Minggu, 04 Mei 2014

RUH (2)

Nafs atau jiwa
Kata-kata bahasa Arab “an-nafs” lebih tepat diterjemahkan dengan “jiwa”, walaupun dalam percakapan sehari-hari “jiwa” sering digunakan untuk “nyawa” atau “manusia” seperti dalam perkataan “menimbulkan korban jiwa” dan “kehilangan jiwa”.
Jiwa juga berarti “keadaan mental atau rohani” seseorang, seperti dalam ucapan “berjiwa tenang” dan “sakit jiwa” dan sebagainya. Itulah pengertian asli daripada “jiwa” dan itu pula yang dimaksud dengan “nafs”.
Sudah tidak diragukan lagi bahwa ruh sendiri adalah melihat, mendengar dan merasa. Dia melihat tanpa mata, mendengar tanpa telinga dan merasa tanpa syaraf; sebab ruh itu sendiri makhluq rohani dan yang dilihat, didengar dan dirasai juga keadaan alam rohani juga. Keadaan di dunia kebendaan ini tidak dapat dilihat, didengar dan dirasai oleh ruh karena berlainan alam, sama halnya dengan mata dan telinga manusia tidak dapat melihat dan mendengar sesuatu dalam alam rohani.
Tetapi setelah ruh menyerap dan bersatu dengan jasad, timbullah keadaan baru sebagai akibat dari persatuan atau perpaduan itu. Keadaan baru itu ialah :
  1. Ruh dapat melihat dan mendengar serta merasa segala sesuatu di dunia ini, dengan perantaraan indera tubuh yang dimasukinya.
  2. Ruh seolah-olah terkurung oleh jasad dan hanya dengan berpikir dan berkhayal ia dapat mencoba untuk menyentuh alam rohani.
  3. Timbulnya sesuatu sebagai hasil dan perpaduan dan persesuaian antara ruh dan jasad. Sesuatu itu ialah kesadaran tentang keakuan, kesadaran inilah yang disebut jiwa atau nafs.

Failasuf Plato yang hidup pada abad ke 4 sebelum Masehi mengajarkan tentang pra-eksistensi daripada ruh, yaitu bahwa ruh telah ada sejak sebelum diciptakannya alam rohani yang berupa alam-cita (idee atau konsep) tentang terciptanya alam. Cita yang pertama atau pencipta dari alam cita itu adalah Tuhan Sendiri. Identitas daripada ruh ialah berpikir dan tertuju kepada alam-cita. Maka ruh selalu mengenal Tuhan. Setelah ruh terkurung dalam tubuh maka ia mengalami dua dunia. Pertama dunia rohani yaitu alam-cita tersebut di atas, dan kedua ialah dunia-jasmani yakni segala pengalaman yang dirasakan melalui indera tubuh. Ketika manusia mati maka ruh hidup kekal dalam alam-citanya tetapi kehidupan jasmaninya ikut terkubur. Selama ruh berada dalam tubuh, manusia memiliki tiga kemampuan yaitu : mengerti, berkemauan dan berkeinginan. Pembagian kemampuan ruh menjadi tiga dinamakan trichotomi.
Ruh yang bersatu dengan jasad lalu menimbulkan kemampuan-kemampuan tersebut, itulah yang dinamakan : nafs atau jiwa. Jadi ilmu-nafs atau ilmu-jiwa adalah ilmu yang mempelajari asal-usul, keadaan serta perkembangan jiwa manusia.
Tetapi Aristoteles (± 350 sebelum Masehi) menyatakan bahwa kemampuan jiwa itu hanya dua yaitu mengenal dan mengbendaki. Pembagian kemampuan menjadi dua dinamakan dichotomi. Thomas Aquino (± 1250) juga berpaham dichotomi dan kedua kemampuan itu ialah : pengertian dan kehendak. Tetapi J.J. Rousseau dan Kant menambahkan bahwa perasaan juga termasuk unsur kemampuan jiwa, karena itu mereka berpaham trichotomi.
Adapun para Ulama, kebanyakan mereka menganut paham trichotomi. Tiga kemampuan itu ialah: Syahwat, Gadlab dan Nathiqah; jadi mirip dengan pendapat Plato. Syahwat adalah “keinginan” kepada kebutuhan dan kelezatan; Gadlab ialah kehendak untuk mencapai segala yang tidak diingini serta menyirnakan semua yang menghambat keinginannya; dan Nathiqah ialah adreng mendekat kepada Tuhan dan cenderung kepada kebaikan.
-------------------------
Menyingkap Tabir Rahasia Maut, Cetakan ke-2, H. Djarnawi Hadikusuma, PT. Percetakan Persatuan Yogyakarta, halaman 11-12.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar