Senin, 14 Juli 2014

Ahlus Sunnah Wal Jama'ah (1)

MUQADDIMAH
Bismillahirrahmanirrahim. Problim kuna yang sampai sekarang masih selalu dibicarakan yang seharusnya tidak perlu lagi dibicarakan — ialah persoalan ijtihad dan taqlid. Kami katakan tidak perlu dipersoalkan lagi karena tokh pikiran manusia yang bertambah maju dan cerdas ini akan tetap senantiasa berjalan menjurus keijtihad, apalagi generasi kita yang akan datang yang sudah tentu lebih cerdas dari generasi sekarang ini, lebih pintar dari kita, lebih dinamis dari kita manusia-manusia abad ke 21 ini. Ini sudah pasti, tak dapat dibendung dan ditutup-tutup, dan akhirnya segala bendung dan tutup itu akan jebol berantakan dilanda dan dilindas oleh roda dinamika kecerdasan dan kehendak untuk maju dari suatu bangsa yang tidak hanya berrevolusi dalam bidang kenegaraan tetapi juga dalam bidang mental.
Sekali lagi ditegaskan, tak ada faedahnya kita berselisih, apakah kita kaum Muslimin harus berijtihad atau bertaqlid di dalam mengamalkan perintah dan ajaran Islam dalam bidang ‘ibadah, ataupun pandangan dan penetapan hukumnya tentang masalah kemasyarakatan. Masyarakat manusia yang selalu berkembang maju dengan pesat, telah melahirkan ide-ide dan stelsel kemasyarakatan yang serba baru corak dan bentuknya, yang lahir sebagai hasil pemikiran yang didorong oleh rasa hajat kepada cara pelaksanaan yang efektif untuk mengatur masyarakat. Malah suatu kenyataan bahwa proses lahirnya cara dan stelsel itu terlepas samasekali dari pertimbangan hukum keagamaan, dan hukum itu dikenang oleh orang setelah stelsel itu wujud. Nah, tugas kita kaum agama ialah menyelidiki apakah kesemuanya itu diperkenankan oleh hukum agama, bagaimana agar ajaran agama dapat dinafaskan kedalamnya, dan andaikata ternyata melanggar hukum agama maka bagaimana cara merobahnya hingga sesuai. Apabila segala perkembangan masyarakat itu tidak segera diikuti oleh pandangan dan penilaian dengan teropong agama, mau tak mau ajaran agama akan ditinggalkan di belakang karena dianggap tidak mampu mengatur kemajuan kehidupan manusia. Dan kalau ini terjadi, alim ulama Islamlah yang terlebih dahulu harus bertanggung jawab.
Tetapi orang yang berjiwa taqlid tidak dapat menjawab tantangan itu, tidak kuasa dan tidak mampu. Kalau ia orang ‘awam adalah itu karena disebabkan kekurangan pengetahuan, dan kalau ia seorang ‘alim maka ketidakmampuannya itu karena pendiriannya yang tidak dapat dirubah, yaitu pendiriannya bahwa pintu ijtihad sudah tertutup karena ulama-ulama besar beberapa abad yang lampau telah cukup melakukan ijtihad dalam segala macam perkara, jadi kita sekarang tinggal mengikuti hasil mereka saja dengan atau tanpa mengetahui dalil-dalil mereka. Mereka itu jauh lebih besar dan lebih pandai dalam agama daripada ulama abad-abad sesudahnya. Dan kita tidak layak berijtihad lagi apapula berani menyalahi pendapat mereka seakan-akan kita mengaku lebih ‘alim. Pendirian semacam inilah yang disebut taqlid.
Soal pokok dalam perkara ini ialah :
  1. Benarkah pintu ijtihad telah ditutup?
  2. Kalau benar, oleh siapa dan wajibkah kita mentaati penutupan itu?
  3. Kalau belum tertutup apakah setiap orang wajib berijtihad?
  4. Bagaimanakah hukumnya taqlid itu?
  5. Perkumpulan manakah yang berijtihad dan mana pula yang bertaqlid?
  6. Perkumpulan manakah yang bermadzhab dan mana pula yang tidak? Kalau bermadzhab siapakah imamnya, dan kalau tidak, mengapa?
  7. Apakah ahlu sunnah wal-jama’ah itu? Perkumpulan manakah termasuk golongan ahlu sunnah wal-jama’ah? Dan perkumpulan mananakah yang tidak tergolong ahlu sunnah wal-jama’ah? Apakah Nabi Muhammad s.a.w. dan para sahabatnya bermadzhab juga?
  8. Apakah mereka juga ahlu sunnah wal-jama’ah? (Pertanyaan ini sangat ganjil dan menggelikan hati, tetapi tidak mengapa karena pernah soal semacam itu ditanyakan oleh orang yang baru mulai mempelajari pengetahuan agama).

Sebelum menerangkan sekadarnya tentang persoalan ijtihad dan taqlid ini, baiklah terlebih dahulu dijelaskan bahwa :
  • kebanyakan orang ‘alim yang berpendirian taqlid, tidak menghendaki terbukanya lagi pintu ijtihad karena sangat hati-hatinya, untuk menjaga agar jangan sampai orang begitu gegabah berijtihad.
  • orang lain yang berpendirian ijtihad, tidaklah bermaksud agar setiap orang berijtihad, melainkan berpendirian bahwa pintu ijtihad tidak pernah dan tidak akan tertutup selamanya.
  • dan kedua belah pihak timbul ekses-ekses yang tidak baik. Orang yang berpendirian taqlid ada yang berlebih-lebihan dan keterlaluan ta’ashshub dan fanatiknya hingga mengecap orang yang berpendirian ijtihad dengan stempel mu’tazilah, keluar dari ahlu sunnah, murtad, dan sebagainya. Juga orang yang berpendirian ijtihad ada yang mengejek dan merendahkan mereka yang taqlid. Ekses-ekses ini wajib dikikis habis dan dihentikan.
  • segala pembicaraan tentang persoalan ini harap didasarkan semata-mata pada a. dan b. tersebut di atas, serta dibersihkan dari ta’ashshub golongan dan aliran paham.
------------------------
Ahlus Sunnah Wal Jama'ah - Bid'ah Khurafat, H. Djarnawi Hadikusuma, PT. Percetakan Persatuan Yogyakarta, Cetakan Ke IV, halaman 5-6.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar