Rabu, 30 Juli 2014

Bid'ah Khurafat (3)

PEMBAGIAN BID’AH
Pengertian tentang bid’ah yang telah diterangkan dalam bab pertama risalah ini, adalah berdasarkan pendapat yang lebih sah dan lebih langsung mengenai pokok persoalannya, ialah yang dinamakan bid’ah itu sesuatu karangan (tambahan) baru dalam ibadah dan i’tiqad agama. Hal ini perlu diperhatikan oleh para pembaca, sebab pengertian tentang bid’ah ini oleh sementara ulama telah diperluas sampai-.sampai mengenai segala soal yang sebenarnya bukan agama.
Pengeluasan itu sedemikian rupa hingga sering membingungkan orang yang mencoba mempelajari tentang bid’ah. Apa-apa yang selama hayat Nabi belum ada dan telah ada pada zaman sekarang ini, dinamakan juga bid’ah, seperti rumah sakit, panti-asuhan, pengeras-suara untuk adzan, mencetak Al-Qur’an, menterjemahkan Qur’an, menaruh hiasan di mesjid, dan sebagainya. Para ulama membagi-bagi macam-macamnya bid’ah dan pelbagai segi sehingga seakan-akan seluk-beluk bid’ah ini telah merupakan satu ilmu tersendiri, yang mengandung definisi-definisi tentang bermacam-ragam bid’ah dengan hukumnya yang bermacam-macam pula. Boleh jadi dengan pembagian yang banyak itu serta memasukkan perkara-perkara yang bukan agama ke dalam rangka bid’ah, orang bermaksud untuk menunjukkan bahwa banyak sekali pekerjaan-pekerjaan bid’ah yang sebenarnya baik dan mudah sedang yang tidak baik hanya sedikit sekali.
Agar menjadi pengetahuan kita, di sini akan diuraikan macam-macam pembagian itu secara singkat, sedangkan macamnya bid’ah yang pada pendapat kita memang sebenarnya bid’ah, akan diuraikan lebih luas.

A. BID’AH ‘AM
Bid’ah ‘Am atau Umum ialah bid’ah yang tidak disandarkan hukumnya kepada hukum-hukum fekih, yang lima (wajib, haram, sunnat, mubah dan makruh). Dipandang dari beberapa segi, bid’ah ‘am ini dibagi pula sebagai berikut :
  1. FI’LIYAH dan TARKIYAH. Bid’ah Fi’liyah ialah bid’ah yang terjadinya karena melakukan pekerjaan agama atau bersifat keagamaan yang tidak ada dasarnya dalam Sunnah Rasul seperti membaca Usholli sebelum takbiratul-ihram, talqin, tahlil, puasa dan shalat nisfu sya’ban, dan sebagainya. Kadang-kadang bid’ah itu terjadi bukan karena mengerjakan sesuatu, tetapi karena meninggalkan sesuatu yang diperintahkan atau dibolehkan oleh agama, dengan anggapan bahwa meninggalkannya itu bersifat agama pula atau untuk mendekatkan diri kepada Allah. Contohnya : Berpuasa sengaja tidak sahur untuk mendapat pahala lebih banyak padahal sahur itu anjuran Nabi, tidak kawin seumur hidup, tidak memakan daging, dan sebagainya. Ini dinamakan bid’ah Tarkiyah.
  2. ‘AMALIYAH dan I’TIQADIYAH. Bid’ah ‘Amaliyah ialah bid’ah yang dilakukan dengan anggauta badan seperti shalat bid’ah, puasa bid’ah, dan sebagainya. Bid’ah I’tiqadiyah ialah bid’ah kepercayaan seperti mempercayai bahwa Tuhan benbentuk atau bertubuh, percaya bahwa Nabi Muhammad turun ke dunia ketika dibacakan Maulud, para ulama dapat memberi syafa’at pada hari kiyamat, siapa yang ditalqin masuk syurga, dan lain-lain kepercayaan keagamaan yang tidak diajarkan oleh Kitab Allah dan Rasul-Nya.
  3. ZAMANIYAH, MAKANIYAH dan HALIYAH. Bid’ah Zamaniyah ialah yang dikerjakan pada kesempatan (hari besar) tertentu dengan anggapan sebagai upacara keagamaan atau sebagai ibadat : seperti perayaan Maulud Nabi atau Isra’ Miraj yang dilakukan dengan upacara tertentu misalnya bangkit berdiri bersama-sama waktu maqom yaitu ketika Maulid Nabi dibaca orang dan sebagainya. Adapun memperingati hari-hari besar tersebut tanpa upacara tertentu, tidak termasuk bid’ah asal tidak dianggap sebagai perayaan keagamaan. Bid’ah Makaniyah ialah bid’ah yang dilakukan khusus di tempat-tempat tertentu seperti talqin dan mengirim orang mati di kuburan, membaca Qur’an di kuburan, tahlil di tempat kematian, ziyarah ke makam dan masjid yang dianggap keramat seperti masjid Ngampel dan Demak, dan sebagainya. Bid’ah Haliyah ialah bid’ah yang dilakukan pada upacara serta peralatan dalam pekerjaan yang dimaksud untuk ibadah, serta perjamuan-perjamuan menurut adat yang disertai kepercayaan, seperti perjamuan dan memberi santapan kepada arwah Nabi, makan bersama di kuburan sesudah berziyarah kubur, dan sebagainya.
  4. KULLIYAH dan JUZ-IYAH. Bid’ah Kulliyah ialah bid’ah keseluruhan seperti menyerahkan hukum agama dan penentuan tentang baik dan buruk kepada pertimbangan akal semata-mata, ingkar kepada kenabian para Nabi dan ingkar kepada kebenaran perkataan Rasulullah, dan sebagainya. Adapun Bid’ah Juz-iyah yaitu bid’ah sebagian, seperti menganggap baik berdiri shalat atas sebelah kaki.
  5. BIDAH ‘IBADIYAH dan ‘ADIYAH. Bid’ah ‘Ibadiyah itu ialah segala bid’ah yang dilakukan dengan maksud mendapat pahala atau mendekatkan diri kepada Allah. Baik bid’ah itu berupa ‘ibadah seperti puasa dan shalat ataupun berupa bukan ‘ibadah seperti mencegah makan, sengaja tidak kawin, perjamuan dan kenduri. Adapun Bid’ah ‘Adiyah ialah bid’ah yang dilakukan dengan tidak ada maksud mencari pahala atau mendekatkan diri kepada Allah. Bid’ah ini mengenai urusan mu’amalah dan adat pergaulan yang dianggap penting atau syarat, meskipun tidak ditetapkan oleh agama. Misalnya anggapan bahwa syahnya jual-beli dengan ijab-kabul yang wajib diucapkan dengan kata-kata : “Saya beli” kata pembeli dan “saya jual’ kata penjual. Mempelai perempuan harus mencuci kaki mempelai laki-laki pada peralatan, dan sebagainya.
  6. HAQIQIYAH dan IDLAFIYAH. Bid’ah Haqiqiyah ialah bid’ah yang samasekali tidak ada dalilnya bahkan tidak ada asalnya sedikitpun dalam agama, tidak dari Qur’an dan Sunnah dan tidak dari pendapat orang mentafsirkan dalil-dalil syara’. Pendeknya bid’ah Haqiqiyah ini mutlak ciptaan orang seperti : bertawaf tidak sekeliling Ka’bah tetapi mengelilingi masjid, benteng, tanah lapang dan sebagainya; shalat Maghrib lima raka’at, berpuasa malam hari; percaya seseorang menjadi nabi atau rasul; mendekatkan diri kepada Allah dengan sengaja tidak kawin atau dengan menyiksa badan sendiri; dan lain-lainnya. Bid’ah Idlafiyah sangat penting diketahui karena inilah yang umumnya dilakukan orang tanpa kesadaran bahwa ini bid’ah. Kalau kurang hati-hati orang mudah terjatuh dalam bid’ah ini. Bid’ah Idlafiyah ialah bid’ah yang jika dipandang ujud amalnya dia tidak bid’ah bahkan perintah agama tetapi dipandang dari segi lain dia adalah bid’ah. Di bawah ini beberapa contohnya : (1). Shalat itu perintah Allah, hukumnya wajib atau sunnat, shalat mubah tidak ada. Dipandang ujud amalnya shalat itu perintah Allah dan Rasul, tetapi jika dikerjakan pada waktu dan dengan cara yang tidak dituntunkan oleh Allah dan Sunnah Rasul maka shalat semacam itu bid’ah; umpamanya : Shalat Shubuh memakai do’a qunut seraya mengangkat kedua tangan dan membaca “amin” bersama-sama, shalat Nisfu Sya’ban dan sebagainya. (2). ‘Ibadah puasa itu dipandang dari ujud amalnya adalah perintah agama, wajib atau sunnat, dan tidak ada puasa mubah. Tetapi jika dikerjakan pada waktu yang tidak dituntunkan Rasulullah maka puasa semacam itu bid’ah. Umpamanya : puasa tiap hari Jum’ah atau tiap hari Senin Kliwon, puasa pada hari-hari yang diharamkan seperti pada hari ‘Ied, puasa tiap hari, puasa sehari semalam atau lebih dan sebagainya. (3). Kita disunatkan sering membaca kalimat “La ilaha ilallah” untuk lebih ingat dan mendekatkan diri kepada Allah. Tetapi kalau membacanya dengan upacara tertentu yang Rasulullah tidak tuntunkan dan tidak pula lakukan maka pembacaan semacam itu menjadi bid’ah, yaitu membaca “La ilaha illallah” serentak bersama-sama dalam tahlil. (4). Adzan sebelum shalat fardlu pada permulaan masuk waktunya adalah perintah Rasulullah, tetapi adzan sebelum shalat ‘Ied menjadi bid’ah karena Rasulullah tidak lakukan itu. Demikian pula halnya adzan duakali untuk shalat Jum’at, adzan sebelum mayat dikubur, dan sebagainya. Sekian sekedar beberapa contoh dari bid’ah Idlafiah. Dalam bagian tertentu dalam risalah ini akan dibentangkan dengan agak luas tentang bid’ah idlafiyah ini.
Dengan pembagian bid’ah yang sekian banyaknya seperti yang telah diterangkan di atas itu, bukanlah berarti bahwa bid’ah itu sekian pula jenisnya. Bid’ah tetap hanya satu jenis yaitu amalan bersifat keagamaan yang tidak ada perintah atau contohnya dalam Qur’an dan sunnah. Tetapi meskipun hanya satu jenis, kalau dipandang.dari segi ini lalu dapat dibedakan adanya bid’ah macam Fi’liyah dan Tarkiyah. Jika dipandang dari segi lain lalu dapat dibedakan antara Kulliyah dan Juz-iyah. Demikian seterusnya dipandang dari enam segi maka kelihatan bahwa bid’ah ‘am ada tigabelas macam.
Meskipun pembagian dari enam segi itu kelihatan sangat teliti, namun agaknya kurang banyak faedahnya selain keperluan ilmiyah. Dari segala pembagian itu yang terpenting ialah pembagian antara Haqiqiyah dan Idlafiyah.

B. BID’AH KHASH
Bid’ah Khas (khusus) ialah bid’ah yang disandarkan kepada hukum fekih yang lima (wajib, haram, sunnat, mubah dan makruh) tersebut. Kalau kita membicarakan bid’ah khash kita tidak dapat melupakan seorang ulama besar golongan Syafi’iyah yang bernama Imam ‘Izzuddin bin ‘Abdus-Salam yang memberikan ta’rif (definisi) lain tentang apa yang dikatakan bid’ah yaitu yang tersebut dalam kitabnya “Qawa’idul Ahkam” sebagai berikut :
“Bid’ah itu ialah melakukan apa yang belum pernah dilakukan pada masa Rasulullah. Dan itu terbagi dalam : bid’ah yang wajib, bid’ah yang haram, bid’ah yang sunnat, bid’ah yang makruh dan bid’ah yang mubah”.
Atas dasar itu beliau membagi bid’ah menjadi dua golongan yaitu bid’ah hasanah dan bid’ah qabihah atau sayyi-ah. Bid’ah hasanah artinya bid’ah yang baik, ia mengandung tiga macam bid’ah yaitu bid’ah yang wajib, yang sunnat dan mubah. Bid’ah qabihah atau sayyi-ah artinya yang jelek mengandung dua macam bid’ah yaitu yang haram dan yang makruh.
Untuk menjelaskan lima macam bid’ah itu selanjutnya beliau menulis :
“Maka jika bid’ah itu termasuk ke dalam kaidah wajib maka dia bid’ah yang wajib pula, jika termasuk ke dalam kaidah haram maka bid’ah haram pula, dan jika termasuk dalam kaidah sunnat iapun bid’ah yang sunnat, dan jika termasuk ke dalam kaidah makruh maka bid’ah makruhlah pula, dan jika termasuk ke dalam kaidah mubah maka bid’ah yang mubah juga”.
Pendapat Imam ‘Izzuddin bin ‘Abdussalam itu dikuatkan oleh muridnya yaitu Imam Al-Qurafi, kemudian diikuti oleh sebagian ulama-ulama Syafi’iyah antara lain Imam Ibnu Hajar Al-’Asqalani dan Syekh Ibnu Hajar Al-Hitami. Mereka itu ulama-ulama Madzhab Syafi’i, padahal Imam Syafi’i sendiri tidak membagi bid’ah menjadi lima, tetapi hanya menjadi dua yaitu bid’ah mahmudah (terpuji) dan bid’ah madzmumah (tercela).
Berkata Imam Syafi’i radliyallahu ‘anhu :
‘Bidab itu ada dua macam yaitu terpuji dan tercela. Maka yang sesuai dengan sunnah Rasul adalah dia terpuji dan yang menyalahinya tercela”.
Pendapat beliau tersebut di atas kemudian oleh para Imam dan ulama pengikut beliau telah diperkembangkan dan dijelaskan pula contoh-contohnya. Bid’ah mahmudah menjadi bid’ah hasanah dan bid’ah madzmumah menjadi bid’ah qabihah atau sayyi-ah serta menjadi lima macam hukumnya sebagai tersebut di atas itu. Perkembangan dalam pengertian tentang bid’ah ini berlangsung terus, baik yang mengenai i’tiqad, terutama dalam kalangan para pengikut ‘awam yang tidak mampu menyelidiki secara agak mendalam atau hanya ikut-ikutan. Padahal perkembangan yang sedemikian jauh hingga sekarang ini, tidak dikehendaki oleh para ulama yang alim dan berhati-hati itu.

CONTOH-CONTOH BID’AH LIMA MACAM TERSEBUT
Selanjutnya mereka mengemukakan amalan-amalan yang termasuk masing-masing dari lima macam bid’ah itu antara lain sebagai berikut :
  1. BID’AH WAJIBAH : (1). Mengumpulkan catatan-catatan ayat Al-Qur’an yang disimpan oleh para sahabat kemudian disatukan untuk menjaga agar Al-Qur’an tetap utuh terpelihara meskipun andaikata para sahabat yang hafal telah wafat semua. Ini terjadi pada masa Khalifah Abu Bakar. (2). Menyalin kembali ayat-ayat itu dan membukukannya. Ini terjadi pada masa Khalifah Utsman bin ‘Affan. (3). Khalifah Utsman membatasi jumlah cara membaca Qur’an dengan tujuh macam qiroat untuk keseragaman. (4). Mempelajari ilmu bahasa Arab untuk memahami Al-Qur’an dan Hadits. (5). Menciptakan, mempelajari dan mengajarkan ilmu-ilmu seperti Ushul-fekih, ilmu hadits, ilmu tafsir dan lain-lain ilmu agama yang berguna untuk menggali dan menetapkan hukum.
  2. BID’AH MANDUBAH : (1). Shalat Tarwih berjama’ah. (2). Mengadakan tanda-tanda khusus pada pakaian pejabat seperti para hakim, imam dan khatib, kadli dan sebagainya. (3). Memberi tempat kedudukan tertentu kepada mereka dalam upacara dan sidang perjamuan. (4). Membaca selawat atas nabi ketika Khatib Jum’ah menaiki tangga mimbar setingkat demi setingkat.
  3. BID’AH MUBAHAH : Yaitu pekerjaan yang banyak terjadi dalam kehidupan seseorang seperti : (1). Makan memakai sendok. (2). Membasuh tangan sesudah makan. (3). Mengadakan macam-macam makanan dan minuman serta pakaian, menghiasi rumah dan gedung.
  4. BID’AH MUHARROMAH : (1). Lebih mengutamakan kepada orang-orang bodoh daripada kepada para ulama atau cerdik-pandai. (2). Mengangkat orang-orang yang tak berpengetahuan agama untuk menduduki jabatan yang mengurusi soal-soal keagamaan hanya karena jabatan itu turun-temurun seperti putra kadli harus jadi kadli. (3). Mewajibkan ibadah yang tidak diwajibkan oleh Rasulullah seperti mewajibkan puasa pada hari syak.
  5. BID’AH MAKRUBAH : (1). Menentukan adanya hari-hari yang utama untuk melakukan ibadah seperti anggapan bahwa hari Jum’ah itu hari yang amat utama untuk beribadah puasa. (2). Menghiasi masjid dengan bermacam-macam hiasan. (3). Menghiasi kitab Qur’an. (4). Berjabatan tangan setelah salam dengan orang yang shalat di kiri-kanannya. (5). Menambah kesunnatan berbatas seperti membaca tasbih seratus kali sesudah shalat padahal seharusnya hanya tigapuluh tiga kali.
Demikian antara lain contoh kelima macam bid’ah menurut pendapat Iman Al-Qorofi dan pengikutnya. Bid’ah hasanah terdiri dari bid’ah wajibah, mandubah dan mubahan; sedang bid’ah qabihah terdiri dari bid’ah muharromah dan makruhah.

PERKEMBANGAN SELANJUTNYA
Pembagian bid’ah menjadi hasanah dan qabihah, kemudian menjadi lima macam itu, kemudian berkembang dan bertambah meluas terutama mengenai penggolongan amal-amal bid’ah. Pembagian itu yang semula ditujukan kepada bid’ah yang berkembang dengan adat dan perkara keduniaan, lalu diperluas juga mengenai bid’ah dalam ‘ibadah.
Kalau kita memperhatikan amalan yang digolongkan ke dalam bid’ah hasanah seperti : mengumpulkan dan seterusnya mencetak serta menyiarkan kitab Qur’an, mempelajari ilmu-ilmu bahasa dan ilmu agama, mendirikan madrasah dan pengajian, makan dengan sendok dengan garpu; semua itu tidak merupakan ‘ibadah seperti shalat dan puasa. Kesemua itu merupakan usaha untuk menegakkan ajaran Islam, serta makan dengan sendok dan lain-lainnya bid’ah mubahah merupakan urusan keduniaan atau adat pergaulan. Tetapi sebagai yang diterangkan di atas, segala sesuatu tentang bid’ah itu senantiasa berkembang. Dan perkembangan itu sering demikian luasnya hingga tidak sesuai lagi dengan maksud dan batas semula. Demikianlah orang yang tidak merasa puas beribadah menurut ketentuan Rasulullah, lalu memasukkan bid’ah (tambahan dalam ‘ibadah) menjadi bid’ah hasanah. Maka tersiarlah ajaran dan pendapat bahwa :
  1. Membaca usholli sebelum takbiratul-ihram itu bid’ah hasanah, karena dimaksudkan untuk menentukan niyat, sedang niyat dalam shalat itu wajib.
  2. Bertahlil dan talqin di kuburan itu bid’ah hasanah karena ditujukan bagi keselamatan mayat yang ditahlili serta mengingatkan diri kepada Allah.
  3. Shalat dan berpuasa pada hari dan malam Nisfu Sya’ban itu bid’ah hasanah sebab mulianya hari itu, dan bukankah shalat serta puasa itu mendapat pahala?
  4. Shalat Tarawih duapuluh raka’at itu bid’ah hasanah sebab bertambah banyak raka’atnya bertambah banyak pahalanya.
  5. Bangkit berdiri waktu maqom ketika Maulud dibacakan itu bid’ah hasanah karena berarti menghormat kepada Nabi s.a.w.
  6. Dan lain-lainnya.
------------------------
Ahlus Sunnah Wal Jama'ah - Bid'ah Khurafat, H. Djarnawi Hadikusuma, PT. Percetakan Persatuan Yogyakarta, Cetakan Ke IV, halaman 28-35.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar