Minggu, 20 Juli 2014

Ahlus Sunnah Wal Jama'ah (4)

HUKUMNYA IJTIHAD DAN TAQLID
Banyak sekali ayat-ayat dalam Al-Quran yang menyuruh atau mewajibkan kita mengembalikan segala perkara kepada Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya untuk memperoleh hukumnya atau kebenarannya. Pengembaliannya itu ada yang secara langsung yaitu perkara yang telah jelas ada nasnya dalam Al-Quran dan atau dalam Hadits. Dalam hal ini tidak memerlukan apa yang disebut ijtihad. Jika tak ada nas Quran atau keterangan Hadits yang jelas, barulah kita kembalikan perkara itu kepada Quran dan Sunnah secara tidak langsung, yaitu dengan melalui qiyas (analogi), perbandingan, persamaan maksud, penilaian manfa’at dan madlarat, keadaan tempat dan lingkungan, mencari faedah dan hikmahnya, menghindarkan madlarat, dan sebagainya. Kesemua itu memerlukan ilmu yang sebagaimana tersebut di atas dinamakan syarat-ijtihad. Jadi adalah ijtihad itu suatu cara untuk mengembalikan Sesuatu perkara kepada maksud dan motif sesuatu hukum yang diletakkan dalam Quran dan Hadits, atau mengambil sesuatu pengertian dari ayat Quran dan suatu Hadits untuk menghukumi sesuatu perkara yang pada lahirnya tidak termaksud oleh ayat Quran dan Hadits itu. Oleh karena ijtihad itu juga sesuatu usaha untuk mengembalikan sesuatu perkara kepada Kitab Allah dan Sunnah Rasul, maka hukumnya wajib pula; sesuai dengan ketentuan usul fekih : “ma: la: yatimmul wa:jibu illa: bihi: fa huwa wa:jibun” (sesuatu yang menjadi syarat untuk sempurnanya kewajiban, maka wajib pula hukumnya).
Antara lain, firman Allah dan Hadits yang memerintahkan kita mengembalikan sesuatu perkara kepada Al-Quran dan Sunnah Rasul, adalah sebagai berikut :
  1. “Jika kamu berselisih dalam sesuatu perkara maka kembalikanlah kepada ajaran Allah dan Rasul kalau kamu benar-benar percaya kepada Allah dan hari Akhirat”. (An-Nisa : 59)
  2. “Segala apa yang diperintahkan Rasul laksanakanlah dan segala apa yang dilarangnya hentikanlah”. (Al-Hasyr : 7)
  3. “Apa sebab mereka itu tidak mempelajari Al-Quran, andaikata Al-Quran itu bukan datang dari Allah niscaya akan mereka temukan di dalamnya banyak perselisihan”. (An-Nisa : 82)
  4. “Jangan sampai engkau turut sesuatu yang tentang seluk-beluknya engkau tidak mempunyai cukup ilmu”. (Al-Isra : 32)
  5. “Siapa yang berijtihad dan benar maka ia memperoleh dua pahala. Dan siapa berijtihad tetapi salah maka ia hanya menerima satu pahala”. (Sabda Rasulullah).
Jelaslah bahwa hukum ijtihad itu wajib. Sering kaum taqlid mengejek, katanya : “Apakah penjual saoto, petani dan si buta huruf itu diwajibkan berijtihad? Mana bisa !!Apa mereka tidak wajib taqlid saja seperti perintah Allah :
“Tanyalah kepada orang alim jika kamu tidak tahu!”
Untuk menjawab pertanyaan itu, kita ingatkan mereka kepada Firman Allah :
“Allah tidak mewajibkan sesuatu kepada seseorang kecuali apa yang ia kuasa laksanakan”.
Dengan demikian nyata bahwa sebagai kewajiban lain-lainnya seperti zakat dan hajji, maka kewajiban ijtihad hanya tertimpa kepada orang alim yang sudah sanggup untuk berijtihad. Adapun kenyataan bahwa justru orang alimlah yang telah menutup pintu ijtihad, maka itu berlawanan dengan perintah Allah. Adapun ma’na “ahladzdzikri” ialah “ahlal-Quran” yaitu orang yang alim tentang isi Al-Quran, karena arti “dziki” ialah firman Allah atau Al-Quran, seperti tersebut dalam surat Hijr ayat 9 :
“Sesungguhnya Kami yang telah menurunkan firman (Al-Quran) ini dan niscaya Kami juga yang memeliharanya”.

Maka jika kita tidak mengetahui hukum sesuatu perkara atau apa saja yang menyangkut agama, kita diperintahkan Allah untuk bertanya kepada ahli Quran, untuk mendapat keterangan yang berdasarkan Al-Quran dan kita bisa tahu dalil-dalil dan keterangannya itu. Ini adalah perintah ittiba’ dan bukan perintah untuk taqlid.
Jadi perintah atau kewajiban ittiba’ ini untuk orang yang belum mampu berijtihad. Jika orang untuk berittiba’ pun belum mampu, tentu dia tak dapat memahami dalil-dalil ayat Quran atau Hadits. Bagi mereka ini cukup dijawab umpamanya : “Hukum daging babi itu haram karena Allah mengharamkannya dalam Al-Quran”. Lalu mereka percaya. Apakah ini taqlid? Kalau itu taqlid, maka hanya taqlid dalam pengertian bahasa, tidak menutup pintu ijtihad baginya jika ia sudah mampu. Yang terang itu bukan taqlid seperti yang diistilahkan orang bahwa taqlid itu harus kepada salah satu Imam Empat karena ijtihad sudah tertutup, apalagi dengan keyakinan bahwa pendapat Imamnya mesti benar, yang menjadikan orang tak merasa perlu mempertimbangkan pendapat orang lain!
Dengan segala uraian di atas itu, kita sampai kepada kesimpulan :
  1. Ijtihad hukumnya wajib.
  2. Jika tidak mampu ijtihad, maka wajib ittiba’!
  3. Jika tidak mampu ittiba’ karena terpaksa maka diperkenankan percaya kepada keterangan seseorang.
  4. Adapun taqlid mutlak kepada seseorang tertentu dengan paham tertutupnya pintu ijtihad, maka tidak diperkenankan.
------------------------
Ahlus Sunnah Wal Jama'ah - Bid'ah Khurafat, H. Djarnawi Hadikusuma, PT. Percetakan Persatuan Yogyakarta, Cetakan Ke IV, halaman 12-14.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar