Jumat, 02 Mei 2014

RUH (1)

Kesadaran Ruh
Beberapa orang dari suku Quraisy berbincang-bincang tentang hakekat ruh. Mereka bertemu dengan Rasulullah yang senang berjalan dengan Ibnu Mas’ud. Maka orang-orang Quraisy itu menghampiri Nabi dan berkata : “Terangkanlah kepada kami tentang keadaan ruh!”
Mendengar pertanyaan itu Nabi berhenti dan mengangkat wajahnya. Maka tahulah Ibnu Mas’ud bahwa Rasulullah sedang menerima wahyu. Kemudian dia menjawab : “Adapun ruh itu semata-mata urusan Tuhanku, manusia hanya dikaruniai pengetahuan sedikit.”
Riwayat tersebut di atas diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Abi Mas’ud sendiri. Adapun ayat yang turun ialah Surat Al-Isra ayat 85 : “Dan mereka bertanya kepadamu tentang keadaan ruh. Jawablah : Ruh, itu adalah urusan Tuhanku semata-mata. Kamu manusia ini banya dikaruniai pengetahuan sedikit.”
Ayat tersebut di atas menganjurkan agar manusia tidak usah mempersoalkan hakekat ruh karena pengetahuan dan akal manusia tidak akan mampu mengungkap hakekat ruh itu. Akan tetapi firman Allah itu tidak melarang manusia untuk mempelajari dan mengungkap sifat dan pengaruh ruh itu terhadap jasad atau jasmani. Dan untuk itu akal memang mampu; seperti halnya akal tidak mampu memikirkan dzat Allah tetapi mampu memahami dan mempelajari sifat dan af’al serta firman-Nya. Bahkan timbulnya iman dan taqwa dalam kalbu adalah setelah manusia memahami sifat, af’al dan firman Allah. Ilmu tauhid adalah ilmu untuk memahami dan meyakini sifat, af’al dan kebenaran firman Allah.
Maka banyaklah sudah para ulama, sarjana dan ahli falsafah telah mempelajari serta mengungkap pengaruh ruh itu. Manusia hidup mempunyai masing-masing satu ruh yaitu sesuatu jenis rohani yang berdiri sendiri dan tidak terbagi. Ruh itu “berdiri sendiri” artinya sesuatu yang wujud, bukan sesuatu sifat atau keadaan yang ditimbulkan oleh sesuatu yang lain seperti sifat panas yang ditimbulkan oleh api atau keadaan bergeraknya roda yang dtiimbulkan oleh tenaga pendorong. Ruh itu “tidak terbagi” artinya tidak tersusun daripada unsur-unsur seperti tersusunnya air daripada H2 dan O, atau seperti warna hijau yang tersusun dari warna biru dan kuning.
Ruh “tidak terbagi” juga berarti tidak mungkin dibelah atau dibagi menjadi bagian-bagian lebih kecil seperti terbaginya zat benda kepada molekul dan atom, oleh karena ruh adalah wujud rohani bukan materi (benda). Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa ruh adalah sesuatu jauhar (atom) yang berdiri sendiri, tidak terbagi, kekal, diciptakan daripada nur (cahaya) serta senantiasa sadar kepada Tuhan. Sesuatu jauhar yang tidak terbagi tidak lain hanyalah rohani. Oleh karena itu sebelum ruh ditiupkan Allah ke dalam bayi dalam rahim ibu, ruh itu berada dalam alam rohani pula yang dinamakan “alam barzah” atau “alam arwah”,
Setelah ruh ditiupkan dalam tubuh, ia meresapi seluruh tubuh itu hingga menjadi hidup. Jantung bergerak, darah mengalir beredar serta semua menjalankan fungsinya masing-masing. Adanya ruh dalam tubuh tidak seperti adanya juru mudi dalam perahu, tidak pula seperti air dalam bejana, dan tidak pula seperti hubungan antara dua teman. Persatuan antara ruh dan jasad seperti itu disebut aksidentil. Persatuan antara ruh dan tubuh adalah tidak aksidentil tetapi substansiil.
Ahli falsafah seperti Descartes dan Malebranche berpendapat bahwa ruh dan tubuh masing-masing berdiri sendiri serta sempurna. Ruh berpikir dan tubuh yang melaksanakan. Maka persatuan atau pertalian antara keduanya adalah aksidentil, yaitu masing-masing tetap utuh berdiri sendiri. Pada waktu orang berpikir untuk menggerakkan tangannya, maka bukanlah pikiran itu yang menggerakkan tangan melainkan Tuhan yang menyebabkan tangan itu bergerak. Demikian juga apabila tangan itu kena pukul, maka bukanlah pukulan itu yang menyebabkan rasa sakit, tetapi sebenarnya Tuhanlah yang menjadikan perasaannya merasa sakit. Teori semacam ini disebut okasionalisme.
Pendapat tentang pemisahan ruh dan jasad sebagai tersebut di atas dinamakan teori “dualisme” atau “serba-dua”, yakni ruh dan jasad merupakan dua hal yang masing-masing berdiri sendiri. Tetapi pendapat itu ditolak oleh failasuf Spinoza. Spinoza mengatakan bahwa ruh dan jasad tidak merupakan dua proses, tetapi satu proses; tidak merupakan dua hal, tetapi satu hal, yang berlaku ke dalam berupa pikiran serta berlaku keluar, merupakan gerak dan tindakan. Secara intern ia disebut ruh, tetapi ekstern dinamakan tubuh atau jasad. Ruh dan jasad berpadu menjadi kesatuan yang tak terpisahkan. Teori ini disebut “monisme” atau “serba-satu”.
Persatuan antara ruh dan jasad yang tak terpisahkan itu dinamakan persatuan “substansiil” atau “dzati”, sebab yang berpadu memang dzatnya.
Beberapa kali Allah berfirman dalam Al-Quran bahwa Dia tiupkan ruh itu ke dalam jasad. Itu berarti bahwa walaupun sesudah itu terjadi persatuan yang tak terpisahkan antara keduanya, namun keduanya berlainan jenis dan asal-usul. Ruh adalah sesuatu yang datang dari luar jasad untuk menghidupkan jasad itu dan pada saat lain yang ditentukan ruh itu akan ke luar lagi meninggalkan jasad dalam keadaan mati. Ruh didatangkan dari alam rohani dan akan dikembalikan pula ke alam rohani atau barzakh.
-------------------------
Menyingkap Tabir Rahasia Maut, Cetakan ke-2, H. Djarnawi Hadikusuma, PT. Percetakan Persatuan Yogyakarta, halaman 9-11.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar