dahulu kami berwasilah kepada-Mu dengan Nabi kami maka Engkau telah mengaruniakan hujan kepada kami. Sekarang ini kami berwasilah kepada-Mu dengan paman Nabi kami, maka berilah kami hujan. Maka kata (sahabat Anas): merekapun diberi-Nya hujan”. (Diriwayatkan oleh Imam Buchori dari sahabat Anas).
Riwayat di atas menerangkan bahwa selama Nabi masih hidup, para sahabat berwasilah dengan Nabi untuk mendo’a memohon hujan. Tetapi Setelah Nabi wafat, Sayidina ‘Umar tidak berwasilah dengan Nabi lagi karena sudah wafat, tetapi dengan orang yang tertua dan terhormat yang masih hidup yaitu ‘Abbas bin Abdul Muththalib paman Nabi. Jadi tidak lalu Sayidina ‘Umar dan para sahabatnya berwasilah dengan kuburan atau arwah Nabi. Selanjutnya Nabi saw bersabda : “Jika kamu sekalian mendengar orang adzan maka bacalah sebagai apa yang diserukannya, kemudian bacalah salawat bagiku oleh karena siapa saja yang membaca salawat bagiku niscaya Allah memberi dia salawat (keselamatan) sepuluh kali ganda. Lalu mohonlah wasilah kepada Allah bagiku, oleh karena yang demikian itu merupakan martabat dalam Syurga yang tidak layak dimiliki kecuali oleh seorang hamba dan hamba-hamba Allah; serta aku berharap akulah dia itu. Maka barang siapa memohon wasilah kepada Allah bagiku maka ia berhak akan syafa’at” (Diriwayatkan oleh Imam Muslim dan Imam Abu Dawud dan ‘Abdullah bin ‘Amar bin ‘Ash).
Maksud hadits di atas ialah: Rasulullah meminta kepada kita orang Islam agar setiap sesudah mendengar adzan kita memohon wasilah kepada Allah untuk beliau yaitu mendo’akan agar Allah mengaruniakan kepada junjungan kita Nabi Muhammhad s.a.w. martabat tertinggi dalam Syurga.
Jika kita berbuat demikian, Rasulullah akan memberi syafa’at (mendo’akan keselamatan) bagi kita pada hari kiyamat. Jelaslah bahkan do’a kita itu menjadi wasilah bagi Nabi s.a.w. Adapun do’a sesudah mendengar adzan selesai ialah : “Ya Allah, Tuhan dari seruan yang sempurna ini dan dari shalat yang sedang akan dilaksanakan ini, berilah wasilah dan keutamaan serta martabat yang tinggi kepada junjungan kami Muhammad, dan tempatkan dia pada tempat yang terpuji yang telah Engkau janjikan. Sungguh Engkau tidak akan menyalahi janji”.

Ibadah adalah wasilah
Kita mengerti bahwa sesudah adzan kita mengerjakan shalat fardlu atau sunnat rawatib. Maksud shalat ialah mendekatkan diri kepada Allah dan berbakti kepada-Nya dengan ta’at melakukan perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya, sebagaimana firman Allah dalam surat ‘Ankabut : 45 yang artinya : “Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan yang kotor dan munkar”. Dan sini dapat kita ketahui bahwa wasilah yang kita mohon itu ialah dekatnya diri kita kepada Allah dan diterima-Nya shalat kita hingga memberi kekuatan untuk melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya yaitu pekerjaan kotor dan munkar.
Keutamaan shalat sebagai wasilah ini dikuatkan oleh firman Allah :
“Mohon pertolonganlah kamu dengan sabar dan shalat. Sesungguhnya shalat itu berat, kecuali bagi orang tekun”. (Al-Baqarah : 45).
Maka benarlah pendapat para ahli tafsir, bahwa maksud pertama daripada kata-kata wasilah ialah : “mengerjakan ibadah dengan sungguh-sungguh hingga makbul, mengerjakan segala perintah Allah dan meninggalkan segala larangan-Nya”. Itulah dia wasilah yang menyebabkan setiap do’a kita dikabulkan karena Allah telah berkenan (ridla) kepada kita. Adapun maksud kedua ialah do’a orang lain bagi terkabulnya permohonan kita.
Adapun syafa’at Rasulullah pada hari kiyamat itu, akan diberikannya kepada kita setelah mencapai wasilah kepada Allah yaitu bila ibadah itu telah dapat memberi kekuatan kita untuk mengerjakan segala perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Artinya, kita menjadi mukmin dan muslim benar-benar. Dan yang harus kita ingat ialah bahwa syafa’at itu adalah “do’a”.
Tersebut dalam suatu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Buchori dan Muslim, bila kelak semua manusia telah dibangunkan dari kuburnya dan dikumpulkan di padang Mahsyar di bawah panas terik membakar, mereka kebingungan mencari perlindungan. Mereka menghadap kepada Nabi Adam, Ibrahim, Musa dan Nabi ‘Isa; tetapi para Nabi itu tidak kuasa menolong, lalu menyuruh mereka menghadap Nabi Muhammad s.a.w. Akhirnya Nabi Muhammad s.a.w. sujud menghadap Allah memuji dan memohon keselamatan ummat manusia. Maka bersabdalah Allah : “Wahai Muhammad kekasih-Ku, angkatlah wajahmu dan mohonlah niscaya Aku kabulkan. Syafa’atilah mereka niscaya Aku beri syafa’at. Seketika Nabi mengangkat wajahnya dan bermohon. Lalu berfirman Allah : “Muhammad, masukkanlah ummatmu yang terbaik ke dalam Syurga tanpa hisab dari pintu sebelah kanan”. Sesudah itu dimulailah hisab terhadap manusia lainnya.
Dan hadits itu bertambah jelas bahwa yang akan menerima syafa’at Rasulullah hanyalah ummat Islam yang ta’at, dengan izin Allah, karena hanya Allah sendiri yang memiliki dan memberikan syafa’at, Nabi hanya memohonkan.
Firman Allah : “Tidak berguna syafa’at di hadapan Allah kecuali bagi orang yang diizinkan-Nya”. (Surat Saba : 23).
“Katakanlah : Semua syafa’at adalah milik Allah belaka. Dia mempunyai kerajaan langit dan bumi, kemudian kepada-Nya kamu akan dikembalikan”. (Surat Zumar : 43).
“Tiadalah yang kuasa mensyafa’ati di hadapan Allah, kecuali dengan izin-Nya juga”. (Al-Baqarah : 255).
Seterusnya banyak sekali firman Allah yang menerangkan bahwa syafa’at ini hanya kepunyaan Allah belaka, Nabi dan Rasul tidak berkuasa dan hanya mendo’akan. Do’anya itupun dengan izinnya Allah, karena Allah tidak rela Nabi mendo’akan orang yang tidak ta’at serta Nabi sendiripun tidak mau berbuat demikian. Firman itu antara lain ialah : Surat Yunus ayat 18. ; Surat An’am ayat 51 ; Surat Nadjm ayat 26 ; Surat Sajadah ayat 4 ; Surat Yasin ayat 23 ; Surat Ambiya ayat 26 – 28 ; Surat Baqarah ayat 48, 123 dan 255 ; Surat Taubat ayat 8 dan 113. Dengan banyaknya ayat Al-Quran tentang wasilah dan syafa’at nyatalah bagaimana pentingnya dan gawatnya. Penting diterangkan dan dijelaskan, untuk menghindarkan manusia dari terjerumus ke dalam lobang kemusyrikan.

Kesimpulan
  1. Wasilah yang harus kita capai itu, ialah perantara untuk mendekatkan diri pada Allah, yaitu beribadat dengan khusu’ dan ta’at kepada-Nya.
  2. Dinamakan juga wasilah, ialah do’a orang lain kepada Allah untuk keselamatan atau terkabulnya permohonan kita.
  3. Syafa’at artinya do’a yang dikabulkan Allah. Syafa’at itu terletak dalam kekuasaan Allah belaka. Para Rasul, Nabi, orang Shalih; mereka Sekedar mendo’a memohon syafa’at itu.
  4. Allah hanya mengizinkan syafa’at itu kepada hamba-Nya yang ta’at.
  5. Mencari wasilah dan syafa’at kepada orang yang telah mati atau kuburan adalah laku kemusyrikan, orangnya menjadi musyrik.
------------------------
Ahlus Sunnah Wal Jama'ah - Bid'ah Khurafat, H. Djarnawi Hadikusuma, PT. Percetakan Persatuan Yogyakarta, Cetakan Ke IV, halaman 45-53.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar