Senin, 28 Juli 2014

Bid'ah Khurafat (2)

PENGERTIAN BID’AH
Arti Bid’ah menurut Bahasa
Arti Bid’ah menurut bahasa ialah : “Sesuatu yang diciptakan baru tanpa contoh yang mendahuluinya”, sebagaimana langit dan bumi ini diciptakan untuk pertama kalinya. Firman Allah :
“Yang menciptakan semua langit dan bumi” (Al-Baqarah : 117).
“Katakan olehmu (Muhammad) : aku ini bukan rasul yang mula-mula.”

Maksud ayat pertama ialah bahwa Allah menciptakan langit dan bumi ini tidak mencontoh ciptaan yang telah ada. Dan maksud ayat kedua ialah bahwa Nabi Muhammad s.a.w. itu bukan permulaan para rasul, melainkan sebelumnya telah ada rasul-rasul lain.
Imam Syatibi dalam kitabnya “Al-I’tishom” mengartikan bid’ah sebagai berikut :
“Mengadakan sesuatu tanpa ada contahnya terdahulu.”

Arti Bid’ah menurut Syara’
Adapun arti Bid’ah menurut syara’ (agama) telah pula diterangkan oleh Imam Syatibi dalam kitabnya itu, ialah :
“Suatu cara yang diadakan orang dalam agama yang menyerupai perintah agama, yang dikerjakan dengan maksud berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah Subhanahu wata’ala”.
Atau
“………. yang dikerjakan dengan maksud yang sama seperti maksud ibadah-ibadah lainnya dalam agama”.
Dari kedua pengertian tersebut di atas jelaslah bahwa bid’ah dalam agama ialah menambah ibadah yang diperintahkan oleh Allah dan dituntunkan Rasul dengan cara baru yang tak ada asalnya dalam syara’; dengan maksud mendapat pahala lebih banyak atau agar lebih dicintai Allah atau agar dianggap lebih setia dan lebih rajin beribadah.
Oleh karena ibadah tambahan itu tidak diperintahkan oleh Allah dan oleh Rasul, hanya karangan saja, itulah sebabnya dinamakan bid’ah. Demikian juga halnya bid’ah ‘aqaid, yaitu kepercayaan atau ‘amal yang didasarkan atas kepercayaan yang tidak diajarkan oleh Allah dan Rasul-Nya, Kepercayaan semacam itu adalah kepercayaan tambahan dan amalnyapun amal tambahan pula.

Dari mana diketahui adanya Bid’ah
Sumber dan ajaran agama Islam ialah Firman Allah dan Sunnah Rasul. Firman Allah termaktub dalam Al-Qur’anulkarim dan Sunnah Rasul dalam Hadits yang Shahih. Dan Al-Qur’an dan Hadits itulah kita menerima ajaran agama yang mengenai ushul atau kepercayaan dan yang mengenai furu’ atau hukum, juga yang mengenai akhlak. Dan sumber itu juga kita menerima perintah ibadah, amal-shalih dan jihad. Dalam perintah ibadah disertai cara dan waktunya dalam perintah amal-shalil disertai petunjuk dan hikmahnya, dalam perintah jihad disertai kedlaruratannya dan manfa’atnya bagi kesejahteraan ummat. Juga dalam ajaran kepercayaan disertai petunjuk dan pengawasan (kewaspadaan) terhadap kepercayaan yang mudah menimbulkan kesesatan syirik.
Kita dapat mengetahui apakah sesuatu ibadah yang dilakukan orang bid’ah atau asli, kecampuran bid’ah atau bersih, yaitu dengan menyesuaikan ibadah atau amal yang dimaksudkan untuk ibadah itu dengan tuntunan Allah dan Rasul. Kalau sesuai tidak kurang dan tidak lebih, maka ‘ibadah itu bersih. Kalau kurang maka kurang utama sampai dapat tidak shah. Kalau berlebih maka itu ‘ibadah itu tercampur bid’ah. Kalau tidak ada perintah atau tidak sesuai waktunya atau berlainan sama sekali caranya, maka itu adalah bid’ah seluruhnya.
Maka agar kita dapat mengetahui mana yang asli dan mana yang bid’ah, kita harus dapat mempelajari dan menela’ah Al-Qur’an dan Hadits yang menjadi sumber agama itu, dan untuk memperdalam ilmu agama kita harus benar atau memperbanyak membaca kitab-kitab agama, khususnya atau terutamanya kitab agama yang langsung membahas berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits. Tanpa mempelajari itu kita tidak bisa! Karena itulah maka tidak salah jika dikatakan bahwa taqlid adalah tulang punggung bid’ah khurafat, karena taqlid adalah mempedomani ajaran orang tanpa merasa perlu mengetahuinya.
Setelah kita mengetahui, kita peganglah ajaran Al-Qur’an dan Hadits itu teguh-teguh agar kita tidak sesat. Artinya: ‘Ibadah kita benar dan bersih dari bid’ah, kepercayaan kita lempang bertauhid yang tulen bersih dari khurafat, serta amal shalih kita dapat ikhlas karena Allah semata.
Sabda Rasulullah s.a.w. “Aku telah tinggalkan untukmu dua perkara yang jika kamu sekalian pegang teguh, kamu tidak akan sesat : Yaitu Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya” (Riwayat Hakim dan Ibnu ‘Abbas).

Apa yang mendorong orang berbuat Bid’ah
Terlebih dahulu harus kita sadari, bagaimanapun bid’ahnya sesuatu ibadah, tetapi itu dikerjakan orang atau diajarkan orang dengan maksud beribadah atau dengan maksud bertambah dekat kepada Allah; maka dapat kita katakan dengan tegas bahwa orang yang mengajarkan bid’ah atau melakukanya tentu saja dengan maksud yang baik.
Hanya saja dalam mencapai maksud yang baik itu ia telah gunakan ibadah atau amal yang serupa ibadah yang tidak dituntunkan oleh Allah dan Rasul, oleh ajaran agama yang murni. Disinilah letaknya kesalahan itu: bukan dalam maksud baiknya tetapi dalam pelaksanaannya. Karena kesalahan itu maksud baiknya tidak tercapai; ia tidak mendapat pahala lebih, ia tidak bertambah dekat kepada Allah, amal ibadahnya dapat tertolak seluruhnya. Jika demikian maka berarti kerugian, atau paling ringan ia telah mengerjakan ibadah tanpa mendapat pahala dan faedah sedikit juga.
Dapatkah maksud baik itu dirusakkan oleh pelaksanaan yang salah? Dapat. Dalam kehidupan manusia sehari-hari banyak contohnya, antara lain :
  1. Seorang ayah yang amat sayang kepada anaknya bermaksud baik untuk menyenangkan dan membahagiakan anaknya itu. Maka apa saja permintaannya diberinya dan apa saja kelakuannya tidak dilarangnya. Akhirnya karena terlalu dimanjakan anaknya itu menjadi orang yang boros dan jahat.
  2. Karena ingin lekas sembuh, seorang sakit meminum obatnya limakali sehari dua bungkus tiap kali minum, padahal menurut resep dokter seharusnya tiga kali sehari satu bungkus. Akhirnya si sakit tidak menjadi sembuh tetapi sakitnya semakin parah.

Keinginan untuk mendapat pahala lebih banyak, untuk lebih dekat kepada Allah itu, disertai dengan pendapat bahwa peribadatan sebagai yang dituntunkan oleh Rasulullah itu terlalu sederhana, terlalu ringan dan kurang seram. Bertambah nyata dan jelas sederhananya ibadah tuntunan Rasulullah itu jika dibandingkan dengan tharikat atau.latihan ajaran mistik atau tasawuf yang berkembang luas pada waktu itu, apa lagi jika dibanding dengan peribadatan agama Asia sebelum Islam ya’ni antara lain agama Hindu. Karena itulah agaknya mereka kurang puas dengan peribadatan yang sederhana itu, dan dengan kepercayaan yang tidak berbelit-belit itu, kurang mengandung rahasia, kurang mysterious, kurang seram. Tuntunan Rasulullah tidak memberi kesempatan sama sekali kepada manusia untuk meningkatkan rohaninya sampai hampir dekat benar kepada tingkatan malaikat. Tuntunan Rasulullah tidak membagi-bagi ‘ibadah, tingkat pertama ‘ibadah orang ‘awam, lalu tingkatan khusus, lalu tingkatan guru, lalu tingkatan ulama, lalu ‘ibadah tingkatan para wali kekasih Allah yang sudah tentu merupakan tingkatan ‘ibadah tertinggi dengan cara terkhusus dan terberat. Tetapi tuntunan Rasul menyamaratakan ‘ibadah itu. Puasa wajib hanya sebulan dalam setahun itupun hanya dari fajar hingga maghrib dan disuruh pula makan sahur. Tidak seperti puasanya agama Hindu, ada yang empat puluh hari ada yang lebih, disertai dengan berjemur di panas matahari dan sebagainya. Kesimpulannya ialah : Ibadah tuntunan Rasulullah masih kurang, maka diberi kesempatan untuk menambah.
Itulah maka Imam Syatibi dalam kitabnya “Al-I’tishom” mengemukakan contoh bid’ah antara lain sebagai berikut :
  • “Membuat batas-batas, seperti orang yang bernadzar puasa dengan berdiri tidak boleh duduk, berjemur di panasan tidak berteduh”.
  • “Menetapkan cara-cara dan gerak-gerak tertentu seperti dzikir dengan bentuk berkumpul bersama-sama dengan suara yang serentak pula”.
  • “Menetapkan ‘ibadah-ibadah tertentu pada waktu-waktu tertentu pula yang mana tidak terdapat penentuan itu dalam agama, seperti menetapkan berpuasa pada hari pertengahan bulan Sya’ban dan shalat pada malamnya”.
  • Shalat dan puasa adalah ‘ibadah yang diperintahkan. Perintah shalat dan puasa itu disertai petunjuk waktu-waktunya. Karena ingin menambah waktunya itu maka orang mengerjakan shalat dan puasa diluar waktu-waktu yang ditentukan baik yang wajib atau sunnat, maka terjadilah bid’ah itu. Apalagi jika tambahan ‘ibadah itu ditentukan pada hari-hari yang dianggap lebih mulia menurut ilmu nujum, ilmu hitungan-hari dan pasaran seperti Jum’ah Kliwon, Selasa Pahing, tiap malam bulan purnama dan sebagainya; maka ‘ibadah itu selain bid’ah juga menjadi alat kemusyrikan.
  • Orang melakukan bid’ah dengan mengerjakan puasa pada hari Nisfu Sya’ban (pertengahan bulan Sya’ban) dan malamnya mengerjakan shalat berjamaah kemudian membaca do’a khusus yaitu memohon panjang umur dan murah rejeki. Segalanya itu dikerjakan dengan ditetapkan tanggal pertengahan bulan Sya’ban yang dianggap amat mulia karena menurut Hadits yang tidak shohih pada malam itu Allah Subhanahu wata’ala turun dari singgasana-Nya ke langit-dunia. Demikian pula berdasarkan Hadits-hadits Maudlu’ (palsu) yang meriwayatkan antara lain bahwa Rasulullah melakukan shalat dengan sujud yang lama sekali pada malam Nisfu Sya’ban itu.
Sebenarnya Rasulullah telah mengajarkan ‘ibadah-‘ibadah sunnat disamping yang wajib. Siapa yang belum puas ber’ibadah yang wajib sangat dianjurkan untuk melakukan ‘ibadah sunnat, yang sifatnya, jumlahnya serta waktunya telah ditentukan pula. Dengan melakukan ‘ibadah sunnat ini orang dapat menambah pahala dan bertambah dekat kepada Allah. Kalau dengan mengerjakan semua ‘ibadah sunnat itu orang belum juga puas, masih ingin menambah pahala dan bertambah dekat kepada Allah, hendaklah mengerjakan amal-shalih seperti bertabligh menyiarkan agama mendirikan madrasah dan rumah sakit, panti-asuhan membangun mesjid, menolong anak dan orang miskin dan sebagainya. Masih banyak lagi amal-shalih yang dapat menambah pahala, dan selain mendekatkan diri kepada Allah juga bermanfa’at kepada masyarakat dan negara serta kepada ummat Islam sendiri, yang karena itu, hukumnya tidak sekadar sunnat tetapi fardlu kifayah.
Tetapi apa hendak dikata, umumnya ahli bid’ah menganggap bahwa menambah ‘ibadah dengan bid’ah itu jauh lebih utama dari pada beramal-shalih sebagai tersebut di atas itu.
------------------------
Ahlus Sunnah Wal Jama'ah - Bid'ah Khurafat, H. Djarnawi Hadikusuma, PT. Percetakan Persatuan Yogyakarta, Cetakan Ke IV, halaman 23-28.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar