Minggu, 01 Juni 2014

MENGATASI KETAKUTAN PADA MAUT

Abu ‘Ali ibnu Muhammad yang terkenal dengan nama Ibnu Maskawaih dan wafat pada tahun 421 H, adalah seorang sarjana falsafah dan ilmu akhlaq. Dalam kitabnya yang terkenal “Tabdzibul Akhlaq wa Tathhirul A’raq” menulis panjang lebar tentang penyembuhan terhadap ketakutan pada maut, antara lain sebagai berikut :
“Sesungguhnya ketakutan kepada mati tidak melekat kecuali kepada orang yang tidak mengetahui apa hakekat mati itu, atau tidak tahu ke mana tujuan dirinya sesudah mati, atau orang menyangka bahwa setelah jasmaninya rusak maka dirinya pun akan sirna pula; atau orang yang mengira bahwa alam ini akan terus lestari sedang dirinya sudah musnah karena ia tidak mengerti bahwa diri atau ruh itu kekal lagi tiada mengerti tentang bagaimana kembalinya ruh ke hadlirat Allah. Demikian juga rasa takut kepada maut hanya menghinggapi orang yang menyangka bahwa kematian itu menyebabkan rasa sakit yang tak terperikan, atau orang yang merasa sesudah matinya akan menerima siksa, atau orang yang merasa sedih dan menyesal akan berpisah dengan harta atau kesenangan duniawinya.
Mereka itulah orang-orang yang terkena penyakit takut kepada mati. Kepada mereka perlu kiranya dijelaskan bahwa mati adalah tidak lebih daripada kenyataan ruh meninggalkan alatnya yaitu badan Jasmani seperti halnya tukang meletakkan alat perkakasnya. Di samping itu perlu pula diketahui bahwa diri manusia atau ruhnya itu adalah sebangsa atom ruhani yang tidak akan rusak bahkan kekal selamanya. Dan atom ruhani itu jauh berlainan dengan atom jasmani atau materi yang selalu mengalami perubahan.”
Selanjutnya Ibnu Maskawaih menulis antara lain bahwa kematian adalah istirahat daripada segala kesibukan dan kesusahan duniawi. Dan barangsiapa takut mati karena takut mendapat siksa, maka hendaklah dia berhati-hati dan meninggalkan setiap laku dosa. Kepada orang yang takut mati karena enggan bercerai dengan harta dan dunia, dianjurkan agar dia insyaf bahwa segala keadaan di dunia pasti binasa; oleh sebab itu tidak usah perpisahan dengan dunia ini menjadikan hatinya susah dan menyesal. Bahkan sebaliknya hendaklah dia mencari kcsempurnaan dan kenikmatan akhirat yang lestari dan kekal.
Apa yang diuraikan oleh Ibnu Maskawaih itu perlu direnungkan Sebaik-baiknya oleh setiap orang. Maut adalah suatu hal yang pasti, baik cepat ataupun lambat.
Hidup kita adalah ibarat sebuah buku yang tebal halamannya berlainan menurut umur kita masing-masing. Seorang yang mati dalam usia 75 tahun maka bukunya setebal 75 halaman. Orang yang wafat berusia 60 tahun adalah ibarat buku setebal 60 halaman. Halaman terakhir itulah akhir hidupnya. Dalam perumpamaan ini maka setiap halaman ditandai dengan awal Muharram sebelah atas, dan akhir Dzulhijjah pada ujung garis terbawah. Umur kita berjalan melewati garis-garis dalam halaman itu, bermula dari atas lalu berpindah ke garis di bawahnya dan seterusnya hingga berhenti pada ujung garis terbawah, lalu membuka halaman baru berikutnya. Demikianlah seterusnya hingga jumlah lembaran yang telah disediakan dalam buku selesai dijalani, lalu tammat. Kita .menjalani garis-garis itu dengan menulis. Tulisan itu berupa segala tingkah dan perbuatan kita, dan detik ke detik berikutnya sepanjang umur kita. Firman Allah : “Dan Allah tidak akan menangguhkan kematian seseorang apabila ajalnya telah sampai. Dan kelak Allah akan mengungkapkan apa saja yang kamu sekalian telah lakukan.” (Surat Al-Munafiqun : 11)
Dan kapan ajal kita masing-masing akan tiba, kita samasekali tidak mengetahui. Oleh sebab itu maka seiring dengan tambahnya usia kita harus berjaga-jaga, harus membuat persiapan terus-menerus, agar supaya sewaktu-waktu ajal itu sampai, kita sudah siap menyambutnya dengan ikhlas. Maka sungguh tepat dan penting apa yang difirmankan Allah sebelum ayat tersebut di atas, yakni : “Maka dermakanlah sebagian daripada rezeki yang telah Kami berikan kepadamu sebelum nanti kematian menimpamu sewaktu-waktu Sehingga masing-masing kamu akan ber’doa : Ya Tuhan, tangguhkan kematianku ini barang sekejap agar aku dapat bersedekah dan berusaha menjadi orang saleh.”
Tetapi seperti yang telah difirmankan tersebut di atas, Allah samasekali tidak berkenan menangguhkan ajal seseorang. Segala kemenyesalan tidak berguna lagi. Maka tiada ada lain jalan lagi bagi manusia untuk menyelamatkan diri, kecuali bersiap-siap dengan memperbanyak amal, ibadah, dan bersedekah mengeluarkan sebagian kecil hartanya secara teratur dan kontinyu untuk menolong fakir-miskin, membangun tempat-tempat ibadah dan pendidikan, dan untuk membeayai tersiarnya agama Islam serta memelihara kehormatan dan keagungan agama Allah itu.
Dengan berbuat demikian maka tambahnya usia dari saat ke saat dan dari tahun ke tahun, akan terasa sebagai rahmat Ilahi. Dan dengan berbuat demikian, maka ketakutan manusia kepada mati akan dapat diatasi dengan sebaik-baiknya. Bahkan mati akan dianggap sebagai pintu gerbang menuju keridlaan Allah yang abadi.
“Ya Allah, sempurnakanlah bagi kami cabaya yang Engkau berikan kepada kami, dan wafatkanlah kami bersama-sama dengan manusia-manusia yang baik. Ya Allah, anugerahkanlah kepada kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan jauhkanlah kami dari siksa neraka.”
-------------------------
Menyingkap Tabir Rahasia Maut, Cetakan ke-2, H. Djarnawi Hadikusuma, PT. Percetakan Persatuan Yogyakarta, halaman 38-40.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar